Yank, panggilan kesayangan untuk Dyandra, kependekan dari Sayang. Sebuah panggilan yang terasa hambar untuk saat ini.
Dyandra sadar, sikapnya menunjukkan ada sesuatu yang salah. Ia harus segera terlihat normal, agar tidak menimbulkan pertanyaan.
“Mwah!” Sebuah kecupan akhirnya ia daratkan di bibir Arka.
“Nah, begitu, dong, he he he,” kekeh Arka melumat kembali bibir istrinya.
Darah Dyandra terasa mendidih. Bahkan perasaan mual menelisik di dalam lambungnya. Namun demikian, ia tetap berusaha bermain peran dengan baik.
“Aku suka melihatmu dengan celana ketat ini, Yank. Kamu seksi sekali,” desah Arka meraba bagian belakang tubuh molek wanita kecintaannya.
“Aku lari dulu, Mas! Nanti kita lanjut, ya!” Dyandra segera kabur keluar kamar. Ia harus melarikan diri dari berbagai sentuhan Arka sebelum pertahanan sandiwaranya runtuh.
Lelaki itu, bagaimana bisa tetap menyentuh tubuh istrinya seakan tidak pernah menyentuh wanita lain?
Baru saja ia menuruni tangga ketika sebuah suara memanggilnya. Suara yang terdengar merdu, ramah, dan bersahabat.
“Mbak Dyandra, sudah berangkat lari pagi?”
Dyandra menoleh malas kepada suara itu. Batinnya langsung bergemuruh ingin menerkam sang pemilik suara.
Wanita murahan! Aku menyewa kamu untuk melahirkan anakku! Bukan bercinta tiap malam dengan suamiku! What the hell is wrong with you?
Dyandra mengumpat dan memaki tidak karuan di dalam hati kepada wanita cantik dengan perut yang mulai membuncit. Paras manis sedang berdiri di hadapannya. Bibirnya tersenyum, wajahnya hangat, tetapi hatinya benar-benar murka dengan wanita ini.
***
Sebuah senyum ditampilkan dengan sangat terpaksa oleh Dyandra. Saat masih SMA dulu padahal ia tidak pernah mengambil kelas drama. Entah mengapa kali ini ia pintar sekali menutupi perasaan muak terhadap perempuan di hadapannya.
“Iya, Cersey. Aku harus menjaga kesehatan. Mas Arka selalu mengajak olah raga di atas ranjang hampir tiap malam. Jadi aku harus terus fit,” jawab Dyandra menyindir.
Selain itu, ia sedikit banyak ingin menegaskan posisinya sebagai Nyonya Arka Hasbyan. Bahwa ia yang dicintai Arka, bukan wanita yang hanya disewa rahimnya seperti Cersey.
“Luar biasa! Pasti Mas Arka benar-benar mencintai Mbak Dyandra,” sahut Cersey santai, seolah tulus dan turut berbahagia mendengar itu semua.
Pintar sekali kalian bersandiwara? Apa memang sudah kalian rencanakan harus bersikap bagaimana jika bertemu aku? Kalian menjijikkan!
Terus saja jiwa wanita berusia tiga puluh tahun itu memaki dalam hati. Ketidakmampuannya memiliki anak berakhir pada sebuah sandiwara yang menyesakkan.
Dyandra tidak menjawab. Ia hanya tersenyum ketus dan segera berlari keluar rumah menuju pintu gerbang megah yang dijaga oleh tiga orang petugas keamanan.
“Selamat pagi, Bu Dyandra!” seru ketiga satpam membukakan gerbang. Mereka menunduk untuk memberi hormat kepada sang majikan.
“Ya, pagi!” jawab Dyandra singkat menyapa balik para petugas keamanan.
***
Tak lama ia telah melesat, melaju di area jogging yang sudah disediakan oleh pengembang perumahan mewahnya.
“Kamu sialaaaaan, Arkaaaaa!” jeritnya saat sampai di tepi danau yang masih sepi. Hawa segar perumahan di antara rimbun pepohonan tidak bisa membuat hatinya merasa sejuk.
Dengan napas terengah-engah, Dyandra terus menerus berteriak, memaki suaminya.
“Aku benci kamu! Lelaki b******k! Lelaki j*****m!” teriak Dyandra sampai napasnya tersengal-sengal. “Kamu pembohong! Pengkhianat! b******n! Dasar Lelaki c***l!”
Sudah sekitar dua puluh batu kerikil ia lempar sekeras mungkin ke dasar danau. Pada setiap lemparan, ia meluapkan emosi dan ledakan dari rasa hancur hatinya.
Dyandra menghempaskan diri di atas tanah. Kalbu yang berserakkan semalam, semakin hancur ketika melihat perut buncit Cersey pagi ini. Ia juga ingin bisa seperti itu. Merasakan sesuatu tumbuh di dalam tubuhnya. Namun, takdir berkata lain.
Namun, sebanyak apa pun kerikil dan teriakan yang ia lemparkan, tetap tidak bisa membuat air matanya keluar. Karena itulah, hatinya tetap terasa sesak sangat. Napasnya semakin terengah-engah dan ia mulai merasa dunianya berputar.
Khawatir terjadi sesuatu terhadap dirinya, ia segera bangkit dan memutuskan untuk pulang. Mungkin saja karena semalam ia tidak tidur maka hari ini kondisinya tidak bisa fit untuk lari pagi.
Dengan gontai Dyandra melangkahkan kaki menuju istana megah yang biasa ia sebut rumah. Hanya saja, saat ini ia tidak lagi merasa bahwa itu adalah rumahnya. Tidak ada lagi perasaan nyaman di sana. Kebahagiaan disana, telah runtuh.
***
“Kok, cepat?” Arka heran melihat Dyandra sudah kembali dalam waktu setengah jam saja. Biasanya jogging sang istri memakan waktu sampai dua jam.
“Tidak enak badan!” jawab Dyandra ketus segera menyambar handuk di sebelah pintu kamar mandi.
“Dyandra!” panggil Arka menarik lengan berkeringat dan merapatkan sang istri dalam pelukannya.
“Happy 10th Anniversary,” bisiknya memperlihatkan sebuah kotak kain beludru berwarna hijau, bertuliskan Tiffany.
“Hah?” Dyandra tergagap. Ia lupa kalau hari ini adalah hari ulang tahun perkawinan mereka. Ia bahkan belum membeli kado apa pun untuk suaminya.
“Untukmu, Cintaku.” Arka membuka kotak. Sebuah kalung dengan liontin berlian mungil, bertuliskan AD ada di sana sebagai hadiah untuk Dyandra.
“Berputarlah, biar aku pasangkan di lehermu.”
Arka memasangkan kalung indah pemberiannya di leher sang istri. Ia bahkan mengecup leher jenjang Dyandra dengan mesra.
“Aku mandi dulu!” Dyandra semakin merasa rapuh. Ia berkelit dan menghindar lalu cepat masuk kamar mandi. Hadiah ini, ciuman suaminya … apa-apaan?
Arka hanya bisa bengong melihat kelakuan istrinya yang datar, padahal sebuah kalung berlian telah melingkar di lehernya.
***
Segera wanita itu memasang pancuran air pada posisi paling keras. Dyandra juga menyalakan kran pada bak jacuzzi dan membuka penutup saluran di dasar bath tub agar air tidak meluber keluar tub.
Wanita bertubuh mungil itu membutuhkan suara pengalih sekeras mungkin. Air matanya dirasa akan segera tumpah dengan deras.
Masih memakai baju lari, Dyandra terduduk lemas di lantai kamar mandi, di bawah pancuran air hangat. Benar saja. Kini, ia mulai sukses menangis dan tak mampu untuk menghentikannya.
Deraian air mata mengalir seperti tsunami menerjang, sederas pancuran air di atas kepalanya. Menggeleng lirih, memaki dunia yang dianggap tidak adil!
Ia menangisi hadiah ulang tahun perkawinan kesepuluh yang baru saja didapat dari Arka. Disentuhnya kembali kalung tersebut. Ia meraba tulisan AD yang tersemat sebagai liontin. Apakah hanya sebatas itu saja keadaan mereka saat ini, yaitu inisial pada kalung?
Sebuah perselingkuhan yang dibalut dengan kalung berlian tetap saja menghancurkan segenap sudut hati wanita manapun. Inilah kenyataan pahit yang harus ia terima. Semua akibat ketidakmampuan dirinya untuk memiliki anak. Maka kepedihan mana yang bisa mengalahkan penderitaan Dyandra pagi ini?
Liontin bertuliskan AD merupakan singkatan dari Arka-Dyandra. Sebuah ungkapan dan ucapan bahwa Dyandra adalah cintanya. Segala keromantisan iti tidak berbanding lurus dengan apa yang Dyandra ketahui semalam.
“You’re such a bullshit, Arka!” desisnya memukulkan tangan pada lantai kamar mandi. Kakinya pun menjejak-jejak seperti anak kecil sedang marah karena tidak mendapat mainan yang diinginkan.
Terus terisak, terisak dan terisak. Rintihan kecil dari bibirnya yang gemetar terus mengisi ruang hampa. Di kamar mandi ini, di bawah pancuran air yang sama, Dyandra sering merasakan hangatnya sentuhan Arka, tanpa penghalang apa pun diantara mereka. Hanya bercinta dengan bahagia dan saling memuaskan satu sama lain, persis di tempatnya duduk saat ini.
Perilaku suaminya yang seolah tidak terjadi apa-apa, padahal sudah tidur dengan wanita lain, membuat semuanya semakin menyakitkan.
Namun, biarlah semua ini ia terima apa adanya. Kedewasaannya mengetahui bahwa takdir manusia tidak selamanya sesuai keinginan. Lambat laun ia harus tetap tegar dan menegakkan kepala.
Bayangan seorang bayi mungil yang akan hadir membuat hidupnya lebih bermakna, menjadikan Dyandra berusaha kuat menerima terpaan dan tusukan duri pada hati dan batinnya.
Ia mulai melepas pakaian lari yang sudah basah kuyup itu lalu bangkit berdiri. Seiring itu pula, ia berjanji pada dirinya sendiri tidak akan lagi membiarkan perasaan sakit ini terus menerus menghancurkan kehidupannya.
***
“Aku hari ini ada klien penting. Aku akan berangkat lebih pagi. Bisa kamu mengantar Cersey ke dokter? Dia merasa kurang enak badan,” ujar Arka saat Dyandra selesai mandi.
“Tahu dari mana dia tidak enak badan?”
“Baru saja dia dari sini.”
Dyandra terdiam. Bayangan dalam kepalanya sudah tidak karuan. Arka dan Cersey baru saja berduaan di kamar tidurnya. Berbuat apa saja mereka selama ia sedang di kamar mandi selama setengah jam lebih tadi?
“Hey, ayolah jangan murung. Mungkin dia hanya masuk angin. Tapi demi keamanan bayi kita, sebaiknya Cersey diperiksakan, benar ‘kan?” Arka khawatir akan keselamatan bayi mereka.
Ia mengira Dyandra tertegun sesaat karena khawatir dengan bayi mereka di rahim Cersey. Padahal, sang istri khawatir kamarnya ternoda oleh kebejatan pasangan itu.
“Iya, nanti aku antarkan. Setelah dari dokter, aku akan langsung ke kantorku,” Dyandra akhirnya menyanggupi, walau berat.
“Oke. Aku akan mandi sekarang. Kamu tidak mau masuk kamar mandi lagi, menemaniku?” rayu Arka. Jemarinya nakal menarik tali di jubah mandi Dyandra, sembari terus mendekati sang istri.
Jubah mandi itu kini terbuka, mengekspos tubuh mulus yang belum memakai apapun di dalamnya. Dyandra diam saja. Ia sudah terlalu lelah untuk bereaksi apa pun.
Bibir Arka mulai bergerak liar, menjelajahi leher istrinya dan terus menurun ke bawah. Dalam hati, Dyandra sudah tidak ingin disentuh oleh suaminya. Namun untuk saat ini, sepertinya ia harus berpura-pura menikmati. Demi supaya tidak ada kecurigaan dari Arka.
Akan, tetapi ada yang mendadak bersuara kencang!
“Permisi! Ada yang mau aku tanyakan!” Cersey tiba-tiba mendorong pintu kamar yang memang tidak tertutup rapat hingga melihat Arka sedang ….