Delapan

1631 Kata
(flashback pekan olah raga tahun lalu di ingatan Rasya) Rasya memakai earbuds di kedua telinganya, bersandar di salah satu kursi, menunggu giliran untuk tanding basket setelah pertandingan badminton. Namun suara musik yang keluar dari earbuds itu tak bisa menepiskan suara ramai para penonton yang menyorakkan satu nama “Yura”, membuatnya melepas benda di telinganya dan menatap ke lapangan. Di mana terdapat sesosok wanita cantik dengan rambut diikat ala ekor kuda, rambutnya mungkin sangat pendek jika di gerai sehingga dia membutuhkan beberapa jepitan di sekitar kunciran rambutnya. Wanita cantik berkulit putih dengan mata sipit itu tampak tersenyum manis ketika mencetak satu angka. Sejenak mata Rasya terpaku melihat senyumnya, senyum cerah yang seolah menularkan siapapun untuk ikut tersenyum. “Seksi banget, berani!” suara seorang di samping Rasya membicarakan Yura dengan teman sebelahnya. Pandangan Rasya turun, menatap tubuh semampai Yura, celana pendeknya yang menampilkan kaki jenjangnya yang putih nyaris tanpa noda. Dia tampak seperti anak SMA dengan kaos kaki panjang seperti itu. Sepanjang pertandingan itu Rasya jadi ikut memperhatikan Yura, hal yang hampir tak pernah dilakukannya. Memperhatikan seorang wanita dan merasa tertarik kepadanya. Hanya saja, setelah hari itu, Rasya seolah melupakannya dan larut akan kesibukan yang hanya dia sendiri yang tahu. Hingga pada tahun berikutnya, boneka buatan Sonia tak sengaja tersangkut dengan gelang milik Yura, pandangan mata Yura mengingatkannya kembali bahwa dia pernah tertarik dengan sesuatu selain pekerjaan dan Sonia, putrinya. Sejujurnya Rasya tak membuang kesempatan itu begitu saja, usianya sudah cukup untuk menjalin hubungan pernikahan, dan melihat betapa Sonia kehilangan pengasuhnya membuat Rasya mulai memikirkan untuk memberikan ibu bagi Sonia. Seolah dewi keberuntungan berpihak padanya, hari itu Yura berbicara dengan bahasa isyarat, menjadi pembuka jalan bagi Rasya untuk semakin dekat kepadanya. Meskipun dia tak menyangka malam itu akan terjadi dalam hidupnya yang membuatnya berjanji kepada Kuncoro untuk menikahi Yura, dan beruntungnya Yura tak menolaknya. Lalu wafatnya nenek Ana, dan kecurigaan Rasya akan orang jahat yang mungkin mengincar Yura entah untuk tujuan apa? Membuat Rasya mengikrarkan dirinya untuk melindungi Yura dan dia akan mewujudkannya dengan pernikahan yang akan membuatnya lebih leluasa melindungi sesuatu yang membuatnya tertarik, membuat hidupnya mungkin tidak akan membosankan seperti sebelumnya lagi. Rasya yang sedari tadi berdiri di belakang para penonton pun menyeruak maju, ke tempat duduk di samping Mia yang masih kosong dan diisi oleh tasnya. Mungkin Mia yang meletakkan tas Rasya di tempat itu. Rasya menurunkan tasnya dan duduk di kursi itu. Mia hanya menoleh sekilas dan kembali menatap Yura yang masih bertanding. Pertandingan badminton pertama ini justru terlihat sengit karena sukar sekali mencetak angka. Rasya tak pernah peduli dengan sikap orang-orang terhadapnya yang terkesan menghindarinya, toh dia lebih menyukai hal itu, berinteraksi dengan orang lain membuatnya lelah. “Boleh bicara sebentar,” ucap Mia, membuat Rasya yang semula lekat menatap calon istrinya itu menoleh ke arahnya. “Ya,” ucap Rasya singkat dan padat meski tidak terlalu jelas karena suara para pria yang sibuk menyemangati Yura seperti fanboy kepada idola favoritnya sangat membuat suasana bising. “Kamu serius akan menikahi Yura?” tanya Mia, Rasya kembali menoleh ke arah Yura memperhatikan wajah Yura yang tetap tersenyum meski keringat mulai membasahi keningnya. “Iya,” jawab Rasya lagi. Terdengar Mia menghela napas panjang, bagaimana Yura bisa menikahi gunung es seperti ini? Apa dia tak akan kedinginan nantinya? Benak Mia dipenuhi pertanyaan, Yura tidak tinggal dengan keluarga yang utuh, hanya bersama neneknya, dia tahu karena sejak masuk kantor ini, hanya dia yang paling dekat dengan Yura sebagai senior sekaligus rekan kerjanya. Mia menyayangi Yura, tentu saja. Sehingga membuat dia khawatir dengan keputusan yang dibuat oleh Yura. “Aku titip dia, dia tidak memiliki siapapun di dunia ini, tolong jangan sakiti dia, perlakukan dia dengan baik. Aku tahu aku enggak berhak mengatakan ini karena aku bukan keluarganya, hanya saja ... aku sudah menganggap dia seperti adik sekaligus sahabatku,” ucap Mia seraya mencoba tersenyum meski terpaksa. “Iya,” jawab Rasya lagi, ingin rasanya Mia menarik rambut pria itu dan menghantamkan kepalanya ke sandaran kursi karena ucapannya yang panjang hanya dibalas kata ‘iya’ saja sejak tadi. Namun dia dengan cepat menoleh ketika Rasya kembali membuka bibirnya, “jadilah bridesmaid untuknya, temani dia saat pernikahan nanti karena mungkin itu kesempatan terakhir kalian bersama dalam waktu lama.” Rasya lantas berdiri, meletakkan botol Yura yang sedari tadi berada digenggamannya ke atas kursi yang tadi dia duduki, lalu dia pergi sambil menunduk, tak lagi menoleh ke arah Mia yang benaknya masih dipenuhi ratusan pertanyaan. “Terakhir?” tanya Mia pada dirinya sendiri, ‘dia nggak berniat yang aneh-aneh ke Yura kan?’ tutur Mia dalam hatinya. Teriakan para fans Yura kembali bergema membuat Mia tersadar dari lamunannya, rupanya Yura telah menyelesaikan set pertama dengan kemenangannya, angka lima belas – sepuluh di dapatnya dengan usaha yang keras. Yura berlari ke arahnya, seolah mencari keberadaan Rasya. Dia mengambil botol minumnya yang telah terisi penuh, menenggaknya sembari melirik ke arah Mia seolah menanyakan siapa yang mengisi botolnya kembali? “Rasya yang isi,” jawab Mia yang berhasil menebak pertanyaan yang terlontar dari mata Yura. “Terus ke mana dia?” tanya Yura yang kini menyeka keringat dengan handuk kecilnya. “Entah,” ucap Mia. Yura kembali di panggil oleh panitia karena babak selanjutnya akan segera di mulai. Dia pun berlari ke pinggir lapangan lagi, berbincang sejenak dengan wasit. Di kejauhan, Rasya menatap Yura sambil menenteng tasnya, dia mengeluarkan botol minuman yang masih penuh. Sejujurnya meminum air Yura hanya alasannya saja, dia merasa perlu mengecek sesuatu. Mungkin dengan cara itu dia bisa melindungi Yura. Dia menenggak minumannya dan merasakan feeling yang tidak enak di sekitarnya, dia memendarkan pandangan. Di kejauhan tampak pria memakai kemeja hitam dan celana hitam, sepatu yang mengkilat. Rasya memicingkan matanya, pria itu tampak lekat memandang Yura. Rasya baru pertama kali melihatnya, dan melihat id card yang tergantung di lehernya dengan tali berwarna kuning menunjukkan bahwa orang itu bukan karyawan. Karena gantungan kuning hanya dipakai oleh visitor. Pria itu menoleh ke arah Rasya, mata mereka saling pandang dan dia bergegas pergi. Rasya berjalan cepat mengikutinya, namun pria itu berlari, Rasya mencoba mengejarnya, namun dia kehilangan jejak karena bertepatan dengan jam pulang kantor yang itu berarti banyak karyawan berhamburan ke luar perusahaan. Rasya menggeram kesal, mencengkram tali tasnya dan menggeleng sebal. Lalu dia mengambil ponsel dari tasnya, menekan satu nomor yang paling sering dia hubungi, “cek identitas tamu hari ini, adakah yang mencurigakan? Laporkan pada saya!” ucap Rasya lalu dia memutuskan panggilan itu. *** Kembali ke lapangan, Yura berhasil memenangkan pertandigan ini sehingga waktu pertandingan berjalan lebih cepat, hanya dua set. Beberapa orang memberinya ucapan selamat, sebagian pria hanya ingin sekedar menyentuh tangannya dan berpura mengucapkan selamat kepadanya. Yura membalas dengan senyuman, dia memang selalu ramah kepada siapa pun. Mia menghampiri Yura dan menyodorkan tas Yura, celana panjangnya telah dilipat dan dimasukkan ke tas itu. “Makasih Mi,” ucap Yura. “Kamu mau mandi dulu di ruang fitness?” tanya Mia. “Iya, habis itu beresin sisa kerjaan, baru deh pulang,” ucap Yura sambil berjalan di samping Mia. Memang di gedung perusahaannya ada lantai khusus fitness, dan di lantai itu ada kamar bilas untuk karyawan yang telah selesai berolah raga. “Pulang ke rumah nenek Ana?” tanya Mia lagi, Yura pun menggeleng. “Aku sebenarnya sudah tinggal dengan mas Rasya,” ucap Yura. “Aku nggak menyangka kamu senakal itu?” ujar Mia setengah bercanda. Yura merajuk dan memajukan bibirnya sebal. “Enggak kok, kami belum ngapa-ngapain.” “Hehehe iya aku bercanda, ngomong-ngomong kapan pernikahan kalian?” “Kata dia sih dua minggu lagi,” jawab Yura sambil mengembuskan napas. “Rasya minta aku jadi bridesmaid kamu, bagaimana?” “K-kamu serius? Wah aku senang banget kalau kamu bersedia,” ucap Yura. Dia memang sangat ingin menjadikan Mia dan Dela bridesmaid, apalagi dia tak punya terlalu banyak teman. Namun dia bingung mengutarakannya. Mia yang terpaut dua tahun di atasnya belum menikah, dia khawatir hal itu bisa menyinggungnya, karena itu dia sedang memilah kata-kata ajakan untuk Mia. Syukurlah Rasya sudah mengatakan sebelumnya sehingga dia tak terlalu kesulitan. “Tentu, aku akan bantu kamu menyiapkan pernikahan,” ucap Mia. “Terima kasih Mi,” ucap Yura seraya mengamit tangan Mia. “Jangan dekat-dekat! Kamu bau!!!” sungut Mia menjauh, namun Yura dengan cepat mengejarnya dan menarik tangannya lagi sehingga mereka berdua justru bercanda dan tertawa sepanjang jalan menuju lift. *** Yura tak turun di lantainya ketika pintu lift terbuka, dia perlu mandi sebelum ke ruang kerjanya sehingga dia menuju lantai fitness centre, sesampai di lantai itu, suasana tampak sepi, sepertinya tak ada yang fitness hari ini. Hanya ada resepsionis dan penjaga loker di depan ruangan fitness yang tersenyum sopan kepadanya. Yura segera menuju ruang bilas, tak sengaja bertemu Rasya yang sepertinya akan mandi juga. Rasya menatapnya lekat. “Pulang jam berapa?” tanya Rasya karena Yura tak menyapaya lebih dulu. “Jam tujuh mungkin, ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan sebelum pulang,” jawab Yura. “Aku tunggu di lobi,” ucap Rasya. “Enggak perlu, Mas. Aku bisa naik bus,” ucap Yura yang tak enak hati, Rasya sudah berangkat bersamanya pagi tadi, dia tak mau Rasya harus menunggu dua jam untuk pulang bersamanya lagi. “Aku juga ada kerjaan, mulai sekarang jangan pergi sendirian,” ucap Rasya dingin, lalu dia masuk ke dalam kamar bilas khusus laki-laki. Yura hanya mengangkat bahunya acuh. Yura melangkahkan kaki menuju kamar bilas khusus perempuan. Masuk ke bilik dan menggantung tasnya di dinding, membuka bajunya satu persatu, dia membuka kran air hangat dan membilas tubuhnya. Rasa hangat menjalar di tubuh membuatnya rileks. Salah satu hal yang dia sukai setelah berolah raga adalah mandi di ruangan ini, karena jika mandi di rumahnya, tentu dia harus memasak air dahulu untuk mendapatkan air hangat. Di sini, hanya buka keran, dan air hangat sudah memanjakan tubuhnya. Dia akan senang berlama-lama membersihkan sela-sela tubuh dan menikmatinya. ***    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN