Setelah sehari Leo berdiam diri di rumah, akhirnya hari ini Leo pergi ke kantor bersama Papanya. Sedangkan Lita tetap di rumah. Karena cuti menikah yang sudah diajukan oleh Riana selama tiga hari. Membuat Lita bosan harus menghabiskan waktu tanpa melakukan apa pun selain makan, tidur, dan menonton acara televisi yang sama sekali tak menarik sepanjang hari di paviliun. Berharap hari cepat berlalu dan ia bisa memiliki kesibukan rutinnya seperti biasa.
“Leo sepertinya akan pulang terlambat. Banyak yang harus Leo pelajari,” ujar Riana saat turun ke bawah. Yang sama sekali tak ada hubungannya dengan Lita yang melihat ke arah kursi tempat Tama biasanya duduk memimpin makan malam. Papa tirinya itu memang jarang makan malam di luar dan selalu pulang tepat waktu. Yang membuatnya dan Riana lebih sering lembur.
Setelah makan malam Lita pergi ke kamar atasnya untuk mengambil beberapa barangnya yang masih tertinggal di sana sebagai alasan. Kamarnya sudah nyaris kosong dan tak ada apa pun yang tersisa selain tumpukan buku yang ada di rak setinggi dua meter di samping jendela. Yang juga hendak dipindahkan oleh mamanya ke paviliun dan segera ia cegah. Setidaknya ia punya alasan untuk pergi ke sini.
Setelah mengambil buku bacaan yang sudah ia baca tiga kali dan berharap waktu bisa cepat berlalu sebelum kembali ke rutinitasnya. Ia baru membaca di halaman ke lima belas ketika suara pintu paviliun terbuka, kemudian langkah mendekat menghampiri pintu kamar.
Lita menoleh melihat Leo masuk. Wajah pria itu tampak lelah dengan rambut sedikit kusut dan dasi yang dilonggarkan. Sepertinya hari pertama Leo pergi ke kantor membuat pria itu kesulitan. Lita tak beranjak dari dudukku untuk menyambut kedatangan suami atau mengambil jas serta tas kerja seperti yang dulu biasa ia lakukan pada Samuel. Ya, sulit menatap Leo sebagai seorang suami yang harus dilayani, karena Leo sebagai adik sudah tertanam dalam di otaknya.
Kalau pun dulu Lita membantunya mengikat sepatu, membenarkan kerah kemeja, atau memilihkan baju yang cocok untuk dipakai, itu pun semata karena Lita melakukannya pada anak yang sudah ia anggap sebagai adik kandungnya sendiri. Dan menyadari hubungan sebagai suami istri yang sudha terjalin di antara mereka, selalu membuat Lita canggung saat menatap wajah Leo. Ada sesuatu yang tersa tidak pada tempatnya.
“Aku ingin minum,” ucap Leo ketika duduk di pinggiran ranjang sambil melepas sepatunya tanpa menatap ke arah Lita.
Lita bergeming di sofa mendengar permintaan pria itu.
“Tolong berikan aku segelas teh hangat,” ulang Leo melihat Lita yang duduk mematung di sofa dengam buku di pangkuan.
Lita mengerjap dengan kata tolong yang diucapkan di antara kelesuan yang menyelimuti raut Leo. Seakan pria itu bersungguh-sungguh meminta tolong padanya. Tanpa sepatah kata pun Lita berdiri dan segera berjalan keluar kamar. Tak cukup enggan dan tak cukup bersemangat seperti bantuan-bantuan kecil yang dulu pernah ia berikan pada Leo.
Lita kembali ke paviliun tepat ketika Leo keluar dari kamar mandi. Hanya mengenakan handuk yang tersampir di pinggang. Lita memalingkan wajahnya, “Tidak bisakah kau berpakaian di dalam? Kau tahu kau tak hidup sendirian di ruangan ini, kan?”
Gerakan tangan Leo yang sedang mengeringkan rambut dengan handuk di kepala terhenti. Menatap Lita yang berdiri di ambang pintu memunggungi dengan nampan berisi cangkir teh yang masih mengepulkan asap.
‘Kita sudah menikah.” Kalimat itu sudah berada di ujung lidah Leo ketika Leo kembali menimbang dan mengurungkan niatnya. Pernikahan mereka begitu mendadak dan pasti sangat mengejutkan bagi Lita. Leo pun berjalan ke arah lemari, mengenakan pakaian tidurnya dengan segera.
Lita yang bisa mendengar suara pintu lemari dibuka memilih menunggu Leo selesai berpakaian sebelum berbalik dan memberikan teh hijau panas pada Leo dan langsung naik ke kasur. Berbaring di sisi ranjang paling ujung sembari menyelimuti tubuhnya.
Pagi itu Lita bangun dan melihat Leo sudah rapi sedang menyimpul dasi di depan cermin. Lita masuk ke kamar mandi dan keluar sepuluh menit kemudian melihat Leo masih berdiri di depan cermin. Masih dengan dasi yang belum tersimpul.
“Bisakah kau membantuku?”
Lita terpaku. Sekilas ingatan berkelebat di kepalanya.
‘Kau sudah sebesar ini dan masih belum bisa menyimpul dasimu sendiri?’
‘Kenapa aku harus belajar menyimpul dasi jika kakak bisa melakukannya untukmu?’
‘Dan aku tak tahu kenapa aku belajar menyimpul dasi untukmu.’
‘Karena kau kakak terbaikku.’
Lita mengerjap dengan cepat bersamaan ingatan itu mengabur. Menampilkan Leo yang berdiri menghadapnya dengan dasi menggantung pilu di depan d**a. Lita berjalan mendekat, tangannya langsung bergerak dengan lihai dan masih mengingat dengan jelas bagaimana cara melakukannya dengan tepat dan benar. Sesuatu yang tak pernah dilakukannya pada Samuel ketika mereka masih menikah.
Lita mendesah dalam hati ketika mengingat pernikahan sebelumnya. Samuel pria yang sempurna. Sangat sempurna hingga tak pernah meminta bantuan ataupun perhatiannya sebagai seoarng istri.
Tugasnya sebagai istri Samuel Evio hanyalah menyambut pria itu dengan senyum, mengambil tas serta jas, dan menyiapkan makanan dan minuman pria itu karena atas inisiatifnya sendiri. Samuel pun hanya membiarkan apa pun yang ingin Lita lakukan.
“Terima kasih,” ucap Leo membuyarkan lamunan Lita.
Lita tersadar, menarik tubuhnya menjauh dan keduanya berjalan bersama ke rumah utama untuk makan pagi. Mama menyambut keduanya dengan senyum bahagia, dan Riana sesekali melemparkan tatapan menggoda yang dibalas pelototan dingin oleh Lita. Kakak tirinya itu sengaja duduk di samping Mama, meninggalkan kursi yang membuat Lita mau tak mau duduk di samping Leo. Bahkan formasi meja makan mereka sudah kembali ke bentuk semula sebelum Leo meninggalkan keluarga ini. Walaupun makan pagi itu terasa lebih hening dari biasanya. Sesekali terdengar papa tirinya yang ingin diambilkan ini itu kepada mamanya. Keduanya masih terlihat sangat mesra di usia yang sudah lebih dari setengah abad. Dan ...
Prraaangggg ....
Suara benda pecah dari arah ruang tamu membelah keheningan di ruang makan. Mengalihakn perhatianku dari piring. Tama, Amira, Riana, dan Leo melakukan hal yang sama.
“Leo!!!!” Lita tersentak mendengar suara jeritan yang sangat keras tak jauh dari tempat mereka. Suara nyaring dan penuh kemarahan yang terasa begitu akrab. Itu Olivia, batin Lita. “Leo!! Lepaskan, aku ingin bicara dengan Leo!!!”
Lalu bunyi hak sepatu yang beradu dengan lantai marmer semakin jelas ke arah ruang makan. Leo berdiri dari duduknya dan berjalan menghampiri sosok yang bahkan belum muncul dari arah lorong.
Kegeraman tampak jelas ditunjukkan dari langkah Leo yang menghantam lantai. Kedua tangan pria itu terkepal dan Lita yakin wajah pria itu menggelap total.
Lita berdiri dari duduknya, ketika Olivia muncul dan langkah Leo terhenti. Keduanya slaing berhadap-hadapan dengan aura permusuhan yang begitu kental.
“Apa lagi yang kaulakukan di sini?” geram Leo tepat di depan wajah Olivia.
Olivia seolah tak terpengaruh oleh geram kemarahan Leo. Kepala wanita itu berputar, seolah mencari dan berhenti ketika melihat Lita. Menampilkan seringai tamak dan jahat di susut bibirnya sebelum berkata tanpa melepaskan tatapannya dari Lita. “Aku hamil.”
Lita terkesiap, dan kesiap mamanya serta Riana bahkan lebih keras.
Pandangan Olivia beralih ke arah Leo seraya melemparkan benda kecil panjang ke arah Leo. “Anak kita.”
***