Kening Zakiya mengerut. Ia baru saja tiba di kantor dan Lona sudah memberinya sebuah undangan.
"Lo nikah?"
"Amiiin!"
Zakiya terkekeh. Berarti bukan undangan pernikahan Lona. Lagi pula, bentuk amplopnya terlalu resmi. Akhirnya ia duduk dulu baru kemudian membuka isinya. Undangan apa? Aha undangan diskusi terkait etika pers yang ingin mengulik permasalahan Zakiya yang katanya bekerja sama dengan tersangka utama untuk memberitakan kasusnya di media massa. Zakiya dituduh menyalahgunakan identitasnya sebagai jurnalis untuk urusan ini. Entah dari sebelah mananya, ia sampai dituduh seperti itu. Zakiya juga tak paham.
Selain urusan itu kan, ia juga dituduh menjadi orang ketiga. Meski pihak Nando sudah berusaha membantahnya, kabar itu tetap saja menjadi kabar yang cukup panas. Zakiya sudah tak peduli lagi. Terserah lah, pikirnya. Orang mau percaya atau tidak pun, ia sudah tak mau peduli.
"Gue gak yakin sih itu bisa ngebantu atau enggak."
"Udah jelas kali, Na. Yang nyelenggarain aja gak jelas. Sejak kapan ada ikatan alumni jurnalis coba? Fikiran jurnalis bukan kampus?"
Zakiya tertawa. "Dalangnya siapa sih?"
"Kalo dilihat dari surat penyelenggaranya si Sukiman, mantan direktur The Asean Post!"
Aaaaah. Yang lain ternganga lantas tertawa. "Kalau itu sih udah jelas kali!"
Zakiya juga tertawa. "Kalo pada mau datang, datang aja."
"Lo gak? Mereka khusus ngundang lo sebagai narasumber tahu! Kan kasihan!"
Mereka malah mengolok. Zakiya terpingkal. Ogah! Untuk apa datang? Yang ada, ia pasti akan dipojokkan habis-habisan. Alih-alih datang ke sana, lebih baik ia mengisi sebuah acara. Ia mendadak diundang sebagai salah satu narasumber dalam pelatihan jurnalistik. Keren kan? Padahal Zakiya tak pernah mengimpikan ini sebelumnya. Berpikir saja tak pernah. Lalu tiba-tiba seperti ini. Menyenangkan sekali.
Ia sibuk sampai dua hari kemudian dan mengisi acara di pelatihan itu. Sementara beberapa temannya memutuskan untuk datang ke forum diskusi itu. Banyak kejadian lucu di sana. Tapi....
"Lo di mana?"
Ferril menghubunginya lagi. Kalau sedang begini, biasanya Ferril tak begitu jauh dari kantornya Mas Rangga.
"Kenapa? Gue masih ngisi acara gitu."
"Gue di atas. Lo ke lantai 40 aja."
Aaaah. "Hotel punya Om lo ya?"
"Naik aja buruan. Penting nih."
Zakiya mengiyakan. Ia segera naik dan mendapat akses khusus. Lalu tiba di sebuah ruangan yang bagus. Isinya ada Ferril yang datang membawa secangkir kopi untuknya.
"Sepi amat."
"Biasa lah. Jam segini pada sibuk semua."
Zakiya mengangguk-angguk. Ia tak tahu ini tempat apa. Tapi mungkin sejenis tempat santai? Ah entah lah. Zakiya juga tak paham.
"Kenapa?"
"Lo gak penasaran soal forum diskusi etika pers?"
Zakiya tertawa. "Nanti gue juga dapet bocorannya dari temen-temen."
Ferril mengangguk-angguk. "Ya lo pasti tahu lah kalo forum itu dibiayai. Sengaja diadakan untuk menjatuhkan pamor lo."
Zakiya terkekeh. Ini sudah seperti dugaannya. Hal-hal yang sangat lumrah memang kerap terjadi ketika berurusan dengan politisi yang dibekingi konglomerat atau dengan konglomeratnya langsung.
"Selama lo gak berhenti untuk mengejar pemberitaan mereka--"
"Akan gue beritain terus!"
Ferril tergelak. Ini nih yang ia suka dari Zakiya. Makin diancam makin liar. Siapa suruh memancingnya lebih dulu? Motto hidupnya adalah jangan pernah takut dengan kejahatan karena mereka tidak akan pernah menang. Allah itu Maha Bijaksana. Skenarionya akan indah pada waktunya. Hari ini mungkin nama Zakiya yang meredup. Tapi nanti? Gantian mereka yang akan jatuh bahkan bisa jadi malah terjatuh selama-lamanya.
"Lagi pula, sejak awal adanya organisasi itu juga aneh. Ada gitu organisasi alumni jurnalis Indonesia? Kan aneh!"
Ferril terkekeh. "Kadang orang pintar bisa jadi bodoh karena lupa siapa Tuhannya, Kiya."
Zakiya mengangguk-angguk. Itu benar sekali. Kenapa mereka bisa lupa? Ya karena mereka menuhankan nafsu. Jadi tak salah kan kalau Ferril berbicara begitu?
"Echa gimana kabarnya?"
Ferril menghela nafas. Zakiya mengulum senyum. Ia sudah menduga kalau Ferril kehilangan jejaknya.
"Dia bener-bener gak terlihat. Mau gue cari sampai ke ujung dunia pun. Gue gak ngerti ya. Awalnya, gue mikir mungkin terjadi sesuatu yang buruk sama dia. Tapi akhir-akhir ini gue malah mikir kalo--"
"Kalo dia sengaja menghilang karena gak mau ketemu lo lagi?"
Ferril mengangguk-angguk. Tepat sekali ucapan Zakiya. Zakiya justru tersenyum kecil.
"Tapi kalo kayak gitu, dia seharusnya gak ninggalin banyak jejak buat lo, Ril. Pakek tertangkap di CCTV rumah sakit bokap lo segala. Kan aneh! Pasti terjadi sesuatu deh. Yakin deh."
Ferril menghela nafas. Ia hampir frustasi. Jujur saja, ini sudah tiga bulan semenjak Echa hilang tapi belum ia temukan. Nabila juga tak tahu. Gadis itu di Bandung. Ferril mengangkat kedua kakinya ke atas sofa panjang. Sedari tadi, ia memang duduk santai di sana. Zakiya duduk agak jauh, terhalang meja pula. Tapi masih berhadapan.
"Cewek itu susah dimengerti ya."
Zakiya terbahak. Baru kali ini ia melihat Ferril frustasi pada seorang cewek. "Bukannya antrian lo banyak ya? Yang penyanyi lah, terus model lah. Dan baru-baru ini siapa itu namanya?"
Ia agak-agak lupa.
"Gak usah dibahas deh."
Zakiya terpingkal. Bertemu Ferril memang semacam hiburan. Kadang mereka membahas suatu investigasi. Tapi ketika tidak begitu darurat begini ya bahas saja apa yang hendak dibahas.
"Tapi serius deh, Ril. Kalau gue yang diposisi Echa pun akan sama. Gue pasti menghindar."
"Ngapain menghindar?" ia songong. "Gue ganteng begini, tajir lagi."
Zakiya benar-benar terbahak dibuatnya. Yaaa seharusnya memang tka perlu heran dengan sikap Ferril yang narsis begini. Ia narsis juga masih sesuai dengan kenyataan. Toh Ferril memang ganteng dan tajir kan? Ia tak berhalusinasi. Itu adalah suatu realita yang tak bisa dibantah.
"Yang namanya perasaa itu beda, Ril. Gak ada sangkut pautnya sama muka dan dompet lo."
Ferril mendengus. Tapi di luar sana, masih banyak kok perempuan yang tertarik dengan kegantengannya dan dompetnya. Hahaha. Muak sebetulnya. Ferril juga sadar betul. Kadang ia merasa kalau hidup seperti Abangnya lebih enak. Lelaki itu kan tak begitu memiliki banyak jejaring pertemanan. Ya banyak sih tapi benar-benar jauh jika dibandingkan dengan Ferril. Apalagi dengan kejadian terakhir. Farrel agak-agak menutup diri terutama pada perempuan. Ia menjaga dirinya dan juga keluarga kecilnya. Karena kalau sampai hancur lagi, bisa benar-benar bubar.
"Terus apa alasan lo gak suka sama Abang gue?"
"Helaaaah!"
Zakiya jengah juga karena mendadak ditanya seperti itu. Hahaha. Itu kan sudah sangat lama berlalu. Untuk apa diungkit-ungkit lagi?
"Abang gue ganteng, tajir, dan soleh insya Allah. Kenapa gak mau?"
Zakiya terkekeh. "Beda lah, Ril. Beda dalam artian, pikiran gue belum sepaham dengan Abang lo. Saat itu, gue itu yaaa lo tahu sendiri lah aaah males deh gue kalo diketawain begini," dumelnya. Kesal karena melihat Ferril sudah terbahak sampai terduduk di lantai. Puas sekali menertawainya. Padahal di mana bagian lucunya coba?
Zakiya dulu kan pernah menjadi b***k cinta. Cinta mati sama seseorang sampai tak bisa melihat orang lain yang bahkan lebih baik. Termasuk Farrel kala itu. Yang menjadi acuan cintanya juga bukan landasan agama melainkan nafsu. Mengerikan memang tapi setidaknya ia sudah memperbaiki hidupnya. Yaa kalau ia bertemu lagi dengan Farrel dalam keadaan seperti ini mungkin ada kesempatan untuk menerima Farrel. Tapi kan lelaki itu juga sudah tak menyukainya lagi. Bahkan saat obrolan terakhir dengan Farrel di gerbang yayasan milik Farras bertahun-tahun silam juga masih Zakiya ingat. Obrolannya nyambung dengan Farrel. Ya dari duli juga nyambung sih. Tapi yang kala itu, mereka lebih ke agama lah istilahnya. Sama-sama tahu batasan. Jadi kemungkinan besar bisa saja bersama andai Farrel memang masih menyimpan rasa. Namun Farrel saja kala itu hanya senang saja dengan Zakiya. Senang dalam arti mereka bisa berhubungan baik kembali. Tak lebih dari itu. Lantas apa Zakiya kecewa? Ya tidak lah. Ia kan memang tak pernah ambil pusing dengan segala sikap Farrel. Sisi lelaki Farrel yang lemah itu membuat Zakiya juga baru menyadari kenapa Farrel dalam beberapa bulan kemarin terus diberitakan dengan banyak perempuan. Cowok itu memang lemah dan mungkin bingung bagaimana menghadapinya. Kesannya seperti tega padahal itu adalah bentuk kejengahannya terhadap para perempuan yang terkadang pergerakannya sudah terlalu melampaui batas.
Yang penting, ia senang sih karena tampaknya Farrel sudah bahagia dengan istrinya sekarang. Ia tak tahu bagaimana kabarnya tapi kemungkinan besar sudah baik-baik saja. Ya memang benar. Buktinya istrinya Farrel juga sudah hamil. Setelah sempat kehilangan anak pertama, mereka akhirnya mendapat titipan lagi. Itu adalah anugerah yang sungguh besar.
Keluar dari ruangan Ferril yang Zakiya menyebut itu sebagai tempat tinggal rahasia, Zakiya segera berangkat ke kampus. Dalam waktu dekat, ia akan seminar proposal dan sekarang memang perlu ke kampus untuk obrolan itu dengan dosen pembimbingnya.
"Ada apa, Mas?"
Ada telepon masuk dari Rangga ketika ia baru saja memundurkan mobil.
"Kamu di mana, Kiya?"
"Di jalan, Mas. Baru banget keluar dari tempat pelatihan itu. Ada apa?"
"Oooh," Rangga menghela nafas lega seketika. "Mas kira kamu ke forum diskusi itu."
"Enggak lah. Kan aku udah bilang izinnya ke Mas. Lupa ya?"
Rangga terkekeh. Ia terlalu sibuk sampai tak begitu memerhatikan pesan-pesan masuk dari orang-orang.
"Iya. Di sini banyak sekali yang harus diurus. Kamu akan ke kantor?"
"Oh enggak, Mas. Tadinya memang mau ke sana. Tapi sepertinya aku harus ke kampus dulu. Mau ketemu dospem."
Rangga tersenyum kecil. "Ya sudah. Hati-hati ya, Kiya."
Kiya mengiyakan. Gadis itu mengucap salam sebelum mematikan telepon dan ia kembali fokus dengan setiran mobilnya. Perjalanan menuju ke Depok terasa sangat panjang.
@@@
Ternyata usai pulang dari forum diskusi abal-abal itu, Lona, Revan, Indra, dan yang lainnya mengomel-omel. Hahaha. Bahkan Revan sempat marah-marah ketika berada di forum diskusi tadi. Yaa seperti yang telah diperkirakan, mereka memang seolah mengadakan forum diskusi itu untuk mengadili Zakiya secara sepihak. Sementara orang yang diadili justru tak datang. Itu kan namanya tak adil. Mereka bahkan tak mengorek informasi dari sisi Zakiya, itu lebih m*****i etika jurnalis sebetulnya. Yang namanya isi berita saja kadang harus berimbang antara narasumber dan pihak-pihak terkait yang mungkin bermasalah. Tidak bisa mengadili tanpa yang dijadikan tersangka malah tak ada.
Zakiya hanya terkekeh. Ia membaca semua omelan itu di dalam grup. Bahkan banyak sekali video-video dari forum itu. Zakiya tak tertarik untuk memperbesar masalah itu. Ya biarkan saja uang harap yang mereka dapat dari mengadakan acar situ menjadi daging dosa di dalam tubuh mereka. Apa tak takut? Sepertinya mereka memang tak takut. Malah makin betah mungkin dengan banyaknya uang haram itu.
Zakiya yang digunjing, gue yang gak terima. Masa mereka lo bersekongkol dengan Nando dan perusahaan bokap lo untuk jatohin Abdi Negoro. Padahal jelas, mereka yang berulah lebih dulu. Harusnya mereka sadar diri dong. Ini dunia makin aneh-aneh aja.
Zakiya tersenyum kecil. Ia melanjutkan perjalanan menuju rumah. Tak perlu dipikirkan hal-hal semacam itu. Ia terbiasa untuk santai dalam menghadapi segala sesuatu seperti ini. Sejak menjadi aktivis kampus, ia sudah terbiasa dengan ancaman. Apalagi kalau sibuk demo dulu. Baaaah! Ancama drop out dari kampus saja sudah pernah ia dapatkan. Pernah masuk penjara perempuan beberapa kali juga. Zakiya sudah kebal dengan segala hal ini. Meski ia bukan tipe perempuan yang bisa silat atau bela diri lainnya namun cukup satu hal saja yang terpatri di dalam kepalanya. Satu hal yang akan membuatnya kuat dalam menghadapi segalanya. Apakah itu? Tahu apa?
Tentu saja kenyataan adanya Allah selalu bersamanya. Ya kalau yang lain mungkin berpikir bahwa hidup itu akan terasa sempurna dengan hadirnya pasangan bukan? Sementara Zakiya merasa kalau hidupnya sudah sempurna dengan hadirnya Allah. Pasangan itu bonus. Lagi pula, yang namanya jodoh itu tak ada yang tahu. Belum tentu kan ia dipertemukan dengan jodohnya di dunia. Bisa saja di akhirat. Seperti almarhum dari adik kakeknya yang menjadi perawan tua hingga tua. Yaa ikhtiar mencari jodoh mungkin sudah dilakukan. Tapi takdirnya Allah itu adalah nenek itu tetap sendiri hingga akhir hayatnya. Ya tak masalah. Ia banyak memiliki cucu-cucu termasuk Zakiya yang tak akan lupa untuk mendoakannya. Aah kalau mengingat ini, ia ingin menangis rasanya.
Kematian itu selalu terasa dekat bagi Zakiya. Dalam setiap detik, ia bisa merasakan seperti diikuti oleh malaikat maut. Ia tak tahu kapan ajal akan datang. Entah esok hari, seminggu lagi, sebulan lagi, setahun lagi. Ia benar-benar tak tahu. Makanya manusia disuruh hidup sebaik-baiknya. Iya kan? Karena mereka tak pernah tahu kapan ajal akan menjemput.
Seandainya manusia diberikan kesempatan untuk melihat tanggal dan waktu kematiannya mungkin semua orang akan berbuat semena-mena lalu bertobat menjelang matinya. Itu sungguh mengerikan. Karena dunia ini bisa hancur kalau begitu adanya. Maka itu, Maha Baik dan Maha Kerennya Allah dalam membuat bumi ini. Ia bahkan membuat manusia bisa lupa dengan janjinya sebelum turun ke bumi ini. Bukan kah mereka berjanji untuk menjadi sebaik-baiknya manusia? Lantas kenapa kebanyakan dari mereka malah terlupa? Aah sudah lah. Dunia itu benar-benar mengerikan karena ia bisa menghanyutkan orang-orang ke dalam sungai dosa yang tak akan pernah ada habisnya. Iya kan?
Tiba di rumah, Zakiya memarkirkan mobilnya. Eeh mobil abangnya sih. Hahaha. Ia baru saja turun dari mobil ketika melihat ibunya bersandar di pintu sambil melipat kedua tangan di depan d**a. Kepalanya menggeleng-geleng. Ada apa kah? Ini terasa ganjil.
"Abangmu itu," tukasnya ketika Zakiya datang untuk menyalaminya. Setahunya Abangnya pulang hari ini. Tapi ia tak bisa menjemput jadi mungkin sudah tiba di rumah?
"Kenapa Abang?"
"Baru pulang terus minta Mama lamar perempuan untuk dia."
Zakiya ternganga lalu ia tertawa. Matanya tentu saja berbinar. Asyik sekali, karena ke luar negeri dapat jodoh. Sahabat abangnya yang masih jomblo akan menangis mendengar berita ini. Hahaha.
"Sama siapa?"
Mamanya mengendikan bahu. Tak ada yang tahu.
@@@