Syfo melangkah turun, membiarkan petugas valet memarkirkan mobilnya di basement gedung. Beruntung Donna sudah hapal di luar kepala ukuran pakaian Syfo. Sehingga saat hendak merias Syfo, gadis itu membawakan Syfo koleksi gaun dari butik yang kebetulan ada di samping salon. Meski Syfo kurang menyukai modelnya, tapi gaun tersebut cukup layak untuk dipakai di acara peresmian seperti ini.
Tidak ada yang salah dalam penampilan Syfo sore ini. Seperti biasa apa pun yang dia kenakan, meskipun itu terlihat sederhana sekalipun, dia tetap akan menjadi sorotan. Terlebih saat orang mendengar nama belakangnya.
“Symphony Khawas,” sapa pemilik gedung pencakar langit yang mempercayakan pembangunan gedung miliknya pada Khawas Group. “Akhirnya kamu datang juga," sambungnya dengan penuh kelegaan.
“Selamat sore, Pak Buana. Maaf saya terlambat datang. Kebetulan saya masih ada pertemuan penting dengan klien,” jawab Syfo ramah tapi tidak meninggalkan keanggunannya sebagai wanita berkelas.
“Ayolah, Symphony! HArus berapa kali saya katakan, jangan panggil saya Bapak. Saya ini seumuran dengan abang kamu. Panggil saja Mas Buana atau nama saja lebih baik,” protes Buana.
“Saya sudah terbiasa. Malah terkesan lebih akrab, kok,” jawab Syfo.
“Ya sudahlah, terserah kamu saja. Lantas bagaimana dengan klien kamu, Symphony?”
“Sudah diatasi,” jawab Syfo mencari keberadaan Aries. “Apa acara peresmian gedung ini sudah dimulai, Pak?”
“Tentu saja belum. Saya sudah berjanji pada Luthfi untuk menunggu kedatangan kamu, Symphony,” jawab Buana dengan senyum hangat.
Syfo merasa tidak enak. Dia memberikan senyum terbaiknya sebagai tanda permohonan maaf atas kesalahannya. Tepat saat Symphony sudah menemukan keberadaan Aries yang tengah berbincang dengan beberapa orang yang tidak Syfo kenal, Buana menarik tangan Syfo untuk tetap berada di sisinya saat prosesi pemotongan pita. Merasa berada di tempat yang tidak seharusnya, Syfo beringsut ke belakang lalu melangkah cepat menghindari kerumunan tamu-tamu yang ingin tahu proses pemotongan pita sebagai tanda peresmian gedung Cakra Buana.
Setelah pemotongan pita, Syfo bergegas menuju ke tempat Aries. Kedua matanya menangkap sosok yang tak asing berada tidak jauh dari meja Aries. Dia tidak terkejut Ana berada di acara ini, karena Buana memang kenal baik dengan Ana saat masih menjadi istri Luthfi. Dan inilah alasan dasar Luthfi memutuskan mengirim Syfo ke acara peresmian gedung Cakra Buana, ketimbang harus bertemu dengan mantan istrinya itu di tempat umum seperti ini.
“Loh, Fo? Kamu kenapa ada di sini juga? Bukannya lagi golf sama Bang Luthfi?” sambut Aries dengan raut wajah tidak senang melihat keberadaan Syfo.
Syfo mengambil tempat duduk di samping Aries. Dia melirik ke arah Ana sebelum menduduki kursi tersebut. Detik berikutnya tatapan Ana dan Syfo bertemu di satu titik. Tatapan penuh kebencian, permusuhan, dan saling merendahkan. Ana memilih membuang muka setelah melempar senyum sinis pada Syfo.
“Pak Buana telpon Bang Luthfi. Bilang kalau acara peresmian ini nggak akan dilangsungkan sebelum aku datang,” jawab Syfo dengan wajah penuh penyesalan.
Aries menatap tajam pada Syfo. “Segitu berpengaruhnya kamu buat Pak Buana? Ada affair apa antara kamu dengan dia?” tuduh Aries.
“Maksud kamu? Aku ada hubungan khusus di luar pekerjaan dengan Pak Buana?”
“Apa lagi kalau bukan hal-hal yang seperti itu?” Aries mendengkus. “Harusnya aku udah curiga dari awal. Dan aku yakin abang kamu tahu soal itu.” Lagi-lagi Aries menuduhnya tanpa bukti.
“Soal apa, Eris?” Syfo semakin tidak mengerti pada hal yang sedang dibicarakan oleh Aries.
“Kalau Buana itu sebenarnya menaruh hati sama kamu, Syfo. Memangnya kamu tidak tahu?” Tiba-tiba Ana datang menghampiri Aries dan Syfo yang tengah berdebat. “Buana itu naksir kamu dari mulai kamu masih sekolah dulu,” jelas Ana.
Aries melingkarkan lengannya di belakang Syfo dengan protektif, sambil terus menatap Buana yang sedang berbincang dengan para koleganya.
“Sekarang kamu bisa menarik benang merahnya, kenapa Luthfi sangat tidak menyukai kamu, Aries,” ucap Ana, semakin mematik api kemarahan pada sumbu emosi seorang Aries yang terbilang pendek sehingga mudah terbakar.
Tidak ada jawaban dari Aries maupun Syfo. Aries masih sibuk menata emosinya. Sementara Syfo enggan berurusan dengan Ana.
“Mungkin Luthfi menyesal dulu tidak lebih keras dalam menjodohkan Syfo dengan Buana saat melihat di masa kini kamu hanya bisa menjadi benalu dalam keluarga Khawas,” ucap Ana dengan nada bicara mencemooh Aries.
Syfo mendengkus. Dia mulai gerah berada di dalam satu ruangan dan menghirup udara yang sama dengan mantan kakak iparnya itu. “Memangnya kamu sudah melakukan hal paling benar bagi keluarga kami sampai berani-beraninya mengatakan hal buruk seperti itu tentang suami saya?” bantah Syfo, membela Aries.
“Setidaknya saya mampu memberikan keturunan untuk penerus bisnis keluarga Khawas!” balas Ana sinis, sebelum beranjak pergi dari hadapan Syfo dan Aries.
“DAMN!!! Gue harus kasih pelajaran sama laki-laki itu!” ucap Aries penuh kemarahan.
Syfo menahan Aries yang siap bangkit dari kursinya. “Kita bahas soal ini di rumah aja ya? Setelah acara penyambutan dari Pak Buana, kita pulang,” saran Syfo, berusaha tidak terpancing pada emosi yang diciptakan oleh Aries. “Nggak enak soalnya kalau tiba-tiba pulang. Mana aku juga baru datang,” imbuhnya, sambil mengusap paha Aries, berusaha menenangkan emosi Aries yang mulai tidak stabil.
“Jadi, kamu lebih menjaga perasaan orang lain daripada suami kamu?!” bentak Aries, beranjak dari kursinya. Dia menarik tangan Syfo hingga istrinya itu tersentak dan hampir terjatuh saat bangkit dari kursi. Tidak biasanya Aries menunjukkan rasa cemburunya sampai seperti ini. Meski tempramental Aries bukan termasuk tipikal pria pencemburu. Namun karena dia sudah dikuasai oleh kondisi emosinya yang caruk maruk akibat kedatangan Syfo yang di luar rencananya, ucapan Ana tadi begitu mengena hingga ke dasar hatinya. Sekecil apa pun kesalahan yang dilakukan oleh Syfo, menjadi masalah besar bagi Aries. Termasuk permasalahan yang belum diketahui kebenarannya seperti yang terjadi sekarang ini.
Buana dan tamu yang lainnya sampai melihat ke arah mereka berdua saat ini. Syfo benar-benar malu dan merasa tidak enak saat ini. Terlebih saat Aries menyeretnya keluar dari lobi gedung yang menjadi tempat acara peresmian.
“Setidaknya kasih aku kesempatan untuk pamitan sama Pak Buana, Eris,” pinta Syfo berusaha menahan tubuh Aries yang terus menyeretnya.
“Nggak ada pamit-pamitan. Kamu cuma mau mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk berdekatan dengan laki-laki itu!”
Aries terus menyeret Syfo hingga basement. Dia mencari keberadaan mobil Syfo sambil terus mencengkram pergelangan tangan Syfo. Saat Syfo meminta supaya Aries tidak berjalan tergesa, Aries justru semakin menyeret dan menghentak-hentak tangan Syfo.
Setelah berada di samping pintu kemudi mobil Syfo, Aries membukanya dengan kasar dan mendorong tubuh Syfo masuk ke dalam mobil. “Kamu pulang sekarang juga! Tunggu aku di rumah!” perintah Aries tak bisa diganggu gugat.
***
Ternyata Aries lebih dulu sampai rumah. Dia menunggu kedatangan Syfo di kamar. Baru saja Syfo menutup pintu kamar, Aries melempar remote televisi ke arah Syfo. Beruntung Syfo dengan sigap melindungi diri, sehingga remote tersebut hanya mengenai pangkal lengan yang ia gunakan untuk menutupi wajahnya.
Aries berjalan cepat menuju tempat Syfo sedang berdiri. Dia mencengkram kedua pangkal lengan Syfo dengan kasar. “Semuanya gagal gara-gara kedatangan kamu!” ucap Aries penuh kemarahan saat menatap Syfo.
“Seharusnya kamu nggak berada di tempat tadi!” bentak Aries sambil mengempaskan tubuh Syfo ke ranjang. “Kalaupun memang disuruh Bang Luthfi, msa kamu nggak bisa menolak perintahnya sekali aja?”
“Bagaimana aku bisa menolak perintah dia, Eris? Dia atasanku, dia abangku. Sudah menjadi tugas dan kewajiban aku untuk mematuhi dan menuruti perintahnya,” jawab Syfo membela Luthfi.
“Tapi aku suami kamu, Fo! Kamu sudah menjatuhkan harga diriku ke dasar jurang, dengan membiarkan aku menerima tatapan dan kata-kata penuh cemooh dari orang-orang yang menganggap kalau aku hanya mendompleng nama besar dan kesuksesan keluarga kamu,” ucap Aries sambil mengerang penuh frustrasi.
“Aku cuma nggak mau Pak Buana tersinggung, lalu nggak mau lagi menjalin kerja sama dengan Khawas Group untuk semua lini bisnis.”
Aries bangkit dari ranjang. “Ya, tapi kenapa kamu mesti datang?! Kamu juga nggak ngabarin aku kalau mau datang!” geramnya.
“Aku benar-benar nggak punya waktu, Eris. Aku masih di lapangan waktu Pak Buana menghubungi Bang Luthfi dan menanyakan keberadaanku. Lalu Bang Luthfi memerintahkan aku untuk segera datang ke acara peresmian karena Bang Luthfi sudah membuat perjanjian kalau proyek Cakra Buana sepenuhnya dihandle sama aku, bahkan sampai acara peresmian.”
“Perintah itu semakin menunjukkan kalau Bang Luthfi sengaja mau mendekatkan kamu sama pengusaha properti kaya raya itu untuk memperlancar urusan bisnisnya. Kamu sadar nggak, sih, kalau kamu itu sebenarnya cuma dijadiin boneka sama abang kamu, Syfo???” Arias berteriak, meluapkan kemarahan dan kekecewaannya dengan mengempaskan semua barang yang ada di atas meja rias ke lantai, hingga tidak tersisa satupun barang di atas sana.
Syfo menutup kedua telinga dengan telapak tangannya mendengar benda-benda yang terbuat dari kaca hancur berkeping-keping di atas lantai. Detik berikutnya Aries meninggalkan kamar yang sudah nyaris seperti kapal pecah. Syfo melihat kondisi kamarnya dengan tatapan pilu. Namun ada satu hal yang disyukurinya, yakni Aries tidak memukulnya dalam keadaan seperti ini.
Tak lama kemudian Bi Yana naik ke lantai atas untuk melihat keadaan Syfo. Wanita itu berlarian saat menaiki tangga karena tidak sabar ingin segera melihat kondisi majikan perempuannya.
“Ya ampun!!!” seru Bi Yana dari arah pintu kamar. Dia berjalan perlahan karena banyak serpihan beling yang berserakan di lantai kamar. “Bu Syfo nggak apa-apa?” tanya Bi Yana iba.
Syfo menggeleng cepat. “Saya nggak apa-apa, Bi. Tolong bereskan semua ini ya. Saya mau mandi dulu,” ucap Syfo, menepuk bahu Bi Yana sebelum memulai langkah menuju kamar mandi. “Pak Aries mana?” tanya Syfo.
“Pak Aries pergi lagi,” jawab Bi Yana.
Saat Syfo melangkah menuju kamar mandi kakinya tidak sengaja menginjak serpihan beling. Bi Yana bergegas membantu Syfo karena kebetulan wanita menggunakan sandal. Perlahan dan penuh kehati-hatian Bi Yana mengeluarkan pecahan beling yang menancap di telapak kaki Syfo.
“Terima kasih, Bi,” ucap Syfo.
“Sama-sama, Bu.”
“Terima kasih juga karena Bi Yana masih betah bekerja di rumah ini, terutama karena sudah menjaga kerahasiaan rumah ini dari siapapun. Termasuk abang saya.”
Bi Yana menatap wajah ayu Syfo yang sarat akan beban dan kesedihan. Dia tahu majikannya ini menanggung beban persoalan hidup yang sangat berat dan menyakitkan lebih dari yang orang lain tahu di sepanjang hidupnya. Karena itulah dia memutuskan untuk setia pada Syfo sampai akhir hayatnya.
Sambil menahan perih Syfo bangkit dan menuju kamar mandi. Membiarkan rasa perih di kakinya itu menjalar ke seluruh tubuh, menggantikan semua rasa sakit yang diterimanya hari ini. Bila terbiasa merasakan sebuah rasa sakit, lama-lama tubuhnya akan kebal oleh segala rasa sakit.
~~~
^vee^