[13] Leony mendadak pening

2209 Kata
Berhubung suasana hatinya enggak tau kenapa, tapi yang jelas senyumnya selalu ada, Tio mengerjakan semua pekerjaannya dengan begitu mudah. Meski diinterupsi dengan beberapa meeting dan banyak pertanyaan dari divisi keuangan perkara keinginannya meminta report beberapa tahun belakangan. Kata Erwin, “Data itu sudah diarsipkan, Pak. Butuh waktu untuk ambil.” “Terserah yang penting minggu depan sudah ada di meja saja.” Matanya enggak teralih dari laporan yang Ony buat. Semuanya sesuai dengan apa yang ia mau. Tak ada yang terlewatkan barang satu di mana ia jadi berpikir, apa yang terjadi di tahun 2011-2013. Mungkin karena Leony sudah memberi email mengenai apa yang harus ia kerjakan termasuk di dalamnya pertemuan dengan beberapa klien, semuanya terarah begitu saja. beberapa yang datang juga disambut dua asisten di rumah ini. enggak mengganggu sama sekali dengan apa pun yang ada di rumah. Ternyata bekerja di tempat yang sedikit berbeda Ini cukup membuatnya merasa lebih rileks. Lagi juga, ia bisa tau apa yang dikerjakan Leony sepanjang hari ini. Gadis itu, kata Muji, keluar sesekali dengan membawa banyak camilan. Masuk ke dalam kamarnya lagi tapi senyumnya kata Muji juga, lebar dan sering. Artinya dia menikmati waktu liburnya di rumah ini. “Siapa beli? Bukannya Bi Muji masak, ya?” tanya Tio dengan herannya saat wanita paruh baya itu kembali masuk ke ruang kerjanya. Ia tengah merenggangkan punggung karena cukup lelah menyelesaikan beberapa laporan. Aroma pizza begitu harum menguar ke seluruh penjuru ruangan. Mendadak ia jadinya lapar. Diingat-ingat, tadi pagi hanya sarapan dengan roti lapis dan kopi. Tadinya Leony mau tawarkan nasi goreng tapi Tio ingat, semalam gadis itu tidurnya larut. Ia juga, sih, tapi kan Tio masih punya hati. Jadinya menolak padahal keinginan makan masakan buatan Leony cukup besar. “Non Leony, Pak. Katanya pengin pizza makan bersama Non Naina.” “Nai sudah pulang?” Tio comot satu potongan yang ada. Yang mana sudah ia lumuri saus cukup banyak. “Sodanya mana, Bi?” “Non Nai barusan pulang tapi marah-marah.” Gerak mengunyah yang sebenarnya enak dan enggak akan ia sia-sia ini, terhenti. “Marah?” Tio mengulangi lagi ucapan Muji. “Kenapa marah?” “Enggak tau pastinya, Tuan. Tapi yang jelas, Non Leony yang tenangkan. Sekarang sudah ada di kamar Non Leony. Makan pizza juga.” Kening Tio berkerut dalam tapi kemudian tersenyum tipis. “Nai sama Ony itu macam adik kakak, ya, Bi?” Muji setuju. “Buatkan mereka minum atau makanan apa pun, Bi. Ingatkan Ony dan Naina untuk makan nasi. Tolong siapkan makan malam, saya makan di rumah aja.” “Baik, Tuan.” Muji sebenarnya enggak terlalu aneh kalau mendadak Tio pulang. Tapi yang membuatnya curiga, senyum pria itu enggak mau pudar. Malah enggak terlihat ketus, enggak mau diajak bicara, tampangnya dingin dan kaku, serta semuanya serba salah di mana Tio. Kalau Muji boleh jujur, mendadak Tio agak manusiawi entah karena apa. Kalau karena kehadiran Leony? Ah … gadis yang menjadi asistein Tio sering mondar mandir ke rumah ini, kok. Sesekali menginap di mana pun kamar yang disediakan Muji. Kadang datang ke acara keluarga yang diselenggarakan. Jadinya enggak mungkin, kan, karena Leony? Sudah lah. Muji kembali ke dapur saja. Mengecek persediaan untuk makan malam nanti. Sementara itu, Leony yang masih belum beres mencerna semua ucapan Suny, hanya duduk terdiam di meja makan. Matanya fokus menatap satu demi satu profil yang dikirimkan Suny melalui surelnya. Keren betul ibu satu itu membuat banyak daftar mengenai wanita berumur dengan rambutnya yang merah. Kenapa Leony tau kalau mereka semua wanita berumur? Ada yang berstatus janda, punya anak, dan melajang belum pernah menikah sama sekali. “Ini musibah apa lagi, sih?” Leony rasa mau nangis karena daftar ini. Belum lagi ucapan Sunny masih terngiang dengan jelas. “Yang kamu tanya, Naina dulu. Cucu saya cocok, baru kamu atur kencan buta. Bantu saya untuk buat Tio sedikit waras memandang hidupnya. Kasihan Naina kalau sering ditinggal Tio. Siapa tau kalau ada istri, Tio mau lebih sering di rumah.” Leony menepuk jidatnya berkali-kali. “Raptor kalau sama wanitanya aja hanya bertahan seminggu. Paling lama dua minggu itu juga ditinggalkan begitu saja. Apalagi model wanitanya seperti ini?” Tangannya terhenti di salah satu profil wanita cantik yang bermake up cukup tebal. Rambutnya memang merah, tapi enggak elegan macam wanita yang dipanggil Mami Farah oleh Naina. Leony belum lupa, kok, bagaimana sosok itu pernah ia temui. Meski enggak berjabat tangan, tapi matanya tak bisa teralih dari sosok itu. tinggi semampai, cantiknya membuat Leony minder sebagai seorang gadis. Rambut merahnya tergerai indah. Sorot matanya tajam dan cara bicaranya tertata apik. Pakaiannya meski agak terbuka tapi sungguh, Leony paham kalau wanita itu tak bisa didekati dengan mudah. Bukan karena ada pria di sisinya itu. Enggak sama sekali. Tapi aura yang dipancarkan wanita itu berbeda. Dan ia harus mencari dari sekian banyak profil, yang sama atau mirip minimal dengan wanita itu? Tuhan! Lebih baik kembalikan Leony ke depan para pengujinya saja, lah! Sekalian stressnya berujung pangkal. Kalau diminta mencari yang agak mirip, Leony mau menyerah saja. “Yang seperti ini malah ditinggalkan Raptor setelah diajak ke apartemen kali,” kata Leony dengan nada frustasi. Jemarinya kembali lincah menscroll foto lain. “Ew! Kenapa ada wanita sepercaya diri ini, sih?” Matanya membaca data diri sang wanita. “Penuh kasih sayang, penyayang hewan, bekerja di rumah kecantikan, bisa memijat apa pun, astaga!” Leony kembali menepuk jidatnya. “Memang selain kaki, tangan, punggung, dan perut apalagi yang dipijat, ya?” Ia merinding mendadak. “Skip!” Matanya kembali menerima satu profil lain yang muncul. “Tiga puluh Sembilan tahun, single, pernah mau menikah tapi gagal karena diselingkuhi.” Leony mengangguk pelan. “Jahat juga cowoknya.” Ia pun kembali membaca biodata lainnya. “Ukuran cup bra 38D.” Leony terhenti begitu saja. “Ukuran daada aku berapa, ya? Kayaknya aku pakai bra ukuran 32, deh. Ini 38? D? Gede dong, ya?” “Apa yang gede, Non?” Hampir saja ponsel yang ada di tangannya meluncur. Saking kagetnya mendengar suara Muji yang datang mendadak macam jelangkung ini. “Bibi dari mana?” Ia pun segera menutup gugupnya disertai senyum tipis. Ponselnya juga ia matikan layarnya dengan kunci otomatis. Agar jangan ada yang melihat tampilan apa yang tengah ia pelajari. “Ruangan Bapak. Non yang minta saya antarkan pizza ke Bapak, kan?” Leony meringis tipis. “Sudah dimakan belum sama Bapak?” “Langsung dimakan, Non.” Muji langsung memberi dua jempolnya. “Sepertinya Tuan lapar tapi enggak sempat untuk sekadar makan. Padahal Bibi sediakan camilan. Hanya kopinya aja yang dihabiskan.” Gadis berkacamata itu menghela pelan. “Sudah dua cangkir, Bi. Sore jangan, ya. Kalau Bapak marah, bilang karena saya.” Muji mengerjap pelan. “Tapi nanti Non yang dimarahin?” “Sudah biasa,” Leony nyengir. “Ketimbang asam lambungnya naik?” “Iya juga, sih.” Muji mengangguk paham. “Saya mau siapkan makan malam, Non.” “Nanti sekitar jam dua siapkan makan siang, ya. Takutnya kalau sekarang Bapak nolak karena baru makan pizza.” Ucapan itu bersamaan keluar dari mulut masing-masing di mana Muji jadinya terkikik. “Maaf, Nona.” “Iya, Bi enggak apa. Tapi mau siapkan makan malam untuk siapa? Untuk Naina aku sudah janji mau masakin bistik ayam. Sore aja aku masaknya. Ada, kan, ayamnya?” “Kamu enggak berniat masakin saya, Ony?” Refleks Leony menoleh. Sang bos berjalan santai sekali sembari menenteng kardus pizza yang entah masih ada isinya atau tidak. “Berhubung saya lapar, semua potongannya habis. Lagian Cuma ada tiga.” Leony meringis tipis sembari menerima kardus tadi. “Iya, Pak. Enggak beli banyak karena nanti kekenyangan enggak makan nasi.” Tio menarik kursi yang ada. Duduk di samping Leony adalah tujuannya sekarang. “Tadi kamu bilang mau masak untuk Naina. Saya enggak?” “Saya takut rasa masakannya enggak cocok dengan lidah Bapak. Jadi untuk Pak Tio, biar Bi Muji aja, ya.” Leony berkata dengan diplomatisnya. Tersenyum sekilas lantar undur diri. “Saya mau temani Naina dulu. Kasihan anak itu sendirian.” “Saya dengar Nai marah? Kenapa dia?” Tio enggak akan biarkan Leony pergi begitu saja. Keinginannya belum ia dapat, kan? Enak saja asistennya itu. Masa iya masaknya Cuma untuk Naina aja. Memangnya Tio enggak masuk hitungan? Hari ini Tio baik hatinya, lho, enggak merecoki sama sekali cuti dadakan yang ia berikan pada Leony. Masa iya berbuat dan berbalas jasa sedikit aja enggak bisa? memangnya Tio minta dibuatkan masakan enak? Engga bisa! Jadi akan ia bujuk agar Leony juga membuatkan makanan untuknya nanti malam. Bukan lagi Bi Muji yang masih berdiri di sana. Saat matanya melirik ke arah wanita paruh baya itu, ia pun mengibas pelan. Bukan bermaksud mengusirnya, tapi ia memang butuh bicara berdua dengan Leony saja. Hal itu tentu saja dituruti dengan patuh oleh Muji. Berhubung sepertinya Leony akan banyak bicara, Tio pun menopang ujung dagunya dengan tangan. Matanya sengaja menatap lekat Leony yang tampak enggak terganggu sama sekali oleh tingkahnya. “Ada teman yang ganggu Nai, Pak. Sepertinya sudah agak berat, sih. Cuma cara Nai melampiaskan emosi menurut saya salah.” “Salah gimana?” “Nai mau rusak buku temannya. Saya larang.” “Semakin histeris jadinya?” Tio menegakkan punggung. Pembicaraan mengenai Naina di mana ada Leony di dalamnya selalu menarik untuk ia dengar. Sejak pertama kali Leony ia perkenalkan dengan keponakan yang ia anggap anak sulungnya ini, mereka berdua kadang akur, kadang bertengkar, kadang lagi bikin Tio pusing. Tapi satu hal yang pasti ; Naina enggak pernah membantah apa yang Leony katakan. “yah … gitu, lah. Tapi saya biarkan dulu. Dia nangis, teriak-teriak, sampai pukuli saya juga, saya biarkan. Dan akhirnya, Naina tenang dengan sendirinya.” Tio terperangah. Membujuk Naina enggak gampang. Apalagi sampai ia menangis histeris. Biasanya di rumah ini heboh dan memanggilnya untuk sekadar meredakan tangisnya. “Tapi saya tadi enggak dengar Naina nangis?” “Bapak, kan, di ruang kerja kedar suara. Enggak terdengar gangguan apa pun, Pak. Lagi juga, saya tutup pintu kamar Naina.” “Tapi sudah lebih tenang?” “Sudah.” Leony tersenyum. “Makanya saya mau temani, ya, Pak. Nai belum cerita secara utuh kepada dirinya mengamuk seperti tadi.” Ia pun bersiap kembali ke kamarnya. “saya … enggak Bapak butuhkan, kan?” “Buatkan saya makan malam, Ony. Apa pun yang kamu masak, saya makan.” “Telur ceplok dengan nasi kecap? Bapak mau?” Tio mengerjap. “Kalau itu yang kamu bisa, why not?” Ucapan itu lantas membuat Leony tertawa. “Adik saya suka banget kalau saya ceplok telur. Entah kenapa. Katanya rasanya pas padahal Cuma pakai margarin aja. nasinya anget gitu.” “Kenapa kamu bicara seperti itu bikin saya lapar?” Tio tertawa. “Coba … buatkan untuk saya.” “Lho? Bapak baru makan pizza, kan? perutnya masih muat?” Kembali Tio tertawa. “Lupa, ya, kalau saya pria yang butuh banyak tenaga?” Leony merotasi matanya sebal. “Oke. Tapi jangan protes kalau enggak enak, ya. Ini menu sederhana banget.” Tio hanya mempersilakan Leony untuk beranjak meninggalkanya ke dapur. Meski seumur hidupnya belum pernah makan hanya dengan telur ceplok lengkap dengan nasi kecap, tapi karena Leony yang mau memasak untuknya, ia tak jadi soal. Jangan tanya kenapa Tio seperti ini. Ia hanya mengikuti hatinya saja. Hatinya hari ini bilang, menikmati waktu bersama Leony ternyata enggak buruk. Asistennya enggak terlalu kaku dan pendiam juga formal kalau di luar kantor. Ia menyukai kedekatan ini. apalagi tadi … tidak! Tio tak boleh mengingat kejadian tadi terus menerus. Bahaya! “Kak Ony!” teriak Naina dengan tampang cemberut. Jalannya menghentak kesal karena sejak tadi ia menunggu gadis itu datang ke kamarnya, malah ia ditinggalkan sendiri. Sudah ia habiskan dua potong pizza, spagetinya sudah ia makan separuh, es soda menyegarkan bagiannya sudah habis pula. Dan Leony belum datang juga! Astaga! Naina jadi kesal lagi. katanya mau dengarkan ia bercerita. Mana? “Kan Ony ngapain, sih?” Tio yang menyambut Naina kali ini dengan menarik keponakannya buru-buru. Membuat Naina terpekik selain terkejut, ia masih menyimpan marah. “Lepasin aku, Daddy!” teriaknya tak terima. “Aku marah sama Kak Ony!” “Kakak salah apa?” Leony menatap dengan tatapan polos—sengaja. Padahal ia sudah bersiap dengan teflon dan telur yang ia ambil dari kotak penyimpanan. Muji beberapa kali memberi taunya letak banyak barang di dapur ini. saat ia menoleh, Naina yang tengah diajak bercanda Tio, sudah lupa marahnya. Gadis itu tertawa kegelian, sementara Tio terus saja menggelitik keponakannya. Tak peduli seberapa keras Naina minta ampun serta menjerit diiring gelak ceria. Yang mana membuat Leony senang. Naina itu gadis kesepian. Hanya ditemani seperti ini saja, ia sudah senang. Leony juga bukan gadis dengan banyak teman. Tapi setidaknya ia cukup beruntung memiliki dua saudara lelaki. Masa kecilnya terlalu sepi. Dan saat ditinggal figure ayah, ia sudah bisa menelaah apa itu kesepian dan kesendirian. Sementara Naina? “Masaknya dipercepat, Ony. Saya lapar,” kata Tio tanpa perlu menoleh pada gadis yang terdiam di meja dapur. “Jam tiga saya ada meeting tambahan. Jangan buat saya pingsan di tengah meeting.” Leony tersenyum tipis. “Aku juga mau Kak Ony. Apa yang Kak Ony masak, aku mau. Lapar.” “Oke. Tapi kalau enggak enak, jangan salahkan Kak Ony, ya.” “Iya!” sahut mereka kompak. Sejurus kemudian, Naina kembali tertawa. “Ampun, Daddy.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN