Belva takut saat mobil Bian sudah memasuki halaman markas. Orang-orang bertato menyambut pemandangannya. Belva ketakutan saat mereka terus melihat ke arahnya.
"Ayo, kakak tidak mau turun?" Lian menunggu Belva di luar pintu mobil.
Bian meninggalkan mereka berdua. Dia asik menyapa orang-orang bertatto itu. Belva agak gemetaran, tapi kemudian ada tangan yang menggenggam tangannya.
"Tidak apa! Ayo turunkan kaki kakak!" Lian memegang tangan Belva yang masih menahan pintu agar tidak terbuka lebar.
Belva melirik bocah laki-laki yang berbicara seperti orang dewasa. Dia akhirnya memberanikan diri, tidak mau kalah dengan Lian. Si kecil yang pemberani, calon lelaki idaman setiap wanita. Setidaknya, itu yang dibayangkan Belva melihat sikap hangatnya.
Beberapa orang menyapa Lian, mereka menggoda Lian karena kecil-kecil sudah pandai menggandeng tangan wanita. Belva tidak memikirkan ledekan tersebut, dia hanya berani menatap punggung kecil Lian yang berjalan di depannya sambil menggandeng tangannya erat.
Lian langsung mengajaknya masuk ke ruangan yang waktu itu. Saat masuk ke sana, Lian menunjuk kipas yang tergantung di dinding. Tapi Belva tidak tahu cara menyalakannya.
"Tarik saja tali yang menggantung itu. Terserah kakak mau berapa kali, itu untuk mengatur kecepatannya!" Belva mengerti, dia menariknya, dan udara segar langsung menerpa kulitnya.
Lian ikut tersenyum melihat senyum terbit di bibir Belva. Dia merasa bangga, karena bisa melakukan apapun dibandingkan gadis itu.
Melihat Lian menyeret karpet ukuran kecil untuk di gelar di depan tv, tepat di bawah kipas, Belva juga langsung membantunya. Mereka lega, mengambil bantal sofa dan langsung tiduran di sana.
"Kau sering ke sini?" tanya Belva pada Lian.
Lian mengangguk. Kadang ayahnya menitipkannya pada paman-paman di luar tadi, dan meninggalkannya begitu saja.
Keduanya menonton film secara acak. Karena tidak tahu film mana yang disukai oleh keduanya. Dan berakhir dengan berebut remot tv itu.
"Jangan bertengkar! Akan kujual tv-nya kalau kalian berebut!" tegur Bian yang baru masuk ke ruangan itu.
Apa yang dikatakannya bukan hanya sekedar ancaman. Karena dia memang tertarik untuk menjual tv itu nanti. Lumayan, bisa untuk membeli makan seakan dua hari.
Belva asik berbaring bersama Lian. Mereka memutuskan untuk menonton drama musikal saja. Kulit Belva tidak lagi memanas, karena bedak dingin yang dibelikan oleh Bian. Dia baru saja mengoleskan di kulitnya atas bantuan Lian juga.
Sekarang ini, tubuhnya jadi putih-putih oleh bedak dingin tersebut. Monster salju kata Lian. Karena kulit Belva yang putih hampir sama dengan warna bedaknya.
"Ini, camilan untuk menemani menonton tv!" Bian baru saja meminta anak buahnya membelikan makanan ringan, dan dibelikan keripik oleh anak buahnya. Bian tidak bisa protes, karena dia hanya menyuruh tanpa memberikan uang.
Belva terlihat menyukai keripik tersebut. Dia makan hingga menyisakan setengah dari isi di bungkusnya. Lian sudah mengantuk, dia hampir tertidur. Tapi terlihat jika dia kesulitan untuk memejamkan matanya.
"You wanna hug?" tanya Belva yang hanya membuat Lian bingung saja.
"Kakak itu ngomong apa?" Bian tersenyum karena Lian terlihat sudah sangat mengantuk, tapi masih belum mau terpejam.
"Dia menawarkan pelukan. Kau mau?" tanya Bian santai dengan mata yang tidak teralih dari layar tv.
Lian melihat ayahnya. Dia lebih ingin pelukan dari sang ayah. Tapi melihat ke arah Belva lagi. Dia mengangguk, dan mendekat masuk ke pelukan Belva.
Keduanya tertidur. Kipas masih terus berputar, tapi Belva masih keringatan. Mungkin karena Lian yang membuatnya kegerahan.
Bian mempercepat laju putaran kipasnya. Hingga udaranya semakin sejuk saja. Dia agak aneh dengan suasana ini, dia seperti ayah yang baik menjaga dua anaknya. Ayolah, dia bahkan tidak menginginkan kehadiran Lian dalam hidupnya. Kehadirannya adalah kecelakaan karena kurang kehati-hatiannya dan sang kekasih.
Pintu ruangan itu terbuka lebar. Menampikan si garang Virgo dengan beberapa luka lebam menghiasai wajahnya. Bian tidak lagi heran, dia terlihat biasa saja melihatnya.
"Kemana anak-anak?" Virgo meletakkan jaket kulitnya, dan berlalu menuju kulkas. Cuaca panas diluar sana membuat semua orang jadi mudah terkena dehidrasi.
"Tengok ke bawah, maka kau akan melihatnya!" Bian masih asik dengan siaran televisi yang menampilkan acara balapan.
Benar saja, begitu arah tatapannya turun ke bawah, dia melihat anak-anak yang tertidur lelap di karpet bawah. Ujung bibirnya berkedut menahan senyum.
Setelah menegak habis air minumnya, dia meletakkan wadahnya di atas meja. Berjalan mendekat ke depan tv. Melihat Belva yang memeluk Lian dalam damai. Tapi ada hal lain yang menarik perhatiannya. Warna kulit Belva, apa yang terjadi pada gadis itu?
Virgo menatap Bian tajam. Temannya itu tahu, dia malah dengan santainya menaik-turunkan alisnya. Seakan apa yang baru dilihatnya adalah sebuah karya.
Mendudukkan pantatnya di sofa sebelah Bian. Memperhatikan lagi kulit Belva. Lalu menyentuhnya, dan melihat noda putih juga menempel di ujung jarinya. Lagi, tatapan tararah pada Bian.
"Apa? Itu hanya bedak dingin!" jawab Bian tak acuh.
"Kau mengerjainya?" tanya Virgo, curiga. Karena kulit Belva jadi putih semua. Tapi kemudian dia melihat ada warna semu merah di bagian pipi Belva.
"Ada apa dengan kulitnya?" Virgo tidak lagi bertanya, tapi dari nadanya lebih seperti menuduh.
"Iritasi, karena panas!" jawab Bian enteng, dia saja awalnya tidak percaya ada kulit yang begitu sensitif terhadap panas seperti kulit Belva.
"Iritasi? Seharusnya kau membawanya ke dokter kulit. Bukannya melaburinya dengan bedak seperti ini!" ketus Virgo, dia merasa miris melihat Belva.
Apa sebegitu parahnya? Sampai semua kulitnya dibaluri bedak juga. Virgo memeriksa lagi kulitnya. Dia sedikit menghapus bedak tersebut, dan melihat warna asli kulit Belva sudah seperti biasa saja.
Dia menggeleng. Anak orang jadi seperti ini. Jika bukan karena ulah temannya, anak orang tidak akan konyol seperti ini.
"Kau membawanya ke mana? Sampai kulitnya terbakar!" Virgo mendudukkan kembali dirinya di sofa.
"Taman, dan ternyata cuacanya sangat panas. Kami ke sini karena ingin mendinginkan diri. Padahal aku sudah berniat menjual kipas itu. Ternyata masih sangat berfungsi!" Bian berdecak sambil mengangguk melihat kipas itu telah menolongnya.
Jika Virgo melihat betapa merahnya warna kulit Belva tadi, dia pasti akan kena pukulan. Karena sekarang ini, Belva ada di penjagaan Virgo.
"Dia seperti ayam tepung yang akan digoreng!" Komentar Virgo memperhatikan Belva.
Bian sebenarnya juga menahan tawanya, saat tadi Belva mulai membalurkan bedak dingin ke kulitnya. Untunglah, Lian cukup pintar untuk tidak menertawakan Belva. Atau gadis itu pasti tidak akan mau memakainya.
Bian dan Virgo menyaksikan balapan sambil menunggu anak-anak bangun. Karena sepertinya mereka akan lama, Virgo mengajak Bian untuk keluar. Dia mempunyai misi untuk para anak buahnya.