[8] Makan malam sama Raptor itu beda

2434 Kata
“Nai, kalau kamu belajarnya serajin tadi pas ujian kamu enggak banyak temui kendala.” Leony mengusap sayang rambut Naina yang panjang. “Dulu waktu mau ujian, Kakak takut banget.” “Kenapa takut?” Naina menutup bukunya. Menguap sekilas sembari merentangkan tangannya. Ada rasa lelah yang menguasainya sekarang. tadi saat bahas soal yang cukup sulit untuknya bersama Leony, dirinya enggak merasa lelah. “Capek banget aku, Kak.” “Ya sudah, kamu tidur. Besok sekolah, kan?” “Ada Oma. Kalau aku kabur dari sekolah, bisa dibawa aku ke rumahnya.” Leony ngakak. “Makanya jangan hobi kabur, Nai.” “Kaburku ke rumah Mami, kok.” Naina menghela pelan. “Tapi aku yakin banget Mami enggak ada di rumahnya.” “Mami Farah sudah punya urusan pribadi, Nai. Kamu enggak boleh egois.” Naina menunduk lesu. “Padahal aku pengin Mami Farah jadi maminya aku.” “Apa alasannya? Kak Ony boleh tau enggak?” Leony dengan sigap memasukkan semua buku pelajaran untuk Naina esok. Ia juga mengecek apa saja yang kurang. Pokoknya kalau Leony ada di rumah ini, enggak jauh kegiatan tangannya membantu urusan sekolah Naina. Termasuk mengecek alat tulis gadis itu. Kadang ia merasa miris sendiri. Pernah merasakan sekolah dengan fasilitas yang oke punya tapi kemudian mendadak ambruk karena ulah ayahnya. Entahlah. Leony ini mau bersedih atau bersyukur ditinggal ayahnya pergi untuk selamanya. Tapi menyisakan ia yang harus menjadi tulang punggung keluarganya. Ah … nasib memang. “Mami baik, Kak.” Naina kalau bicara mengenai Farah pasti matanya kembali melotot girang. “Biarpun agak galak, tapi aku selalu diperhatikan, Kak. Waktu aku sakit apalagi. Dibuatkan bubur pula. Aku disisirin, dipilihkan baju yang pas. Aku dimanjain yah biarpun ketus gitu bicaranya. Macam Miss Rina di sekolah, Kak. Galak gitu tapi sayang. Aku tau mana yang sayang sama yang enggak.” Leony mengusap kepala Naina dengan lembut. “Tapi Nai enggak boleh bicara tentang Mami Farah lagi, ya. Kasihan nanti Daddy kamu. Pusing.” “Pusing kenapa coba? Harusnya berterima kasih karena aku sudah tentukan pilihan. Kalau nanti Daddy cari Mami, harus seperti Tante Farah. Selama belum nemu, aku bakalan terus panggil Tante Farah sebagai Mami.” Leony terkekeh. “Itu namanya enggak sayang sama Daddy.” “Kak Ony kapan libur?” Perkara mengalihkan pembicaraan, Naina paling jago. Enggak ada yang boleh menyanggah apa pun keinginannya termasuk urusannya dengan kriteria Mami yang akan mendampingi Tio di masa depan. Ia enggak mau tinggal sendirian. Maunya sama Daddy Tio. Lagian Tio juga berjanji enggak akan meninggalkannya sendirian sampai dewasa nanti. Meski Naina merasa sudah ditinggalkan sejak beberapa tahun belakangan karena Tio sibuknya minta ampun. Tapi ia berusaha mengerti walau kadang, ia juga butuh diperhatikan. “Minggu libur kayaknya.” “Kok, kayaknya?” Naina menatap Leony lekat. “Memang enggak ada libur, ya, kalau orang dewasa bekerja?” Maunya Leony, sih, waktunya ia libur memang dimanfaatkan secara baik dan benar liburan itu. Sayangnya hal itu jarang terjadi. Ada saja ulahnya Tio mengusik dirinya apalagi pekerjaan tambahannya. Termasuk sekarang ini. mana bisa diselesaikan dengan cepat dan segera? Memangnya ia tak butuh dibaca dulu dan dianalisa baru dibuatkan macam rangkukan? Astaga, Tuhan! Mana filenya tebal sekali macam kamus bahasa inggris yang bisa buat pingsan orang lain saat dilempar dan mengenai kepala. Duh … Ini baru separuh, eh … enggak ada sepersepuluh perjalanannya mengecek laporan yang Tio minta. Memang, ya, Raptor bernama Satryo Cakra ini memang hobinya menyiksa Leony. Sampai tubuhnya kurus kering! Eh … jangan sampai Tio dengar hal ini. Bukan salahnya, sih. Leony saja yang enggak bisa terlalu menjaga dirinya perkara makan. Sering makan terlambat demi mengejar banyak pekerjaan agar cepat selesai. Melihat tampang Leony yang seperti menahan kesakitan, Naina mendadak khawatir. “Kakak kenapa? Kok, mukanya aneh?” “Enggak.” Leony langsung menggeleng dengan cepat. “Kenapa tanya aku kapan liburnya?” Tampang Leony ini masih harus dipasang senyum palsu demi agar Naina enggak curiga. “Temani aku ke makam Mama dan Papa, ya. Mau enggak?” Leony mengerjap pelan. Permintaan ini enggak salah? Leony hanya orang luar, lho. Dekat dengan Naina juga karena Tio, kan? kalau harus menemani sampai ke makam Pak Abyan dan Bu Azkia, duh … ini sih privasi, kan, ya? “Enggak mau, ya?” tanya Naina pelan. “Ya sudah deh aku sama Pak Parjo lagi. Padahal aku senang ka—“ “Oke. Jam berapa Kak Ony jemput?” Tadinya Naina sudah menunduk sendu. Kenapa ia ajak Leony bukannya mengajak sang nenek? Bicara sama neneknya itu enggak asyik. Ada saja nasihat yang harus ia dengar padahal Naina masih kecil, kan? meski begitu, ia selalu ingat apa yang Tio katakan terutama masalah menjaga diri dan berusaha sebaik mungkin untuk hidup dengan baik. Walau Papa dan Mamanya sudah ada di surga. Tapi kalau nasihat itu terus menerus ia dengar, dirinya jengah juga, lah! Macam enggak ada yang dibahas aja. Naina sudah tau apa yang ingin dilakukannya. Enggak perlu terlalu banyak interupsi. Apa pernah dirinya ditanya mengenai kesepian yang ia rasa? Sejauh Naina ingat, belum pernah ada yang melakukannya. Sampai menyentuh hati terdalamnya. Jadi … siapa yang egois sebenarnya? Orang di sekitar Naina atau ia sendiri? “Aku aja yang jemput.” Naina tersenyum merekah lebar. “Oke. Tapi Kak Ony selesaikan kerjaan dulu, ya. Bos Raptor kalau minta kerjaan itu enggak tanggung-tanggung. Bikin kepala cenat cenut.” Naina ngakak lantas memeluk tubuh Leony dengan segera. “Terima kasih, Kak Ony.” “Sama-sama.” Enggak butuh waktu lama untuk Leony bantu Naina naik ke ranjangnya. Ganti pakaian dan enggak lupa sikat gigi seperti yang sering ia lakukan sebelum benar-benar tidur. Memastikan di sekitar ranjangnya temaram dan suhu kamar ini sejuk. Leony menatap gundukan laporan yang masih terserak. “Lembur di sini, kah?” Matanya menerawang meski menatap langit kamar yang dicat soft pink dengan banyak ornamen khas gadis kecil yang haus kasih sayang ini. “Pulang enggak, ya?” Sekali lagi ia menatap laporan yang terserak ini. “Kalau pulang, berkas ini enggak bisa dibawa. Tapi harus selesai.” Ia pun mengusap dagunya. Mulai mempertimbangkan lemburnya dilakukan di ruangan Naina. Tapi … apa boleh? “Ony?” Ketukan di pintu membuatnya berjengit kaget. Suara Tio membuat langkahnya ia percepat ke pintu. Jangan sampai terdengar lagi ketukan karena takut menganggu tidur Naina. “Ya, Pak?” “Bi Muji sudah siapkan kamar untuk kamu. saya enggak bisa antar pulang. Capek banget, Ony.” Netra yang meski terhalang kacamata ini menatap sang bos lekat. Memang, sih, terlihat garis lelahnya di sana. Kantung mata Tio juga jauh lebih hitam ketimbang sebelumnya. “Kamu bisa bilang sama ibumu, kan? Bilang aja ada dinas dadakan.” “Bohong sama orang tua itu dosa, Pak.” Tio mencibir. “Sering kamu lakukan kalau dulu menginap di sini, Ony.” Didorong pelan dahi Leony yang masih tertutup poni walau berantakan. Menggunakan ujung telunjuknya di mana segera dapat respon rengutan tak suka. “Enggak usah manyun. Bibir kamu enggak ada seksi-seksinya, Ony.” “Siapa juga yang mau tampil seksi di depan Bapak. Rugi!” Pria itu hanya menarik sudut bibirnya tipis. “Temani saya makan, Ony.” “Saya sudah makan, Pak.” Itu memang kejujuran, karena Leony makan bersama Naina diantar Bu Muji. Kepala pelayan di rumah ini karena Naina enggak mau keluar kamar. Bukan enggak mau makan bersama neneknya, tapi tugasnya banyak dan ia butuh konsentrasi. Itu juga makan Leony yang suapi. Sembari menghapal, mulut gadis kecil itu mengunyah makanan. Tak jadi masalah bagi Suny, untungnya begitu, mengingat laporan yang masuk pada wanita paruh baya itu mengenai sekolah Naina. Inginnya marah pada Tio atau siapa pun yang ada di rumah ini karena mengabaikan Naina, tapi ditelisik lebih dalam, kadang Naina juga yang buat ulah. Oh … bukan sekali dua kali, sih. Sering! Yang mana bikin mereka semua pusing. “Kok, enggak panggil saya?” Mata Leony mengerjap. “Saya makan di sini, sih. Non Nai enggak mau keluar kamar karena besok ada tugas matematika, Pak.” Tio mengangguk pelan. “Kamu makan lagi, ya.” Sebagai bentuk rayuan yang lain, Tio pun mengusap perutnya seolah menderita kelaparan akut. “Lagian makan malam untuk kamu itu bagus, Ony. Numpuk lemak.” Leony mencebik. “Enggak gitu juga kalau minta ditemani makan malam, Pak.” Ia pun menutup pintu dengan perlahan. Sembari sesekali melirik pada Naina yang sudah terpejam pulas. “Ayo. Tadi Bu Suny pesan sate dan tongseng kambing. Bapak enggak masalah makan itu, kan?” “Satenya ayam?” “Iya.” Leony mengiring langkah Tio juga bicara mengenai apa menu yang tersedia di meja makan. Jarak langkah mereka hanya terjeda satu atau dua di mana Leony bisa menatap sekilas pada punggung Tio yang menggoda. Mengenakan polo shirt biru cerah dipadu dengan celana sebatas lutut yang nyaman. Dari belakang tampilan Tio ini menggugah selera, kan? Maksudnya minta banget dipeluk dari belakang atau minta gendong tapi … begitu Leony menatap langkah demi langkah mereka hanya agar tak tersandung anak tangga, tawanya mendadak muncul. “Kenapa kamu?” Tio penasaran jadinya. “Ada yang salah?” Soalnya sejak tadi mereka bicara biasa saja. Tapi kenapa mendadak Leony ketawa? Pasti ada yang salah, kan? “Bapak pakai sandal Non Nai?” Ah … sandal berbulu lengkap dengan telinga besar rupanya. “Iya. entah sandal saya ke mana.” Tio terkikik. “Tetap keren, kan?” “Yang bilang Bapak keren itu banyak, kok. Enggak butuh saya yang katakan hal itu, kan?” sahut Leony dengan kalemnya. Ia pun berjalan mendahului Tio begitu tepat di ujung tangga. “Saya hangatkan dulu tongsengnya, ya, Pak.” Pertanyaan Leony di telinga Tio kali ini serupa dengan dengung lebah. Berisik sekali. Karena Tio hanya terpaku pada satu titik: Leony dari pertama bertemu sampai sekarang hanya tersenyum dengan kata-kata pengalih, “Semua orang setuju kalau Bapak keren dan ganteng, kok.” “Awas aja kalau kamu sampai muji saya, Ony,” decak Tio di mana segera ia imitasi langkah sang gadis. Tapi tak sampai ke arah dapur. Ia memilih untuk duduk di meja makan. Di mana tak lama berselang, gadis yang masih bertanya mengenai beberapa hal yang Tio inginkan, menyuguhkan makan malam. Hanya satu porsi. Untuk Tio saja. “Kamu mana?” tanya Tio dengan raut penasaran. “Saya suruh kamu makan lagi, Ony.” “Kenyang, Pak.” Leony mnenyeringai lebar. “Saya minum teh ada. Ini ada bolu sebagai temannya.” “Ony,” peringat Tio. “Makan.” “Paaakk,” Leony tak percaya kalau Tio sekarang bisa memaksanya. “Makan atau saya makan?” “Raptor mendadak gila, ya?” *** Untuk dua hari ke depan, pekerjaan Leony dikerjakan di rumah alias di ruang kerja Tio yang baru dua kali dimasuki gadis itu. Tenang. nyaman. Banyak buku bertebaran di sana termasuk juga beberapa berkas yang memang Tio simpan sebagai arsip. Tio minta agar Leony menyelesaikan pekerjaannya dengan segera tanpa gangguan. Apa bisa? Ya enggak, lah! Baru juga dirinya konsentrasi, teleponnya sudah berdering dengan nyaring di mana setelahnya suara Tio bergema di ujung sana. Minta file ini dan itu padahal Leony sudah membuatkan sebuah catatan serta tata letak di lemari kaca yang ada di sekirar ruang mereka. Ini, sih, sama saja Leony berkeliaran di ruang kerja mereka di Menara RDTZ. Kantor pusa Faldom memang ada di kawasan Mega Kuningan, Jakarta. “Saya sudah cari, Ony, tapi enggak ada. kamu salah beri catatan? Sengaja ngerjain saya?” kata Tio dengan suara ketus. “Saya diburu waktu, lho.” Tuhan! Leony memang harus meluaskan sabar menghadapi Raptor macam Tio ini. “Pak,” kata Leony sembari menghela pelan. “Di catatan saya, adanya di lemari pojok kana. Deretan bindex biru di susunan ketiga. Jejeran dengan laporan keuangan tiap tahunnya.” “Enggak ada, Ony! Sudah, kamu ke sini aja. saya bingung.” “Video call, Pak,” kata Ony sebagai jalan tengah. “Dari tadi seharusnya!” Tio mencebik. Digesernya icon video call di mana tak lama, wajah Leony muncul di layar. Enggak ada yang berubah, memangnya Leony ini SailorMoon yang karena cahaya bulan, bisa berubah mendadak? “Di mana?” Ponsel itu pun segera diarahkan pada lemari yang dimaksud Leony sejak tadi. “Pak, lemari itu milik Bapak. Jelas enggak ada di sana.” Leony tepuk jidat. “Saya bilangnya, kan, lemari penyimpanan di ruangan saya.” “Masa, sih?” Kening Tio berkerut dalam. “Kamu enggak bilang.” Leony sudah lelah berdebat. “Iya, Pak. Saya yang sering katakan hal itu tapi entah kenapa telinga Bapak mendadak enggak bisa dengar ucapan saya.” “Kamu mau bilang kalau saya tulis?” “Bapak, lho, yang bilang.” Leony menghela lelah. “Nah, itu.” Ia pun sedikit mengencangkan suaranya seraya tanpa sadar menunjuk pada lemari tempat di mana berkas yang Tio inginkan, terpampang nyata di layar. “Deretan ketiga, Pak. Dari sini saya bisa lihat.” “Iya, saya tau!” Tio berdecak sebal. “Sudah. Saya enggak butuh bantuan kamu lagi. Segera selesaikan bagian kamu. nyusahin aja saya disuruh cari file sendiri.” Andai membantah, mendebat, meneriaki Tio enggak berujung pemecatan, pasti sudah Leony lakukan sejak tadi! ditambah telepon itu ditutup begitu saja tanpa ucapan apa pun? Astaga! Etapi memangnya Leony berharap apa? Sembarangan sekali pemikiran di mana Tio akan berpamitan dengannya meski di telepon? “Raptor enggak waras,” dengkusnya menatap layar ponsel yang sudah kembali ke menu semula. Ia bersihkan dengan punggung tangannya. Hari ini ia kenakan kaus panjang longgar dipadu dengan celana selutut. Semua ini milik almarhum ibunya Naina. Suny yang berikan karena merasa, ada pakaian yang bisa disimpan ada juga yang bisa diberikan untuk orang lain termasuk Leony bisa kenakan saat menginap di sini. Suny enggak melarang Leony bermalam di sini, kok. Malah menurutnya menjadi keseruan tersendiri. Terutama karena Leony dekat dengna sang cucu. Sayangnya, Tio sama sekali enggak mau memandang Leony sebagai wanita yang layak dikencani. Tapi kalau dilihat juga, Leony ini memang jauh dari wanita yang mengelilingi Tio. Kaus yang Leony kenakan sungguh nyaman. Saat pertama kali memeluk tubuhnya yang kurus, ia merasa penampilannya terlihat cantik. “Ah, pakaian mahal memang beda,” katanya dengan kikikan. Lantas kembali mengerjakan bagiannya dengan segera. Ponsel yang sudah ia bersihkan ini, ia letakkan kembali di sisi laptopnya. Belum juga tangannya menyingkir dari benda itu, lagi-lagi gadget itu pun berdering. Kali ini nama Parjo muncul di layar. “Ya, Pak?” Entah kenapa Leony berdiri. “Non Naina ngamuk enggak mau saya jemput, Mbak. Maunya sama Mbak Ony.” Leony tepuk jidat! Tapi juga telinganya mendengar jeritan Naina di sana. “Cepat, Kak Ony!!! I need you!!!” Enggak anak, enggak Daddy! Keduanya rusuh sekali di hidup Leony! Dosa apa Leony di masa lalu, ya, sampai harus bertemu mereka yang super duper menguji sabarnya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN