Antagonis

1120 Kata
Terima atau tidak, kau tidak bisa menolak kenyataan yang berada di depan matamu. Kau tak bisa menghindar karena kenyataan akan terus menghampirimu. Kau tak mungkin bisa menyelamatkan kehancuran dari kenyataan pahit itu. Pada akhirnya, kau harus membesarkan hatimu sendiri untuk menerima semuanya dan berdamai dengan rasa sakitmu. Bukan untuk menyerah, akan tetapi kau tahu bila berlari bukanlah keputusan yang benar. Membohongi dirimu sendiri pun hanya akan membuat rasa sakitmu semakin menumpuk. Pada akhirnya, kau tahu bila kau tak berdaya. Kau berada di ujung jurang yang bila mana salah melangkah, maka akan terjatuh ke dalam jurang itu dan berakhir di dasarnya. Kau akan hancur berkeping-keping. Dahlia yang sedari tadi memperhatikan Cantika tak lagi bisa mencegah bibirnya untuk tak bertanya tentang apa yang hendak perempuan itu lakukan. “Aku bisa menyiapkan minuman untuk Mas Tian. Aku akan melayaninya, jadi kamu nggak perlu repot-repot,” Ujar Dahlia dengan datar, “Pada akhirnya, kamu harus tahu kalau kamu hanya sementara di sini untuk menggantikanku. Sekarang, aku sudah kembali, jadi biarkan aku yang mengambil alih semua tugasmu. Aku dan kekasihku ingin menikmati kebersamaan kami dan kehadiranmu di sini hanya akan mengganggu kesenangan kami saja,” Lanjut Si perempuan yang semakin tak suka dengan sikap Cantika yang malah tersenyum padanya saat ia mengatakan kata-kata itu. “Mau kopi, jus, atau teh?” Cantika berusaha membuat wajahnya setenang mungkin. Meski hatinya tak bisa ditenangkan sama sekali. Rasa sakitnya pun tak bisa lagi diredam. Namun ia tak mau kalah. Ia mau berjuang untuk yang terakhir kalinya. Dirinya adalah seorang istri, bukan? Yang artinya, dirinya yang seharusnya menang. Bila memang kehadirannya hanya sementara di rumah itu, maka ia akan melakukan tugasnya dengan sangat baik dan tak membiarkan pria itu mengenangnya sebagai seorang istri yang tak kompeten. Ia akan tetap kuat untuk cintanya. “Apa kamu tuli?” Dahlia tak lagi bisa menahan amarahnya. Kemarin, dirinya memang lebih banyak diam dan memperhatikan keadaan. Sikap Tian pada Cantika yang jauh dari kata baik telah meyakinkan perempuan itu bila memang cinta Tian tak pernah berubah dan dirinya masihlah pemilik hati kekasihnya. Semua ketakutannya tak beralasan dan semua itu membuatnya bahagia. Ia tak ingin Cantika menghancurkan kebahagiaan yang kini ia rasakan. “Kamu nggak perlu berada di sini dan aku bisa menyiapkan semua yang dibutuhkan oleh Mas Tian. Aku juga yakin kalau dia akan lebih senang bila aku yang melayaninya. Dia juga akan muak melihatmu dan aku nggak yakin kalau kehadiranmu di sini diinginkan olehnya,” Dahlia berkata dengan penuh percaya diri, sedang Cantika masih berusaha sabar. Katanya, hanya orang yang tak waras yang akan terpancing amarahnya. Hanya mereka yang kalah yang akan marah dengan kata-kata menyakitkan yang diucapkan oleh orang seperti Dahlia. Oleh karena itu, Cantika akan menggunakan kewarasannya untuk melawak Dahlia. Dirinya tak boleh terpancing ataupun menunjukkan luka di hatinya pada siapapun. Ia sudah berjanji bila dirinya akan menjadi kuat, bukan? Ia akan membuat pria itu kalah dan itu yang akan ia lakukan. Ya, memang dirinya egois, akan tetapi ia melakukannya karena cintanya pada pria itu. Bukankah ada yang bilang bila tak pernah ada aturan dalam cinta? “Kamu mungkin adalah wanita yang dicintai dan juga diinginkannya, tapi kamu harus tahu kalau hubungan saya dengan Mas Tian cukup kuat untuk membuatmu tahu kalau saya yang lebih berkuasa dan bebas melakukan apa pun yang saya mau di rumah ini,” Cantika tersenyum manis, sedang Dahlia menatap perempuan itu dengan tatapan penuh amarah, “Saya adalah istri sahnya yang sudah pasti lebih layak untuk melayaninya. Meski dia nggak mau dilayani, tapi itu nggak akan menjadi masalah karena saya sudah melakukan tugas saya. Perlu kamu ketahui,” Cantika mengambil jeda sebelum melanjutkan perkataannya, “Saya melakukan semua ini bukan untuknya. Saya hanya melakukan kewajiban saya sebagai istrinya,” Lanjut Cantika yang menunjukkan wajah tenangnya. Sedang Dahlia menggertakkan giginya karena kesal. “Beraninya kamu!” Wanita itu menggeram kesal dan bangkit berdiri, “Sebentar lagi, kamu nggak bisa berkata sombong seperti ini lagi. Kamu akan mengemis hanya untuk berada di rumah ini. Kamu akan tahu siapa yang berkuasa,” Wanita itu mengarahkan jari telunjuknya pada Cantika, “Asal kamu tahu, hubungan di atas kertas memang kuat dan sah di mata hukum, tapi sayangnya, nggak cukup kuat untuk membuat seseorang memandangmu atau menginginkanmu berada di sisinya, jadi nggak perlu terlalu sombong dengan statusmu yang nggak berguna itu,” Lanjut Cantika yang melipat kedua tangannya di depan dadanya sembari menatap Cantika dengan tatapan tajam. Sementara itu, Cantika hanya tersenyum dan menggeleng-geleng pelan. Ia tahu, bila Dahlia bukanlah perempuan yang suka untuk dikalahkan. Wanita itu suka menang. “Ternyata, nggak semua orang cantik, memiliki otak yang cerdas,” Cantika tersenyum mengejek, lalu menuangkan teh ke dalam gelas kosong di samping piring Cantika, “Tampaknya, orang sepertimu lebih cocok minum teh, jadi silahkan dinikmati tehnya selagi hangat,” Lanjut Cantika yang sudah meletakkan kembali teko berisikan teh yang tadi dibuatkannya untuk menemani kegiatan bersantap sepasang kekasih yang membuat hatinya hancur lebur. Perkataan Cantika semakin memancing amarah Dahlia. “Berani-beraninya kamu!” Perempuan itu mengangkat tangannya di udara dan hendak menampar Cantika, akan tetapi dengan cepat Cantika mencengah tamparan perempuan itu untuk mendarat di pipinya. Tindakan Cantika yang berhasil menghentikan tamparannya, membuat Dahlia semakin geram. Ingin rasanya ia menjambak-jambak Cantika dan membuat perempuan itu sadar akan posisinya sendiri. Perempuan itu tak berarti apa pun untuk Tian. Apa yang ada di antara mereka hanyalah sekadar kewajiban untuk kepentingan kedua keluarga semata. Perempuan itu tak seharusnya berbangga dengan status yang tak bisa membuat wanita itu menerima sekadar senyum tulus dari Tian. “Nggak ada yang bisa menamparku di rumah suamiku,” Cantika tersenyum miring dan mencengkram pergelangan tangan Dahlia kuat-kuat, kemudian membuang tangan wanita itu dengan kasar, “Ya, dia memang nggak melihatku ataupun menginginkanku, tapi orang bodoh sekali pun tahu bila status sebagai istri sah jauh lebih kuat daripada status kekasih sepertimu. Oh ya, kemarin aku sudah memintanya menceraikanku, tapi tampaknya dia nggak mau bercerai dan langsung mengalihkan pembicaraan. Tampaknya, status yang ku miliki tak begitu buruk,” Cantika tertawa renyah, menirukan tawa tante-tante komplek atau ibu-ibu biang gossip yang sering ditontonya dalam sinetron bersama Mbak Sri di televsi swasta. Kini Cantika merasa bila ini adalah salah satu keuntungan menonton acara televisi tersebut. Ia bisa dengan mudah memerankan wanita jahat dan terlihat seolah dirinya menikmati peran tersebut. Cantika sadar bila tak harus bersikap sopan dengan perempuan seperti Dahlia dengan menyebut dirinya dengan sebutan ‘saya’ karena perempuan itu juga bukanlah wanita sopan yang perlu diperlakukan dengan baik, “Oh ya, lebih baik tanyakan pada kekasihmu. Apa kondisi perusahaan papanya sudah lebih baik? Atau perusahaan mereka masih memerlukan asupan dana dari papaku? Karena, aku tahu bila salah satu alasannya takut bercerai dariku adalah hal itu. Ah ya, tapi kamu tahu apa, bagimu status istri sah bukannya nggak penting?” Cantika tertawa jahat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN