Part 5. Said What ?

3257 Kata
Ia berjalan menuruni tangga panjang di depannya dengan sedikit berlari. Saat di pertengahan tangga, ia terbelalak terkejut dengan apa yang terjadi di bawah sana. Ia tidak percaya telah melihat itu semua. "APA YANG TELAH TERJADI DI SINI!!!" • • • • • Teriakan Sania langsung saja memenuhi ruangan itu saat melihat Kevan berada di atas tubuh Christian dan menghajarnya dengan brutal dan membabi buta. Mendengar teriakan Sania, semua orang yang di bawah sana menatap ke arahnya. Kevan juga langsung menghentikan aksinya, dan berdiri menjauhi tubuh Christian. Sania berlari menghampiri Christian yang terbaring dengan wajah babak belur dan sesekali terbatuk. "Christ.. apa kau baik-baik saja? Sini, biarkan aku membantumu bangun,” ucap Sania khawatir. Ia membantu Christian bangun. Ia membawa Christian ke sofa yang berada tidak jauh dari tempatnya. "SETH.. PANGGIL DOKTER SEKARANG!!!" teriaknya saat ia menangkap sosok Seth yang berdiri tidak jauh darinya. Setelah mendudukkan Christian di sofa, Sania langsung berjalan ke arah Kevan. "Sebenarnya apa yang kau lakukan Kev, apa salahnya sehingga kau memukulinya sampai seperti itu? Ada apa denganmu?" ucap Sania sedikit berteriak. Membuat semua orang di sana dapat mendengarnya. "San, aku tidak bersalah. Dia menggoda Karen dan memaksanya melakukan hal yang tidak diinginkannya. Apa aku tidak boleh marah dengan hal itu? Lihatlah di sana, Karen masih menangis hingga saat ini,” ucap Kevan membela diri. Sania bisa melihat urat di leher Kevan muncul, membuktikan jika Kevan tengah marah saat ini. Ia menatap wajah Kevan. Terdapat beberapa memar dan lebam menghiasi wajahnya, tapi tidak separah Christian. "Siapa yang bilang itu semua padamu. Karen??" ucap Sania sambil melirik malas ke arah Karen yang sedang mengeluarkan air mata palsunya. "Ya. Dan juga dari beberapa orang yang melihat hal itu terjadi,” ucap Kevan marah. Sania menatap ke arah orang-orang yang ada di tempat itu. "Apa yang sebenarnya kalian lakukan? Kalian hanya menonton saat mereka berkelahi. Kalian tidak berani atau memang bodoh HAH!!!" teriak Sania pada orang-orang di sana. "Sekarang....,” Sania mengambil pistol yang ada di pinggangnya. "Siapa orang yang bersaksi atas kejadian tadi...,” Sania menarik pengokang pistolnya. "Aku ingin dia ada di hadapanku sekarang dan katakan apa yang tadi terjadi. Atau kubunuh kalian semua yang ada di sini, satu persatu. Kurasa peluru yang ada di dalam jaket yang ku pakai ini sangat cukup untuk membunuh kalian semua di sini,” Ancam Sania dengan memainkan pistolnya. Sebenarnya tidak sepenuhnya ancamannya tadi benar. Ia sama sekali tidak mempunyai peluru cadangan di dalam jaketnya. "Jadi kalian mau bukti,” Dorrrrr Dan satu pria tumbang di sana. Para wanita di sana berteriak histeris melihat itu. Beberapa orang langsung berlari ke arah Sania. Dua orang pria dan tiga orang wanita. "Bagus. Katakan semuanya yang terjadi tadi. Aku tidak akan memaafkan kebohongan sekecil apa pun itu,” "Wanita yang bernama Karen itu yang sebenarnya sudah menggoda Tuan Christian Nona,” ucap mereka semua serempak. Sania menyeringai melihat hal itu. Sementara Kevan terbelalak mendengar hal itu. "Lanjutkan,” ucap Sania tenang. "Wanita itu duduk di pangkuan Tuan Christian dan mencoba menggodanya. Tuan Christian menolak mentah-mentah godaannya dan akhirnya dia marah,” ucap salah seorang pria. Dan yang lainnya mengangguk setuju. "Dia menyuap kami untuk mengatakan kebohongan pada kekasihnya. Ini saya kembalikan uangnya. Saya lebih Sayang pada nyawa saya dari pada uang yang sedikit ini,” ucap pria lainnya dan menyodorkan uang itu pada Sania. Yang lainnya melakukan hal yang sama. Sania menyelipkan pistolnya kembali di belakang pinggangnya. Ia lalu mengambil uang-uang itu. Ia melihat Kevan yang ada di sampingnya, hanya mematung diam. Sania lalu berjalan ke arah Karen dan melempar uang itu ke arahnya, hingga uang itu jatuh berhamburan. "Kenapa kau selalu menciptakan masalah untuk kakak ku jalang b******k? Kau mau aku mengakhiri hidupmu sekarang HAH!!!" ucap Sania menarik rambut Karen kasar. Karen menggeleng kecil. Ia takut pada Sania. "Cukup San,” teriak Kevan saat melihat apa yang dilakukan oleh Sania. Sania seakan menulikan telinganya. Ia malah menguatkan tarikannya pada rambut Karen. "Jawab pertanyaanku dengan jujur. Siapa nama aslimu,” "Ka__rr_ren Clo__rin,” Sania tertawa dan melepaskan tarikannya pada rambut Karen. Semua orang menatap takut ke arahnya. Begitulah Sania. Ia suka memanfaatkan ketakutan orang untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. "Kalian semua pergilah. Pesta hari ini sudah selesai,” teriak Sania membuat semua orang langsung berlarian pergi meninggalkan ruangan itu. "Sebelumnya aku sudah pernah bilang padamu dia itu penyihir Kev. Dia itu biang masalah,” ucap Sania pada Kevan setelah ruangan itu sepi. "Nona.. dokter sudah datang,” ucap Seth pada Sania. Sania melihat ke arah Seth dan dokter yang datang bersamanya. "Bawa Christian ke kamarnya bersama dokter. Aku akan menyusul nanti,” Seth mengangguk dan memapah Christian bersama dengan dokter. Sania menatap sedih ke arah kakaknya. "Aku akan menelepon Nath untuk membawamu pulang. Kita akan bicarakan ini di rumah,” ucap Sania mengelus lengan Kevan agar kakaknya itu tenang. Sania membawa Kevan dan mendudukkannya di kursi. Sania terkejut saat tiba-tiba Kevan memeluk pinggangnya dan menenggelamkan wajahnya di dadanya. Sania mengelus rambut Kevan, agar kakaknya itu tenang. Ia tahu kakaknya sekarang tengah kecewa dan menyesal. "Maafkan aku San, aku___" "Sssstttt... sudahlah. Mana ponselmu? Aku pinjam sebentar,” Kevan hanya diam dan malah mengeratkan pelukannya. Jadi Sania mengambil sendiri ponsel itu dengan sedikit membungkuk. Ia tahu kebiasaan kakaknya yang suka menaruh ponsel disaku dalam jasnya. Sania mengotak-atik ponsel Kevan dan tidak sengaja melirik ke arah Karen yang hendak kabur. "Kalian orang-orang Christian?" ucap Sania pada beberapa pria yang ada di sana. "Ya Nona. Ada yang bisa kami bantu,” "Pegangi wanita itu sebentar. Jangan biarkan dia ke mana-mana,” Dua pria di sana langsung patuh kepada Sania. Tentu saja mereka sudah tahu harus memperlakukan Sania seperti apa. Karena Christian sudah memberi tahu mereka semua. Saat melihat Karen sudah tidak bisa ke mana-mana lagi, Sania langsung menghubungi Nath. "Halo Bos.,” "Ini aku. Cepat datang kemari dengan beberapa pengawal. 10 menit dari sekarang kau harus sudah sampai. Akan ku kirim alamatnya lewat pesan,” ucap Sania singkat lalu mematikan sambungan teleponnya. Sania langsung mengirim pesan berisi alamat rumah Christian kepada Nath. Sania mencoba melepaskan pelukan kakaknya. Setelah terlepas, ia menaruh ponsel itu kembali ke dalam jas Kevan. Ia menangkup pipi kakaknya itu, dan menatapnya sendu. "Akan ku ambilkan minum. Tunggulah sebentar,” "Dimana dapurnya,” ucap Sania pada orang-orang Christian yang masih di sana. "Mari saya antarkan,” ucap seorang pria dan Sania mengikutinya. • • • "Ini minumlah,” ucap Sania sekembalinya dari dapur. Ia menyodorkan gelas berisi air putih kepada Kevan. Kevan meminum air putih yang dibawakan Sania sampai habis. Sesaat kemudian Kevan merasakan pusing dan tertidur bersandar di kursi. Sania mengelus wajah kakaknya lalu mengecup puncak kepalanya. tidak ada cara lain selain ini. Kevan tidak akan tidur malam ini jika Sania tidak memberinya obat tidur. "Bos... Kenapa dengan Bos? Apa yang terjadi?” Sania mendongak. Di sana Nath datang dengan beberapa orang pengawal menuruni tangga. "Nanti ku jelaskan. Bawa kakakku pulang ke rumah. Jaga dia sampai aku pulang. Dan wanita itu. Bawa dia ke markas. Kurung dia di sana dan jangan biarkan dia kabur,” perintah Sania pada Nath. Nath mengangguk dan mengangkat tubuh Kevan dibantu oleh 2 pengawal. Nath juga mengkode 2 pengawal lainnya untuk mengambil alih Karen yang sejak tadi dipegangi oleh orang-orang Christian. Semuanya sudah beres. Sania kini berjalan ke arah pria yang tergeletak dilantai karena ditembak olehnya tadi. Sania berjongkok dan membalikkan tubuh pria itu dan mencabut peluru serum didada kiri pria itu. Seketika pria itu bangun. "Aku dimana?" Sania hanya menatap datar tanpa minat. "Pulanglah. Kau tidak punya urusan lagi di sini,” Dan pria itu langsung menuruti ucapan Sania. Pria itu langsung bangun dan pergi dari sana. Serum kejut dan pengendali pikiran. Itulah serum yang digunakan Sania. Selama peluru itu menancap. Orang yang terkena tidak akan sadarkan diri. Dan jika sudah dicabut, kesadarannya akan kembali dan orang itu akan linglung. Sehingga dengan mudah orang itu akan menuruti perkataan orang didekatnya. "Nona... Dokter sudah selesai mengobati Tuan Christian,” Sania bangun dan melihat Seth berada di dekatnya bersama dengan dokter. "Apa dia baik-baik saja?" "Tenang saja. Lebam dan memar di wajahnya akan hilang beberapa hari lagi. Untuk menghilangkan nyeri di wajahnya saya membuatkan resep obat. Ini, tebus obatnya di apotik. Kalau begitu saya pergi dulu,” ucap dokter itu memberikan kertas berisi resep obat pada Sania. Sania mengangguk dan dokter itu pergi. "Apa Christian sedang tidur?" tanya Sania pada Seth. "Tidak, Nona. Tuan Christ menolak saat dokter ingin menyuntiknya dengan obat bius. Dia ingin bertemu denganmu,” "Baiklah. Tunjukkan dimana kamarnya,” Seth berjalan lebih dulu dan Sania mengekor dibelakangnya. "Rumah ini sangat besar. Apa ini milik Christian,” "Ya. Tuan membelinya beberapa bulan lalu,” "Beberapa bulan?" "Sebenarnya Tuan Christian baru datang ke NY beberapa bulan lalu. Sebelumnya ia berada di LA,” "Ooo..,” "Ini kamarnya, silahkan masuk, Nona,” Sania mengangguk dan Seth langsung pergi. Sania membuka pintu dan masuk ke dalam. Sania menutup pintu perlahan dan berjalan ke arah ranjang tempat Christian berbaring. "Hai..,” sapa Sania saat Christian melihat ke arahnya. Christian menepuk pinggiran kasur dan tersenyum kecil membalas sapaan Sania. Sania langsung duduk di pinggiran kasur sesuai keinginan Christian. "Apa ini sakit,” Sania menyentuh lebam di wajah Christian pelan. Christian menggeleng pelan dan tersenyum menjawab pertanyaan Sania. "Apa kau tidak bisa bicara?" "Tentu saja bisa,” ucap Christian pelan. "Bagus. Karena aku ingin menanyakan banyak hal padamu,” "Baiklah. Aku akan mendengar dan menjawabnya sebisaku,” ucap Christian menggenggam tangan Sania. Sania menatap Christian sebentar sebelum mulai berbicara. "Kenapa? Kenapa kau membiarkan Kevan memukulimu? Kau tahu kalau kau tidak bersalah. Seharusnya kau membela dirimu dan memukulinya lebih dari yang dia lakukan padamu kan. Kenapa kau tidak melakukan itu?" Sania menatap lekat wajah Christian. "Aku membiarkannya melakukan itu. Aku ingin tahu seberapa keras pukulannya,” ucap Christian lalu tertawa kecil mencoba menghibur Sania. "Itu tidak lucu sama sekali Christ. Jika aku tidak datang tadi bagaimana? Kau mau mati konyol dengan cara dipukuli Kevan seperti itu. Dan juga kenapa tidak ada yang melerai kalian tadi,” Christian mengecup punggung tangan Sania Sayang. "Aku yang mengatakan pada mereka untuk tidak ikut campur dengan apa pun yang terjadi antara aku dan Kevan. Dan Sayang, kau tenanglah.. aku tidak akan mati secepat itu. Tidak sebelum kau menjadi milikku,” Mendengar itu Sania langsung menarik tangannya dari genggaman Christian. "Sebelumnya, aku berterima kasih karena kau tidak membalas memukul kakak ku, tapi lupakanlah hal itu Christ. Aku bukan wanita yang pantas kau jadikan sebagai pasanganmu,” ucap Sania berdiri dari duduknya. "Kau beristirahatlah. Aku akan pulang sekarang. Semoga cepat sembuh,” ucap Sania lalu berjalan menuju pintu. "Jika kau tidak bisa kudapatkan dengan cara baik-baik seperti ini, aku masih punya banyak cara lain untuk bisa mendapatkanmu,” Sania langsung menghentikan langkahnya saat mendengar itu. Ia berbalik dan menatap ke arah Christian sebentar. Ia lalu membuka pintu dan keluar dari sana. Saat Sania berada di luar, Seth sudah berdiri di dekat pintu seperti sedang menunggunya. "Seth.. kau menungguku?" ucap Sania dengan nada pelan. "Ya. Ada hal penting yang ingin saya katakan pada Anda,” ucap Seth serius. "Baiklah, ayo kita bicarakan ini di luar,” Sania berjalan keluar dengan Seth yang berada di sampingnya. "Ah ya, Seth. Besok pagi tebus obat ini dan pastikan dia meminumnya,” "Kenapa tidak Anda saja?” Sania menoleh ke arah Seth sambil terus berjalan menaiki tangga. "Aku? Memang siapa aku? Dan kenapa harus aku?" Seth diam setelahnya. Tadi, samar-samar ia mendengarkan perkataan terakhir Christian pada Sania. Dan dari situ ia tahu. Wanita yang berjalan di sebelahnya itu telah dalam masalah. Karena yang ia tahu, Bosnya tidak akan melepaskan Sania begitu saja. Meski Sania terlihat tidak tertarik pada Bosnya sama sekali. "Nah. Katakan apa yang ingin kau katakan,” ucap Sania saat sudah berada di luar, tepatnya di sebelah mobilnya. "Saya tidak bermaksud menakuti, tapi Anda harus bersiap apa pun yang terjadi ke depannya. Tuan Christian orang yang sangat berbahaya. Dia bisa melakukan apa pun untuk mendapatkan apa pun yang diinginkannya,” Sania hanya mengangguk-anggukan kepalanya. "Terima kasih sudah memperingatkanku. Tapi kau tahu, hidupku sudah penuh bahaya sejak 16 tahun yang lalu. Kau tenang saja. Aku akan baik-baik saja,” ucap Sania lalu masuk ke dalam mobil. Ia menurunkan kaca mobilnya dan menatap Seth yang masih setia berdiri di samping mobilnya. "Ngomong-ngomong terima kasih sudah melakukan hal yang ku minta. Pekerjaanmu sebagai mata-mataku tidak begitu buruk. Maaf tadi aku datang terlambat. Aku membutuhkan sedikit ketenangan, jadi aku mematikan ponselku,” ucap Sania lalu menghidupkan mobilnya. "Jaga dirimu baik-baik. Dan aku sarankan, lain kali jangan menguping pembicaraan Bosmu. Dia bisa marah jika tahu. Aku harus pulang sekarang. Sampai bertemu lagi,” ucap Sania melajukan mobilnya pergi dari sana. Meninggalkan Seth yang masih setia berdiri di sana. "Pantas saja Bos sangat menginginkanmu. Kau bersikap terlalu ramah pada orang asing. Membuat mereka menyalah artikan keramahanmu,” gumam Seth sambil melihat mobil Sania semakin menjauh. • • • Sania menyetir dengan satu tangan dengan kecepatan rata-rata. Satu tangannya lagi ia gunakan untuk memijat pelipisnya. Pusing menderanya. Perkataan terakhir Christian cukup mengganggunya. Ia tidak pernah merasa terancam seperti ini sebelumnya. "Siapa dia sebenarnya?" gumam Sania sangat pelan. Jalanan Manhattan cukup sepi. Hal itu membuat Sania bisa sedikit tenang. Ia berusaha mengenyahkan pemikiran tentang Christian. Yang terpenting sekarang adalah kakaknya. "Kevan. Hanya dia yang ku punya. Prioritasku hanya dia sekarang,” ucap Sania meyakinkan dirinya sendiri. Sania menambah kecepatan mobilnya. Ia ingin segera sampai dan menemani kakaknya yang sedang dalam keadaan tidak baik itu. • • • • • "Nath.. kenapa kau hanya duduk diam di sini? Kenapa tidak tidur saja disalah satu kamar yang ada di sini?" ucap Sania saat sudah masuk ke rumah dan mendapati Nathan, orang kepercayaan kakaknya itu ada diruang tamu. Sania berjalan mendekat, menaruh ponsel dan kunci mobil yang dibawanya di atas meja lalu duduk di samping Nathan. "Sebenarnya kalian sedang terlibat dalam apa?" ucap Nathan saat Sania sudah duduk di sampingnya. "Apa maksudmu?" "Aku sudah tahu semuanya. Kau dan kakakmu tanpa sengaja telah masuk ke dalam bahaya, apa kau tahu itu?" Sania menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa. Ia sebenarnya sangat lelah dan tidak ingin membicarakan hal ini. "Aku baru tahu itu 30 menit yang lalu,” ucap Sania pelan. Nathan memandang sendu wanita yang sedang duduk memejamkan mata di sampingnya itu. "Aku tahu ini akan membahayakan dirimu dan anak-anak lainnya. Aku minta maaf. Masalah bermunculan terlalu banyak akhir-akhir ini. Rasanya aku ingin pergi saja dan bersembunyi di suatu tempat,” "Sayangnya kau tidak bisa. Apalagi saat berurusan dengan mafia sepertinya,” Mendengar itu Sania langsung membuka matanya. "Jadi dia mafia ya,” ucap Sania santai. "Begitulah. Dia mafia yang menguasai daerah pesisir barat. LA, Vegas, Seattle, Portland. Dan kudengar, Brazil juga dikuasai olehnya,” "Lalu untuk apa dia datang kemari?" "Mungkin dia mau memperluas daerah kekuasaannya,” Sania menatap tajam ke arah Nathan, saat mendengar itu. "Jangan melihatku seperti itu. Aku berkata mungkin karena aku belum tahu pasti apa tujuannya datang kemari,” Sania menghela nafas berat. "Apa dia mau mengambil daerah pesisir timur yang menjadi daerah kekuasaan Kevan saat ini?" "Kita harus siap dengan semua kemungkinan yang akan terjadi,” "Aku sudah mendengar perkataan seperti itu tadi. Kenapa semua orang mengatakan itu padaku,” Nathan tertawa kecil mendengarnya. Setelah itu keduanya sama-sama diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. "Kalau begitu aku akan ke kamar Kevan sekarang. Jika kau mau, kau bisa menempati salah satu kamar mana pun yang kau mau,” Sania lalu berdiri dari duduknya dan mengambil barang-barang yang tadi ditaruhnya di meja yang ada di depannya. "Tidak perli. Aku harus ke markas sekarang,” "Baiklah, hati-hati. Maaf karena kakak ku, kau jadi harus mengurus banyak hal sendiri di markas,” ucap Sania merasa menyesal untuk ke sekian kalinya. "Tidak masalah. Lagi pula, aku senang melakukannya. Tetaplah disisi Kevan di saat seperti ini. Aku pergi dulu,” ucap Nathan berdiri tersenyum pada Sania, lalu berjalan menuju pintu keluar. Sania menatap kepergian Nathan dengan senyum kecil. Ia tahu Nathan menaruh perasaan padanya. Nathan adalah pria yang baik dan juga tampan. Hanya saja Sania sama sekali tidak mempunyai perasaan apa pun padanya. Setelah Nathan menutup pintu, Sania langsung berjalan menaiki tangga menuju kamar kakaknya. Ia melepas jaketnya dan mengambil pistol yang ada dipinggangnya, sambil terus menaiki tangga. Sania menaruh jaket, pistol ponsel, kunci mobil juga melepas sepatu dan coker yang melingkar di lehernya di kamarnya dulu sebelum pergi ke kamar Kevan. Sania membuka pintu kamar kakaknya perlahan. Ia lalu masuk dan menutup pintu. Sania berjalan mendekat ke arah ranjang tempat Kevan tengah tidur sekarang. Sania berbaring disisi kiri ranjang yang kosong. Di sebelah Kevan. Sania berbaring menyamping menghadap Kevan. Ia menatap wajah kakaknya lekat dan merapikan rambut kakaknya yang sedikit berantakan. "Kev, aku ingin cerita banyak hal padamu saat ini. Dan jika kau tahu aku sedang dalam masalah, kau pasti akan melakukan sesuatu untuk ku kan. Tapi, kupastikan kali ini kau tidak akan terlibat. Aku akan menyelesaikan ini sendiri. Sudah cukup aku memberimu banyak masalah,” ucap Sania pelan sambil mengelus rambut Kevan. Sania terus melakukan itu hingga ia tidak sadar ikut tertidur. • • • • • Sania bangun dan mendapati Kevan tidak ada di sampingnya. Ia turun dari ranjang untuk mencari Kevan. Sania mencari dikamar mandi tapi tidak ditemukan kakaknya itu. Jadi ia putuskan untuk mencarinya diluar. Saat membuka pintu, Sania terkejut saat melihat tetesan darah dilantai. Tetesan darah itu sangat banyak dan mengarah ke tangga. Sania mengikuti tetesan darah itu. Saat menuruni di tangga ia melihat lebih banyak darah seperti telah terjadi perkelahian di sana. Sania sampai di tangga terakhir dan semakin terkejut dengan pemandangan yang ada di depannya sekarang. Puluhan anak buah Kevan tergeletak dilantai dengan tubuh yang penuh darah, membuat lantai yang berkeramik putih itu berwarna merah karena darah. Sania berjalan hati-hati melewati mayat-mayat yang ada di sana menuju pintu utama. Telapak kakinya yang tidak beralas kaki itu berwarna merah karena darah yang dipijaknya. 'Apa yang terjadi. Siapa yang melakukan semua ini. Kev, kau dimana? Aku takut,’ "Kejutan!!!" Begitulah sambutan yang didapat Sania saat setelah membuka pintu utama. Christian. Dialah yang berteriak tadi. Sania tidak menghiraukan sambutan Christian tadi, matanya terfokus ke arah depan. Ia melihat Kevan, Nathan, Seth semuanya ada di sana. Mereka menatap ke arah Sania dengan tatapan seperti meminta tolong. Tubuh mereka penuh darah dengan baju yang robek di beberapa bagian. Wajah mereka penuh darah, lebam, memar dan bengkak. Mengenaskan. Begitulah kesan Sania saat melihatnya. Ketiga pria itu duduk bersimpuh di halaman depan rumah dengan beberapa orang pria berbaju hitam yang masing-masing menodongkan senjata di belakang mereka. "Jika aku tidak bisa mendapatkanmu, maka pria itu juga tidak bisa,” ucap Christian menunjuk ke arah Nathan. Entah sejak kapan Christian berdiri di dekatnya. "Aku tidak suka kau memberi perhatian pada pria lain, jadi aku akan melenyapkannya untuk memberimu sebuah peringatan,” ucap Christian menunjuk ke arah Seth. "Dan terakhir, kau menolakku dan inilah yang terjadi pada orang yang kau Sayangi,” ucap Christian lagi lalu menunjuk Kevan. "Sekarang katakan padaku, siapa yang lebih dulu ingin kau lihat mayatnya tergeletak dilantai,” Sania menatap benci kepada Christian yang kini berdiri di depannya. Sania menunduk. Ia tidak tahu harus berbuat apa sekarang. Sania melihat tangan kiri Christian menggenggam sebuah pistol. Dan dari situlah Sania mendapatkan ide. "Bunuh aku dan lepaskan mereka,” ucapnya pada Christian sambil mengambil dan mengarahkan tangan Christian yang tengah menggenggam pistol itu ke kepalanya. Sania mendengar teriakan dari 3 pria yang bersimpuh tidak jauh darinya itu. 'Mereka tidak bersalah. Semua ini karena diriku. Mereka tidak perlu membayar atas apa yang kulakukan,’ batin Sania dalam hati. Christian bersiap menarik pelatuknya. Membuat Sania memejamkan matanya. Suara teriakan Kevan terdengar sangat jelas ditelinganya dan itu membuatnya tanpa sadar mengeluarkan air mata. "SANIA!!" "SAN!!" "SANIAAA!!" Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN