Virgo sudah lebih dulu turun. Sedangkan Belva masih melihat bangunan di depannya. Seharusnya itu adalah sekolah, tapi untuk apa Virgo membawanya ke sekolah.
Pintu mobilnya dibuka dari luar. Virgo menghalangi di antara pintu yang terbuka tersebut. Mantap tajam pada Belva.
"Turuti semua perintahku. Ini akan jadi sekolah barumu. Lupakan kehidupan lamamu, karena mulai hari ini hidupmu bergantung padaku!" Virgo menyentil kening Belva.
"Kenapa? Kenapa kakak nyekolahin Belva di sini?" Dia masih belum mengerti niat Belva yang sebenarnya.
"Tidak ada pertanyaan. Sekarang keluar!" Virgo sedikit menyingkir memberikan Belva jalan keluar dari mobil.
Masih dengan kebingungannya. Belva menurut saja. Dia berpikir, jika Virgo membiarkan berinteraksi dengan orang lain, dia bisa meminta tolong salah satu bawahan almarhum orangtuanya untuk menjemput.
"Tidak akan ada yang mempercayaimu. Pakai ini!" Virgo menyerahkan kalung berliontin kacang.
Belva yang tidak mengerti hanya langsung memakainya. Padahal, di dalamnya terdapat chip agar Virgo bisa selalu mengetahui keberadaannya.
Setelah memastikan Belva memakainya, Virgo berjalan lebih dulu, Belva mengekor di belakangnya. Gadis itu terlihat bingung.
Ada alasan kenapa Virgo tidak mengembalikan Belva setelah mengetahui asal-usulnya. Tidak untuk saat ini, tapi suatu hari nanti Belva akan mengerti.
Sekolah itu terlihat sepi, karena semua siswa sudah masuk ke kelasnya. Hanya terlihat beberapa anak berpakaian olahraga sedang melakukan pemanasan di lapangan.
"Wah, anak baru kah? Gilo, bening nian!" puji salah satu anak yang kebetulan menghadap ke arah Virgo dan Belva yang berjalan menuju ke kantor.
"Oi, kamu mau lari keliling lapangan lagi?" tegur guru olahraga bernama, pak Amir.
"Maaf, pak. Mata suka hilaf!" alasannya ditertawakan teman-temannya yang lain.
"Sudah-sudah, lanjutkan dengan peregangan!" perintah pak Amir pada murid-murid yang terlihat malas karena cuaca mulai memanas.
Seharusnya mereka berolahraga di gedung olahraga, tapi karena ada sedikit renovasi, mereka berolahraga di lapangan utama.
Terjadi bisik-bisik antara siswa tersebut. Mereka penasaran dengan sosok cantik yang berjalan di belakang laki-laki tampa tadi.
"Adek kakak be cantik nian!" Mereka semua mengira Belva dan Virgo adik kakak, meskipun warna kulit mereka berbeda, Belva sangat putih dan Virgo berkulit kuning langsat, mereka sama-sama enak dilihat.
Belva melirik ke arah anak-anak tadi, hingga pandangannya tertutup tembok. Dia melihat mereka sangat ceria, seperti sedang bermain-main. Di sekolahnya dulu, anak-anaknya sangat serius, kecuali saat sudah di luar lingkungan sekolah. Dia sekolah di sekolah internasional daerah Jakarta Utara. Sekolah bertaraf internasional yang dihuni anak-anak dengan kemampuan berbahasa yang baik.
"Mereka kadang memang menggunakan bahasa daerah. Tapi bahasanya masih tidak jauh berbeda dengan bahasa Indonesia. Jadi kau harus mulai mempelajari bahasa sini!"
Virgo melihat anak-anak tadi, dia seperti agak jadi agak khawatir. Belva polos dan anak baik-baik. Pasti akan asing dengan mereka yang lebih lepas dan agak kasar, tetapi hanya dilihatnya saja yang berbeda. Nyatanya, mereka sama saja anak-anak usai remaja yang sedang mencari jati diri.
"Kakak, bisakah kita cari sekolah yang lain?" Belva merasa dia tidak akan cocok dengan lingkungan di sini. Jauh berbeda dengan lingkungan sekolahnya.
Virgo menggeleng, saat Belva menatapnya memelas. Sekolah ini yang paling dekat. Setidaknya, saat dia sibuk, Belva bisa pulang sendirian.
Belva mengeluh, dia tidak bisa apa-apa. Statusnya disini adalah korban penculikan. Tidak dijual saja dia sudah untung.
Keduanya masuk ke dalam ruangan kepala sekolah. Senyum hangat menyambut kedatangan mereka.
"Pagi, Ndan. Ini anak yang ingin anda daftarkan?" tanya laki-laki berusia empat pilihan itu ramah.
"Yah, terima saja dulu. Berkasnya nanti akan menyusul!" Virgo duduk, dia menyuruh Belva untuk duduk juga.
Yah, itu yang Belva pikirkan. Mana bisa dia sekolah tanpa berkas-berkas untuk pendaftaran. Sekolah macam apa yang menerima siswa tanpa data lengkap.
"Itu gampang. Dan, berapa umurmu?" tanya kepala sekolah pada Belva.
"Enam belas tahun!" Belva menjawab bingung.
"Oh, berarti kau akan masuk kelas sepuluh. Dan jurusan apa yang kau inginkan?" Kepala sekolah itu bertanya.
Belva jadi meragukan kredibilitasnya. Memang semudah itu, apa tidak seharusnya dilakukan tes terlebih dahulu.
"Aku sebelumnya memilih, arts!" Belva bingung, kalau di SMA biasa akan memilih jurusan apa.
"Hem, baiklah. Kalau begitu pilih saja jurusan sesukamu!" Kepala sekolah tertawa saja, seakan dirinya adalah lelucon.
Belva mempelajari progam studi di SMA tersebut. Dia mencari yang paling mudah, yaitu kelas bahasa. Setidaknya, dia cukup baik dalam berbagai bahasa, itu yang ada di bayangan Belva.
"Bagus-bagus!" tanggapan kepala sekolah itu seperti yang Belva duga, tidak ada sistem tes terlebih dahulu, lolos begitu saja.
"Besok dia bisa mulai masuk?" tanya Virgo, terlihat kepala sekolah berpikir sebentar, dan meminta Belva dan Virgo untuk ke bagian admistrasi. Seragam dan segala kebutuhan Belva selama di sekolah akan sekaligus diurus di sana.
Belva menunggu Virgo yang sedang mengurus administrasi. Dia tidak ikut masuk ruangan. Memilih melihat-lihat sekolah demi bangunan lantai dua. Saat tanpa sengaja matanya bertemu tatap dengan Irish laki-laki bersurai pirang. Padahal wajahnya orang Indonesia. Belva yakin jika rambutnya itu diwarnai. Dan sekolah juga mengijinkan hal tersebut.
Meskipun di sekolahnya dulu juga tidak ada peraturan yang melarang mewarna rambut. Tapi itu karena banyak anak dengan warna rambut berbeda, karena berasal dari luar Indonesia, yang bersekolah di sana.
Laki-laki itu masih terus menatapnya. Tidak tahu mengapa, Belva juga tidak berniat memutus tatapan lebih dulu. Saat melihat bibir laki-laki itu menyeringai, barulah Belva langsung berbalik badan.
"Kenapa?" tanya Virgo melihat Belva yang aneh.
"Tidak apa-apa. Apakah sudah selesai?" Belva melihat Virgo memegang dua paperbag.
"Ya, ini bajumu. Besok ambil sendiri bukumu di sini. Aku sudah membayarnya!" Virgo melihat Belva mengangguk patuh.
Gadis itu kembali melihat ke arah bawah. Tapi tidak menemukan keberadaan laki-laki itu lagi.
"Ada apa?" Virgo melihat Belva agak gugup.
"Kau sudah memiliki musuh, bahkan saat belum masuk ke kelas?" Virgo melihat sekilas seorang laki-laki yang melihat tajam ke arah mereka.
Belva tidak mengerti. Dia belum bertemu dengan anak-anak di sini. Kenapa dia akan memiliki musuh?
Keduanya berjalan melewati koridor menuju tangga untuk pulang. Karena Belva juga sudah lapar ingin makan siang. Lagi-lagi perutnya berbunyi. Wajahnya memerah, menunduk dalam menyembunyikan rasa malunya.
"Cacing di perutmu sangat besar. Bunyinya keras sekali?" ledek Virgo menyembunyikan senyumnya.
Belva yang tertinggal dibelakang hanya bisa mengumpati perutnya yang selalu berbunyi, saat sedang bersama Virgo.
Virgo akan ada tugas siang ini. Jadi akan menitipkan Belva pada Bian lagi. Mereka menunggu laki-laki itu di salah satu rumah makan dipinggiran jalan.
Belva memesan ikan goreng. Tapi rasanya tidak seenak masakan koki di rumahnya. Meskipun begitu, dia makan dengan lahap.
Mengabaikan Virgo yang asik dengan ponselnya. Laki-laki itu terlihat serius, Belva tidak berniat mengganggunya.