4. Berbohong

901 Kata
Aris menerobos hujan yang begitu deras, matanya mencari-cari keberadaan Allisya namun tidak ada. Tangan Aris meninju udara. "Ah! Sialan! Sekarang Zidan modus sama Allisya," Aris mengehembuskan nafasnya, amarahnya tertahan. "Liat aja besok, Zidan presma. Lo berursan dengan gue Aristide Keano Vavian." *** Zidan benar-benar mengantarkan Allisya sampai rumah. Bahkan jalan kaki sekali pun masih sanggup. "Aku anterin sampai di depan pintu rumah kamu ya? Masih hujan. Nanti sakit, masuk angin," Zidan sangat perhatian, baik dan ramah. 'Aku harap kamu tertarik denganku Allisya. Dan Aris belum tentu bisa membahagiakan kamu. Aku gak mau kamu sakit hati. Gadis baik yang pendiam,' batin Zidan mengamati wajah Allisya. Allisya mengangguk. "Boleh, kalau aku sakit nanti di suruh minum obat sama mama. Gak enak, pahit." Mendengar penuturan Allisya, Zidan terkekeh. "Obat pahit, tapi kamu akan selalu manis kalau sama aku." Allisya mengernyit. Bibirnya menarik senyuman. "Jadi kalau gak sama kakak aku pahit ya?" Sedangkan di dalam rumah, Selena dan Allister menunggu Allisya. Selena yang paling bingung karena saat menelepon nomor Aris pun tak di jawab. "Tenang ma, nanti juga Aris pasti anterin anak kita ke rumah. Gak mungkin hujan-hujan gini masih diluar sana. Pasti lagi di jalan atau terjebak macet," Allister memberikan pendapatnya, menenangkan sang istri yang mondar-mandir di hadapannya. Selena menatap Allister. "Gimana gak tenang? Ini kan hujan. Aris bawa motor. Allisya kehujanan terus-" ucapannya terhenti ketika suara bel rumah yang di tekan beberapa kali. "Itu kayaknya Allisya!" dengan langkah gesitnya Selena membukakan pintunya, tapi terkejut karena bukan Aris yang mengantarkan anaknya. Melainkan lelaki lain. "Siapa?" tanya Selena pada Allisya, tak pernah melihat wajahnya. "Pacar baru kamu?" tuduh Selena langsung, selama ini Allisya membawa laki-laki ke rumah memang berstatus pacar. "Kenalin ma, ini kak Zidan. Teman aku di kampus dia presma," Allisya memerkenalkan Zidan. Namun hati Zidan kecewa hanya dianggap sebagai teman bukan kekasih. Zidan memaksakan senyumannya. "Allisya saya antar pulang karena tadi di parkiran. Daripada kehujanan, jadi kami berdua pulang bareng. Maaf tante, saya mengajaknya jalan kaki karena saya gak bawa motor lagi di service di bengkel," Zidan menjelaskan secara detail, agar ia di pandang baik di mata orang tua Allisya. Kesempatan untuk menarik hati dan ingin dapat lampu hijau kalau beruntung. Selena mengangguk. "Terima kasih banyak ya? Allisya, sekarang kamu mandi pake air hangat udah mama siapin. Kamu masuk dulu, diluar masih hujan." Zidan ingin berteriak saking senangnya namun dalam hati, akhirnya ia bisa lebih dekat lagi dengan orang tua Allisya. "Rumah kamu jauh ya?" tanya Selena setelah duduk di ruang tamu. Tak lupa Allister di sampingnya pun memperhatikan Zidan. "Pasti kenal Aris," gumamnya namun Zidan mendengar itu. "Saya kenal dengan Aris. Dia teman satu organisasi saya. Kenapa om?" Zidan ingin lebih tau tentang Aris, apalagi cowok itu juga sama mengenal orang tua Allisya. "Aris-" "Ma, Allisya gak mau makan yang manis-manis. Gak enak ma," Allisya menyela ucapan ayahnya, sebelumnya ia dari meja makan ada beberapa manisan disana. Dan itu mengingatkannya tentang Aris. Selena mengernyit. "Loh sayang, bukannya kamu suka manisan mama? Kenapa sekarang jadi gak suka? Gak enak ya rasanya?" tanya Selena sedikit kecewa. Allisya menggeleng. Ia tidak bermaksud menyakiti hati mamanya. Tapi ini tentang hal lain yang menyangkut soal hati. "Gak ada ma. Aku gak laper. Aku mau belajar dulu aja," Allisya berbalik menuju kamarnya. 'Allisya kenapa sedih gitu ya?' batin Zidan ingin tau, wajah Allisya pun terlihat sedikit pucat. Ia khawatir gadis itu sakit apalagi setelah terkena hujan sedikit. Di kamar, Allisya menangis sesenggukan. Pikirannya teringat kembali bagaimana Aris bisa tertawa dengan wanita lain. Wajah itu tampak sangat bahagia daripada dengan dirinya yang selalu marah tanpa sebab. "Kenapa?! Kenapa sih semua laki-laki menyakiti hati aku?! Dan semua itu gak jauh dari cewek. Aku kurang apa hah?! Apa karena aku masih anak-anak? Atau manja?!" Allisya bertanya pada dirinya sendiri, duduk di balik pintu dengan tangan memeluk kedua lututnya. Ponselnya berdering, berganti bunyi notifikasi berkali-kali. Allisya tak peduli. Ia tau semua itu dari Aris, biarkan saja cowok itu merasa terabaikan. "Kak Aris keterlaluan! Mana janji kakak yang gak akan deket sama cewek selain aku? Kak Aris pembohong! Bahkan kak Aris merespon cewek dan ketawa bareng. Hati aku sakit kak!" tangis Allisya semakin menjadi, suaranya meraung menggema di seluruh sudut kamarnya yang kedap suara. Mau teriak se-kencang apapun tak akan ada yang bisa mendengarnya. Allisya meringis kesakitan, kepalanya sakit. Pandangannya berkunang-kunang. "Aku kenapa? Arghh sakiitt!" Sekujur tubuhnya melemah hingga akhirnya semua menjadi gelap. Aris mencoba spam chat Allisya ke sekian kalinya, bahkan teleponnya pun sama sekali tak di angkat oleh gadisnya itu. "Sya, kamu kenapa? Aku khawatir sama kamu," Aris mengetikkan dengan cepat kata-kata itu di room chat-nya. Tak ada balasan. Aris pun meraih jaketnya dan kunci motor. Ia harus memastikan kondisi gadisnya itu baik-baik saja. Apalagi mengingat ucapan Aqila bahwa Allisya menangis saat hujan mengguyur tubuhnya. Dan satu payung dengan Zidan. Aris tak akan mengampuni dirinya sendiri kalau sampai Allisya tidak baik-baik saja. Air mata gadis itu akan menyiksa dirinya sendiri sepanjang malam, membuat pikiran Aris tak tenang. Dengan menambah beberapa kecepatan, Aris menuju rumah Allisya. Hujan sudah reda, berganti sinar senja yang sebentar lagi berganti malam. Saat sampai di halaman teras rumah, langkah Aris terhenti saat melihat Zidan berpamitan pada Selena dan Allister. Terlambat, pasti Zidan ingin modus. "Hati-hati ya nak Zidan. Makasih udah mau nganterin Allisya pulang," ucap Selena senang. Zidan mengangguk. "Sama-sama tante. Saya pulang dulu, sampaikan salamnya ke Allisya." "Gak mau di anter aja? Rumah kamu jauh," Allister menawarkan, mau bagaimanapun Zidan sangat baik dan peduli dengan Allisya. "Permisi, Allisya ada di rumah?" dengan keberaniannya Aris melangkah mendekat. "Aris? Kamu darimana saja. Allisya pulang bareng Zidan. Jalan kaki lagi," ujar Selena, tapi ia lebih memilih Zidan karena menjaga Allisya dengan baik. Aris tersenyum kikuk, dalam hati ia menggeram kesal. Kenapa harus Zidan yang mendapat pujian itu? "Tadi ada kumpul sama anggota organisasi," Aris bingung harus menjawab apa, padahal sebaliknya. "Bohong kamu!" Allisya membentak, tatapannya nyalang. Ternyata Aris berani berbohong dan itu dengan mamanya. "Loh bohong kenapa sya?" Selena jadi heran. Zidan hanya diam tak tau apa-apa. "Saya pulang dulu," pamitnya daripada harus ikut campur. "Kak Aris-" ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN