Bab.9 Jalan Yang Mereka Pilih

2021 Kata
“Papa …” Rena sontak menoleh begitu anaknya berteriak girang dengan wajah berbinar senang. Dia hanya bisa berdiri kesal melihat Naya berlari menghambur ke pelukan Satria. Entah kapan datangnya, tiba-tiba saja pria yang sejak pagi pontang panting mencari keberadaannya itu sudah berdiri tak jauh dari mereka. “Anak Papa hari ini belajar apa di sekolah?” tanya Satria dengan senyum lembut seperti biasanya saat dia mengobrol dengan Naya. “Menggambar, Papa hari ini nggak kerja juga kayak mama ya?” “Iya, biar bisa jemput Naya dan ketemu mama.” “Kalau nggak kerja nanti nggak punya duit, Pa!” sahut bocah itu polos dengan raut lucunya. Satria yang dibuat tertawa terkekeh menoel gemas hidung mancung Naya. “Duit Papa banyak, cukup buat jajannya Naya.” Rena menghela nafas panjang menatap anaknya yang tersenyum lebar memeluk leher Satria. Percuma memblokir aksesnya ke apartemen, karena Satria tetap saja bisa dengan mudah menemukannya. “Mau apa kesini? Kamu tidak punya kerjaan selain menguntitku terus ya?!” dengus Rena saat pria itu mendekat. “Ke sini ya pasti cari kamu sama Naya, masa iya mau cari satpam sekolahnya!” sahutnya enteng. “Kantor banyak pekerjaan menumpuk Sat! Kamu jangan bikin aku tidak enak sama Bang Ibra dan Om Nathan!” “Kalau begitu ikut aku balik ke kantor, jangan seenaknya saja tiba-tiba mau keluar!” balas Satria. “Sat …” “Aku hanya akan ke kantor kalau kamu juga kembali ke mejamu!” tegasnya. “Terserah!” sungut Rena, lalu melangkah ke tempat mobil diparkir. “Papa sama mama marahan ya?” sahut Naya bergantian menatap keduanya. “Nggak.” jawab Satria. “Iya.” jawab Rena hampir bersamaan. Satria hanya meringis begitu Rena berbalik dan melotot kesal. Gurat kemarahan masih terlihat jelas di wajah cantiknya yang merengut masam. “Maaf, beri aku sedikit waktu untuk bicara Ren. Masalah kita tidak akan selesai kalau kamu terus menghindar begini!” Rena memilih bungkam masuk ke mobilnya, sedang Satria membuka pintu belakang dan mendudukkan Naya di sana sebelum kemudian menyusul duduk di bangku penumpang. Mobil mereka mulai melaju meninggalkan halaman sekolah Naya. Sepanjang perjalanan hanya ada obrolan Satria dan anaknya. Rena yang menyetir benar-benar mengunci rapat mulutnya, bahkan sekedar melirik ke pria di sampingnya itu pun dia enggan. Bertengkar memang mereka sering, tapi baru kali Rena sampai semarah itu. Kepala Satria sudah cenat-cenut memikirkan cara membujuknya yang pasti akan ribet. Saat sampai di apartemen Rena langsung turun dan melenggang masuk tanpa repot-repot menunggu mereka. Satria mendecak pelan, menggandeng tangan Naya mengekor di belakangnya. “Ganti baju dulu dan cuci tangan Nay, lalu kesini makan!” seru Rena dari dapur membuka plastik berisi makanan yang tadi dibelinya. “Iya …” Tatapan Satria yang duduk di sofa tidak sedetikpun beralih dari Rena. Terpaksa diam, meski sebenarnya sudah tidak betah ingin mendekat dan memeluknya. Ada Naya, dia tidak ingin anaknya mendengar perdebatan mereka. “Kok cuma dua, Ma? Buat papa mana?” tanya bocah itu saat menyusul ke meja makan. “Papamu sudah kenyang minum, tidak butuh makan.” sindirnya membuat Satria meringis. “Tapi Nay mau makan sama papa,” rengek Naya menatap Satria. “Nay!” “Suapin Nay, Pa!” seru Naya tanpa peduli mamanya yang melotot kesal. Satria beranjak bangun dari sofa dan melangkah ke meja makan. Rena merengut melihat Satria yang duduk di samping anaknya. “Papa sudah makan belum?” tanya bocah itu saat Satria meraih sendok di piringnya. “Sudah, Papa sudah kenyang kok. Aaaa …” Naya membuka mulutnya dan menerima suapan dari Satria. Rena menghela nafas, Naya bahkan lebih manja ke Satria daripada kepadanya yang ibu kandungnya. Entah sejak kapan dia juga tidak tahu, tapi yang jelas perlakuan lembut Satria sudah sejak dulu mencuri seluruh perhatian dan hati Naya. “Habis makan Nay tidur sebentar, baru nanti kita pulang ke rumah!” ucap Satria. “Iya,” Naya mengangguk patuh. “Aku dan Naya sementara akan tinggal disini dulu,” sahut Rena. “Pulang bareng, atau aku juga akan menginap disini!” tegas Satria tanpa membalas tatapan Rena. “Sat!” “Makan, Ren! Marahnya nanti dulu, aku akan memberi waktu sebanyak yang kamu mau.” “Papa sama mama jangan berantem! Nay nggak suka kalian marahan,” gumam bocah itu seperti tamparan bagi mereka. “Nggak berantem kok, Papa cuma mau bicara soal kerjaan di kantor sama mama.” ucap Satria tersenyum mengusap lembut kepala Naya. Rena meneruskan makannya, hanya celotehan Naya dan Satria yang menimpalinya dengan gurauan seperti biasanya saat mereka sedang menghabiskan waktu bersama. Satria juga masih dengan telaten menyuapi anaknya. Bedanya kali ini dia dihantui rasa cemas kalau setelah ini Rena akan membawa Naya pergi darinya seperti dulu. “Duduk Ren! Kita perlu bicara,” ucap Satria begitu Rena keluar dari kamar Naya. “Mau bicara apalagi?!” Satria yang sudah menunggu di luar pintu menarik tangan Rena ke arah sofa. Berusaha menepis pun percuma, mana mungkin dia melepasnya begitu saja setelah dari pagi kalang kabut mencarinya. Satria baru melepas cekalan tangannya setelah mereka duduk dan Rena tidak berontak lagi. “Aku tahu kamu marah, tapi tolong dengarkan aku sekali ini saja Ren!” “Bukankah selama ini aku selalu mendengarmu! Bahkan aku seperti orang bodoh yang terus mendengar dan percaya omonganmu,” sahut Rena ketus. “Maaf, kemarin soal telepon dari Nadine itu aku benar-benar tidak bermaksud berbohong. Marahmu saja belum mereda, mana aku berani ngomong terus terang soal mengajaknya bertemu di Golden.” jelas Satria. “Jadi kamu memilih membodohiku, karena tahu aku segampang itu selalu percaya apapun yang kamu katakan!” protes Rena menatap Satria nanar. “Bukan begitu …” “Apa susahnya jujur Sat?!” Satria terdiam mendengar Rena yang memotong ucapannya dan berteriak marah. Sengaja membiarkan dia menumpahkan kekesalan dan sakit hatinya. “Kenapa kamu tidak pernah mau belajar dari kesalahan yang dulu soal Kiran. Hubungan kita pernah berantakan dan sama-sama terluka, karena kamu mempertahankan Kiran juga berbohong tentang dia yang mantan simpananmu!” ungkit Rena soal mantan sekretaris Satria itu. “Nggak ada kapoknya kamu, Sat! Sekarang mengulanginya lagi berbohong soal Nadine. Kamu mana tahu rasanya sesakit apa jadi aku?!” Air mata Rena mulai merembes, raut kesakitannya benar-benar membuat Satria tersiksa rasa bersalah. “Iya, soal Kiran dan Nadine memang salahku sudah tidak jujur. Untuk itu aku minta maaf. Tolong Ren, janji setelah ini aku tidak akan menutupi apapun lagi darimu.” ucap Satria menghela nafas panjang dengan raut menyesalnya. “Dulu kamu juga ngomong begitu, tapi buktinya apa?! Kamu mengulanginya lagi sekarang!” dengus Rena mengusap kasar pipi basahnya. “Terus aku harus bagaimana supaya kamu percaya?” tanya Satria. “Tidak tahu, aku juga tidak ingin menuntut apapun darimu.” jawab Rena menggeleng getir. “Ren …” “Jujur itu pilihan, Sat. Aku tidak ingin kamu merasa terpaksa melakukannya. Tidak harus aku meminta, kalau aku memang berharga bagimu pasti kamu tidak akan tega membohongiku.” Rena membuang muka, tidak ingin terlihat lemah di depan Satria karena air matanya yang justru semakin deras mengalir. Sesakit itu dia, sedalam rasa cintanya pada Satria. Helaan nafas Satria terdengar keras saat menghempas punggungnya yang lelah. Tatapan lekatnya masih terpaku pada wanita kesayangannya yang terisak lirih di hadapannya. Brengseknya lagi justru dia lah yang selalu membuat Rena menangis dan sakit hati. Lalu, apakah masih pantas kalau dia memaksanya bertahan di sampingnya. “Maaf kalau sampai sekarang aku belum bisa memenuhi janjiku pada mendiang mamamu untuk membahagiakan kamu dan juga Naya. Aku yang justru selalu membuatmu menangis dan sakit hati,” ucap Satria dengan suara beratnya. “Sesulit inikah untuk kita bahagia, Sat?” gumam Rena lirih. Satria tertawa pelan dengan wajah getirnya. Semua masalah selalu datang darinya. Bahkan dulu setelah mereka sempat memutuskan berpisah dan dia baru kembali dari Singapura usai operasi donor ginjal, Rena lah yang tidak pernah menyerah memperjuangkan kembali perasaan mereka. Dia wanita luar biasa yang sanggup bertahan dengan sakit hatinya saat dirinya gigih mendorongnya menjauh. Semua orang juga tahu sesabar apa selama ini Rena menghadapi sifatnya yang kadang arogan dan tidak pernah ingin dibantah. Kalau sampai sekarang Rena memilih menyerah, maka itu adalah salahnya sendiri yang tidak bisa menghargai wanita setulus itu. “Semua salahku,” ucap Satria. Rena mendongak, dadanya semakin sesak melihat Satria yang menatapnya dengan penuh rasa bersalah. Tapi tidak, kali ini dia tidak ingin begitu saja menyerah kalah dan kembali jatuh ke pelukannya. “Sat …” “Ya …” “Ayo kita sudahi saja!” Mata Satria seketika melebar dengan wajah kaku. Jantungnya berdegup kencang, tapi dia yakin telinganya memang tidak salah dengar. “Maksud kamu apa ngomong begitu?!” ucapnya dengan nafas terengah. “Ini bahkan sudah kali kedua kita mencoba bersama, tapi sepertinya langkah kita sulit untuk sejalan. Percuma kalau tetap dipaksakan. Mungkin benar apa kata Kiran dan Nadine, aku bukan orang tepat untuk kamu jadikan pendamping hidup.” “Jangan ngawur, kamu! Kenapa harus mendengar mulut sampah orang? Tepat atau tidak bukan mereka yang berhak menilai, bahagia hanya kita yang merasakan. Peduli setan dengan omongan orang yang bahkan hidupnya sendiri jauh lebih kotor dan menjijikkan!” sahut Satria dengan suara meninggi. “Tapi Sat …” “Nggak! Jangan pernah berpikir pergi dariku, Ren!” sela Satria. Rena menggeleng. Kalau semudah ini dia mengalah seperti yang sudah-sudah, lain kali Satria akan mengulangi lagi kesalahan yang sama karena tahu terlalu gampang mendapatkan maafnya. “Lamarannya kita batalkan saja, aku belum siap melangkah sejauh itu. Kita tempuh jalan kita masing-masing. Mungkin, itulah yang terbaik untuk kita saat ini.” ucap Rena dengan suara terbata-bata. “Aku tidak mau!” tegas Satria. “Satria …” Nafas Satria memburu dengan wajah merah padam. Bukan marah ke Rena, tapi kesal dengan dirinya sendiri yang tak pernah bisa menjadi apa seperti maunya Rena. “Kamu masih cinta aku apa tidak, Ren?” Rena mengernyit. Ini bahkan kali pertama Satria yang biasanya tidak pernah mengucapkan cinta menanyakan soal rasa itu, dengan tatapan lekat dan rautnya yang sulit diterjemahkan. “Kalau aku tidak cinta kamu, aku juga tidak akan sesakit ini. Tapi Sat, dalam hubungan tidak cukup hanya dengan cinta. Semua akan berakhir sia-sia tanpa kepercayaan dan kejujuran.” “Aku sudah janji tidak akan mengulanginya lagi Ren. Sekali ini saja, tolong percaya padaku!” Tangan Rena yang saling bertautan tampak mengusap cincin dari Satria yang melingkar di jari manisnya. Itu bahkan bukan cincin asal beli, tapi barang paling berharga bagi Satria karena merupakan peninggalan mendiang ibu kandungnya. Perang batin sedang mengguncang Rena, antara melepas atau tetap membiarkan cincin itu melingkar di jarinya. Saat Rena sudah mantap untuk menariknya lepas, tangan Satria lebih dulu meraih jemari Rena dan menggenggamnya erat. “Jangan dilepas! Kecuali aku sudah menggantinya dengan cincin nikah,” ucap Satria menatap nanar cincin yang dia sematkan di jari Rena saat melamarnya di depan Aksa dan teman-temannya lain. “Sat …” Satria mengalihkan tatapannya ke mata Rena. Dia tidak peduli kalau dibilang egois dan tidak tahu diri, itu tidak seberapa jika dibanding harus hidup tanpa Rena dan Naya. “Kalau kamu belum siap untuk melanjutkan hubungan kita ke jenjang yang lebih serius, kita bisa tunda dulu acara lamarannya. Kalau sekarang kamu belum bisa memaafkanku, biar aku yang sementara menjauh dulu. Tapi, tidak ada kata pisah!” ucap Satria. Harusnya Rena lega karena Satria mau menuruti keinginannya, namun justru air matanya mengalir deras. Dia menangis tergugu menatap mata Satria yang berkaca-kaca. “Maaf Boo, aku sudah membuatmu menangis lagi.” Satria merengkuh bahu Rena yang terguncang dalam tangisnya, memeluknya begitu erat. Tidak apa membiarkannya sedikit menjauh, asal tidak pergi darinya seperti dulu. Mungkin ini memang jalan terbaik bagi mereka. Saling intropeksi diri dan berbenah, hingga saatnya nanti dia akan menemukan jalan untuk meraih tangan Rena lagi. “Ingat, jangan lepas cincinnya! Tidak boleh! Aku hanya membiarkanmu sedikit saja menjauh, tapi bukan pisah. Jaga mata dan hati kamu, awas kalau sampai tengak tengok!” ucap Satria. Tangis Rena seketika berhenti dan mendorong Satria menjauh. Matanya yang sembab memerah tampak melotot sengit. Belum sempat dia memaki, pria yang beberapa hari ini sudah membuatnya sakit hati itu lebih dulu menyambar bibirnya. Tangan Rena yang meronta dicekal erat, hingga punggungnya terhempas ke belakang dan dia dibuat tidak berkutik di bawah kungkungan tubuh Satria.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN