Sebaliknya, Zakiya justru berpikir kalau ada kemungkinan Shinta bersembunyi. Ia juga tak tahu kenapa ia bisa berpikir begitu. Mungkin merasa bersalah? Ah entah lah. Ia hanya merasa kalau kepribadian Shinta itu bukan tipe seperti itu. Tipe yang hemm....suka merugikan orang lain. Ia berpikir begitu. Tapi entah lah. Bisa saja Zakiya yang salah menilainya.
Zakiya dan Rangga kembali ke kantor. Berhubung Zakiya tak mau memikirkan itu, ia lebih memilih mengurus hal lain yang bisa mengalihkan perhatiannya untuk sementara. Lalu muncul panggilan telepon dari Ferril. Ia segera mengangkatnya. Sepertinya Ferril tahu banyak. Yeah, sebagai anak konglomerat yang Zakiya yakini bukan hanya sekedar mengurusi usaha, Ferril pasti memantau banyak hal kan?
"Lo di sebelah mana?"
"Gue dalem mobil. Yang hitam dekat plang gerbang masuk."
Zakiya mengiyakan. Lalu gadis itu berjalan menuruni tangga.
"Kiya?"
Ia menoleh. Rangga memanggilnya.
"Mau ke mana?"
"Keluar bentar, Mas."
"Ya elah, Mas. Kiya-nya mau keluar doang masa gak boleh sih?"
Yang lain mengolok. Zakiya dan Rangga sama-sama terkekeh. Ada-ada saja. Lalu Zakiya menemukan mobil Ferril yang benar-benar serba hitam. Mobilnya berbeda lagi. Tak heran, namanya juga konglomerat, pikirnya. Mungkin gaji Ferril bahkan sangat mumpuni untuk membeli mobil sejenis ini setiap bulannya.
"Mobil terbang bukan?"
Ferril terkekeh. Zakiya bahkan baru masuk. Zakiya mendengar kalau mobil terbang memang sudah banyak dijual secara komersil. Tapi untuk terbang di Indonesia pasti harus memerhatikan rutenya yang tidak sembarang. Meski tak setinggi pesawat tapi keselamatan di udara tetap harus diperhatikan.
"Jadi gimana?"
Ferril berdeham. "Ini konspirasi besar sih. Mereka memang kerja sama. Termasuk badan pajak."
Zakiya mengangguk-angguk. Ia sudah menduganya.
"Lo sengaja diseret supaya lo gak kadi bongkar kasusnya."
"Ngancem kan? Gue udah tahu sih."
Ferril mengangguk. "Kayaknya pagi ini mereka juga udah ngirim sirat ancaman ke bokap lo untuk tarik niat beli lahan itu. Karena mereka menganggap kalau itu masih sah lahan mereka."
"Tapi bokap gue bilang, surat-suratnya udah ada dari bank."
Ferril mengangguk. "Ya lo tahu lah gimana kotornya. Itu aja lahannya dulu mereka rampas dari warga sekitar. Sekarang udah pada pindah karena lahan mereka mendadak dijual begitu aja ke pihak perusahaan. Pihak perusahaan bekerja sama dengan pemerintah setempat saat itu. Itu lebih parah lagi sih. Karena pemerintah desanya bersiasat meminta sertifikat tanah warga. Karena gak curiga, mereka kumpulin. Ternyata malah begitu."
Zakiya mengangguk-angguk. Ternyata sudah dari lama biang kotornya itu. "Biasanya kalau dari bawah kotor, ada kemungkinan sampai puncak tertinggi juga kotor?"
"Itu ahdus ditelusuri dulu busuknya di mana. Cuma kalo pemberitaannya sudah sebesar ini bahkan yang punya perusahaan aja gak gerak untuk berhentiin ya berarti udah jelas kalau itu perintahnya. Sekarang mereka lagi berusaha bangkrutin perusahaan bokap lo sebagai konsekuensi dari keberanian lo dan bokap lo dalam menghadapi mereka."
Zakiya menghela nafasnya. Gadis itu menyandarkan punggungnya. "Yang nyadap?"
"Kepolisian lah. Kan ditugasin. Surat panggilannya udah nyampe ke elo?"
Zakiya menggeleng. "Itu gimana sih? Kok kayak kacau gitu? Masa udah tersebar?"
Ferril terkekeh. "Itu sih gampang, Kiya. Lo tahu kan dalang awalnya? Pasti disengaja lah. Itu tuh buat gertak lo."
Zakiya mengangguk-angguk. Ia juga sudah menduga. Analisisnya dengan Ferril memang sama persis. Tidak ada yang meleset. Dunia jurnalis ya memang begini. Apalagi yang berkarir di televisi nasional seperti Shinta tentunya lebih mengerikan.
Malamnya begitu tiba di rumah, ayahnya menunjukan surat ancaman dari perusahaan sebelah. Zakiya membacanya sepintas.
"Kamu buat aja beritanya."
Zakiya tersedak. Kaget lah. Ayahnya berani sekali? Ini malah membuat mereka semakin memberingas.
"Pa, perusahaan Papa bisa di ujung tanduk beneran kalau begini?"
Papanya justru tertawa. "Sejak kapan anak Papa jadi takut begini?"
"Bukan takut. Tapi ini kan menyangkut perusahaan. Orang-orang di dalamnya masih butuh pekerjaan. Kalau Papa sih enak masih banyak duitnya. Lah mereka? Kan belum tentu. Apalagi dengan posisi terancam kayak gitu."
"Gak usah takut. Kan belum terjadi," tutur Papanya santai. Zakiya mengamati sikap Papanya yang bisa sesantai itu. Yaa ia tahu sih kalau uang memang bosa dicari di mana saja. "Biar saja pemerintah yang tanggung jawab. Papa mau coba bikin surat ke pemerintah melalui media massa. Kamu bikin aja berita tentang surat ancaman ini. Besok pagi-pagi juga udah ada surat dari Papa kok. Ya kalau mereka mau membangkrutkan perusahaan Papa silahkan. Asal pemerintah mau tanggung jawab sepuluh ribu karyawan Papa."
Zakiya tersenyum kecil. Salut sih. Kalau yang lain mungkin sudah ketakutan. Papanya malah sebodo amat. Akhirnya ini justru membuat Zakiya makin semangat untuk membuat pemberitaan besar mengenai penggelapan pajak yang dilakukan oleh perusahaan itu. Ia bahkan sampai begadang hingga jam tiga pagi. Setelah mengirim semuanya, ia terlelap. Lelah sekali. Mengurusi semua hal yang menguras emosi juga tenaga.
@@@
Berita yang dibaut Zakiua secara mendadak hingga begadang itu akhirnya rilis. Tentu saja bukan atas nama Zakiya tapi atas nama Rangga. Sengaja dibuat begitu biar lebih objektif. Bagaimanapun Zakiya kan anaknya dari pemilik perusahaan. Rangga juga melempar isu ini pada seniornya dan mereka tertarik untuk memberitakannya. Tak heran kalau setengah jam kemudian, ada berita juga yang rilis dari mereka. Isinya memang tak berbeda jauh. Masih soal surat ancaman itu dan juga surat dari ayahnya Zakiya pada presiden. Dua berita itu mendadak menjadi topik terhangat yang sering dibicarakan oleh para jurnalis. Meski tak banyak media massa yang memberitakannya. Yaa sudah jelas lah bagaimana ketimpangan ini terjadi sejak awal. Namun Zakiya lebih pintar lagi. Ia bekerja sama dengan Ferril. Ferril yang membantu menaikan beritanya secara diam-diam dengan buzzer-buzzer yang dimiliki. Buzzer itu harus digunakan untuk menaikan kebenaran bukan sebaliknya. Makanya, ini sangat tepat dilakukan.
"Pantau teruuuus," gumam Revan. Zakiya terkekeh. Ia tahu kalau cowok itu sibuk terus di depan laptop untuk memantau berita mereka agar tidak tenggelam. Tapi ternyata memang membuahkan hasil. Berkat kerja sama dengan Ferril, berita itu akhirnya menjadi trending sekitar jam tiga sore. Berita tentang surat ancaman yang diterima oleh ayahnya Zakiya yang berhasil naik.
Mendadak banyak orang yang membicarakan. Para jurnalis sudah tak merasa heran. Ini bukan perkara aneh lagi. Sudah biasa. Bahkan ini terlalu jelas. Tak heran kalau ayah Zakiya mendadak dikejar-kejar oleh beberapa media massa yang mulai berbalik arah untuk memberitakan ini karena iming-iming trending itu. Bagi media massa semacam ini, berita adalah bisnis.
"Rencana selanjutnya apa, Mas?"
Lona sangat tertarik dengan pemberitaan ini. Sementara liputan mereka justru ditahan dulu. Biar beritanya tak tenggelam. Lona masih terus memantau perkembangan informasinya juga dari rekannya yang ada di Lamongan dan Surabaya.
"Kita siapkan beritanya!"
Yang lain langsung berseru. Usai magrib, berita selanjutnya sengaja mereka rilis. Berita apa? Tentu saja kronologi penggelapan uang dari informan mereka, Nando Ignatius. Zakiya belum berani menemuinya. Disaat pelik begini pasti tak memungkinkan. Yang ada, kecurigaan mereka akan semakin menguat. Padahal itu hanyalah fitnah semata.
Zakiya ikut memantau perkembangan berita yang baru mereka rilis. Kali ini tentu saja ditulis oleh Zakiya sendiri dan dibantu dengan Rangga. Mereka juga menulis berita tambahan dibalik layar liputan mereka ke Singapura. Itu ide dari Rangga. Setidaknya mereka sempat berfoto bertiga saat makan siang itu sehingga foto itu lah yang sengaja disebar dengan menyematkannya menjadi berita. Nama Shinta sengaja dibawa. Bahkan tiket pesawat Zakiya dan Rangga juga sengaja disebar. Hanya milik Shinta yang tak ada. Tapi tentu saja itu semua bisa dicek di imigrasi dan bandara. Ya kalaupun mereka benar-benar mau menginvestigasinya. Selain itu, di dalam kronologi juga sudah jelas sebetulnya. Zakiya menulis secara lengkap awal Nando menghubunginya. Terserah orang mau percaya atau tidak. Memang secara tak langsung, Zakiya membantah semua pemberitaan itu.
Zakiya pulang ke rumah setelah urusan selesai. Tiba di rumah, ia justru mendapatkan surat kejutan dari kepolisian. Surat apa? Tentu saja surat panggilannya sebagai saksi perkara tindak pidana pencucian uang, pemalsuan, dan penipuan. Ia geleng-geleng kepala. Masih berani juga mereka mengirimkan surat ini?
"Surat itu nyampe tadi pagi."
"Yang nganter siapa, Ma?"
"Tukang pos. Terus dititipi ke satpam."
Aaaah. Zakiya mengangguk-angguk. Mungkin dikirim pagi-pagi atau semalam. Tak heran kalau tak tahu akan ada pemberitaan darinya. Usai mandi, Zakiya langsung melapor pada Rangga. Rangga juga tertawa begitu mengetahui hal itu. Lelaki itu langsung bergegas membuat surat ke kepolisian. Mereka jelas merasa keberatan atas surat panggilan ini. Karena keberangkatan mereka ke Singapura adakah suatu rahasia pekerjaan. Bagaimana mungkin bisa dijadikan tersangka dengan semena-mena? Juga segala tuduhan dari pemberitaan itu sangat tak masuk akal.
Rangga juga masih terus mencari tahu keberadaan Shinta. Saat bertanya keberadaan Shinta di kantor gadis itu namun diberitahu kalau sedang cuti, ia juga menanyakan alamatnya. Alamat tempat tinggal yang untung saja diberikan. Maka malam ini, usai membereskan semua pekerjaan, ia pergi mencari alamat itu. Tak susah sebetulnya. Shinta ternyata tinggal dis sebuah apartemen yang cukup elit. Hal yang membuat Rangga mengerutkan kening. Tentu saja merasa ganjil. Gaji jurnalis setingkat Shinta memang mumpuni tapi kalau bulanan apartemennya sampai empat puluh atau lima puluhan juta, bukan kah menjadi tanda tanya juga?
Rangga tentu tahu tarif-tarif apartemen di Jakarta. Apalagi apartemen di kawasan elit. Ia perlu informasi semacam itu untuk pekerjaannya ini. Makanya ia merasa ada yang ganjil. Tapi Rangga tak mau bersu'uzzan dulu.
"Silahkan gunakan akses ini, Pak."
Rangga mengangguk. Untung saja ia masih bisa naik ke atas. Lalu dengan sebuah kartu, ia bisa menjalankan lift hingga mengantarnya ke lantai di mana apartemen Shinta berada. Tiba di depannya, ia memencet bel. Namun sayangnya tak ada jawaban. Ia merasa aneh. Akhirnya ia mencoba menghubungi salah satu kerabat Shinta yabg ia kenal. Keluarganya memang cukup mengenal keluarga Shinta.
"Shinta pulang ke Jogja ndak, Yu?"
"Ndak lah, Mas. Lagi sibuk-sibuknya pasti di Jakarta."
Rangga menghela nafas. Lantas ke mana gadis itu? Kenapa tak terlihat sama sekali? Ia heran. Benar-benar heran. Sekali lagi, ia mencoba memencet bel. Namun tetap saja tak akan ada yang keluar karena apartemen itu memang benar-benar kosong. Setelahnya, ia kembali ke mobil dan berupaya untuk berpikir dengan cepat. Jemarinya menggetuk-getuk setiran mobil. Ia memang berpikir keras tentang apa yang mungkin terjadi pada Shinta. Rangga tahu kalau memang banyak kabar miring soal jurnalis-jurnalis cantik yang bekerja di The Asean Post. Soal karir yang dibayar dengan tubuh. Baik laki-laki maupun perempuan. Mengerikan bukan? Ya tapi dianggap lumrah. Namun Rangga tak pernah berpikir kalau mungkin saja karir Shinta ayang bisa naik selama beberapa tahun terakhir dengan cara itu. Ia menggelengkan kepala. Tak mau berpikir buruk. Akhirnya ia menyalakan mesin mobil dan memutuskan untuk pulang saja.
@@@
Pagi-pagi sekali, Rangga sudah sibuk. Ya lelaki itu memang selaku sibuk. Mereka sedang bersiap untuk mengirimkan surat keberatan atas surat panggilan dari pihak kepolisian. Ia juga memberikan keterangan, kalau mau memanggil ya harusnya yang dipanggil bukan Zakiya melainkan orang yang memberikan tugas. Dan itu jelas orangnya adalah Rangga. Bahkan Rangga juga ikut ke Singapura kan? Masa tak terkena apapun? Itu sungguh ganjil.
"Harusnya berita mereka lebih hot lagi ya, Mas?"
Lona mengolok. Rangga tertawa. Lona benar juga. Harusnya ia juga dilibatkan dengan seksi dalam pemberitaan-pemberitaan itu. Tidak dibiarkan begitu saja. Sepertinya mereka mungkin terlalu ceroboh atau bagaimana? Ah entah lah. Rangga tak pernah tahu. Tapi yang terjadi sebenarnya adalah Shinta tak mau nama Rangga ikut naik ke dalam berita. Yah, semua memang berawal dari Shinta.
Sejak pulang dari Singapura siang itu, ia langsung dicegat oleh atasannya. Direktur mereka. Pemberitaannya semua diambil. Ia juga diminta untuk membeberkan jurnalis yang terlibat dalam hal ini. Shinta hanya menyebut nama Zakiya karena takut terjadi sesuatu pada Rangga. Karena apa? Rangga itu spesial dihatinya sejak dulu. Ia sudah menyukai Rangga namun sepertinya Rangga tak membalas perasaannya. Kadang ia juga bingung dengan perasaan Rangga. Apalagi perhatian yang ditunjukan seolah-olah menyukainya padahal itu hanyalah bentuk perhatian karena mereka sama-sama orang Jogja.
Lalu di mana Shinta sekarang? Gadis itu diikat di sebuah ruangan yang sangat mewah di Jakarta. Berhubung sempat memberontak karena urusan pemberitaan itu, ia terpaksa ditahan.
"Karirmu bisa habis Shinta kalau berani-beraninya mengkhianati kami."
Begitu kata-kata bosnya ketika malam ini baru saja keluar dari kamar penyekapan. Ia hanya bisa menangis. Kalau kata orang, apa yang kau tanam maka itu lah yang akan dituai bukan? Sejak awal masuk, Shinta terlalu berambisi untuk menjadi jurnalis terkenal dan terbaik di dunia media. Ia memang sudah mendapat posisi itu. Tapi akan seberapa lama cara kotor bertahan?
Bukan dengan sogokan uang tapi dengan badan yang semua orang juga tahu. Bahkan bukan hal aneh lagi di kantornya. Awalnya ia memang ketakutan. Karena belum pernah melakukan hal semacam itu. Namun nyali mulai timbul karena keberhasilan cara pertama ketika ia akhirnya masuk sebagai jurnalis di perusahaan. Perekrutannyanh tak wajar dan penuh dengan pelecehan menjadi tak masalah selama ia bisa menggapai mimpi-mimpinya. Namun semua mulai berubah selama beberapa bulan belakangan ini. Ia sudah seperti p*****r yang tubuhnya sengaja dijual oleh para atasannya secara bergilir pada yang lain. Iming-iming uang dan jabatan memang didapatkan. Namun kalau ia berani menolak sedikit saja, ia akan habis. Seperti sekarang. Di mana ia tak berdaya dengan ditemani air mata. Benar kata orang kalau mengejar sesuatu itu jangan jadikan itu sebagai Tuhan. Karena ambisi semacam itu pada akhirnya akan membawa ke jurang kematian.
@@@