Part 2

1064 Kata
Perjalanan pagi Lita dan Riana berjalan lancar. Lalu lintas lancar, tidak ada kemacetan yang menghalangi perjalanan pulang mereka sehingga keduanya sampai di rumah tepat jam delapan pagi. “Bukankah itu mobil Leo?” Suara Riana yang tengah mematikan mesin mobil membuat Lita menoleh dan mengikuti arah pandangan wanita itu. Melihat sedan hitam dengan plat yang sudah sangat Lita hapal, hanya saja penampilan mobil itu sangat lusuh. Tampak debu yang cukup tebal melapisi seolah-olah tak pernah dicuci. Mobil semahal itu menjadi terlihat lusuh dan tak terawat. Riana turun lebih dulu, diikuti oleh Riana. Keduanya berjalan berdampingan menaiki anak tangga, teras, dan langsung masuk. Di ruang tamu tidak ada siapa pun, tapi ada samar-samar suara perbincangan dari arah ruang tengah. Saat keduanya baru saja menginjakan kaki di ruang tengah, Lita melihat punggung kokoh yang dibungkus kaos abu gelap dengan rambut gondrong dalam pandangan pertamanya. Ia tak yakin itu adalah Leo, tapi ketika wajah sosok itu miring sejenak, Lita tentu mengenali garis rahang dan hidung tinggi tegak serta tatapan tajam itu adalah milik Leo. Mama dan papanya yang menyadari kedatangannya dan Riana pun segera memutar kepala menghadap ke arah kedua putrinya. Dan pembicaraan apa pun di antara ketiga sosok di ruang tengah itu berhenti seketika. Riana berjalan mendekat dan langsung menghampiri Leo, lain halnya dengan Lita yang hanya berdiri di tempat. Sejenak terbengong dan tidak siap bertatap muka dengan Leo untuk pertama kalinya sejak lima bulan yang lalu. Terutama setelah pesan salah kirim yang masuk ke ponselnya dari nomor Leo. Akan tetapi, Lita segera menepis kecanggungan yang mulai merambati hatinya dan mulai melangkah mengikuti Riana. Di langkah keduanya, Leo berdiri mengucapkan dua patah kata dengan suara dingin kepada Tama dan Amira. Menjawab sapaan Riana dengan anggukan yang tak kalah dinginnya dan berjalan begitu saja melewati Lita. Lita sudah memasang satu senyuman canggung untuk menyapa adik tirinya tersebut, tetapi reaksi Leo yang malah membuang muka darinya. Menyadarkan Lita bahwa perdebatan terakhirnya dengan Leo masih begitu membekas di hatinya. Pria itu masih marah padanya. Seketika senyum di bibir Lita melengkung ke bawah dan hatinya mencelos kecewa. Ternyata waktu tak mampu membuat Leo mengerti bahwa apa yang diinginkannya adalah demi keluarga mereka. Demi permohonan mamanya yang menkhawatirkan keadaan kesehatan papa tirinya. Yang saat itu terkena serangan jantung karena Leo meninggalkan rumah demi menikati Olivia. “Kenapa aku tidak bisa menikahi Olivia?!” Leo berdiri dan menggebrakkan kedua tangannya ke meja. Wajah pria itu merah padam, begitu pun matanya yang membara oleh amarah. Untuk pertama kalinya, sejak mamanya menikah dengan papa Leo dan menjadi sosok seorang kakak bagi Leo. Ini adalah kemarahan pertama yang ditunjukkan oleh Leo padanya. Dan terlihat sangat mengerikan. Hingga membuang bulu kuduk di tengkuk Lita berdiri. Tak hanya itu, kini keduanya menjadi pusat perhatian para pengunjung kafe. “Hanya karena kau bisa patuh pada Papa dan menikah dengan pria yang tidak kaucintai, bukan berarti aku harus menuruti Papa untuk meninggalkan wanita yang kucintai, kan?” Lita terbungkam. Lebih fokus pada Leo ketimbang bisikan-bisikan para tamu yang lain. Ia bisa menunda rasa malunya setelah semua yang hendak dikatakan pada Leo selesai. “Jika terjadi apa-apa sama papamu, penyesalanmu tidak akan ada gunanya, Leo. Dan kupastikan hanya rasa sesallah yang akan menemanimu seumur hidupmu.” “Kakak bukan orang tuaku?!” desis Leo dengan bibir menipis tajam dan keras. Ekspresinya tampak dingin dan dipenuhi amarah. Kedua ekspresi yang tak pernah Lita lihat di sana seumur hidupnya. Adik tirinya kini seolah telah menjelma menjadi sosok lain, yang sama sekali tak dikenalnya. “Percayalah, aku mengatakan ini karena aku menyayangimu seperti adikku sendiri. Demi kebaikanmu.” Lita berdiri, memutari meja dan mencoba meraih tangan Leo. Leo menepis tangan Lita dengan kasar. “Kau bukan kakakku. Aku tidak butuh nasehat atau pun kebaikanmu.” Lita menghelan napas mengingat kata ‘kau bukan kakakku’ yang diucapkan Leo yang masih begitu membekas di hatinya hingga detik ini. Perih dan kecewa, bercampur aduk jadi satu dan menjumbal di dalam dadanya. “Kalian sudah datang?” Suara Tama membunyarkan lamunan Lita akan ingatan masa lalunya. Lita mendongak, memberi seulas senyum untuk Papa dan Mamanya lalu berjalan menghampiri keduanya. Bergantian dengan Riana menyalami pasangan paruh baya tersebut. “Kami melakukannya seperti yang Papa inginkan,” sahut Riana dengan penuh kepuasan dan kebanggaan. “Baguslah,” puji Tama. Senyum yang diberikan pada Riana tampak jelas tak sampai di matanya. Berbeda dengan senyum Amira yang diberikan pada Riana. Tulus dan penuh kebanggaan. Perhatian Tama segera beralih pada Lita. “Lita, duduklah sebentar, Nak. Mama dan Papa ingin bicara sebentar.” Lita mengerutkan kening dengan perintah papanya. Kemudian menoleh ke arah Riana dengan penuh tanda tanya. Karena jelas papanya hanya memanggil namanya dan tidak mengikutsertakan Riana ke dalamnya. “Riana, kau bisa naik.” Papanya menyuruh Riana meninggalkan mereka bertiga. Tanda tanya yang menggantung di kepala Lita semakin membengkak. Riana yang tampaknya memahami keberadaannya tak diinginkan, ia pun segera berpamit ke kamarnya. “Duduklah.” Amira menepuk sisi kosong yang ada di sampingnya. Menyuruh Lita untuk duduk di tempat yang memosisikan dirinya berada di antara Tama dan Amira. Masih dalam kebengongannya, Lita menuruti kata-kata mamanya. Akan tetapi, setelah ia duduk Mama dan Papanya malah bungkam. Membentuk keheningan yang cukup lama. “Apa yang hendak Mama dan Papa bicarakan dengan Lita?” Lita berinisiatif memulai pembicaraan. Ia jelas membaca kegelisahan yang melumuri wajah Mamanya dan kebungkaman Papanya yang seolah menunggu entah apa. “Kami tidak tahu harus memulainya dari mana, Nak.” Getar dalam suara Amira tampak sangat jelas. Kemudian wanita paruh baya itu mengambil kedua tangan Lita dan menggenggamnya. Dan sikapnya tersebut membuat Lita semakin dilanda kebingungan. Mendadak perasaannya menjadi tak enak. Seolah ada beban berat yang hendak diletakkan di pundaknya. “Ada apa ini, Ma?” Lita tak mencoba membebaskan tangannya karena genggaman yang membungkus kedua tangannya semakin mengetat. Menyalurkan permohonan yang tak bisa Lita baca. “Leo sedang mengurus perceraiannya.” Kali ini Tama yang bersuara. Lita terkesiap terkejut, kepalanya berputar menatap Papanya. “Dan dia akan segera kembali ke rumah ini.” Amira menambahkan dengan harapan yang berbinar di kedua mata, walaupun keresahan masih tersamar melapisi bola matanya. “B-bukankah ini kabar bagus?” Lita semakin dibuat tak mengerti. Bukankah ini adalah kabar bahagia? Yang selama ini Mama dan Papanya sangat harapkan. Lalu kenapa kedua wajah orang tuanya malah terlihat muram dan dipenuhi keresahan. “Dengan syarat dia harus menikah denganmu.” Lanjutan kalimat yang dilontarkan Tama dengan penuh ketenangan seperti petir yang menyambar kepala Lita. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN