3. SAH (TIBA-TIBA)

2272 Kata
Ibu Malika sudah mempertemukan Malika dengan banyak pria yang dicapnya aneh, dan berhasil ditolaknya semua dengan segala jurus yang bisa digunakan olehnya. Tapi, kenapa ibunya malah tidak kapok-kapok juga?! Malika selalu berhasil menolak perjodohan itu tanpa gagal sama sekali. Tapi, kali ini? Bisakah dia melakukannya lagi? Alasan apa lagi yang bagus dan tepat sasaran tanpa menyakiti perasaan ibunya seperti sebelumnya? Terakhir kali, aksinya yang marah-marah di ruang tamu memang sangat keterlaluan. Malika sendiri merasa sangat bodoh dan bersalah. Sayang, nasi sudah menjadi bubur, kan? Karena terus gelisah kepikiran ibunya yang mendesak untuk pertemuan misterius dan mencurigakan, maka keesokan harinya, Malika bersikeras ingin menghindarinya sebisa mungkin. “Kenapa kamu belum pulang, Mal? Sekarang sudah hampir jam tiga sore, kan? Mau berlama-lama juga, kamu tidak akan mendapat gaji tambahan,” ujar Herindah heran, menatap Malika yang sibuk asal mengatur jualan di rak-rak dan terlihat sok sibuk membersihkannya. “Hush! Jadi karyawan harus berdedikasi. Lo nggak paham, ya, konsep kesetiaan?” “Apaan? Kamu habis minum apa, sih? Mabuk, ya? Pasti alasannya bukan itu, kan?” Malika tersenyum cengengesan, dan tiba-tiba saja ponselnya bergetar. “Aduh! Kenapa malah telepon gue, sih?!” desisnya kesal ketika melihat nomor kontak adiknya, Ciko. “Kok, kamu matiin? Itu adikmu, kan?” “Berisik! Biarin aja!” “Benar, kan? Kamu ada masalah? Karyawan mana yang rela nggak pulang setelah kerja keras di tempat seperti ini? Kalau nggak gila, ya, pasti ada yang aneh!” “Berisik! Ibu gue mau jodohin gue ama pria aneh terus! Lo bayangin, bulan ini udah hampir 7 pria yang kenalan ama gue! Belum termasuk bulan lalu, dan lalu lalunya lagi! Kesel gue, Ndah!” “Kenapa? Kamu trauma lihat berita kawin cerai para artis akhir-akhir ini, ya?” kekeh Herindah geli. Malika hanya bisa cemberut kecil. Tapi, sebenarnya bukan itu alasan satu-satunya. Dia punya alasannya sendiri. Sekitar pukul 5 sore lewat, Malika baru pulang ke rumahnya dengan cara mengendap-endap untuk kesekian kalinya. Niatnya dia mau jelasin ke ibunya kalau dia sedang sibuk kerja tambahan di gudang sampai lupa dengan pertemuan mereka. Tapi, sepertinya rencananya tidak berjalan sesuai perkiraannya. “KAKAK! KAKAK JAHAT! AKU TELEPON KAKAK, KENAPA KAKAK MATIIN? KENAPA JUGA TIDAK MEMBACA PESANKU?!” Ciko, adik Malika tiba-tiba muncul dan memarahinya seperti speaker yang mengamuk. “Heh! Bocil! Kakak lo baru aja pulang cari duit, beraninya bentak-bentak gue! Siapa yang ngajarin lo kurang ajar kek gitu, hah?!” “Kakak, tuh, yang kurang ajar! Beraninya melawan Mama! Apa kakak tahu kalau Mama sekarang jatuh sakit gara-gara perbuatan kakak?!” balas Ciko sangat marah. Bagaikan disambar petir, Malika kaget luar biasa. “Lo jangan bohong, ya! Awas lo ngerjain gue!” Ciko tampak berkaca-kaca, bibirnya gemetar parah. “KAKAK LIHAT AJA SENDIRI DI KAMAR! TEKANAN DARAH MAMA SEPERTINYA BERMASALAH! KALAU SAMPAI MAMA KENAPA-KENAPA.... Ciko... Ciko nggak tahu harus bagaimana lagi.... Huaaaa!!!” teriak Ciko keras. Tidak mendengarkan ucapan adiknya, Malika bergegas lari ke kamar ibunya. “MAMA!” teriaknya panik dengan rasa bersalah yang hebat. “Malika...” ujar Yuniasih serak, tampak lemas di atas ranjang dengan seorang dokter wanita yang duduk di dekatnya. Malika melirik ke arah dokter yang tampak murung. Hatinya langsung seperti dipukul dengan palu. “Dok! Bagaimana keadaan mama saya, Dok?!” Dokter wanita itu menggeleng tak berdaya. Malika memuram kelam dengan napas tertahan. Dunianya seolah berputar dan terbalik. Hatinya bagaikan ditusuk duri. Sakit sekali! Apakah ibunya seperti ini gara-gara tindakannya yang melawan tidak mau dijodohkan? “Sebaiknya, kamu bawa mamamu ke rumah sakit untuk perawatan lebih lanjut. Aku khawatir kalau masalah ini tidak sesederhana yang terlihat, Malika,” terang dokter wanita itu dengan nada khawatir yang sangat jelas. *** “Nak. Putriku sayang. Umur mama sepertinya tidak lama lagi. Bagaimana ini? Mama belum melihatmu menikah? Oh... malang sekali aku ini. Tidak akan bisa melihat putriku menikah. Tuhan, apa salahku hidup di dunia ini?” ucap Yuniasih dengan wajah memelas lesu, duduk bersandar di kepala tempat tidur sambil menepuk-nepuk dadanya dengan sangat dramatis. “Ma! Jangan bilang begitu! Sejak masuk rumah sakit, Mama selalu bilang begitu! Ucapan adalah doa, Ma! Mama tidak takut kalau betul-betul terjadi, ya?!” omel Malika marah, air matanya menetes-netes kesal dan cemas di saat yang sama. Kedua tangannya menggenggam tangan kanan ibunya erat-erat. “Lalu, aku harus bagaimana lagi? Kamu ini sudah bikin ibu malu berkali-kali! Mau dijodohkan, tapi tidak mau juga! Lihat ibu sekarang! Umur sudah tidak akan panjang! Lantas, siapa yang akan merawat kamu dan adikmu kelak? Oh! Suamiku di alam kubur pasti akan menangis dan sedih melihat kita semua!” ujarnya dengan nada suara merintih sedih dan tersedu-sedu, tapi sama sekali tidak ada air mata. Ya! Tentu saja Yuniasih hanya berakting di depan putrinya! Tentu saja dia sangat sehat seperti kuda! Hanya inilah satu-satunya cara agar putrinya mau setuju menikah dengan pilihannya! Kalau dia tidak senekat ini, putri satu-satunya itu pasti akan berakhir menjadi perawan tua! “Ma... maafkan, Malika, Ma. Malika janji akan mendengarkan apa kata mama untuk seterusnya. Tolong jangan bicara mau mati terus, ya?” mohon Malika dengan mata berkaca-kaca. Di sisi lain ruangan, Ciko terkikik geli melihat akting ibunya yang luar biasa profesional. Karena kesal harus ikut membujuk kakaknya untuk menikah, Ciko juga memanfaatkan ide ibunya sebagai ajang balas dendamnya karena suka bertengkar dengan kakaknya dan selalu berakhir kalah. ‘Hehe! Kalau dulu aku selalu kalah jika bertengkar dengannya. Kali ini aku pasti akan menang!’ batin Ciko dengan tawa jahat di hatinya. Senang melihat kakaknya yang barbar dan galak itu akhirnya tunduk juga di depan ibunya. “Kamu janji, Nak?” tanya Yuniasih dengan suara lemah dan seolah rohnya sudah mau melayang keluar dari raganya. Wajahnya sangat kuyu dengan mata terpejam setengah. Malika mengangguk cepat super serius. “Janji, Ma! Aku akan mendengarkan apa kata Mama untuk seterusnya. Sekarang, fokus sembuh dulu, ya?!” Diam-diam, ibu Malika pura-pura terbatuk heboh, tapi di balik tangannya dia tersenyum penuh kemenangan ke arah Ciko. Mata dikedipkan sebelah, tanda mereka akhirnya berhasil juga membuat Malika takluk dalam jebakan tersebut. “Mama baik-baik saja?!” seru Malika panik, berdiri dari duduknya dan menepuk-nepuk punggungnya lembut. “Dokter! Panggilkan dokter!” balas ibunya sok kesakitan sambil terus terbatuk, lalu memegang keningnya seolah-olah sedang sakit kepala hebat. “Ok! Ok! Mama jangan panik! Aku panggil dokter dulu! Ciko! Jaga Mama! Cepat!” teriaknya ke arah Ciko yang datang mendekat. Ciko mengangguk waspada, terlihat serius, lalu melirik kakaknya yang berlari panik keluar ruangan. Sepeninggal Malika, Ciko tiba-tiba tertawa kecil. “Hush! Jangan cepat tertawa dulu! Nanti kakakmu curiga!” tegur ibunya cepat, menepuk pundak putranya gemas. “Soalnya lucu, Ma. Baru kali ini aku melihat kakak panik dan salah tingkah seperti itu. Ide Mama memang luar biasa!” puji Ciko sambil menaikkan kedua jempolnya, mata dikedipkan sebelah dengan gaya jahil. “Siapa dulu, dong! Memangnya cuma kakakmu saja yang bisa kerjain mama terus?!” Keduanya lalu tertawa terbahak-bahak dalam diam sambil membayangkan betapa panik Malika sedang mencari dokter di luar sana. *** “Hah? Emak lo masuk rumah sakit? Udah 3 hari, tapi loe nggak kasih gue kabar sama sekali? Lo masih anggap gue sahabat lo, atau nggak, sih? Pantas aja loe tiba-tiba balik ke rumah lo, kagak pulang-pulang lagi ke rumah gue!” protes Nandita kesal di pagi itu. “Gue, kan, panik, Nan! Lagian, lo juga sibuk, kan, akhir-akhir ini? Dan lo bayangin aja! Gue sampai harus izin seharian penuh karena nggak tahu mau ngapain! Mana baru juga ganti shift! Untung aja bos gue baik. Coba kalau tipe galak dan perhitungan, mampus gue! Bisa-bisa dipecat! K.O! Dapet kerjaan, kan, susah banget sekarang!” gerutu Malika kesal, karena tidak menyangka perbuatan isengnya mengabaikan ibunya malah akan membawa musibah kepada keluarganya. “Ya, udah. Semoga aja Emak lo baik-baik saja. Seharusnya lo kabarin gue. Mana tau gue bisa bantu lo apaan, kek!” “Makasih, Nan. Gue bersyukur punya sahabat kayak lo.” “Drian udah tahu, nggak?” “Belum. Gue belum kasih tahu siapa pun. Kan gua bilang gue panik. Gue cuma fokus mikirin Emak gue.” “Ya, udah. Ntar gue kasih tahu Drian, yak. Kalau sempat, ntar sore kami datang ke rumah sakit.” “Nggak usah. Katanya nanti sore udah bisa pulang ke rumah, kok.” “Ya, udah. Kalau gitu, ntar gue ke rumah lo aja. Apa susahnya, sih? Ribet amat lo jadi orang?” Malika menghela napas berat, dan akhirnya bisa sedikit lega usai menjelaskan panjang lebar masalah yang dihadapinya minggu ini. Pembicaraan kedua orang itu akhirnya berhenti ketika seorang pembeli datang mendekat ke meja kasir tersebut. “Gue pergi dulu, ya! Ntar kirim pesan aja ke gue Emak lo mau dibawain apaan.” “Makasih, ya, Nan! Gue sayang banget ma lo!” teriak Malika senang, sedikit lebih cerah daripada sebelumnya. Beberapa saat kemudian, Malika yang sudah bersiap-siap untuk pulang kerja, tiba-tiba mendapat pesan pendek dari adiknya. Jantungnya yang semula tenang, tiba-tiba berdegup kencang! Ciko: Kak! Cepet pulang ke rumah! Mama memaksa pulang dari rumah sakit lebih cepat dari jadwal yang ditentukan oleh dokter! Sekarang, dia malah tiba-tiba pusing lagi! Bagaimana ini? Malika gemetaran sekujur tubuh, tampak cemas dan panik. Pandangan dinaikkan, melirik gugup ke sekitar supermarket tersebut. Otaknya tiba-tiba kosong dan tidak bisa berpikir apa pun! “Bagaimana ini? Dasar adik bodoh! Seharusnya dia telepon gue kalau ada apa-apa sama mama!” “Kamu kenapa, Mal?” tanya Herindah yang ada di kasir sebelah, merasa aneh dengan gelagat Malika yang tampak pusing sambil memegangi kepalanya sambil terus menelepon seseorang, tapi sama sekali tidak ada yang menjawab panggilannya. “Adik gue, Her! Nggak! Maksud gue Emak gue! Gimana, nih?!” balas Malika cemas. Malika bergegas pulang ke rumah dengan hati gugup. Di sepanjang perjalanan, dia terus mencoba menghubungi ponsel adiknya, tapi sama sekali tidak bisa tersambung. “Aduh! Kenapa ponselnya malah tidak aktif, sih?! Ponsel mama juga nggak aktif! Ada apa, sih, sebenarnya?!” gerutu Malika semakin cemas, air matanya semakin menjadi-jadi. Setibanya di depan rumahnya, Malika terkejut melihat sebuah tenda putih besar yang sudah terpasang di sana. Apa yang terjadi? Karena takut sesuatu terjadi kepada ibunya, Malika segera mencari-cari sebuah bendera kuning di sekitar pagar rumahnya. Tapi, sama sekali tidak ada apa pun. Apakah ada orang yang sedang berduka dengan tenda yang sangat cantik dan menawan? Apakah dia salah rumah? Apakah keluarganya tiba-tiba pindah rumah tanpa sepengetahuannya? Ataukah ada acara prank? Bingung dengan keadaan sekitarnya, dan pikiran aneh-aneh mulai berputar di otaknya, Malika langsung menerebos ke dalam tenda putih dengan hiasan bunga-bunga itu. “MAMA!” teriak Malika dengan hati gugup dan deg-degan parah. “Oh! Malika! Akhirnya kamu tiba juga, Nak! Ayo, cepat ke mari! Kenalkan, ini adalah Rivaldi Geovani! Calon suamimu! Kalian belum sempat kenalan sebelumnya, kan? Cepat mandi dan ganti baju! Sebentar lagi penghulunya akan datang!” balas ibunya senang dan ceria, terlihat sangat sehat dan bersemangat. Tidak terlihat seperti orang yang sedang sakit. Apa-apaan ini semua?! Malika yang bingung dan kaget, menatap bergantian ibunya dan beberapa orang asing di meja tamu tersebut. Calon suami? Dia adalah calon suaminya? Bukannya Malika sudah menolaknya?! Selain itu, apa kata ibunya barusan? Penghulu? Kenapa penghulu harus datang ke sini? Bagaikan teringat sesuatu, Malika bergegas kembali ke pintu, lalu melihat tenda yang terpasang di luar. Sesaat, otaknya sedikit lama baru bisa memprosesnya, lalu melihat lagi ke dalam ruang tamu. Semuanya dihias sangat indah?! Bagaimana mungkin?! Apa yang terjadi sekarang?! Yuniasih yang bisa melihat wajah linglung dan bingung anaknya, buru-buru mendekat. “Nak, bukankah kamu sudah janji sama mama kalau akan menuruti perkataan mama untuk seterusnya? Hari ini, Nak Rivaldi secara khusus datang melamar dan langsung ingin menikah denganmu. Dia tidak seperti pria lain yang hanya ingin kenalan dulu, atau pun pacaran, tapi dia langsung ingin menjadikanmu sebagai istrinya. Kamu tidak akan menolaknya, kan? Tamu-tamu juga sudah mulai berdatangan, loh!” terang ibunya dengan wajah memelas dan penuh permohonan. Sangat kasihan hingga membuat semua orang yang melihatnya pasti merasa bersalah dan simpati. Hati Malika seperti diremas oleh tangan tak terlihat. “Tapi, Ma! Maksudku... maksudku bukan begini juga!” pekiknya dengan suara tertahan. Ingin sekali membantahnya, tapi ketika melihat wajah ibunya yang memelas, dan teringat bagaimana sikapnya yang membangkang, juga kondisi ibunya selama berada di rumah sakit. Akhirnya, Malika yang sempat protes dan tak rela, seketika saja menyerah dengan pernikahan dadakan tersebut. Tidak! Ini adalah jebakan! Bagaimana bisa dia tidak melihat hal ini akan datang di masa depan?! Meskipun berlawanan dengan isi hatinya, Malika mau tidak mau terpaksa menerima semuanya. Para tamu undangan semakin banyak berdatangan. Makanan dari jasa katering juga sudah mulai dihidangkan di sebuah meja panjang dan megah. Bagaimana mereka semua bisa mempersiapkan semua ini hanya dalam sehari? Benar-benar pernikahan tidak masuk akal! Setelah proses ijab kabul yang cukup menegangkan berlangsung, akhirnya Malika resmi menjadi istri dari seorang Rivaldi Geovani, duda dingin dengan satu anak cantik miliknya. Malika melirik diam-diam ke arah pria dingin yang sekarang telah berdiri di sebelahnya. ‘Sialan! Gue beneran udah nikah ama pria es batu kurang ajar kek gini? Ya, ampun! Gua kena kutuk apa, sih?’ batin Malika kesal, tapi wajahnya terpaksa memasang senyum manis ke arah para tamu yang sibuk bersamalan dengannya di pelaminan. Semenjak proses ijab kabul sampai salaman sebagai istri, pria dingin di sebelahnya sama sekali tidak pernah berbicara dengannya, kecuali saat memperkenalkan diri. Dia punya mulut, kan? Atau hanya bisa diwakili terus kayak anak kecil? “Kenapa lihat-lihat saya seperti itu? Saya terlalu tampan, ya, buat kamu?” sinis Rivaldi dingin, mata menyipit tak suka. Hati Malika melompat panik! Sangat terkejut! Baru juga diledekin di dalam hati, udah ngomong ketus gitu aja! Dasar pria sialan! “Si-siapa yang bilang gitu, Om?! Jangan kegeeran, ya!” bisik Malika kesal. Baru juga menikah, tapi pria itu sudah mengajaknya perang? Yang benar saja? Bagaimana dengan malam pertama mereka nantinya?! Benar-benar bencana!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN