Harus disebut apakah hubungan yang hanya disukai dan diakui oleh salah satu pihak saja? Pantaskah apa yang ada di antara dua orang yang tak memiliki pandangan yang sama tentang status di antara mereka disebut sebagai sepasang anak manusia yang memiliki hubungan? Sungguh aneh hubungan terjalin di antara manusia. Dari asing, menjadi teman, lalu saling mencintai. Kemudian cinta pudar dan kembali menjadi asing lagi. Namun tak semua hubungan memiliki pola seperti itu. Ada dari sepasang asing dan tetap asing, akan tetapi dipaksa untuk terikat dalam satu hubungan yang tak diinginkan oleh salah satu pihaknya. Hubungan apakah yang pantas disebut oleh mereka yang memiliki pola yang mengenaskan itu?
Semalaman Cantika tak bisa tertidur dengan tenang. Pikirannya terus terganggu dengan apa yang sedang sepasang kekasih itu lakukan atau bagaimana besok dirinya menghadapi keduanya? Cantika hanya bisa menangis bagai seorang bodoh yang tak mampu membela dirinya ataupun pergi dari rasa sakitnya. Ia paham bila keegoisannya yang membuat pria itu membencinya. Namun bukankah terkadang memang orang bisa menjadi egois karena cinta? Bukankah wajar bila kau mencintai seseorang, kau akan menggunakan cara apa pun untuk mendapatkannya? Bukankah wajar bila dirinya ingin berusaha untuk mengejar cintanya? Salahkah dirinya yang jatuh cinta pada Tian? Padahal, dulu pria itu memperlakukan dirinya dengan baik. Hal yang membuat Cantika jatuh cinta pada Tian yang baik dan ramah.
Namun sayang, semuanya berubah dalam waktu sekejap. Sejak mengetahui kabar perjodohan itu, Tian selalu menjaga jarak dari Cantika. Bahkan menghindar bila mereka secara tak sengaja bertemu. Cantika pikir, pria itu hanya gugup ataupun cemas dan tetap menerima perjodohan mereka. Semua bagai mimpi indah yang menjadi kenyataan dan tak mungkin bila ada seorang manusia yang menolak untuk mewujudkan mimpi indah mereka, bukan? Begitu pun dengan Cantik yang berpikir bila dirinya mendapatkan keberuntungan. Namun semuanya berubah ketika mereka ke butik untuk mencoba baju pengantinnya. Pria itu dengan jelas mengatakan jika dirinya memiliki seorang kekasih yang akan kembali satu tahun lagi. Cantika hancur, merasa terpukul, dan juga bersedih. Namun ia tak bisa mundur lagi. Ia tak ingin kehilangan kesempatan emas yang ia tahu tak ‘kan datang untuk yang kedua kalinya. Cinta bisa menyusul. Namun lihatlah dirinya saat ini. Terpuruk dalam pernikahan bak neraka mereka.
Cantika menarik napas panjang dan menghelanya perlahan. Kemudian perempuan itu berusaha mengukir senyum di wajahnya. Ia menatap pantulan dirinya yang tampak mengenaskan. Mata yang terlihat membengkak, rambut yang berantakkan, dan juga lingkaran hitam di bagian bawah matanya. Dirinya tampak begitu hancur. Seharusnya, yang perlu dilakukannya adalah menyerah dan melepaskan semuanya. Namun ia tak bisa. Ah tidak, bukannya tak bisa, melainkan pria itu pun tak ‘kan membiarkannya lepas begitu saja. Pria itu akan melakukan berbagai cara untuk membuat Cantika terluka. Pria itu tak berpuas hati dengan melepaskan Cantika saat bisa menambah luka lain di hatinya. Cantika mengenal pria itu.
“Cantika. Kamu nggak boleh kalah. Kamu nggak boleh terlihat menderita ataupun terluka agar dia senang dan semakin menahanmu. Yang harus kamu lakukan adalah berpura-pura bila apa yang dilakukannya itu nggak mengganggumu sama sekali. Kamu harus melayani mereka dengan baik. Setidaknya, dia nggak tahu bila kamu sedang menderita,” Suara bathin Cantika memperingati perempuan itu. Menguatkannya agar tak menyerah dengan rasa sakitnya.
“Tapi, aku nggak bisa,” Jawab Cantika dengan putus asa. Ya, dirinya memang pesimis karena Tian telah membunuh segala hal yang positif di dalam dirinya. Ia merasa terkucilkan dan tak lagi berharga karena perbuatan pria itu sepanjang usia pernikahan mereka. Ia merasa hancur.
“Kenapa nggak bisa? Bukankah dulu kamu adalah perempuan cerdas, mandiri, dan disukai banyak pria? Kenapa hanya karena satu pria, kamu bisa kacau seperti ini,” Suara bathin Cantika kembali memarahi dirinya. Ya, memang dulu seperti itulah Cantika. Wanita cantik dan juga cerdas yang selalu terlihat bahagia. Tak pernah sehari pun Cantika tak tersenyum. Ia memiliki segalanya dan kehidupannya membuat banyak orang iri padanya. Ia selalu percaya diri karena ke manapun dirinya pergi, maka banyak mata yang menatapnya dengan penuh kekaguman.
“Aku nggak yakin bisa melakukan semua itu. Aku nggak mungkin bisa bersikap baik-baik saja saat hatiku hancur lebur saat melihat mereka? Aku nggak tahu lagi bagaimana caranya menjadi kuat. Mungkin aku bukan orang yang sama lagi. Mungkin saja, Cantika yang dulu sudah lama mati. Dia yang membunuh Cantika yang terlalu kau banggakan itu,” Cantika masih berusaha menentang kata hatinya karena dirinya tak lagi memiliki kepercayaan diri seperti dulu. Semua ini karena dirinya mencintai orang yang tak membalas perasaannya. Hatinya hancur.
“Nggak, Tika. Kamu bisa melakukannya,” Suara hati Cantika tak mau menyerah. Hingga Cantika pun tak lagi memiliki kekuatan untuk berdebat dengan hatinya sendiri.
Perempuan itu menarik napas panjang dan menghelanya perlahan. Kemudian tersenyum pada pantulan dirinya di cermin. Ya, dirinya bisa melakukan semua ini. Ia pasti bisa terlihat baik-baik saja dan menahan rasa pedihnya. Benar apa yang hatinya itu katakan. Yang harus dilakukannya adalah terlihat baik-baik saja agar tak pria itu tak merasa menang darinya. Hanya dengan seperti itu, dirinya mampu melepaskan diri dari pernikahan mereka yang membuat hatinya semakin hancur. Hanya ini satu-satunya cara untuk menang atas cinta yang tak berbalas.
Cantika tak lagi ingin menyiksa dirinya sendiri. Sudah cukup dirinya menangis semalaman dan merenungi pernikahan yang tak mungkin bisa diselamatkan. Bukankah ini waktunya untuk menyelamatkan dirinya sendiri dari pernikahan yang sudah terlihat jelas bagaimana akhirnya? Cantika segera membersihkan dirinya. Ia harus menyiapkan keperluan Tian seperti biasa dan berusaha mengabaikan kekasih dari pria itu. Yang harus Cantika lakukan adalah berpura-pura.
Selang beberapa menit kemudian. Wanita itu sudah tiba di dapur dan disambut dengan senyum Mbak Sri, asisten rumah tangga mereka. Wanita muda itu tersenyum kikuk pada Cantika dan melirik ke sudut kanan dari dapur. Membuat Cantika mengarahkan pandangannya ke tempat yang sama. Di sana, ada Dahlia yang tengah sibuk dengan penggorengan dan tak menyadari kehadirannya. Cantika tak mampu mencegah perih yang menjalar ke penjuru hatinya. Namun ia tak boleh mundur ataupun terlihat terluka seperti apa yang sudah diputuskannya.
“Ah … kamu sudah bangun?” Tanya wanita itu setelah membalik tubuhnya dan menemukan Cantika yang berdiri tidak jauh darinya. Wanita itu tersenyum polos seolah tak merasa bersalah dengan kehadirannya di tempat itu. Tak merasa bersalah dengan sikapnya, “Aku sudah membuatkan sarapan untuk Mas Tian. Kamu bisa bersantai karena mulai hari ini. Aku yang akan melayaninya,” Lanjut perempuan itu dengan penuh percaya diri. Perkataan perempuan itu membuat Cantika mengepalkan kedua tangannya dengan kuat-kuat. Bagaimana bisa dengan mudahnya perempuan itu mengambil tugasnya? Bagaimana mungkin dirinya membiarkan perempuan yang secara tiba-tiba datang ke dalam kehidupannya, merebut semua hal yang ia miliki? Meski Tian tak mencintainya, akan tetapi dirinya mempunyai harga diri, bukan?
Cantika mengambil penggorengan dari tangan wanita itu dan tersenyum. “Anda adalah tamu di rumah ini, jadi Anda yang seharusnya bersantai,” Ujar Cantika dengan wajah tenang, meski hatinya pedih bukan main, “Silahkan kembali duduk dan biarkan saya yang memasak untuk Anda dan juga suami saya,” Lanjut Cantika sembari mengusap pelan lengan wanita itu.
Dahlia menggeleng dan kembali merebut penggorengan dari tangan Cantika. “Aku sudah berjanji pada Mas Tian untuk membuatkannya sarapan. Lagipula, bukan aku yang tamu di rumah ini, melainkan kamu. Bukankah kamu hanya menumpang?” Wanita itu tersenyum sinis, membuat Cantika mengepalkan tangannya kuat-kuat, mencoba menahan dirinya dan meredakan amarahnya yang menggebu-gebu, “Jika mau membuat sarapan, buatlah sendiri karena aku nggak membuatkannya untukmu. Ini hanya untuk aku dan Mas Tian,” Lanjut perempuan itu seraya menempatkan telur dadar buatannya ke atas nasi goreng yang sudah lebih dulu dimasak oleh perempuan itu. Cantika tahu bila perempuan itu tak ‘kan berbaik hati dengan menyiapkan sarapan untuknya juga. Cantika tak berharap sama sekali, akan tetapi tak seharusnya perempuan itu mengatakan semuanya dengan begitu jelas, bukan? Tidak bisakah perempuan itu bersikap baik sedikit saja padanya? Bagaimana bisa ada seorang perempuan tak tahu diri seperti Dahlia?
Dahlia tersenyum penuh arti seraya membawa dua piring dengan nasi goreng itu ke meja makan. Sepeninggalan perempuan itu, Mbak Sri mengusap-usap lengan Cantika. Meski dirinya tak tahu apa yang terjadi. Namun Mbak Sri tahu benar bila saat ini Cantika butuh penghiburan. Perempuan itu tampak hancur dan yang ia tahu benar, bila wanita bernama Dahlia itu sudah bersikap tak baik pada Cantika. Bagaimana bisa ia memperlakukan Cantika seperti itu?
“Aku baik-baik aja, Mbak Sri,” Cantika memberikan senyum palsu yang membuat Mbak Sri menatap sendu perempuan itu, “Aku baik-baik saja,” Ulang Cantika lagi seolah mengatakan perkataan itu untuk dirinya sendiri. Cantika telah menjadikan kalimat itu sebagai mantera yang akan membuatnya merasa jauh lebih baik. Namun sayang, tak peduli seberapa sering wanita itu mengatakan mantera penguat, hatinya tak juga merasa tenang. Air matanya bahkan memberontak untuk segera dikeluarkan. Perih di dalam hatinya pun tak mau pergi. Semakin menjadi-jadi.
“Siapa perempuan itu?” Mbak Sri tak bermaksud ingin tahu akan hal yang tak menjadi urusannya. Hanya saja, ia ingin tahu bagaimana cara menyikapi semua orang yang ada di sana.
“Benar katanya. Dia adalah penghuni rumah ini yang sebenarnya dan aku hanyalah tamu yang menumpang. Dia benar,” Cantika tertawa garing dan matanya menunjukkan kesedihan yang tak bisa ia sembunyikan. Mbak Sri menatap wanita itu sedih. Ia tahu bila Cantika adalah perempuan baik. Sejak datang dari kampung untuk mencari pekerjaan, Mbak Sri bertemu dengan ayah Cantika yang baik hati dan mau menerimanya. Sejak saat itu Mbak Sri sudah bekerja dengan keluarga Cantika dan langsung ditugaskan untuk mengikuti Cantika ke rumah barunya bersama dengan suami Cantika. Meski usia Mbak Sri dan Cantika hanya berpaut dua tahun, ayah Cantika kerap memperlakukan perempuan itu seperti keluarga. Mbak Sri bukan sekadar asisten rumah tangga, akan tetapi kakak untuk Cantika yang tidak lain adalah anak tunggal.
Perempuan itu mengusap punggung Cantika. “Tika … semua itu nggak benar. Kamu adalah istrinya,” Perempuan itu mengingatkan Cantika akan status dirinya, “Jangan menyerah karena kedudukanmu jauh lebih tinggi dari sembarang wanita,” Lanjut Mbak Sri menenangkan.
Cantika mengadahkan wajah dan menghela napas panjang. Ia tak ingin menangis lagi. “Ya, aku adalah istrinya dan aku akan melakukan tugasku dengan baik,” Ujar Cantika begitu sudah bisa mengendalikan rasa pedih yang merasuki sanubarinya, “Makasih banyak, Mbak,” Cantika memeluk Mbak Sri dan merasa beruntung karena masih memiliki perempuan itu di sisinya. Setidaknya, masih ada orang yang akan menguatkannya dan juga mendukungnya.
Cantika melepaskan pelukan mereka dan segera membuatkan minuman untuk Tian. Wanita itu boleh saja memberikannya makanan, akan tetapi Cantika masih bisa melakukan tugasnya dan menunjukkan pada Tian bila dirinya baik-baik saja. Ia bisa bertahan dan tak mungkin bisa hancur, meski batu menghancurkannya. Ia tak ‘kan lagi menangis dan akan memberitahu Tian bila cintanya begitu besar, hingga yang harus pria itu lakukan adalah melepaskannya.
Cantika membawa kopi s**u kesukaan Tian ke meja makan dan diletakkannya di piring seberang Dahlia yang Cantika tebak akan ditempati oleh Tian. Sedang Dahlia menatap perempuan itu heran, Cantika mengabaikan tatapan perempuan itu dan tersenyum ramah padanya seolah dirinya tak mungkin bisa dihancurkan begitu saja. Ia adalah istri sah dari Tian. Tak peduli apa hubungan keduanya, akan tetapi untuk saat ini dirinya yang memiliki kedudukan lebih tinggi dari perempuan itu. Ia tak ‘kan membuat sepasang kekasih itu merasa menang lagi.