"Diduga ambulans membawa batu yang digunakan para pendemo untuk bersikap kasar pada aparat. Maka itu, pihak kepolisian terpaksa mengejar beberapa ambulans yang dicurigai membawa batu karena dikhawa--"
Tiiiit.
Andra buru-buru mematikan televisinya. Ibunya menahan tawa. Ayahnya juga sama. Kedua tangan Zakiya sudah terkepal.
"Papa tahu tadi Kiya hampir mati dikejar mereka, bahkan mau ditembak! Kiya lihat benar itu s*****a yang mereka pakek buat nembak Kiya!"
"Terus kenapa gak jadi nembak?"
"Gara-gara ada pendemo di depan yang pegang kamera terus lari. Entah apa kabarnya. Kalo ketangkep pasti tamat riwayatnya ditanhan aparat. Kiya udah minta tolong yang lain untuk mencari kabar pendemo itu. Kasihan."
"Terus kamu mau ke mana ini? Malem begini! Baru juga sampe rumah."
Ia menghembus nafas. "Mereka harus dikasih pelajaran!" tukasnya lalu berjalan serampangan menuju garasi. Ayahnya memberi kode pada Andra untuk mengantar Zakiya. Anak itu memang terbiasa seperti itu. Kedua orangtua Zakiya tak melarang selama apa yang dilakukan itu benar.
"Eh! Gue anterin!" teriak Andra.
Ia masih lelah sebetulnya tapi ya sudah lah. Kalau harus ikut turun tangan begini. Sementara Papanya sudah bergerak menelepon beberapa pengacara untuk menemani Zakiya kalau ada apa-apa. Jaga-jaga kan perlu.
Menjelang kemunculan berita itu saja, sudah banyak keributan di dalam grup LSM yang dipimpin Rangga. Mereka semua heboh. Ferril malah tertawa di ruangannya. Ia masih lembur bersama yang lain di markas tersembunyi milik Papanya Ardan.
"Apa gak ada alasan yang lebih d***u lagi?"
Itu jelas kata sindiran. Ia mengelengkan kepalanya.
Kebut berita karena para aparat guling isu ada batu yang diangkut sama oendemo menggunakan ambulans jadi alasan mereka untuk ngejar ambulans Zakiya. Zakiya pengen konferensi pers jadinya.
"Ada petasan juga katanya di ambulans!"
Ferril makin terpingkal mendengarnya. "Itu mau demo atau takbiran jadinya?"
Ia makin terheran-heran.
"Jadi, mau gimana?" tanya Agha. Cowok itu belum istirahat sedikit pun. Ia sudah mengurus semua teman-temannya. Ada yang masih ditahan tapi sebagian besar sudah keluar. Ada juga yang kembali berkumpul untuk membicarakan masalah ini. Agha.juga sempat bertemu mereka lalu ia pamit ke sini untuk mengetahui perkembangannya. Eeh begitu hampir sampai malah tercengang mendengar berita.
"Kumpulkan semua rekaman CCTV di mama ambulans dikejar pihak kepolisian. Kita kompilasi menjadi satu video dan mulai sebar diam-diam dengan akun anonim. Pastikan tidak ketahuan," tutur Farrel. Tim IT-nya langsung bergerak. Ferril tersenyum tipis. Ini akan menjadi pertandingan yang seru.
"Sopir-sopir ambulans yang tadi dikejar pasti bakal ngamuk banget tuh."
Betul sekali ucapan Ferril. Karena Zakiya rasanya ingin mematahkan kepala orang yang berbicara begitu. Enak saja! Emangnya nyawanya hanya sekedar main-main?
"Kita ke mana?"
"Kantornya Mas Rangga."
Hanya itu tujuannya. Ia perlu berdiskusi dengan teman-temannya di sana. Beberapa teman Rangga yang juga aktivis dari berbagai organisasi juga mulai berdatangan untuk membahas ini. Ini jelas menjadi isu serius. Apalagi mereka menuduh tanpa bukti. Hanya berdasarkan cuitan dari salah satu akun kepolisian. Sekalipun polisi, tetap perlu dicek kebenarannya. Mereka kan bukan Tuhan.
"Kiya datang! Kiya datang!"
Teman-temannya sudah berseru. Ia memang aktris utama dalam kasus ini. Begitu masuk, ponselnya berdenting. Tadinya mau ia abaikan. Tapi ternyata ada kiriman video dari Farrel. Lelaki itu juga meminta untuk merahasiakan sumbernya. Dengan senang hati, ia menunjukan isi video kompilasi itu pada semua temannya yang ada di ruangan paling besar gedung berlantai dua ini.
"Ini masih eksplisit Kiya. Meskipun rekaman menunjukan kalau ambulans kita tidak membawa batu. Kita perlu bukti konkrit untuk melawan isu yang sengaja mereka bangun untuk membenarkan sikap mereka."
Kang Syamsul langsung menyanggah buktinya. Zakiya tahu jelas itu tidak cukup. Tapi dengan apa?
"Konferensi pers?" usul yang lain.
"Itu akan kita lakukan lagi nanti. Tapi untuk sekarang, kita setidaknya perlu meredam sebelum menjadi lebih heboh. Karena ada efek negatif dari pemberitaan ini. Bahkan sangat berbahaya. Bayangkan, semua ambulans akan dicap sebagai pengacau. Padahal fungsi keberadaan mereka di sana justru untuk menolong orang-orang yang mengalami kondisi darurat sehingga perlu dilarikan ke rumah sakit. Jangan sampai opini ini malah membuat ambulans dilarang berada di lokasi perdemoan. Itu efek yang dahsyat. Padahal sebenarnya, dibalik isu ini hanya lah ide mereka untuk mencegat keberadaan pendemo yang memang banyak bersembunyi dibalik ambulans."
"Abisnya mau gimana lagi, Mas? Mau lari ke aparat? Yang ada malah ditangkap. Salah satu jurnalis dan juga teman kita sendiri bahkan ikut ditangkap padahal sudah jelas mengenakan atribut sebagai jurnalis bukan pendemo. Alasan mereka karena tak ada atribut yang bisa membedakan, padahal jelas sekali penampilannya. Memangnya sejak kapan jurnalisnpakek almamater atau kaos organisasi?"
Yang lain tertawa. Rangga tersenyum kecil mendengarnya. Ia suka sekali diskusi semacam ini.
"Mas!"
Zakiya baru saja menerima video lain dari Farrel.
"Kita pakek ini aja!" tuturnya.
Isu tandingan! Ya hanya ini satu-satunya cara untuk meredam. Farrel dan tim sudah berusaha keras mencari rekaman ambulans-ambulans yang dikejar aparat. Lalu menemukan salah satu diantaranya ditembaki gas air mata.
Semua orang menyimak video itu dengan seksama. Tak butuh waktu lama untuk saling bersepakat. Rangga mengunggah ini ke media sosial LSM mereka sembari menghubungi teman-temannya yang sesama jurnalis untuk membantu menyebarkan berita ini. Ini cara jurnalis bekerja. Kalau ada kabar palsu, mari lawan dengan kabar kebenaran. Mereka menggulingkan isu yang penuh kebohongan? Sebelum bongkar, mari dibalas dulu sembari membuat perhatian mereka teralihkan. Sementara itu, Zakiya berdiskusi dengan beberapa ahli hukum. Ini hanya pengalihan isu. Biasanya kan mereka yang pandai mengalihkan isu agar rakyat lupa akan isu-isu penting yang menyangkut keselamatan negara ini. Apalagi kalau isu korupsi yang menyangkut penguasa pasti akan berusaha ditenggelamkan. Jadi alihkan isu ini dengan isu lain agar fokus mereka terpecah sementara Zakiya dan teman-temannya bergerak untuk melancarkan serangan pagi nanti.
"Mereka akan berkilah lagi pastinya," tutur Indra usai membaca komentar para netizen yang masih melek dimalam-malam begini.
"Ya kan kalo orang yang gak jujur bisanya ngeles doang emang," tutur Lona. Ia menikmati sisa martabak yang ada. Bukan hanya Zakiya yang lembur di sini. Hampir semua orang yang bekerja di LSM ini juga lembur. Mereka lembur secara sukarela. Bekerja di sini juga dengan sukarela. Ini lah bedanya antara orang yang bekerja dengan nurani dan orang yang bekerja sebagai penjilat.
Indra terkekeh mendengarnya. Mereka sebetulnya sudah bosan dengan nyanyian semacam itu. Tapi ya sudah lah. Negara yang diujung tanduk ini tetap harus diselamatkan apapun caranya. "Gimana kisah Firaun sebelum akhirnya binasa? Apa dibiarkan oleh Allah untuk berbuat zalim sezalim-zalimnya sampai kemudian dihempas ke neraka?"
Ia jadi penasaran akan akhir dari pemerintahan yang zalim ini. Karena sudah gemas dengan banyaknya polemik kebohongan yang mata anak-anak pun bisa membedakan mana yang berbicara jujur dan bohong. Iya kan?
"Sezalim-zalimnya pemerintah saat ini setidaknya dia tidak mengaku Tuhan seperti Fir'aun," tutur Revan. Cowok itu muncul dari ambang pintu. Lona terkekeh mendengarnya.
"Iya lah. Kalo ngomong jadi Tuhan, langsung diamukin lah. Yang ngaku jadi Nabi aja banyak yang udah ditangkap dan diamuk masyarakat. Apalagi kalo ngaku Tuhan?"
Revan tersenyum kecil. "Tapi bukan berarti karena ia tidak mengaku Tuhan lantas tidak masuk ke dalam kezaliman itu. Karena yang namanya zalim ya tetap zalim. Di dalam agama kita juga begitu. Yang benar harus dikatakan benar. Yang salah tetap dikatakan salah. Jangan dibelokan hanya untuk memenangkan perasaan orang-orang yang punya kekuasaan."
Lona bertepuk tangan. "Revan keren!" pujinya lalu ia mendapat jitakan kepala.
"Kiya mana?"
"Ceileeh yang dicari si Kiya rupanya!"
Ia tertawa. "Gak usah jadi netizen julid yang seolah jadiin gosip hanya karena gue nanya soal keberadaan Kiya."
Lona terbahak. Indra ikut tertawa mendengarnya.
"Ada tuh di sebelah. Masih rapat kali."
@@@
Berbagai bukti di mana Zakiya dikejar para aparat padahal ia sedang membawa korban yang terluka parah pun dibeberkan. Mereka melakukan konferensi pers di halaman LSM milik Rangga. Lelaki itu baru datang saat Zakiya sudah memulai konferensi pers. Ia mengamati dari depan. Zakiya membeberkan rentetan kejadiannya dengan sangat serius. Ia juga menunjukan rekaman CCTV yang tertangkap. Semua bukti dibeberkan sangat jelas agar para aparat tidak berkilah begitu saja. Ada juga video ketika si korban dibawa masuk ke dalam ambulans sehingga jelas seharusnya ia tak menjadi korban para aparat.
"Saya memang membawa pendemo tapi pendemo itu sedang terluka. Wajar kan kalau saya membawa seseorang yang sedang terluka parah dengan ambulans ke rumah sakit? Dan pertanyaan mengenai bagaimana ceritanya saya yang bisa membawa ambulans itu adalah tim medis yang tertinggal di dekat ambulans hanya satu orang. Yang lain tersebar karena sibuk menyelamatkan pendemo dari gas air mata yang ditumpahkan kepolisian. Saya bukan orang medis. Tak paham kalah terjadi sesuatu saat sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit jika saya yang berjaga di kursi belakangnya. Jadi kami bertukar peran. Beliau yang menemani korban di kursi belakang sementara saya yang menyetir. Ah ya, saya juga sudah punya SIM dan tentunya cukup umur untuk menyetir."
Belajar dari banyaknya korban kepolisian. Beberapa teman Zakiya ada yang tiba-tiba di masukan ke penjara tanpa ada kesalahan yang diperbuat. Lalu kesalahan itu dibuat-buat para aparat untuk menjeratnya. Maka itu, ketika berbicara seperti ini, Zakiya juga harus bersiap diri. Ia memaparkan semuanya dengan jelas dan bukti yang lengkap demi menjamin keselamatan dirinya.
Tim medis yang kemarin ikut juga dihadirkan di dalam konferensi pers dan turut memberikan keterangan. Tujuan mereka tentu saja ingin membalik isu yang dibuat oleh oknum kepolisian untuk memberikan stigma negatif terhadap ambulans. Semua memang berawal dari Farrel dan timnya yang terpaksa memanfaatkan fasilitas itu untuk melindungi para pendemo dari ketidakadilan. Kebanyakan dari mereka banyak yang ditangkap dan diperlakukan secara kasar. Humaira, adiknya Rangga, juga menjadi salah satu di antaranya. Mungkin itu hanya satu yang ketahuan. Yang lain? Masih banyak yang disembunyikan. Serapat-rapatnya menyembunyikan bangkai, pada akhirnya baunya pasti akan tercium juga. Percaya lah. Karena kebenaran tidak akan pernah tenggelam. Sekalipun yang merasa benar berusaha untuk menghanguskannya.
"Cuma minta maaf!"
Zakiya ingin sekali mengutuknya. Teman-temannya terkekeh. Yeah, berkat konferensi pers itu, dalam beberapa jam pihak aparat akhirnya meminta maaf secara tertulis pada Zakiya. Tapi Zakiya tak tersentuh sama sekali.
"Kiya!"
Rangga memanggilnya. Cowok itu ingin mengajaknya bicara.
"Soal s*****a itu. Kamu yakin kalau mereka mengeluarkan itu?"
"Iya lah, Mas. Masa Kiya gak bisa bedain?"
Rangga mengangguk-angguk. Hanya ini yang mereka sembunyikan karena Zakiya tak punya bukti. Ia khawatir kalau membicarakannya apa yang sudah ia katakan akan mental dan berbalik menghajarnya tanpa ampun. Akhirnya bagian itu terpaksa disimpan di antara mereka. Mereka masih mencari bukti namun tak akan bisa ditemukan. Karena apa? Pendemo kemarin yang tak sengaja merekam kejadian itu dari jauh sudah mati dan dibuat seperti bunuh diri. Namun belum ada satu pun yang tahu akan kematiannya.
"Gimana, Van? Ada mahasiswa yang masih hilang?"
Zakiya memastikan. Ia yakin yang kemarin itu mahasiswa. Tapi Revan juga belum mendapat keseluruhan data.
"Sampai saat ini, beberapa kampus negeri sudah aman. Yang swasta masih belum begitu banyak yang melapor. Ada yang masih dalam tahap pelacakan dan ada juga yang masih proses di kepolisian."
"Yang kemarin disekap?"
"Oh itu udah aman."
"Siapa aja?"
"Kenapa?"
"Mau lihat wajahnya."
Revan mengangguk. Ia membuka file-file beberapa amhasiswa yang sempat disekap di dalam mobil. Begitu membukanya, tak satupun yang sama persis dengan lelaki yang ia lihat kemarin. Ia menghela nafas. Ini buntu sekali. Padahal kasus itu bisa dilaporkan ke Komnas HAM.
"Terus gimana konferensi pers itu? Hanya sekedar mereka minta maaf?"
Zakiya menghembus nafas kemudian duduk di depannya. "Pemberitaan soal batu di ambulans itu juga sudah ditarik sama mereka. Netizen lagi ramai-ramainya menggoreng isu itu. Mungkin itu juga. Mereka merasa ini akan mengancam kredibilitas mereka."
Revan mengangguk-angguk. "Adiknya Mas Rangga gimana?"
"Damai. Biasa lah. Mereka ngancem Mas Rangga. Kalo berani maju, gedung kita bakal dipermasalahin."
"Bukannya Mas Rangga punya gedung ini?"
"Ya. Tapi ini hibah dari salah satu tokoh nasional. Ya memang tokoh itu bukan sosok yang jahat. Tapi yang jadi masalah, si tokoh ini kan baru-baru ini meninggal. Hanya pengacara yang tahu persoalan pindah tangannya gedung ini ke ayahnya Mas Rangga terus jatuh ke tangan Mas Rangga. Dan lo pasti tahu skenario mereka untuk bikin kita terusir dari gedung ini kan?"
Revan mengangguk-angguk. Langsung paham. Bahkan Humaira tak tahu persoalan ini. Gadis itu memang memilih untuk damai karena entah kenapa, firasatnya buruk kalau mereka berbuat sesuatu.
"Ada gosip baru yang terlewat? Selain persoalan reshuffle?"
"Kasus Swastika Eka Graha."
Sebelah alis Zakiya terangkat. "Kasusnya Lona?"
Revan mengangguk. "Kita udah ketemu sama staf-stafnya. Mereka gak dipecat tapi gak digaji juga. Akhirnya memilih untuk keluar saja. Dari pada disiksa kayak gitu kan?"
"Terus?"
"Konsultan itu dilindungi."
"Busuk!"
Revan terkekeh. Hal semacam ini sudah biasa terjadi.
"Siapa yang melindungi?"
"Para pejabat yang ada di belakang perusahaan-perusahaan yang pengelolaan limbahnya bermasalah itu dan....."
"Dan?"
"Dinas Lingkungan. Mereka berkongkalingkong. Perusahaan kan mengurus perizinan lingkungan di Dinas Lingkungan. Lalu untuk urusan proyek kewajiban mengukur kualitas lingkungan per semester dan wajib dilaporkan ke dinas itu, dilempar ke Swastika. Mereka dapat proyek sekian terus bagi-bagi jatah nya sama orang dinas. Kalo Swastika diseret, otomatis lo tahu kan siapa yang akan ikut terseret?"
"Dinas Lingkungan dan para pejabat yang ada di belakang perusahaan bermasalah itu?"
Revan menjentikan jarinya. "Yang paling kasihan, dua cewek itu."
Kening Zakiya mengerut. "Dua cewek?"
Revan mengangguk. "Orang yang lo kasih kontaknya itu namanya Echa. Dia gak sendiri. Temannya namanya Nabila. Mereka otomatis jobless kan. Lalu sekarang lagi dipersulit untuk mencari pekerjaan."
"Karena orang-orang di Swastika?"
Revan mengangguk.
"b******k banget mereka."
Revan tertawa mendengar makian itu.
@@@
Akhirnya ia pulang juga ke rumah. Ibunya menggelengkan kepala. Anaknya memang jarang pulang. Kalau pun pulang, biasanya pergi lagi. Entah urusan apa. Yang jelas ada saja urusannya. Ia hanya bisa geleng-geleng kepala. Sementara Zakiya melepas lelah. Ia tidur sangat pulas hingga menjelang Magrib. Lalu kocar-kacir solat Ashar. Saling pulasnya. Semalam ia tak tidur sama sekali.
Usai solat Magrib, ia turun. Abangnya muncul dari depan. Baru pulang dari kantor.
"Kirain bawa cewek," celetuknya begitu Andra lewat. Cowok itu menggetuk kepalanya. Zakiya terkekeh.
"Emangnya gak ada?"
Mamanya kepo. Zakiya tertawa. Kalau ada pasti sudah dibawa ke rumah. Ia juga heran sama kakaknya yang satu itu. Satu perempuan pun eeh salah deh. Pernah ada perempuan yang dibawa ke rumah ini kok saat ada acara keluarga. Tapi itu pun sudah sangat lama. Haaah. Kalau ingat itu lucu saja.
"Enggak masih mikirin anak direktur rumah sakit itu kan?"
Zakiya tertawa. Padahal nama perempuan itu baru saja terlintas di kepalanya.
"Sayangnya gak jodoh, Ma."
"Mama suka loh. Anaknya solehah begitu. Cantik banget lagi."
Zakiya tersenyum kecil. Ia ingat perkara apa yang membuatnya berhadapan dengan Farras kala itu. Hahaha. Zakiya ingin tertawa. Ia sudah lama tak pernah bertemu Farras lagi. Sesekali paling sering bertemu Farrel atau Ferril. Kalau ada reuni sekolah, Farras juga jarang datang. Mungkin malas dengan mulut teman-teman sekolah mereka yang dulu pernah menggosipinya hamil duluan sebelum menikah.
"Kalo jodoh, Mama udah punya cucu kali ya."
Zakiya tergelak mendengarnya. "Dari pada mikirin cucu, mendingan didoain tuh anaknya."
"Kamu dulu atau Abang dulu?"
"Abang lah. Zakiya sih selow."
Ia masih belum berpikir ke arah sana. Apalagi dengan kesibukannya saat ini. Tapi Zakiya percaya kalau jodoh bisa datang kapan saja. Iya kan? Biasanya juga dengan cara yang tak terduga.
Mereka makan malam dengan khidmat. Hanya diskusi persoalan konferensi pers Zakiya saja.
"Kalo mau jadi politisi sekalian. Kalo cuma jadi aktivis itu nanggung."
"Politisi kalo kalah suara ya sama aja bohong, Pa. Kiya gak mau berdiri bareng sama mereka yang zalim."
Papanya terkekeh mendengar itu. Sudah dari dua tahun lalu Papanya menawarkan untuk membantunya menyalon jadi wakil rakyat. Tapi Zakiya menolak. Ia tak suka. Lebih enak seperti ini. Masing-masing orang kan punya cara untuk membela kebenaran. Iya kan?
Usai mengobrol sebentar, ia kembali ke kamar. Niat hati ingin membuka file-file tesis yang sudah lama ditinggal. Tapi begitu membuka email, ia malah kedatangan pesan asing. Bukan ancaman. Melainkan sebuah informan yang mengabarkan sebuah berita bagus dan meminta tolong kepadanya. Berkat konferensi pers itu, nama Zakiya memang banyak dibicarakan. Banyak yang langsung mengikuti akun media sosialnya bahkan menawarkan ta'aruf. Astagaa! Zakiya tak paham dengan orang model begini. Memangnya sebegitu mudahnya menawarkan ta'aruf pada seorang perempuan?
@@@