Dia lagi

1032 Kata
Belva berjalan menuju ke ruang koperasi. Dia harus mengambil buku di sana dan juga baju seragam baru sesuai perintah Virgo. "Kamu murid baru itu, ya?" Seorang wanita berwajah jutek menyapanya lebih dulu, seingatnya, wanita itu juga yang kemarin membantu Virgo mengurus admistrasinya. "Ayo, ikut saya masuk!" ujarnya masih dengan wajah juteknya. Belva hanya menurut. Dia ingin segera menyelesaikan urusannya di sini. Agar bisa segera masuk ke kelasnya. Ada orang lain di ruangan itu. Sepertinya dia yang berjaga di koperasi. "Berikan buku kelas sepuluh bahasa padanya!" perintah wanita jutek itu pada rekannya. "Kau membawa nota bukti pembayarannya?" tanya orang itu pada Belva. Belva mengangguk, dia memberikan kertas kecil dengan tanda tangan di sana. Ada jumlah yang tertera di kertas tersebut. Artinya Belva hanya tinggal mengambil bukunya saja. Dia melihat orang itu menumpukkan beberapa buku di atas meja, tepat di depannya. Ada sekitar dua belas buku cetak besar, dan ada lagi buku yang lebih tipis dalam jumlah yang mungkin sama banyaknya. Belva melihat buku itu tak percaya. Sebanyak itu, untuk apa? Bukankah jaman sekarang ini tidak diperlukan buku sebanyak itu? Karena ada komputer atau laptop untuk mengakses pelajaran agar lebih efesien. "Kenapa diam saja. Ambil!" orang itu sama juteknya dengan wanita tadi. "Apa ini tidak salah. Sebanyak ini?" Belva ragu mengambilnya. "Yah, kau mau membuangnya setelah ini juga tidak masalah. Yang penting aku sudah memberikan sesuai yang tertera di nota!" orang itu seakan tak perduli, dan kembali asik dengan pekerjaannya mendata buku. "Ambil saja. Dan segera keluar dari sini. Kelasmu sebentar lagi akan dimulai!" tegur wanita jutek tadi pada Belva. Menghembuskan nafas panjang, Belva mengambil buku itu, tapi meletakkan kembali, karena mengingat pesan Virgo. "Aku akan membeli seragam baru!" ujar Belva pada dua orang yang terlihat sibuk hingga mengabaikannya. "Jangan sombong. Kau baru membelinya kemarin. Kenapa ingin beli lagi!" wanita itu sudah menilainya tanpa mencari tahu alasannya. "Roknya terlalu pendek. Bisakah saya mendapatkan yang lebih panjang lagi?" Belva berusaha tetap sopan, meskipun dia agak kesal. Wanita tadi memperhatikan roknya dan terlihat tidak suka, "Rokmu baik-baik saja. Sekarang keluarlah dan jangan ganggu perkejaan kami!" Belva mengangguk pasrah. Dia sepertinya memang harus menggunakan pakaian ini. Semoga saja Virgo mau mengerti. "Kelasku dimana?" Belva masih belum pergi, membuat kedua orang itu jadi kesal. Belva membawa semua bukunya, setelah mendapatkan mendapatkan petunjuk keberadaan kelasnya. Dia kesulitan dan keberatan, hingga tanpa sengaja menjatuhkannya. Untung saja suasana sudah sepi. Karena bel masuk sudah berbunyi. Dia akan terlambat sampai di kelasnya. Memunguti bukunya. Belva agak bersedih, hari pertamanya masuk sekolah agak tidak baik. Hingga dia melihat ada tangan lain membantunya mengumpulkan buku miliknya. Belva mendongakkan kepalanya. Dia melihat pemilik tangan itu dan agak terkejut. Karena orang itu ada laki-laki yang kemarin melihatnya dari lapangan. Laki-laki yang menatapnya tajam. Tapi saat ini, wajahnya tidak lagi terlihat menyeramkan. "Makasih!" ujar Belva saat laki-laki itu membawakan bukunnya. Dia mengejar langkah panjangnya. Ucapan terimakasihnya tidak direspon. Tapi Belva tidak keberatan. Karena laki-laki itu mau membantunya membawa buku. "Kelas apa?" "Hah?" Belva gagal fokus dan tidak mengerti, tapi akhirnya mengangguk paham. Tersenyum malu, dia menjawab, "Kelas bahasa!" "Nyalimu besar!" sahut orang itu dengan suara bariton yang agak serak. Belva tidak mengerti maksud ucapannya. Tapi dia tidak berniat menanyakannya. Mengikuti langkah laki-laki itu, Belva sampai di depan pintu kelas yang memiliki tulisan kelas 1 bahasa. "Masuklah!" Laki-laki itu menyuruh Belva membuka pintunya. Belva mengetuk terlebih dahulu, barulah dia masuk dan melihat, jika sudah ada guru yang mengajar di kelas barunya. Semua mata tertuju padanya. Belva menampilkan senyum hangat, tapi tidak ada yang membalas senyumnya. Kecuali, hanya tatapan penuh tanya. "Kai, siapa tuh. Kenalin atuh!" goda salah satu anak laki-laki berambut keriting dengan wajah lumayan tampan. Laki-laki yang berdiri di belakang Belva, ternyata namanya adalah kai. Laki-laki yang sejak awal sudah memiliki tatapan yang dalam pada Belva. Guru perempuan yang juga sedang melihat pada Belva meminta agar Belva memperkenalkan dirinya. Tanpa senyum ramah, guru itu kembali duduk di kursinya. Belva akan mengambil alih buku di tangan Kai, tapi laki-laki itu bergeming. Akhirnya Belva memilih untuk memperkenalkan dirinya lebih dulu. "Hallo, namaku Belva Afsheen. Aku pindahan dari Jakarta! Salam kenal!" Mengucapkan dengan lancar, Belva berharap teman-teman barunya akan menerima kehadirannya. Tapi tidak ada respon dari mereka. "Duduklah!" bisik Kai dari belakang. Belva melirik gurunya yang masih sibuk memperhatikan buku di depannya. Dari pada seperti orang bodoh, Belva menuruti ucapan Kai. Dia mencari bangku kosong, seperti biasa ada di paling belakang. Kai mengikuti langkah Belva. Terdengar bisik-bisik, saat Belva berjalan menuju kursinya. Mereka seperti sangat penasaran, tapi hanya diam saja, saat Belva memperkenalkan dirinya tadi. Buk Kai menaruh tumpukan buku di meja Belva, setelah gadis itu mendudukkan pantatnya di sana. Matanya masih menyorot tajam pada Belva. "Makasih!" Belva tersenyum lebar pada Kai, tapi laki-laki itu bahkan tidak memperhatikannya dan langsung keluar dari sana. Menggaruk rambutnya yang tidak gatal, Belva menoleh ke arah teman-temannya yang masih bencuri pandang ke arahnya. Padahal melihatnya langsung juga, Belva tidak masalah. Guru memulai kembali pelajaran yang sempat tertunda karena kedatangannya. Caranya mengajar sangat cepat dan tegas. "Eh, murid baru!" panggil seseorang dari baris ketiga depan Belva, orang berambut keriting yang tadi memanggil Kai. "Apa?" Belva agak antusias, karena ada yang mengajaknya berbicara. "Pinjem pena dong!" ucapnya sambil mengulurkan tangannya. Belva membawa dua, jadi dia menyerahkan pena yang ada di atas mejanya. Tapi saat tangannya terulur, bukan hanya pena itu yang diambilnya, tapi juga tangan Belva. Laki-laki berambut keriting itu menuliskan sesuatu di tanah Belva. Sebenarnya Belva agak keberatan, karena tangannya dicoret-coret oleh anak laki-laki itu. Pena miliknya tidak diambil, tapi digenggamkan lagi oleh anak laki-laki tersebut. Senyum lebarnya membuat Belva ikut tersenyum tipis dan segera melihat coretan di tangannya. "Namoku, Aldo. Kagek balek bareng aku bae! Gak ada penolakan!" Belva mencoba memahami tulisan tersebut. Dia tidak memahami bahasanya. Hanya bisa mengerti bagian namanya, dan akhir kalimat. Apanya yang gak ada penolakan? Belva agak sedih. Sekalinya ada yang mengajaknya berinteraksi, dia tidak memahami bahasanya. "Kamu kenapa pindah ke sini?" tanya seseorang, mengejutkan Belva yang masih memperhatikan telapak tangannya. Suara itu dari arah sampingnya. Gadis dengan kaca mata membingkai wajahnya. Tapi bibirnya berpoles lipstik hitam. Gaya gotik yang tidak sesuai dengan gaya anak sekolahan. "Aku—," belum juga dia menyelesaikan ucapannya, guru menegur Belva dan memintanya untuk mengulangi apa yang baru saja dia ajarkan. Belva bernasib buruk, karena dia tidak memperhatikan sejak tadi.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN