[12] Pokoknya hari ini Leony cuti

2404 Kata
Tio benar-benar menepati ucapannya. Datang ke kamar miliknya yang kini ditempati Leony, hanya sebatas sarapan bersama. Di mana sang empunya kamar menunjukkan betapa menyenangkan kamar yang gadis itu tempati. Yang mana sebenarnya sudah Leony tahu sejak awal ia ada di sini. Makanya ia menyukai bekerja ditemani suasana yang nyaman, karena menurutnya kamar ini begitu ideal. Leony betah berlama-lama di sini. Andai saja ia bisa punya kamar seperti ini, pastinya akan sangat menyenangkan. “Bapak yakin enggak butuh bantuan saya?” Ia bertanya persis sebelum Tio melangkah menjauh dari pintu kamar. Berkas yang diinginkan sang bos sudah ada di tangan. “Enggak.” Si pria mengibaskan tangannya segera. “Kamu nikmati waktu cuti saja” Entah kenapa Leony enggak gampang percaya. “Enggak usah pasang wajah begitu, Ony.” Tio mencibir. “Ketimbang saya cabut izinnya?” Malas mendebat, Leony mengangguk saja. “Terima kasih.” “Begitu dong.” Lalu Tio pun berlalu begitu saja sembari bersiul. Lumayan paginya cukup membuat hatinya riang. Moodnya naik lumayan tinggi. Meski harus melalui kejadian memalukan, tapi setidaknya, ada hal lucu yang bisa membuatnya menarik senyum setipis mungkin. Sementara Leony menatap punggung itu sampai benar-benar menghilang di balik koridor lain. Mengedikkan bahu, ia merasa sang bos pagi ini sangat aneh. Sejak kapan Raptor banyak senyum enggak jelas? Bicaranya juga seperti menggoda Leony? Enggak, ya. Leony enggak ingin tergoda dan digoda Raptor. Bayang pria itu diduduki wanita yang silih berganti sejak ia menjadi asistennya, enggak mudah terlupakan. “Hari ini aku bebas, kan? Berarti kalau aku ke toko buku, seharusnya enggak dicari, kan, ya?” Leony masuk kembali ke kamarnya. Tersenyum selebar mungkin sembari memekik girang. “Yes!!! Aku bebas hari ini!” Ia pun segera menyambar koper yang hanya berisi pakaian kerja dan beberapa kaus longgar. Ia pikir, keadaannya enggak seperti ini tapi sayang, Raptor selalu bisa membuat Leony patuh. Kalau enggak patuh, gajinya bisa dipotong, kan? Enggak, ya. Leony harus mempertahankan dirinya bekerja dan mengabdi di Faldom. Selain gajinya yang besar dan banyak fasilitas yang didapat, paling tidak, karena kesibukannya yang cukup menyita waktu, Leony jarang ada di rumah. “Untuk apa di rumah kalau dimintain duit terus?” dengkus Leony. Tubuhnya ia rebahkan begitu saja di ranjang yang enggak beraturan ini. Tangannya menyentuh selimut yang tadi membelitnya. Lantas ia bergidik ngeri dengan adegran selanjutnya. “Ya, Tuhan! Lumpuhkan ingatan hamba tentang kejadian tadi!” Ia sampai mengusap lengannya dengan segera. “Duh!” Untungnya, ia segera teralih dengan dering ponsel yang berbunyi nyaring. Berhubung tak terlalu jauh dari tepian ranjang, ia pun segera menyambarnya. Nama Haikal muncul di layar. Agak lama sebelum akhirnya, Leony menggeser ke arah hijau pada layar. “Ya?” “Kamu masih di Medan, Anna?” Gadis berponi itu memejam pelan. “Masih.” “Kirimkan Mama uang, An. Mama mau arisan. Ini jadwalnya Mama ke Mampang. Kamu tahu, kan?” Leony terdiam. “Mama enggak mungkin turuti mau kamu enggak datang ke sana. Meski kita jatuh miskin, tapi Mama punya harga diri. Percuma sekolahkan kamu setinggi mungkin kalau enggak berguna.” Leony menarik napas sebanyak mungkin. Demi memenuhi rongga udara di paru-parunya yang mendadak mencekik dirinya tanpa ampun. Rasanya juga ia malas untuk mengeluarkannya meski perlahan. “Cepat, An. Siang ini diantar Haikal ke sana. Mama enggak akan biarkan harga diri Mama diinjak mereka terus.” “Ma,” pelas Leony. “Bisa berhenti?” “Untuk apa?” Suara sang ibu terdengar meninggi. “Mama harus buat perhitungan dengan mereka, Anna. Enggak bisa Mama diremehkan karena sekarang miskin. Dulu, kamu tahu kita seperti apa, kan? Ini semua karena Appa kamu!” “Ma!” Leony membentak ibunya. “Ketimbang Mama pergi ke perkumpulan enggak berguna itu, hanya hamburkan uang yang aku kumpulkan untuk kalian bertiga hidup, lebih baik pikirkan sekolah Haikal!” “Jangan atur Mama! Ini semua juga karena Appa kamu terlalu sayang sama kamu! Tahu diri, Abrianna Leony Jacob!” Tuhan! Adakah ibu seperti ini? Menyalahkannya karena sebuah kejadian di luar dugaannya? Apa ini semua maunya Leony? Di kala semua tampak gemerlap karena uang dan hidup yang sejahtera, tapi ternyata itu hanya fatamorgana. Ayahnya yang gila berjudi dan mabuk, mempertaruhkan segalanya. Semua yang mereka miliki, terampas begitu saja saat sang ayah kalah. Total. Dan karena itu juga, serangan jantung merenggut Lionel Jacob saat semua yang ia punya habis tanpa sisa. Kecuali rumah yang mereka berempat tempati Sambungan telepon itu lantas ditutup begitu saja oleh sang ibu. Napas Leony agak tersengal jadinya. Ah ... padahal niatnya kepingin cuti dengan tenang, damai, enggak ada yang merusuh, dan bisa tidur kembali dengan nyenyak. Enggak bisa dipungkiri, tidur telat beberapa waktu belakangan membuatnya gampang capek. Tapi kerja dengan Tio itu enggak boleh capek, kan? Sekali lagi ia menghela napas dan kali ini jauh lebih panjang ketimbang sebelumnya. Meski ia kesal dengan sikap ibunya yang sama sekali beli berubah, ia tetap membuka aplikasi perbankan online miliknya. Mentransfer sejumlah uang disertai satu pesan pada sang adik. [Leony. J : Jangan ngebut. Antar Mama ke rumah Tante Poppy. Tungguin sebentar, terserah tunggu di mana nanti kakak kasih jajan. Jangan boros, ya. Haikal tahu, Kakak berusaha keras kerja untuk kalian?] Balasannya dengan cepat sekali ia dapatkan. [Haikal. J : Iya, Kak. Haikal tahu. Aku temani Mama tapi sekali lagi, aku enggak pernah setuju kakak selalu berikan apa yang Mama mau. Keras sedikit, Kak.] Senyum tipis tercipta di sudut bibir Leony. Bayang wajah adiknya yang bersungut marah mendadak penuh di matanya. Tapi kalau dipikir, selain dirinya siapa lagi yang akan memberikan untuk ibunya? Mengandalkan siapa? Enggak mau terlalu lama pusing, ia meletakkan ponselnya begitu saja. Menekuk lututnya di mana matanya menatap bagian terluar kamar ini. Gorden besar yang menyelimuti sekitar kaca kamar ini sudah terbuka sempurna. Taman di rumah ini indah sekali. Hijaunya daun juga tumbuhan di sana membuat Leony jauh lebih baik. Sunyi. Enggak ada suara yang mengganggunya sama sekali yang membuatnya benar-benar damai. Matanya terpejam perlahan. Yang enggak ia sangka, malah foto yang semalam cukup mengejutkan baginya melintas di benak. Kayak penari profesional begitu, enggak mau berhenti dan ditepis dari pemikiran Leony begitu saja. Yang mana membuatnya segera mengambil salah satu dari potret yang ada. Lalu terkekeh kalau ingat kejadian tadi pagi. “Cuma buat nyembunyiin ini saja sampai kesandung segala.” Salah satu jemarinya mengusap pelan potret sang bos kala kecil. Apa yang ia bilang memang kenyataan, kok. Tubuhnya Tio kecil agak gempal. Mukanya bulat meski gantengnya sudah ada. Makanya ia bilang kagum dengan foto itu karena yang Leony katakan benar adanya. Bisa-bisanya Tio dewasa tumbuh setampan itu, kan? Berarti iklan yang mengatakan tumbuh itu ke atas, bukan ke samping direalisasikan dengan sempurna oleh Tio. Pigura yang Leony ambil, sepertinya foto di mana Tio memenangkan salah satu lomba. Entah apa, sih, ini Leony enggak terlalu jelas melihatnya. Tapi yang jelas, di foto itu Tio senyumnya lebar banget. Pasti senanglah apalagi sampai menang. Leony yang sesekali juara saja girangnya bukan main. Jadi memang sejak kecil otaknya Tio ini briliant, kan? Pantas saja kalau dipercaya dan benar-benar eksplorasi dirinya di Faldom dengan baik meski jadi penyiksa nomor satu buat Leony. Lantas bayang masa lalunya juga ikutan berjalan seiring usapan lembutnya di kaca yang melindungi pigura tadi. Figur Tio berganti, lho, dengan pemuda yang jauh lebih tegap dan tinggi. Walau tampangnya saat itu kalut sekali. Tapi Leony bisa pahami kenapa pemuda itu sampai bermuram durja begitu. Leony ada di koridor di mana tempat orang-orang yang bertaruh nyawa, ditangani dengan segera. Bunyi sirene serta banyak ocehan yang enggak Leony pahami kembali terdengar samar di ingatannya. Saat itu juga, Leony baru menerima kenyataan, kalau ayahnya enggak bisa diselamatkan karena serangan jantung. Ibunya menangis tersedu-sedu, dua adiknya ia rasa ada di rumah sembari berpelukan kalut, yang lebih parah adalah dirinya. Malah berjalan mondar mandir di sekitar koridor rumah sakit. “Dok, pasien berusia empat tahun. Pendarahan hebat di bagian perut. Lukanya cukup besar.” “Segera siapkan meja operasi.” Lalu dua orang itu segera pergi dengan langkah yang sangat cepat. Pastinya harus memastikan kalau tindakan mereka tepat guna, kan? Leony berdoa, semoga anak itu selamat. Jangan sampai keluarga si pasien anak itu berduka. Cukup dia yang mendadak tak punya ayah. Tapi bicara mengenai orang tua, kasihan juga anak itu kalau selamat. Orang tuanya dinyatakan meninggal oleh dokter. Saat melintasi Leony yang duduk terpekur di koridor arah ruang IGD, Leony bisa melihat betapa mengenaskannya korban kecelakaan itu. Gadis itu mengamati sosok pemuda yang tak lama datang. Bicara ini dan itu pada dokter, lalu ia sibuk dengan ponselnya. Enggak ada yang terlewatkan dari semua hal yang mendadak menarik perhatiannya. Terutama wajah Tio yang memang ganteng, tapi dirundung sedih yang sama sepertinya. Kalau air mata Leony malas sekali untuk keluar. Ia merasa kematian sang ayah akan menjadi mala petaka di kemudian hari. “Dia butuh darah, ya?” gumam Leony pelan. Ia masih belum mau beranjak dari duduknya. “Darahnya sama seperti aku. Untuk anak itu, kan, ya?” Ia menatap tangannya. Kulitnya putih bersih. Masih ia kenakan kaus olah raga ditutupi cardigan tipis menghalau dingin. Rambut panjangnya ia kuncir tinggi. Tak ada kacamata juga kawat gigi. Hanya sosok gadis remaja yang kehilangan arah hidupnya sesaat. Leony suka n****+ romantis, kok. Mendadak juga banyak adegan yang ia ingat seliweran di benaknya termasuk mengajukan syarat sebagai bayaran atas kebaikan yang ia beri. Meski ia merasa konyol, tapi sepertinya boleh juga. Anggap saja, ia tengah memainkan lelucon paling gila sepanjang hidupnya. Toh ... mereka enggak akan bertemu lagi, kan? *** Leony dengan cepat mengejar langkah Naina ke kamarnya. Mau bilang hati-hati juga percuma. Anak itu paling tahu seluk beluk rumah ini serta jarak anak tangga satu dengan yang lainnya. “Nai, sabar dulu.” Leony terengah. “Kakak capek banget.” Naina diam saja, tangannya terkepal marah. Bahkan ia sudah siap banget nyemburin api kekesalannya tapi tunggu. Ia butuh pelampiasan yang lainnya. Salah satunya, buku yang ia pinjam di kamar. Kenapa, sih, kalau berteman harus ada kelompoknya? Memangnya kalau lintas kelas enggak bisa? Bukankah berteman itu dengan siapa saja? Kenapa malah Naina yang mendadak dimusuhi karena ramah dengan kelas lain. Konyol amat! Naina enggak terima, lah. “Nai,” panggil Leony sekali lagi. Mereka sudah ada di ujung tangga tapi langkah Naina sama sekali enggak berkurang. “kamu kenapa, sih?” “Diam!” Untung Leony kebal perkara dibentak dan mendengar suara tinggi. Meski awalnya agak kaget dengan perangai keponakan sang bos, tapi sekarang ia sudah terbiasa. Ia terus mengikuti langkah sang gadis sampai ke kamarnya dan ... “Eh! Tunggu dulu! Kenapa harus dirobek bukunya?” “Diam, Kak Ony!” Tampang Naina galak sekali. Matanya melotot tak sopan ke arah Leony. Ia segera merebut kembali buku yang tadinya sudah akan ia hancurkan. Robekan besar akan ia ciptakan sebagai bentuk kekesalannya di sekolah. Perlakuan temannya itu enggak bisa Naina biarkan. Sayangnya, Leony tanggap. Buku itu langsung diangkat setinggi mungkin. Membuat Naina berjinjit dan berusaha keras untuk merebutnya. Jangan tanya pokoknya suara Naina yang meninggi, lalu berubah gemetaran dan menangis sekarang. Leony saja capek banget bikin Naina sibuk tapi lebih baik anak itu nangis. Bukan karena Leony bisa meredam tangisannya pakai segala bujukan. Sejak ia didewasakan keadaan, Leony tahu memendam rasa kesal dan marah di hati enggak enak. Harus ditumpahkan meski lewat tangisan. Setelahnya, ia harus berpikir bagaimana hidupnya terus berjalan. Jadi lebih baik ia dengar Naina nangis. “Sudah lebih tenang?” tanya Leony sembari mengusap kepala Naina. Agak lama membuat Naina mau didekati. Tadinya segala macam boneka, bantal, guling, bahkan ranjangnya sudah enggak lagi berbentuk. Naina ngamuk. “Aku kesal,” kata gadis itu pelan. “Kesal bisa bicara, bukan marah.” “Memang kakak kalau kesal, bisa enggak marah?” Leony bungkam. Anaknya Tio alias keponakannya ini memang pintar. “Enggak, sih.” “Jadi kenapa aku enggak boleh marah?” Naina mendongak dan menatap Leony dengan wajah jengkel. Tangannya segera terlipat di daada tanda tak ingin ada gangguan. “Yang larang kamu marah siapa? Enggak ada. Tapi kalau marahnya kamu merusak dan nanti bikin rugi diri sendiri, baru aku larang.” Naina melengos. “Belum mau cerita?” Naina masih mempertahankan dirinya. “Oke. Kak Ony ambilkan makanan dulu, ya. Tadi pesan pizza, kirain bisa makan bareng sama kamu sembari nonton film. Eh, kamunya marah.” Wajah gadis itu agak melunak. “Banyak enggak pizzanya?” “Banyak dong.” Leony tersenyum lebar. “Makan di kamar kamu atau kamar aku?” “Kamar Kak Ony saja, deh.” Naina langsung bangun dari ranjangnya. Mengusap kasar pipinya yang lembab. “Tapi aku boleh minum soda enggak? Aku sudah lama, lho, enggak minum soda.” Makin lebar senyumnya Leony. “Boleh. Tapi jangan banyak-banyak, ya. Nanti dimarahin sama Daddy.” Naina tergelak jadinya. “Oke.” Mereka pun keluar kamar dengan perasaan yang jauh lebih baik meski Leony belum tahu apa yang membuat Naina terganggu ini. Nanti saat makan pizza bersama, pasti akan ia tanya apa yang terjadi. Lebih baik sekarang ia siapkan apa yang Naina inginkan. Dirinya memang pesan pizza, kok. Entah kenapa ia ingin sekali makan pizza hangat lengkap dengan lelehan keju. Ada satu porsi sengaja ia belikan untuk si Raptor. Niat awalnya malah, ingin ia beri sendiri karena info Bi Muji, sejak masuk ke dalam ruang kerjanya, Tio enggak keluar sama sekali. Katanya juga, ada beberapa orang kantor yang datang menemui Tio. Sibuk sekali rupanya sang bos. Leony enggak heran, sih. Tapi karena kedatangan Naina yang ngamuk macam banteng, ia urus anaknya Tio dulu saja. “Kamu ke kamar duluan, ya. Nanti Bi Muji bawakan untuk kamu. Tunggu di sana, Kak Ony mau bawakan ini untuk Raptor.” Naina tertawa. Tiap kali Daddynya dipanggil Raptor, ia selalu merasa geli. Namun langkahnya Leony tertahan karena ponsel yang ia kantungi bergetar. Nama Nyonya Besar muncul di layar di mana Suny menghubunginya. Ada apa, ya? Tanya Leony dalam hati. “Kamu duluan sana,” pinta Leony sebelum ia geser icon hijau. “Ya, Bu?” “Ony, saya kirim banyak profil untuk calon maminya Naina. Seleksi yang menurut kamu pantas. Biar Tio berkencan yang waras.” “Bagaimana?” Leony terperangah. “Kamu dengar saya bicara, Ony.” Leony tak tahu harus berkata apa. Ini mengejutkan sekali. Sumpah. Macam ada petir di sekitarnya Leony. Apa pula urusannya dengan jodohnya Tio? Masa iya dirinya yang harus milih? “Kamu paling tahu seleranya Tio, kan? Enggak terhitung berapa banyak kamu sering melihat perempuan di hidupnya Tio. Nah, sekarang bantu Ibu pilihkan yang sesuai. Semuanya berambut merah. Persis seperti yang Naina inginkan.” Ya Tuhan! Mendadak Leony ingat siapa wanita berambut merah itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN