3. Kronologi Kejadian

475 Kata
Seorang wanita berlari menghindari kejaran para preman yang berusaha ingin mengambil tas-nya. Dengan nafas tersengak dan sesekali menengok ke belakang, pandangannya tak fokus sampai sebuah mobil melaju dengan kecepatan penuh menabraknya. Tubuhnya terpental jauh, sampai pada akhirnya kepalanya terbentur aspal jalanan. Para warga setempat pun segera menghubungi ambulance. Dan mobil yang menabrak tadi sudah kabur. "Nah, gitu ceritanya. Kalian gak ikut ke rumah sakit juga?" "Terima kasih informasinya. Kita pergi," ucap Javas. *** Sebuah mobil itu memelankan lajunya setelah merasa lebih jauh dari tempat kejadian tadi. Seseorang yang berada di dalam itu pun menghubungi Luna. Setelah panggilan tersambung, Zahra menceritakan kesialannya hari ini. "Halo Luna! Gawat! Gue habis nabrak orang! Gila, matilah gue. Kalau nanti di tangkep polisi gimana?" Luna yang mendengar itu pun tersenyum. Oh, kecelakaan yang dekat dengan kampus Aris. Berita ini sudah tersiar di seluruh stasiun televisi. Mungkin berita kecelakaan yang paling heboh dan tragis tentunya. Luna juga tahu siapa orang yang telah di tabrak oleh Zahra, mamanya Aris. "Gue salut deh sama lo Zahra. Karena lo udah berhasil membuat Aris sedih. Itu mamanya. Karena lo udah ngerjain hal yang bagus tanpa perlu perintah dari gue, sebagai imbalannya gue transfer uang 50 juta ke rekening lo," putus Luna, dengan mantapnya ia mengatakan itu. Mata Zahra terbalalak tak percaya. Apa? 50 juta? "Seriusan lo Lun? Gak bohong kan? Wah tau gini gue sekalian aja tabrak sampe mati. Tapi udah terlanjur, gue gak mau liat daripada nanti di gebukin warga," ucapnya lesu, tapi bagi Zahra ini membawa keberuntungan. "Serius. Tapi, tutup mulut lo. Kalau emang gak mau di tangkap polisi. Karena ini murni perbuatan lo sendiri. Faham? Gue peduli karena lo itu suruhan gue. Jadi harus selalu bebas." "Udah ya? Gue lagi nyetir nih. Ntar nabrak orang lagi. Bye," Zahra memutuskan panggilannya. Senyumnya tak bisa pudar. Uang sebanyak itu di dapatkannya dengan mudah hanya dengan kecerobohannya sendiri, menabrak mama-nya Aris. Bagaimana ya reaksi cowok itu jika tau? "Apa aku kesana juga ya? Ya deh, biar Aris seneng di perhatiin cewek secantik aku hahaha," Zahra tertawa senang, sudah gila memang. "Rumah sakitnya dekat sama kampusnya Aris. Ok, harus beli sesuatu nih buat bawa kesana." *** Di rumah sakit, Aris duduk di kursi tunggu dengan ayahnya. "Kenapa bisa gini yah? Apa ayah gak nganterin mama ke tempat arisan?" tanya Aris suaranya melemah, tenanganya hilang. Andre menggeleng. "Ayah lagi kerja. Mobilnya juga ayah bawa, gak mungkin mamamu menyetir. Dia gak bisa." "Terus? Mama jalan kaki gitu?" tanya Aris menaikkan alisnya, heran. Andre mengangguk. "Sepertinya. Kita berdoa saja semoga di berikan kekuatan dan cepat pulih." "Aamiin ya robbal alamin. Yah, kalau mama udah sembuh nasehatin aja. Kalau mau pergi ke tempat arisan telepon aku, biar aku jemput," Aris sangat khawatir, jangan sampai kejadian itu terulang lagi. Andre mengangguk. "Pasti, ayah gak bisa jagain mama. Kamu tau sendiri kan? Sibuk dengan pekerjaan, karena hanya darisitu ayah bisa membahagiakan kalian." Aris akui ayahnya pekerja keras, tapi itu semua juga untuk dirinya dan sang mama. "Ris, gimana keadaan mama lo?" Javas datang bersama Arif, di tangannya membawa buah jeruk. Aris menggeleng pelan. "Masih belum tau. Kalian ngapain kesini? Bukannya ada kelas?" Arif berdecak. "Males ah ris kalau gak ada lo. Jadi gak bisa tanya-tanya deh." "Terserah. Kenapa bisa tau?" Arif menunjuk Javas. "Dia nguping ris, kedengaran telepon lo," seperti menunjuk pelaku saja. Javas menyingkirkan tangan Arif. "Biarin, udah terlanjur denger juga." "Kak Aris!" suara Zahra yang senang itu membuat Aris heran. Siapa lagi cewek itu? Kenal saja tidak. "Lo kenal dia?" tanya Javas. "Gak. Urusin aja dia. Gue males," Aris tau pasti itu salah satu fans-nya saat di sekolah dulu. Banyak sekali perempuan yang menyukainya. "Kak Aris. Ih kalian minggir dong, jangan disini," usir Zahra mendorong Javas dan Aris. "Jaga sikap lo. Ada bokapnya di depan lo," tekan Javas kesal. Zahra menatap Andre yang kini balas memandangnya datar. Oh tidak, dia adalah calon bapak mertuanya juga. Jangan sampai ia tak bisa mendapatkan restu. "Maaf om. Saya adalah pac-" "Aris sudah punya pacar dan sebentar lagi akan tunangan. Jadi, jangan ganggu anak saya," tegas Andre tidak suka. Zahra jadi kikuk sendiri. "Aris, aku cuman bawain ini aja. Maaf kalau ganggu aku pulang dulu ya?" padahal Zahra sangat berharap Aris lah yang mengantarkannya pulang. Saat di koridor rumah sakit, Zahra berpapasan dengan Allisya. "Kok ada Zahra? Gak pakai seragam, dia bolos?" tanya Allisya pada Kaila, cewek itu ngotot ingin menemaninya ke rumah sakit menemani Aris sekaligus ingin bertemu dengan Arif. Pasti kekasihnya itu ada disana. Kaila mengedikkan bahunya. "Mana gue tau. Eh, masa iya Zahra jenguk mamanya kak Aris sih? Gak percaya gue. Palingan juga di marahin." Allisya mengangguk. "Bener juga, pasti ada om Andre. Aku sama kak Aris kan bakalan tunangan setelah aku lulus sekolah," ungkap Allisya, hal inilah yang seharusnya ia sampaikan pada Kaila dan Aqila. Tapi Aqila malah memilih pulang karena sudah ngantuk berat ingin tidur siang. "Apa? Lo bakalan tunangan sama kak Aris? Pas udah lulus? Sya, masa nikah muda sih," Kaila merengek, rasanya tak rela Allisya nikah duluan. "Kan aku lebih tua daripada lo sama Aqila. Seharusnya kan gue duluan yang nikah," ucap Kaila tak suka. Mendengar suara Kaila, Arif menoleh ke sumber suara. Ternyata benar, Kaila dan Allisya hanya saja personelnya kurang satu, Aqila. "Tumben gak sama Aqila. Mana tuh anak?" tanya Javas heran. Mencari juga rindu ingin bertemu, terakhir tiga hari yang lalu itu pun sebentar. Rindu yang berat tak cukup dengan pertemuan yang sekejap. "Biasa, mau tidur siang. Kerjaannya tidur terus di kelas. Lama-lama mukanya gue siram pake air biar gak ngantuk," jawab Kaila menggebu, Aqila harus di beri peringatan. Cewek itu beruntung, beda dengan dirinya. Allisya terkekeh. "Kalau kamu yang tidur malah di omelin dan kena hukuman sama guru kai." Kaila mengangguk setuju. Benar apa yang di katakan Allisya. "Iya, gak adil banget kan?" dengan semangatnya Kaila berdebat, tak menyadari ada Andre, ayahnya Aris yang memperhatikannya dengan serius. "Pasti pacarnya bakalan pusing banget ya punya cewek cerewet kayak kamu," Andre angkat suara, Kaila yang merasa tersindir pun menatapnya. "Eh, om Andre. Gak pusing kok malah tambah sayang. Ya kan kak?" Tangan Kaila bergelayut di lengan Arif. "Semakin hari aku tambah sayang dan cinta. Tak ada yang kurang dan lebih, karena kamu memang pantas aku perjuangkan cewek roti salju," ledek Arif di akhir ucapannya, memang sudah fakta Kaila penggemar berat roti bersalju itu. "Ehemmm. Aduh pacar gue tidur siang, jadi sendirian gak ada yang nemenin," Javas berdehem, sudah nasibnya. Suasana yang tadinya sedih dan tegang mulai mencair dengan adanya Kaila yang super bawelku itu untukmu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN