2. PERJODOHAN

2215 Kata
“Ampun, dah! Gue nggak habis pikir, ya. Ngapain, sih, mereka, tuh, nikah muda. Trus, ujung-ujungnya cerai juga?” omel Malika, menatap setengah terbelalak layar TV yang tergantung di rak tempat deretan jualan berada, tepatnya di rak belakang meja kasir di mana dia sedang berdiri. Nandita yang datang menghampirinya di supermarket tempat Malika bekerja, membalasnya dengan ledekan pedas. “Huh! Liat diri Lo sendiri gimana? Udah umur 25 kek gitu. Tapi, tetap aja nggak laku-laku!” Malika membalik tubuhnya sambil bersedekap kesal. “Lo datang ke sini mau belanja, atau mau ledekin gue? Tega amat gituin sahabat sendiri! Lo nggak takut kena kutuk?” “Yeee!!! Emang lo nenek sihir main kutuk-kutukan?! Coba, deh, mikirin lagi apa yang ibu lo tawarin. Lumayan, kan, kalau nikah sama pria kaya. Nggak perlu kerja gini lagi.” “Heh! Cecurut got! Gue ini, kan, udah bilang minggu lalu kalau nggak mau asal nikah-nikah aja! Lo kira gue kucing? Colok aja yang penting hamil? Gile lo, ya! Gue timpuk juga lo pake keranjang besi, nih!” seru Malika kesal, sudah meraih keranjang belanja di sebelahnya. Untung saja sekarang sedang sepi pembeli karena sudah hampir masuk tengah malam. Tapi, Nandita yang iseng, malah datang ke sana dengan alasan mau belanja bahan makanan, bonus ingin melihat wajah sahabat kesayangannya. “Lo, tuh, yang kejam! Gile aja mau nimpuk gue pake itu! Mau masuk penjara, ya? Mending masuk penjara cinta aje! Hahaha!” ledek Nandita dengan suara tawa yang super keras. Saking kerasnya tawa Nandita, karyawan pria yang baru saja keluar dari pintu gudang, kaget dan hampir membuat barang bawaannya terjatuh. “Malika! Kamu main-main lagi, ya? Teman kamu itu kenapa suka datang menganggu, sih? Sudah mirip hantu gentayangan aja!” teriak pria itu kesal. “Yeee! Sembarangan! Ngatain sahabat gue hantu gentayangan!” “Bener! Enak aja ngatain gue kek gitu!” dukung Nandita sebal, menjulurkan lidah ke arah pria itu. “Dasar cewek-cewek gila! Untung cuma satu yang kerja di sini!” “LO NGOMONG APA, HAH, JONI KACRUT?” teriak Malika kesal, tinju kanan dinaikkan setinggi mata. “Siapa yang kacrut! Sembarangan aja! Ngomong yang benar, dong! Ini tempat kerja! Bukan diskotik!” ujar Joni uring-uringan, berjalan menuju barisan rak belakang untuk menata jualan yang sedang kosong. “Emang kenapa kalo gue mau ngomong apa aja? Bos aja kagak protes ama gue!” teriak Malika lebih keras. Nandita langsung memukul sebelah tangannya. “Lo ini emang kelewatan, sih. Kapan lo berubah sedikit manis? Barbar mulu. Pantes kagak laku-laku!” “Emang lo nggak kayak gue? Kita ini, kan, 11-12 gitu? Jangan kepedean lo, ya!” Keduanya langsung tertawa keras, dan membuat Joni yang mendengar mereka berdua langsung dongkol bukan main. Joni adalah rekan kerja Malika, dan keduanya cukup akrab. Hanya saja, kalau sedang bertengkar, biasanya pasti benar-benar tegang dan membuat suasana semakin tidak nyaman. Percakapan ketiga orang malam itu sama sekali tidak ada yang tahu kalau akan membuat suasana kerja menjadi tidak nyaman keesokan harinya. “Hah? Joni mau ganti shift? Gara-gara gue?” tanya Malika kepada Mawar yang sibuk mengatur rak shampo. “Iya. Dia bilang katanya kamu, tuh, berisik banget. Kepalanya jadi suka sakit gara-gara kamu yang ngomongnya keras dan kencang banget. Mirip pendemo di pinggir jalan!” “Sialan, tuh, Kunyuk! Dia anggep gue toa mesjid, kali, ya?” gerundel Malika kesal. Beberapa saat kemudian, Malika akhirnya tahu alasan sebenarnya kenapa Joni meminta ganti shift. Ternyata, dia punya masalah pribadi, dan adanya rekan kerja menyebalkan seperti Malika, membuat isi kepalanya semakin tidak karuan. “Sorry, Mal. Aku tidak bermaksud gitu, kok. Tapi, aku benar-benar tidak bisa kalau harus hadapin kamu kek gitu. Kamu teman yang baik. Cuma aku saja yang tidak bisa belajar menenangkan diri. Makanya aku lebih baik minta ganti shift saja. Daripada kamu yang aku laporin, kan?” ujar Joni dengan kedua bahu memelas lesu. “Emang lo ada masalah apa, sih?” tanya Malika penasaran. “Jadi, ya. Ceritanya adik aku yang sudah menikah berantem aama suaminya. Sekarang, dia itu kabur sama anaknya, dan tidak bisa ditemukan di mana-mana. Suaminya terus-terusan minta tolong sama aku buat cari dia juga. Tapi, mau cari di mana pun, aku tidak bisa menemukan adikku itu. Maklumlah, adikku masih labil. Nikah di usia muda, dan belum ada ilmu yang baik soal pernikahan. Sayangnya, dia sudah hamil duluan. Kalau tidak menikah, nanti malah jadi aib. Sekarang, udah nikah dan punya anak, malah jadi begini. Siapa yang tidak pusing, Mal?” ujar Joni lagi, tampak sudah ingin menangis. Setelah curhat panjang lebar. Akhirnya Malika mengerti kesulitannya. Hal itu juga membuatnya semakin yakin kalau menikah itu sebenarnya sangatlah menyeramkan. Malika pikir, mimpi buruknya minggu lalu di mana dia diikat di lantai dan hampir dilindas dengan mobil adalah hal paling membuatnya takut seumur hidup sampai gemetar sekujur tubuh, tapi ternyata ada yang lebih mengerikan daripada itu! Ya! Realita lebih mengerikan daripada apa pun! Sungguh bodoh dia takut berhari-hari gara-gara sebuah mimpi yang tidak nyata! Bulan ini saja, ada banyak artis yang bercerai massal. Sekarang, di sekitarnya ada lagi masalah seperti itu. Bulu kuduk Malika berdiri semua! Dia tidak mau menikah! Titik! Persetan dengan ucapan dan pendapat semua orang! “Ya, udah! Kalau lo merasa nyaman shift malam, gue aja yang ganti shift pagi. Daripada lo stres kek gini. Ntar kabarin gue aja kalau butuh bantuan gue, ya. Gue lumayan punya kenalan yang bisa cari orang yang hilang, tapi mesti dibujuk dulu.” “Seriusan, Mal?!” seru Joni kegirangan. “Iya, serius! Ekspresi lo bikin gue kesel aja! Udah! Berhenti kek gitu! DAN JANGAN PANGGIL GUE MAL-MAL! EMANG GUE TEMPAT BELANJA, APA?!” *** Sejak saat itu, mulai hari Minggu esoknya, Malika berganti shift pagi. “Tumben, pindah shift pagi? Kesambet apaan kamu, hah? Kuntilanak doyan duit?” goda salah satu karyawan wanita kenalan Malika, namanya Herindah. “Hush! Kenapa gue mesti protes? Si Joni cerewet itu ngasih gue kompensasi 500 ribu! Bayangin! Gimana gue nggak seneng?!” “Ckckck! Kamu, tuh, ya, benar-benar preman abis! Udah tahu Joni pelit, bisa-bisanya dipalak juga!” “Yeee! Lo ini udah kayak Nandita aja! Emang gue yang minta, apa?!” “Ngomong-ngomong soal Nandita, kapan, nih, kami berdua bisa bertemu? Kamu bilang mau kenalin aku ke dia, kan? Capek dengerin kamu cerita tentang dia terus.” Malika tertawa terbahak-bahak, lalu mengalihkan pembicaraan. “Udah. Nggak usah ngomongin dia lagi. Gue kesal ama dia. Ngomong nikah mulu. Udah kayak orang iklanin nikahan keliling aja.” Herindah tertawa lebih keras menimpalinya. “Hahaha! Mirip sinetron ikan terbang, dong!” “Yeee! Sialan lo!” makinya kesal, tapi tertawa lebih keras juga. Ketika keduanya sibuk tertawa keras, ibu Malika, Yuniasih, tiba-tiba menelepon. “Ada apa, Ma?” “Kamu pulang jam berapa? Bisa lebih cepat, tidak? Mama ada tamu penting. Pokoknya harus pulang cepat, ya!” “Mama! Aku, kan, sudah bilang kalau nggak mau dijodohin! Ini sudah ke berapa kalinya, Ma?!” “Aduh! Kamu ini! Kamu mau jadi perawan tua selamanya?!” “Ya, nggak gitu juga, Ma!” “Pokoknya kamu harus pulang cepat hari ini! Kalau tidak, Mama akan coret kamu dari KK kita!” “MA! TUNGGU, MA! TUNGGU DULU!” teriak Malika panik, karena ibunya tiba-tiba saja mematikan telepon. Itu adalah hal tidak biasa yang dilakukan olehnya. Malika gemas sendirian. Ingin rasanya menendang sesuatu! Dia tidak mau dijodohkan! Ugh! Sialan! *** Malika akhirnya terpaksa pulang dengan ancaman brutal ibunya. Kalau dia dicoret dari kartu keluarga, bukankah hidupnya akan banyak menemui kesulitan? Aduh! Kenapa dia sial sekali, sih? Dengan perasaan was-was, Malika mengendap-ngendap masuk ke halaman rumah. Setidaknya, dia harus tahu dulu kali ini seperti apa pria yang harus dikenalkan kepadanya. Sebelumnya, ada dua pria dengan kepribadian aneh dan eksentrik. Benar-benar membuat Malika ingin gila dibuatnya! Sepertinya, ibunya benar-benar tidak peduli dengan siapa dia menikah! Selama dia bisa menikah dan punya anak, mungkin itu adalah satu-satunya yang menjadi prioritas ibunya. Malika ingin sekali menangis memikirkan tekad ibunya yang akhir-akhir ini terlalu berapi-api. Seolah-olah dia tidak akan bisa menikah selamanya jika tidak segera mencarikan pasangan untuknya. “Assalamualaikum...” ucap Malika pelan dan lirih, tapi matanya sangat waspada melihat ke dalam ruang tamu. Ketika matanya bertumbuk dengan mata dingin dan tajam, serta asing di ruangan itu, tubuh Malika seketika membeku kaget dalam diam. ‘Njir! Gue lagi mimpi apa gimana, nih? Kenapa kancutt sialan itu ada di sini?!’ batin Malika terheran-heran, menatap tak percaya pada sosok pria tampan berwajah dingin dengan gaya kantoran yang sangat elit dan mahal. Di sisi lain, Rivaldi Geovani terdiam dengan kening ditautkan dalam melihat sosok di depan pintu. Dia tidak berkata-kata apa-apa, tapi auranya sudah cukup menindas orang di sekitarnya. Benar-benar aura seorang bos sejati! “Ah! Malika, putriku! Akhirnya kamu datang juga! Kenalin, nih! Ini...” Belum sempat ibunya memperkenalkan siapa tamu yang datang bersama tante Ayu, Malika langsung berteriak kencang seperti orang kesetanan sambil menunjuk pria tampan di sana. “NGGAK MAU! MALIKA NGGAK MAU DIJODOHIN SAMA DIA, MA! GILA APA, NIKAH AMA KANCUTT GOT KAYAK DIA?!” ‘Kancutt got?’ batin Rivaldi dengan kening semakin ditautkan dalam. “MALIKA OGAH SAMA DIA, MA! OGAAAH!! KAYAK NGGAK ADA PRIA LAIN AJA DI DUNIA INI!” Malika masih berteriak galak super kasar sambil terus menunjuk marah pria di kursi tamu. Ketakutannya akan mimpi buruk yang sudah menghantuinya selama hampir seminggu ini masih tersisa di dalam benaknya. Bagaimana bisa dia tiba-tiba muncul di rumahnya seperti ini? Gila! Gila! Gilaaa! Apakah pertemuannya di gedung parkiran itu adalah pertanda dari Tuhan? Termasuk mimpi buruk yang terus menghantuinya selama berhari-hari?! Kampret!!! Kalau begitu, dia akan memanfaatkan kesempatan ini untuk menghindari kutukan di depan matanya! “Malika! Kamu bicara apa? Kenapa berteriak seperti itu kepada tamu kita?!” seru ibu Malika gugup dan malu. Salah tingkah hebat dengan kedua tamu di depannya gara-gara sikap putrinya yang tiba-tiba sangat defensif dan kasar. Malika mengeraskan rahangnya kuat-kuat, mengepalkan kedua tangannya penuh kekuatan. “POKOKNYA MALIKA NGGAK MAU DIJODOHIN LAGI! TITIK! KALAU MAMA NGGAK MAU BERHENTI, MENDING MALIKA KABUR AJA DARI RUMAH!” Yuniasih kaget luar biasa melihat tingkah putrinya yang tiba-tiba saja menatap penuh kebencian dan amarah kepada pria tampan di seberang meja, lalu berjalan cepat menaiki tangga menuju kamar pribadinya. Pintu dibanting sangat keras seolah-olah ingin mengusir kedua tamu di bawah sana. “Yun. Nggak papa. Wajar kalau Malika seperti itu. Kamu, kan, selalu membujuknya untuk menikah. Jangan diambil hati. Kami tidak marah, atau pun tersinggung, kok,” bujuk tante Ayu yang sangat cemas melihat ibu Malika duduk terpuruk menahan malu di kursinya. Takut kalau dia tiba-tiba saja mendapat serangan jantung dan pingsan tidak sadarkan diri. “Anak itu... anak itu benar-benar, ya....” Yuniasih tidak tahu harus berkata apa dengan perbuatan putrinya yang sangat mengejutkan. Dia belum menjelaskan apa-apa, tapi Malika sudah mengamuk luar biasa. Sementara kedua wanita itu sibuk berbicara kecil dan menenangkan diri satu sama lain, Rivaldi masih saja terdiam, tapi dia mendongakkan kepalanya ke arah lantai dua. Siapa sangka kalau wanita yang hendak dijodohkan dengannya adalah wanita kasar yang sulit untuk dilupakan peringainya itu? Kening Rivaldi kembali mengerut dalam. Ekspresinya sangat misterius. Tidak ada yang tahu dia sedang memikirkan apa. *** Selama lebih dari seminggu belakangan ini, sejak kejadian menggemparkan di ruang tamu, demi menghindari pertengkaran dengan ibunya, Malika memutuskan menginap sementara di rumah Nandita. Tapi, dia tetap pulang sebentar untuk makan bersama dengan keluarganya, sebelum akhirnya pergi ke rumah sahabatnya itu. Yuniasih juga tidak keberatan dan memprotesnya, tapi itu semakin membuat Malika tidak nyaman berada di rumah. Sikap ibunya yang terlalu diam dan tidak banyak bicara membuat hati Malika perlahan merasa tidak tenang. Rasa bersalah aneh muncul di hatinya, tapi dia masih mencoba untuk keras kepala mempertahankan hak dan kebebasannya. “Mal, besok kamu ada waktu tidak?” tanya ibunya di suatu sore ketika Malika hendak pamit ke rumah Nandita untuk menginap. Malika mencoba bersikap tenang, berharap ibunya tidak akan membahas soal perjodohan. Kejadian lalu, belum sempat dibahas bersama karena mereka berdua seketika melakukan aksi saling diam dan irit bicara. Jangan-jangan mau bahas itu?! “Untuk apa, Ma?” tanya Malika pelan, sedikit merasa waspada. “Mama belum jelasin soal kedatangan tante ayu sama pria tampan saat itu. Makanya, bagaimana kalau kita keluar jalan-jalan sambil bicara satu sama lain. Lalu...” Hatinya Malika mencelos dingin. Tuh, kan?! Pasti mau dikenalin lagi dengan pria aneh! Ibunya sungguh banyak alasan! “Ma! Malika nggak mau dijodohin sama orang yang Malika nggak kenal, Ma! Apalagi orang kayak gitu! Mama tahu nggak dia itu seperti apa?!” Yuniasih segera memotongnya. “Kamu ini! Belum juga ibu selesai bicara sudah motong duluan! Lagian, kenapa kamu marah-marah seperti itu di depan tante Ayu? Kamu bener-bener bikin Mama malu, Malika! Kamu juga belum kenal pria itu, kan?” “Ya, maaf, Ma! Malika nggak bermaksud begitu, kok! Hanya saja...” “Sekali ini aja, Malika! Mama janji! Kamu nurut, ya, sama mama?” potongnya cepat. Malika tidak sanggup melanjutkan kata-katanya, hanya bisa menghela napas berat ketika melihat wajah sedih ibunya yang sangat kasihan. Bagaimanapun, sekarangnya hanya tersisa ibunya sebagai orang tuanya. Tentu saja dia masih ada hati nurani sebagai putri satu-satunya. “Ya, udah. Sekali ini aja, ya, Ma! Setelah itu, Malika nggak mau lagi kenalan ama pria-pria nggak jelas!” “Sungguh?!” tanya Yuniasih cerah. Malika hanya bisa mengangguk pasrah, tapi otaknya sibuk mencari solusi agar bisa kabur dari pertemuan itu. Siapa lagi yang ingin diajaknya bertemu kali ini? Benar-benar bikin kesal saja!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN