Sore menjelang petang mereka pun akhirnya pulang. Raut wajah keduanya jelas beda jauh dari beberapa hari selama berseteru. Satria yang tadinya puyeng, sekarang sudah bisa mengulum senyum. Namun, Rena masih tetap merengut karena merasa sudah diperdaya oleh Satria.
Belum ada kata sepakat. Satria masih bersikeras untuk tidak membiarkan Rena resign, apalagi menyudahi hubungan mereka. Ini bukan masalah Rena yang sering kali dibilang lemot, tapi siapapun dijamin pasti gagal paham dengan kemauan Satria yang membingungkan.
Diajak putus tidak mau, malah memaksa untuk break saja. Tapi bukannya percuma mereka break, sedang Satria ngotot tidak mengizinkan dia resign. Dipikir dari sudut manapun, tetap Rena yang dipaksa mengalah untuk terus di samping Satria. Break hanya iming-iming supaya dia tidak marah lagi.
“Turun, kita sudah sampai!”
Rena yang masih duduk di bangku penumpang tampak menatap gamang pintu rumah Ibra. Sedangkan Satria yang lebih dulu keluar dari mobil segera membuka pintu belakang dan membantu Naya turun.
“Turun Ren! Mau sampai kapan kamu ngumpet di situ? Mereka semua sudah menunggu kita di dalam,” seru Satria mengetuk kaca samping Rena.
Mata Rena melirik Satria kesal. Dia bukannya tidak mau turun, tapi malu setengah mati karena lagi-lagi mereka berdua bertengkar dan membuat pusing semua orang.
“Mau digendong masuk?” goda Satria dengan senyum gelinya.
Setelah beberapa kali menghela nafas panjang, Rena akhirnya keluar juga dari mobil. Dengan menggandeng Naya, Satria melangkah masuk ke rumahnya. Sedang di belakangnya Rena mengikuti dengan wajah menunduk menahan malu.
“Nay …”
“Kak Nay, Jingga!”
Jonathan menegur cucunya yang hanya memanggil Naya dengan sebutan namanya saja, padahal Jingga bahkan baru berumur setahun lebih. Bocah comel kesayangan keluarga Lin itu langsung melompat turun dari sofa, begitu melihat Naya datang bersama om Satrianya.
“Nay lihat, aku punya kucing baru! Namanya Alien,” pamernya menunjukkan kucing botak tanpa bulunya itu ke Naya.
“Kucing peliharaan Om Satria malah lebih banyak lagi Jingga, mana montok-montok lagi.’’ sindir Freya yang duduk di karpet menemani dua anaknya lagi bermain.
“Jangan mulai lagi kamu, Frey!” sewot Satria.
Rena duduk di samping kakak dan iparnya. Tetap saja diam, meski dia tahu semua mata meliriknya khawatir setelah mendengar tentang kisruh antara dirinya, Satria dan Nadine kemarin malam di bar. Aksa merangkul bahu adiknya, iba sekaligus sedih karena nasib Rena yang hingga kini belum bisa sepenuhnya bahagia.
Jonathan dan Aida menatap anak laki-lakinya kesal bukan main. Bukan sekali dua kali, Satria selalu saja bikin ulah yang membuat mereka malu di depan Aksa.
“Mau kamu itu sebenarnya apa to, Sat? Papa sudah bilang berapa kali, jangan berulah yang bikin kami malu sama Aksa?!”
“Maaf Pa,” gumam Satria.
“Minta maafnya ke Aksa sana! Tidak amanah kamu, sudah dipercaya jaga adiknya malah lagi-lagi kamu bikin nangis dan sakit hati.” gerutu pria paruh baya itu dengan wajah kecewanya.
“Tadi pagi Satria sudah datang ke rumah minta maaf kok, Om.” sahut Aksa.
Satria meringis mendapati mamanya yang menggeleng sambil menghela nafas panjang.
“Kalian berdua sudah bicara kan?” tanya Jonathan.
“Sudah,” jawab Satria, Rena pun ikut mengangguk.
“Terus sekarang mau kalian bagaimana? Lamaran tinggal sehari besok, jangan bilang mau diundur lagi?!”
Kali ini Satria dan Rena diam tidak menjawab. Melihat itu mereka sudah bisa menebak kalau keduanya memang sudah memutuskan untuk membatalkan lagi acara lamarannya yang tinggal menghitung jam.
“Wis terserah, pusing aku mikir kalian!” ucap Aida.
“Oma marah, Om Sat bandel sih!”
“Iya bandel, sama kayak kamu!” Ibra terkekeh mendengar anak perempuannya ikut-ikutan menggerutu.
“Sekarang Om tanya, kamu sendiri maunya gimana Ren?”
Rena yang sedari tadi diam menunduk langsung mendongak begitu mendapat pertanyaan dari calon mertuanya. Satria menatapnya awas, mulai was-was kalau Rena masih tetap kukuh pada pendiriannya semula.
“Maaf Om, tapi kami sudah sepakat untuk membatalkan acara lamaran.”
“Siapa yang bilang dibatalkan?! Cuma diundur Pa, bukan dibatalkan.” sela Satria mengoreksi pernyataan Rena.
“Kamu diam dulu Sat! Kasih kesempatan Rena ngomong. Jangan selalu dia yang selalu mendengarkan apa maumu!” bentak Jonathan.
“Ada kakak disini, kamu katakan saja apa yang kamu mau.” ucap Aksa ke adiknya.
“Selain soal lamaran, saya dan Satria juga memutuskan untuk break dulu.” ucap Rena tanpa mau membalas tatapan Satria, takut akan membuatnya goyah lagi.
“Break?” ulang Jonathan.
“Iya Om,” jawab Rena mengangguk.
Mereka terdiam. Meski tidak begitu senang mendengar keputusan keduanya, tapi setidaknya hubungan Satria dan Rena tidak sampai bubar seperti dulu.
“Tidak masalah kalau memang menurut kalian dengan sedikit jeda akan bisa merefresh lagi hubungan kalian nantinya. Gunakan waktu sebaik mungkin untuk benar-benar berpikir, introspeksi dan berbenah supaya nanti bisa kembali dengan lebih dewasa dan siap untuk ke jenjang pernikahan.” tutur Jonathan.
“Rencana kalian mau break berapa lama? Jangan kelamaan! Nanti terlanjur nyaman pisah, malah keterusan jadi bubar beneran.” tanya Sifa.
“Satu minggu,” jawab Satria.
“Nggak! Kapan aku bilang satu minggu?” sanggah Rena.
“Satu minggu itu lama Ren, sudah cukup kalau cuma mau break.” ucap Satria ngotot.
“Kalau begitu mending aku balikin saja cincin kamu.”
“Rena!”
Mereka bilang juga apa! Selalu saja begitu, ribut seperti tidak pernah ada habisnya.
“Dikocok saja kayak arisan, biar adil.” sahut konyol Freya sampai Sifa cekikikan.
“Kamu mau berapa lama break nya Ren?”
“Pa …”
“Papa bilang kamu diam dulu, Sat! Kan kamu yang salah, jadi Rena yang lebih berhak memutuskan.” tegas Jonathan.
“Satu bulan, Om.”
“Ok, break satu bulan. Seperti yang Om bilang tadi, gunakan satu bulan ini untuk saling intropeksi dan berbenah. Soal lamaran akan kita bahas lagi setelah kalian benar-benar merasa siap, biar tidak bolak-balik batal seperti janjian mau nonton layar tancap.”
Satria merengut kesal, masih tidak terima dengan satu bulan break yang sudah terlanjur mereka sepakati.
“Terus soal resign, kamu juga sudah mantap mau mengundurkan diri dari LinZone?” tanya Ibra selaku pimpinan perusahaan.
“Nggak! Rena akan tetap bekerja denganku,” sahut Satria.
“Aku tidak mau, percuma break kalau tiap hari masih nempel terus sama kamu.” tolak Rena tegas.
“Belum selesai juga dramanya,” gumam Sifa menggeleng.
Jonathan dibuat gregetan. Pria sesabar itu saja sampai memijat keningnya yang berdenyut pusing menghadapi sifat anaknya yang selalu saja arogan, posesif dan tidak mau dibantah.
“Tadi kamu sendiri yang bilang mau menjauh dulu, Sat! Kenapa sekarang ngotot tidak mau?” protes Rena.
“Di kantor kita kerja juga tidak satu ruangan Ren, apa itu masih kurang jauh?”
“Sama juga bohong, kan seharian kemana-kemana sama kamu. Bagaimana bisa aku berpikir tenang, kalau harus lihat mukamu terus?!”
"Memangnya mukaku kenapa?" sungut Satria tidak terima.
Meski kesal, tapi mereka malah tertawa terbahak mendengar debat keduanya yang seperti remaja labil.
“Ikut aku sebentar Ren! Ada yang mau aku bicarakan sama kamu,” ucap Ibra beranjak dari duduknya.
“Bang Ibra mau ngomong apa ke Rena? Kenapa tidak disini saja?!” seru Satria mulai ketar-ketir melihat Rena mengikuti iparnya itu masuk ke ruang kerja.
Aksa justru tampak lega. Kalau Ibra yang turun tangan, dia percaya masalahnya tidak akan berbelit-belit lagi. Seberapa keras kepalanya Satria, tetap tidak akan bisa membantah kalau Ibra sudah bertitah. Apalagi untuk urusan kantor, menantu Jonathan Lin itu yang memegang semua keputusan.
“Duduk!”
Rena mengangguk, lalu duduk dengan sedikit tidak tenang. Bukan karena Ibra pimpinan perusahan tempatnya bekerja, tapi aura dingin dan tegas suami Freya itu selalu membuat orang mati kutu.
“Kamu sudah melihat apa yang dilakukan Satria untuk membalas Nadine?”
“Sudah, tadi pagi dikasih tahu Xena.” jawab Rena tentang foto-foto tak pantas Nadine yang dipasang di web Mahendra grup.
“Satria tidak bohong kan? Kemarin dia mengajak Nadine bertemu di Golden hanya untuk memancingnya keluar. Aku dan Freya juga ada disana saat Xena menyusun rencananya. Tapi, memang salahnya dia karena tidak jujur saat kepergok kamu soal telepon itu.” jelas Ibra berusaha menengahi masalah mereka.
“Wajar kamu marah, aku pun pasti juga tidak terima kalau dibohongi. Tapi Ren, coba lah untuk tidak terlalu menyalahkan Satria yang memilih tidak jujur karena takut kamu akan semakin marah. Dia sudah cinta mati sama kamu dan Naya. Itu yang membuatnya takut kehilangan kalian sampai tidak berpikir panjang melakukan apapun, termasuk tidak jujur soal telepon itu.”
“Tapi Bang …”
“Kamu percaya padaku kan?”
“Tentu saja percaya,” jawab Rena tanpa ragu sedikitpun.
“Aku bantu kamu membalas kelakuan Satria, dengan syarat jangan mengundurkan diri dari LinZone. Bagaimana?” tawar Ibra.
Rena melongo, bingung apa maksud tawaran Ibra untuk membalas iparnya itu.
“Maksud Bang Ibra apa?”
“Jangan mengundur diri, tapi aku akan memindahkan kamu ke bagian lain.” jelas Ibra dengan senyum anehnya.
“Pindah ke bagian apa?” tanya Rena semakin bingung.
“Kamu sudah tahu kan kalau kami merekrut orang baru untuk menduduki jabatan wakil direktur? Posisinya sejajar dengan Satria, jadi kamu pasti bisa menjadi sekretarisnya karena pekerjaan yang akan kamu handle juga sama seperti sekarang. Mau?”
“Orang barunya itu laki-laki atau perempuan?”
Ibra mengernyit, bukannya menjawab Rena malah melempar pertanyaan lain.
“Laki-laki, masih muda seumuran kami dan lebih ganteng dari Satria.”
Ibra sengaja menggoda Rena, tapi seperti biasa Rena yang mereka kenal lemot justru memberi tanggapan tidak terduga.
“Nanti Satria malah marah lagi Bang. Dia kan orangnya cemburuan.”
“Justru itu tujuanku, Ren. Makanya jadi orang jangan terlalu lugu dan penurut, pantas saja kamu selalu dikibuli Satria.” jelas Ibra yang dibuat geleng kepala.
Rena mendecak, bahkan meski sudah dibuat sakit hati tetap saja tidak semudah itu baginya untuk menerima tawaran Ibra. Padahal ini kesempatan bagus untuk memberinya pelajaran, tapi kenapa malah dia merasa kasihan kalau nanti Satria sampai uring-uringan jadi bahan obyek pembalasannya.
“Sesekali kamu harus tegas dan bisa memberi efek jera ke Satria. Dulu Kiran, sekarang Nadine yang datang mengusik hubungan kalian. Kamu yakin tidak akan sakit hati lagi, kalau nantinya mantan Satria yang lain juga akan datang bikin ulah?”
“Satu bulan selama kalian break, kamu pindah dulu ke bagian lain. Bukannya kamu bilang sementara ingin menjauh dari Satria?! Ini kesempatan bagus untuk kalian saling intropeksi, sekaligus memberi dia pelajaran supaya lain kali tidak seenaknya.” bujuk Ibra terus mencoba meyakinkan Rena untuk menerima tawarannya.
“Tapi bukannya Freya bilang, Elina yang akan menjadi sekretaris wakil direktur yang baru, Bang?”
“Itu soal gampang, bisa diatur kok. Terima tawaranku Ren, aku pastikan kamu tidak akan menyesal!"
Rena kembali terdiam, tangannya mengusap cincin yang melingkar di jari manisnya. Menerima tawaran Ibra mungkin memang bisa memberi Satria pelajaran, supaya lain kali bisa lebih bersikap tegas pada para mantannya yang punya maksud usil.
Namun, Rena juga khawatir itu justru akan memunculkan masalah baru dalam hubungan mereka. Satria yang pencemburu dan posesif akankah bisa bertahan selama sebulan melihatnya dekat dengan pria lain, meski itu hanya sebatas soal pekerjaan.
“Cinta boleh, g****k jangan! Apa yang kamu lakukan kemarin pada Nadine itu sudah benar, jadi lain kali jangan hanya diam kalau diinjak. Sekarang tinggal bagaimana kamu bisa membuat Satria sadar, kalau satu langkah salahnya bisa membuat dia kehilangan segalanya.”
“Anggaplah kamu melakukan ini untuk Naya. Dia bisa saja kehilangan papa, kalau suatu saat nanti kamu benar-benar tidak sanggup bertahan di samping Satria yang sulit berubah.” ucap Ibra.
Sementara itu di luar Satria semakin kelicatan tidak tenang. Khawatir kalau Ibra akan semakin meracuni pikiran Rena. Matanya tidak sekejap pun beralih dari pintu ruang kerja iparnya itu, tapi orang yang ditunggunya belum juga keluar.
“Cilok …” seru Naya begitu melihat kucing bengal Cello mengendap di balik sofa.
Jingga sontak menoleh, celingukan mencari keberadaan kucing sepupunya yang sudah seperti musuh baginya. Naya beranjak bangun, lalu menggendong kucing bengal besar itu untuk diajak bermain bersama tiga kucing lainnya milik anak-anak Ibra.
Aksa sudah mulai awas, kalau sampai Cilok kena gebuk Jingga lagi bisa-bisa Cello mengamuk seperti kemarin.
“Eh Jelek! Kenapa kesini lagi?”
“Tidak boleh begitu Jingga? Kan Cilok tidak pecicilan lagi!” tegur Freya.
“Kemarin dia cakar Alien, Ma.” adunya merengut kesal.
“Kenapa tidak kamu cakar ganti?” sahut Satria menatap gemas keponakannya yang galaknya minta ampun.
“Jangan ajari Jingga yang tidak-tidak, Sat!” tegur Jonathan.
“Tanpa aku ajari cucu Papa yang satu itu dari sananya memang sudah bar-bar kayak bapak dan emaknya.” ketusnya.
Mereka lanjut mengobrol, masih dengan Satria yang harap-harap cemas menunggu Rena keluar. Sampai kemudian perhatian mereka teralih ke suara erangan keras kucing Jingga yang digigit oleh Cilok. Naya, Langit dan Gala sampai berhamburan mundur karena takut.
“Jingga!”
Freya berteriak keras begitu melihat anaknya yang marah menarik telinga Cilok, lalu balas menggigit kucing bengal berukuran besar milik anak Aksa itu. Satria buru-buru mengangkat keponakannya menjauh, sedang Aksa segera membawa kucingnya keluar.
“Kenapa malah digigit? Nggak boleh begitu Jingga!” ucap Jonathan ke cucunya yang masih melotot marah melihat kucing itu berlari pergi.
“Cilok duluan yang gigit Alien, Opa!” sahutnya sambil menangis mengusap perut kucingnya yang meninggalkan sedikit luka.
“Kamu sih Sat, ngajari anak nggak bener!” sungut Freya kesal.
“Besok biar Om yang bawa Alien ke dokter ya? Sekalian kasih tahu Bang Ello buat kurung kucingnya di rumah.” bujuk Aksa, tapi bocah itu malah mendengus kesal dan menggendong kucingnya masuk ke kamar.
Rumah Ibra memang selalu gaduh. Bayangkan ketiga anaknya masih berumur satu setengah tahun, apalagi Jingga paling bisa membuat semua orang pusing dengan kelakuannya yang bar-bar. Entah bagaimana jadinya kalau dua bayi kembar di perut Freya itu lahir, pasti rumah mereka seperti panti asuhan.