Ponsel Leony enggak dalam kondisi baru, sih. Tapi ia beli dari hasilnya menabung empat bulan lamanya. Bukan untuk bergaya, sungguh. Tapi ponsel yang memang memiliki kapasitas besar, ditambah fitur di dalamnya mumpuni untuk menunjangnya bekerja. Meski ada tablet kantor, tapi tetap saja yang paling mudah untuk ia genggam adalah ponsel.
Itu pun Leony beli setelah berpikir ribuan kali. Ya ... saat itu berbarengan dengan uang kuliah Heru. Adik keduanya kuliah di salah satu universitas terbuka di Jakarta. Di mana ia juga bekerja sebagai barista salah satu kafe. Lumayan uangnya untuk tambah biaya hidup serta kuliahnya. Leony tinggal bantu separuhnya. Sementara adik bungsunya, si Haikal, lagi persiapan ujian akhir di mana banyak biaya juga yang harus dikeluarkan Leony.
Enggak.
Leony enggak mau mengeluh. Setiap biaya yang ia keluarkan untuk sekolah kedua adiknya, ia ikhlas beri. Enggak ada rasa terpaksa meski kadang dirinya harus mengalah untuk keperluan pribadinya.
Dan karena ponsel itu dia beli dengan amat bangga, ia perlakukan selembut sutera. Enggak boleh ada lecet sedikit pun. Termasuk seringnya ia mengusap layar ponsel agar selalu jernih dipandang sekalian bisa untuk ngaca. Meski wajah yang tampil di sana biasa saja. Sudah tertutup poni, pakai kawat gigi, ditambah frame kacamatanya tebal, sudah bisa dipastikan nama Leony enggak masuk dalam kategori perempuan yang akan dilirik dua kali oleh pria.
Termasuk sang bos.
Ih! Enggak, ya. Ketimbang memikirkan Tio, lebih baik dirinya fokus kerja. Kalender di sisinya yang sudah penuh dengan coretan ia perhatikan jauh lebih saksama. Enggak ada yang meleset dari jadwal yang sudah ia cocokkan dengan milik Tio. Jangan sampai dirinya melakukan kesalahan. Bisa habis dihantam sama kepala Raptor yang galaknya minta ampun kalau marah.
Beda banget antara Tio di kantor dan di luar kantor. Mungkin karena itu juga, makanya Leony juga bersikap bisa macam bunglon.
Satu pesan masuk membuatnya tertegun lama memandangi tiap kata yang tertera di sana.
[Centre of Blood : Kehadiran Anda sangat dinanti. Bertempat di Balai Sarbini, hari Minggu jam sepuluh pagi. Jangan lupa daftarkan diri Anda segera. Kami tunggu kedatangannya.]
Ia menghela pelan. “Sudah lama banget enggak ke tempat seperti ini.” Mata Leony juga mulai memperhatikan lengannya yang agak kurus. “Kerja keras bagai kuda sampai tersisa tulang belulang saja.” Tapi setelahnya ia tertawa. “kerja apa dikerjain, ya?”
Belum sempat ia nikmati tawanya, sudah keburu dibungkam karena langkah kaki yang menggema di sekitar ruangan.
“Ony.” Tio berjalan cepat ke arah si asisten. Leony mendongak dengan kerutan di kening karena mendadak mejanya penuh berkas yang Tio bawa. “Kamu cek tahun 2013 sampai 2011. Kerja sama Faldom dan Optima sampai sejauh apa.”
“Baik, Pak.” Leony jarang bantah apa pun yang Tio pinta untuknya kerjakan. Berusaha juga agar pekerjaan itu serapi dan sedetail yang Tio inginkan. Meski terkadang masih sering melakukan kesalahan tapi ia enggak akan menyerah begitu saja. Doanya saat Tio marah, “Jangan sampai Raptor pecat gue!”
“Kamu enggak ada kabar lagi dari Bu Nadia?”
“Sejauh ini belum, sih, Pak. Beliau juga saya hubungi enggak ada respon lagi.”
Tio mengangguk sekilas. “Apa ada yang tahu kalau kita mendadak menghubungi Optima lagi?”
Leony terdiam.
“Saya yakin kamu enggak tahu, sih.”
Tio ini pokoknya aneh. Kadang tanya sendiri, dia jawab sendiri. Macam sekarang. Padahal juga Tio tahu apa yang Leony kerjakan. Semua pergerakan Leony yang berkaitan dengan Optima, Tio yang beri arahan. Jadi ... gadis itu bingung lah kenapa Tio bertanya begitu. Dan karena itu juga, Leony memilih untuk diam saja. Terserah kalau nantinya Tio mau katakan apa.
“Dua hari lagi saya rapat dengan komisaris.”
Ah ... Tio benar. Mata Leony sekali lagi menatap kalender yang mana ia lingkari warna biru. Tertera di sana, ‘laporan tahunan dan RUPS’ di mana berarti seharusnya hari ini dan esok akan menjadi salah satu penyiksaan tersendiri untuknya.
“Saya sudah mulai mempersiapkan bahan untuk rapat, Pak.” Itu benar, kok. Leony yang bisa dibilang tujuh puluh lima persen bisa imbangi kerja Tio, sudah mulai paham bagaimana ritme kerja sang bos. Tangannya juga segera lincah menari di atas tuts keyboard, memeriksa sekali lagi laporan yang akan ia beri pada Tio sebelum rapat.
“Enggak perlu kamu teruskan, Ony.”
Alis Leony bertautan jadinya. “Kenapa, Pak?” Heranlah ia.
“Kamu fokus pada berkas ini saja. Dan jangan ada orang lain yang tahu apa yang kamu kerjakan.”
“Rahasia, Pak?” Leony mengerjap bingung. “Memang ada apa, sih, Pak? Kita seperti main detektif begitu, Pak?”
“Ony!”
Leony nyengir lebar. “Iya, Pak. Beres. Nanti saya bawa berkasnya untuk dipelajari diam-diam.”
“Ke mana?”
“Kamar Nai. Hari ini anak Bapak minta ajari matematika.”
Tio berdecak. “Jadi saya harus pulang sama kamu begitu?”
Bahu Leony mengedik. “Terserah. Saya naik taksi juga enggak masalah, sih, Pak.”
“Membiarkan kamu bawa berkas perusahaan?”
“Ya saya bingung jadinya kalau bapak bicara begitu. Menurut Bapak, saya harus bagaimana?”
“Ganggu kencan saya saja.” Tio melirik pada Rolex di lengan kirinya. “Kamu sudah pesan table di Horrison?”
“Sudah, Pak.” Ia pun membuka agendanya segera. “Pak Keith dari Panorama Grup juga sudah konfirm kedatangannya untuk makan siang bersama Bapak. Ada dua asistennya yang turut serta. Pembahasannya dengan mereka juga sudah saya siapkan.” Ia pun menyerahkan satu map lain dari laci yang lain. “Silakan dibaca kembali, Pak.”
Tio terima berkas itu dengan segera. Matanya cepat sekali membaca lembar demi lembar apa yang tertera di sana. Sesekali ia mengerutkan kening tapi kemudian seringainya timbul. “Oke. Kamu siap-siap juga. Sekalian semuanya dibawa. Selesai dengan Panorama, saya antar kamu ke rumah.”
“Baik, Pak.”
Leony kembali menyibukkan diri untuk memastikan tak ada yang tertinggal karena ia tak akan kembali ke kantor. Sementara bisa ia dengar juga, derit kursi yang Tio dorong namun langkah sang bos belum menyapa telinganya. Pertanda kalau Tio masih ada di depan meja kerjanya.
Refleks, Leony mengarahkan mata ke tempat di mana ia yakin sang bos ada di sana. “Pak?” Bukan apa, Tio malah terdiam sembari mengusap ujung dagunya. Seolah ada yang menarik mengalihkan matanya.
“Kamu ... foto di mana?” tunjuknya pada pigura kecil di mana latarnya sebuah gedung bercat putih tapi banyak tenda berlambang PMI di sana.
“Oh, ini saat saya donor darah, Pak,” sahut Leony kalem. “Foto lama, kok, Pak.”
“Saya baru lihat, ya?”
Tio pemerhati yang super teliti. Hal yang menurutnya agak berbeda, pasti ia tanya. Termasuk sepertinya potret ini baru menghiasi meja Leony.
“Iya, Pak. Kenangan tahun belakangan saya rajin donor darah. Sekarang enggak sempat karena sibuk banget sama kantor."
"Kamu nyindir saya?”
Kening Leony berkerut lagi. “Enggak.”
“Tadi bilangnya sibuk karena kerja jadi enggak sempat donor darah lagi. Kesibukan kamu di kantor ini berkaitan dengan saya, kan?”
Tuhan! Ada kah pria seperti Tio? Di mana tingkat percaya dirinya terlalu akut, ditambah sering kali menuduh sembarangan tanpa angin tanpa hujan tanpa sebab yang nyata. Macam sekarang! Dan satu hal yang pasti; terlalu perasa. Kalau pindah istilah anak muda sekarang, eh ... Leony masih bisa dikategorikan muda, kok. Namanya baper. Bawa perasaan.
Persis seperti Tio sekarang.
“Ayo, cepat!” kata Tio yang kini ada di ambang pintu ruangan mereka. “Jangan terlalu lama. Biar kamu segera selesai jam kerjanya. Nanti saya dibilang bos enggak sadar jam kantor lagi.”
Siapa juga yang bilang begitu! “Dasar Raptor baperan!” cibir Leony dengan suara yang teramat pelan. Sayangnya ...
“Saya dengar kamu bicara, Ony!”
***
Duh! Niatnya Leony datang ke rumah berlantai dua ini untuk memenuhi janjinya pada Naina. Selain kasihan, ia juga tak tega kalau gadis kecil itu menghadapi ujian kelas enamnya sendirian. Meski cara ujiannya sudah berbeda dari saat ia berseragam putih merah, tapi tetap saja. Ada yang harus mendampingi. Di mana Leony tahu, kalau Leony mendapatkan pengajaran dari guru yang mumpuni, namun sayangnya, Naina selalu berhasil menghindari kelasnya.
Entah cara apa yang dipakai bocah itu untuk kabur.
Begitu langkah Leony yang ringan meski tangannya keberatan membawa satu tas berisi berkas, ia disambut dengan sosok wanita paruh baya yang ia kenali; Nenek Matahari. Julukan yang Naina beri karena sang nenek memang hobinya menggunakan pakaian atau aksesoris berwarna kuning.
Namanya pun serupa; Sunny. Ya Tuhan!
“Ony tumben ke rumah? Ada apa?” tanya sang wanita penuh ramah. Ia tahu siapa gadis yang menampilkan senyum canggungnya. Juga saat tangannya terjulur penuh sopan padanya. Menyalimnya dengan takzim.
“Kak Ony mau bantuin aku belajar matematika, Oma.” Naina bersuara sembari setengah berteriak. Menuruni tangga dengan agak buru-buru. Di tangannya terdapat buku besar serta kotak pensil. Rambutnya yang panjang, berkibaran mengikuti gerak tubuhnya. “Ayo, Kak, kita belajar sekarang.”
“Hati-hati, Badriya!” ketimbang Naina, wanita paruh baya bernama lengkap Suny Abraham Wibowo lebih suka memanggil cucunya dengan nama Badriya. Nama yang almarhum suaminya beri sebagai permintaan kecil seorang kakek pada cucu pertamanya.
Yang diberi peringatan hanya tertawa geli sembari menarik lengan Leony. “Ayo, Kak. Jangan malah bicara sama Oma. Kelamaan!”
Suny hanya bisa menggeleng heran. Dibiarkan Leony pamit mengikuti apa yang cucunya pinta. Sesekali ia dengar celotehan Naina mengenai sekolahnya. Yang ditanggapi Leony tak kalah seru. Macam dua sahabat baik yang bertemu melepas rindu. Heboh dan enggak sadar diri mereka berada di mana. Berisik dan enggak keruan bicaranya. Begitulah dua gadis beda usia itu.
“Mama?” Tio agak terkejut begitu masuk ke dalam rumah, disambut dengan sosok ibunya yang tampak sibuk mengatur meja makan. “Ada apa ke sini?”
“Ada apa kamu bilang?” Suny berdecak kesal. Begitu putra bungsunya ini mendekat, satu jeweran ia beri. “Bukannya tanya Mama sehat atau enggak, malah tanya apa yang Mama lakukan di sini?”
Tio menyeringai. “Tumben. Biasa juga cuek sama kami.” Diturunkan tangan ibunya. Tidak. Ia tak pura-pura meringis tapi justru menghela pelan. “Ada apa?”
“Siapa Mami Farah?”
“Astaga, itu lagi yang ditanya?”
“Memang kamu jelaskan dia siapa?”
Tio mengusap wajahnya penuh lelah. “Tio capek, Ma. Butuh istirahat. Malas juga bahas Farah itu. Yang jelas, bukan wanita yang Tio kencani. Enggak ada hubungan apa pun dengan hidup Tio.”
“Tapi disebut terus sama Badriya. Banyak banget pula pujian untuk Mami Farah itu. Siapa, sih, dia?”
Sekali lagi Tio menghela pelan. Kali ini juga berbarengan dengan matanya yang menatap sang ibu lekat. “Hanya orang luar yang kebetulan Naina temui dan memang baik. Tapi, Mama,” Tio beri peringatan keras sekali. “Farah sudah menikah dan punya keluarga sendiri. Aku bukan orang di tengah keluarga mereka. Oke?”