Sembilan

1799 Kata
Yura cukup terkejut saat menjejakkan kaki di ruangannya, karena para karyawan divisinya masih berkumpul dan tampak sangat sibuk. Dia pun meletakkan tas di meja, lalu menarik kursi ke arah Mia yang sibuk mengetik sesuatu. “Kok belum pulang?” tanya Yura. “Ada memo dari CEO langsung, kita harus mengirim ke seluruh bagian,” ucap Mia dengan mata tak lepas dari layar komputernya. “Memo apa?” “Surat tugas, setiap karyawan yang masuk kerja mulai besok harus membawa surat tugas yang di stempel atasan, semua manager up tidak ada yang pulang sampai selesai membuat surat tugas,” ucap Mia. “Astaga,” tukas Yura, dia menyalakan layar komputernya ketika atasannya menghampiri dan memberikannya pekerjaan yang harus dia selesaikan. Ruangan yang seharusnya sepi itu, tampak sangat sibuk, suara ketukkan jari dengan tuts keyboard mendominasi, mereka memiliki waktu satu jam untuk menyelesaikan seluruh pekerjaan karena sebelum jam tujuh mereka harus sudah menyebarkan surat itu. Yura larut dalam pekerjaannya, dengan cepat dia melakukan pekerjaan yang harus dia lakukan meskipun dia sangat bingung, adakah kejadian yang membuat perusahaan membuat kebijakan dadakan seperti ini? Pukul tujuh kurang tiga puluh menit, seluruh tim divisi Yura bernapas lega, mereka berhasil menyelesaikan pekerjaannya, kini surat itu sudah di distribusikan ke para manager untuk selanjutnya diberikan ke bawahannya via email karena sebagian besar karyawan tentu sudah pulang ke rumah. “Masih buat laporan?” tanya Mia seraya menggerakkan lehernya yang pegal. “Masih, sedikit lagi selesai, kamu pulang duluan aja,” ucap Yura. “Aku juga masih ada sedikit pekerjaan, kita pulang bareng sampai lobi,” jawab Mia membuat Yura tersenyum senang. Mia memang sangat bisa diandalkan. *** Pukul tujuh tepat, Yura dan Mia keluar dari ruangannya, melewati ruangan kaca lain dan terlihat bagian lain pun masih tampak sibuk pasti karena instruksi pemilik perusahaan yang bahkan sampai saat ini pun belum pernah tampak batang hidungnya. CEO Bamboo memang sangat misterius, hanya orang tertentu yang bisa bertemu dengannya. Bahkan di profil perusahaan tak ada fotonya hanya namanya saja yang terpampang. R. Ryoichi, itu yang para karyawan tahu tak ada biodata lain. Seorang pria membawa alat untuk scan, berjalan cepat sehingga tiangnya tak sengaja terkena Mia, “M-maaf Bu, saya tidak sengaja,” ucap pria itu sembari membungkuk hormat, wajahnya pias dia tampak sangat penuh tekanan. “Iya enggak apa-apa, enggak sakit kok,” ucap Mia seraya tersenyum. Pria itu menarik napas lega. “Alat untuk apa?” tanya Mia. “Untuk scan id card besok pagi Bu, kami sedang mencoba meggunakannya dan menyambungkan ke komputer,” ucap pria itu. “Oh, besok ada scan id card juga?” tanya Mia. “Iya Bu, seluruh penjagaan akan diperketat mulai besok,” jawabnya. “Boleh tahu ada apa sebenarnya?” tanya Yura yang didera penasaran. “Saya juga kurang tahu Bu, hanya mengikuti instruksi dari atasan. Yang saya tahu hal ini langsung diminta oleh Pak Ryoichi,” ucap pria itu lalu dia berpamitan karena harus menyelesaikan pekerjaannya. Mia dan Yura pun kembali berjalan menuju lift. Kantor ini masih sangat ramai padahal sudah lewat jam pulang. Yura memejamkan matanya sejenak untuk berpikir, Ryoichi! Bukankah itu nama belakang Rasya? Yura ingat saat Rasya menelepon dengan bahasa Jepang beberapa hari lalu yang jelas menyebut nama Ryoichi.   “Mi, waktu kerja dengan mas Rasya, kamu tahu nama lengkapnya?” tanya Yura. “Di ID cardnya hanya ada nama Rasya Mahatra R aja, aku juga kurang tahu, semua dokumen kepegawaian dia hanya tertulis Rasya Mahatra R, memang ada apa?” tanya Mia. Yura menggeleng dan mencoba tersenyum. Sepertinya Rasya menyembunyikan nama belakangnya, berarti benar dugaan Mia dan para karyawan lain yang menduga bahwa Rasya masih memiliki hubungan kekerabatan dengan pemilik perusahaan karena nama belakang mereka sama. Dan Yura akan merahasiakan itu, tidak mau membuat kehebohan, pasti ada alasan kenapa Rasya menyembunyikan namanya? Sesampai di lobi, Yura melihat Rasya yang duduk di salah satu sofa tunggu sambil memainkan ponselnya, Mia menyenggol bahu Yura dan tersenyum, “aku duluan ya, sampai bertemu besok,” ucap Mia. “Iya, hati-hati di jalan,” ucap Yura. Mia melambaikan tangan ke arah Yura dan berjalan lebih dahulu keluar gedung. Yura menghampiri Rasya dan berdiri di depannya, Rasya mengangkat wajah dan melihat Yura yang sudah tersenyum ke arahnya. Rasya hanya berdehem dan berdiri. “Sudah selesai?” tanyanya pelan. “Iya, sudah. Sonia pasti sudah menunggu,” ucap Yura. “Sonia sudah tidur, kelelahan di sekolah tadi jadi dia tidur cepat,” ucap Rasya. “Oh,” jawab Yura pelan, dia pikir mereka akan makan malam bersama Sonia seperti sebelumnya. Rasya berjalan di samping Yura, menuju motornya yang terparkir, dia memberikan Yura helm, Yura pun memakainya dan duduk di boncengan motor Rasya. Tak ada percakapan yang ke luar di antara mereka, hingga Rasya membelokkan motornya ke salah satu cafe di tengah perjalanan. Dia memarkirkan motornya. Yura turun dari motor dan membuka helmnya. “Kita mau makan di sini?” tanya Yura. Rasya hanya mengangguk dan mengambil helm di tangan Yura, lalu meletakkan di atas spion motor besarnya. Dia juga meletakkan helmnya di spion yang satunya lagi, lalu berjalan masuk ke cafe itu. Mereka duduk di tempat yang cukup dalam, malam ini cafe itu tak terlalu ramai. Rasya membuka buku menu yang disodorkan waitress, dia langsung memesan menu makan malam, begitu pula Yura yang menjatuhkan pilihan segera setelah melihat buku menu. Tak berapa lama, waitress membawakan mereka minuman, Rasya kembali membuka ponselnya, tampak mencari sesuatu karena ibu jarinya terus menscroll layar ponsel itu. Lalu setelah mendapatkan yang di cari, dia menunjukkan ponsel yang menampilkan gambar dirinya menggendong balita perempuan. Tak ada senyum di wajah Rasya saat itu. Yura mengambil ponsel Rasya dan tersenyum melihat balita menggemaskan dalam foto itu, “Sonia kan ini?” tanya Yura, Rasya pun mengangguk. “Boleh aku scroll lihat gambar yang lain?” tanya Yura. “Ya,” jawab Rasya, dia meminum jus lecinya yang menyegarkan tenggorokan. Sementara bibir Yura tersenyum melihat beberapa foto kecil Sonia. “Dia berusia dua tahun saat aku bawa ke rumah,” ucap Rasya. Yura mengerjapkan mata lalu mengernyitkan keningnya menatap ke arah Rasya yang memasang wajah serius. “Maksud kamu?” “Sonia, bukan anak kandung aku. Dia anak dari panti asuhan tempat aku pernah di asingkan keluargaku dulu,” ucap Rasya, meski nada suaranya terdengar ketus. Yura mengunci tombol ponsel Rasya dan meletakkan di meja, dia lebih tertarik dengan cerita Rasya. “Diasingkan? Jadi Sonia bukan anak kandung kamu?” “Apa kamu masih akan menyayanginya setelah tahu dia bukan darah daging aku?” “Tentu saja aku akan tetap menyayanginya. Bisa cerita sedikit tentang Sonia dan bagaimana bisa kamu membawanya?” “Aku mengadopsinya, dia bayi malang yang ditinggalkan kedua orang tuanya yang kecelakaan, tidak punya sanak saudara sama sekali. Kecelakaan itu merenggut indra pendengarannya. Aku pernah di asingkan oleh orang tua saat SMA, aku tinggal di panti itu selama setahun. Di sana aku belajar banyak hal, setiap tahun aku mengunjungi tempat itu, dan aku bertemu dengannya. Di saat orang tuaku meminta aku menikah agar aku memiliki anak. Namun, aku enggak mau menikah, jadi aku putuskan mengadopsi anak.” Ucapan Rasya mungkin menggelikan jika dia menceritakannya sambil tertawa, Yura pasti akan menganggapnya konyol. Namun Rasya menceritakan dengan wajah serius membuat Yura tak tahu harus menanggapi dengan cara apa? Lalu waitress membawakan makanan untuk mereka berdua. “Hanya itu yang aku ingin kamu tahu,” ucap Rasya, mengambil sendok dan garpu. Sementara Yura masih terdiam. “Tapi kamu menyayanginya kan?” tanya Yura. “Tentu.” “Oke, itu cukup. Yang penting kamu menyayanginya,” ucap Yura sambil tersenyum lalu dia mulai memakan makannya. “Sonia itu sebagian hidupku, sampai kapan pun dia akan menjadi putriku,” tutur Rasya pelan. “Ya, aku tahu, dan sebentar lagi dia akan menjadi putriku,” jawab Yura sambil menyuap makanannya, wajah Yura memang menatap piring di hadapannya. Namun Rasya bisa merasakan kehangatan saat Yura mengucapkan kata itu. Rasya menarik sudut bibirnya, sedikit tersenyum lalu melajutkan makannya. Dia tak menyangka Yura menanggapi ceritanya dengan baik. *** Rasya membuka pintu kamar Sonia, melihat putri kecilnya yang terbaring dengan selimut yang sudah berantakan. Sonia sepertinya sangat kelelahan karena aktifitas sekolahnya hari ini. Rasya duduk di tepian ranjang, gadis kecil itu, membetulkan letak selimutnya, mengatur suhu AC, lalu membelai rambut Sonia. Ingatannya melayang ke belasan tahun lalu. Rasya tumbuh menjadi anak yang pembangkang, dia selalu bertindak sesuka hati, lahir dalam keluarga konglomerat membuatnya menjadi pribadi yang egois, dia sering sekali pindah-pindah sekolah, berbuat onar. Berlatih bela diri hanya untuk bergaya dan menghajar orang yang membuatnya kesal. Body guardnya selalu berganti-ganti karena tidak kerasan bekerja dengannya. Omongannya ketus yang paling membuat siapapun tidak tahan berada di dekatnya. Hingga kedua orang tuanya tidak mengerti lagi langkah apa yang harus diambil untuk mendisiplinkan putranya, mereka sadar, kesibukan mereka yang membentuk Rasya seperti itu, Rasya yang keinginannya selalu dituruti membuatnya besar kepala. Hingga di usianya yang ke tujuh belas tahun, dia di usir dari rumah. Tinggal jauh di panti asuhan yang ditunjuk orang tuanya. Hanya itu cara satu-satunya dia tetap bertahan menjadi pewaris. Rasya sadar dia tak bisa apa-apa tanpa harta orang tuanya saat itu. Dia pun menyetujuinya, selama setahun tinggal di panti asuhan, membuat dia sadar bahwa banyak sekali orang yang terlahir tidak seberuntung dirinya. Perlahan sikapnya berubah meski dia masih tampak dingin, namun dia mulai peduli dengan sekitar. Setelah setahun, dia kembali bersama orang tuanya, mereka tampak puas dengan perubahan Rasya, meski lelaki itu masih sulit diatur, lalu Rasya meminta kuliah di luar negeri untuk mempelajari bisnis untuk meneruskan usaha orang tuanya. Hingga lima tahun lalu, orang tuanya meminta dia menikah karena khawatir Rasya yang tampak tidak tertarik menjalin hubungan dengan wanita manapun itu, mereka membuat ultimatum bahwa Rasya tidak akan mendapatkan warisan lagi jika tak menuruti mereka. Rasya tak seperti dulu yang langsung menurut, dia merasa sudah bisa mencari uang sendiri jika harus keluar dari rumah itu. Untuk terakhir kalinya dia membangkang kepada orang tuanya, dia yang paling tidak suka diatur, justru membawa pulang balita berusia dua tahun. Yaitu Sonia. Orang tuanya tak bisa berkutik lagi, mereka pun jatuh hati pada Sonia meski tahu balita itu memiliki kekurangan. Namun hanya beberapa bulan setelah itu, pesawat yang ditumpangi orang tua Rasya mengalami kecelakaan. Sehingga nyawa mereka tak tertolong, sejak itu Rasya baru menyadari artinya kehilangan orang yang disayanginya, membuatnya semakin takut menjalin hubungan dengan orang lain. Hingga Yura hadir dalam hidupnya dan membuatnya memikirkan kembali perkataan terakhir orang tuanya, “dalam hidup, kamu butuh pasangan Sya, sosok yang akan menemani kamu. Anak akan pergi saat dewasa, namun pasangan hidup, akan bertahan bersama kamu, sampai akhir hayat kamu,” ucapan orang tuanya kembali terngiang, membuat Rasya berani bermimpi tentang pernikahan. Terlebih Kuncoro sang pengacara itu selalu mendesaknya karena ingin cepat menyelesaikan pekerjaan terakhir yang dijanjikan kepada kedua orang tua Rasya tersebut. Saat ini Rasya merasa pilihannya tepat. Mungkin orang tuanya akan bahagia di atas sana melihat putra satu-satunya menikah. ***        
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN