Meski memiliki darah keturunan keraton, tak membuat hidup Bejo dan keluarganya melimpah seperti yang sering ada dalam buku cerita anak-anak. Tentu saja. Itu hanya dongeng yang dibuat untuk menciptakan dunia khayal bagi anak-anak.
Memilki nama asli Raden Mas Bekti Jonathan Hendarto, tetapi entah kenapa lelaki itu lebih senang dipanggil Bejo. Nama yang mencerminkan sebuah keberuntungan.
Kata bejo asalnya dari bahasa Jawa yang artinya keberuntungan. Bejo hanya ingin hidupnya beruntung, itu saja. Karena ada pepatah Jawa yang mengatakan, wong pinter kui kalah karo wong bejo.
Ayahnya bernama Burhan, hanya seorang guru SMA. Pekerjaan yang mulia sebenarnya. Akan tetapi, akan terbanting jika dibandingkan dengan orang tua Alia, istrinya. Mertua Bejo adalah seorang pengusaha kaya yang mungkin hartanya tidak akan habis selama tujuh turunan dan delapan tanjakan.
"Al. Kamu tidak apa, 'kan?" Bejo terus memastikan jika istrinya baik-baik saja. Dalam kondisi hamil muda, tetapi dia masih harus bekerja.
Dahi Alia mengerut. "Aku kenapa, Mas? Aku baik-baik saja, kok."
Bejo hanya bisa menghela napas panjang. Yang terlihat menyedihkan di sini adalah dirinya. Sang istri justru terlihat sehat dan bugar.
"Aku cuma takut kalau kamu kecapekan."
Alia terkekeh sembari mengalungkan lengannya di leher sang suami. Manik matanya menyelam ke arah manik mata Bejo. "Makasih karena telah mengkhawatirkanku, Mas. Tapi, aku baik-baik saja, kok."
Bejo menghembuskan napas lega. "Syukur kalau begitu." Jemari Bejo merapikan anak rambut Alia dan menyelipkannya di belakang telinga. "Aku tidak akan memaafkan diriku sendiri jika terjadi sesuatu padamu," ucap lelaki itu sungguh-sungguh.
Alia mengecup singkat bibir Bejo. "Aku tidak akan membiarkan sesuatu yang buruk terjadi padaku." Keduanya saling menatap agak lama. Ada kerinduan yang terpancar dari mata keduanya.
Alia menghirup napas panjang. "Mas. Aku tinggal dulu, ya? Kamu baik-baik di rumah." Dia melepaskan lengannya dari leher sang suami. Tak lupa Alia juga menampilkan wajah manisnya kepada sang suami.
"Iya, Sayang. Maaf, Mas nggak bisa ngantar, ya?" Bejo merasa begitu menyedihkan kali ini. Sebagai suami, dia seperti tak ada gunanya.
"Iya, nggak papa. Yang penting ... Mas Bejo istirahat saja. Urusan cari uang, serahkan dulu sama Alia." Alia tersenyum dengan sangat manisnya. Bejo merasa beruntung bisa menikah dengan Alia. Dia harus berterima kasih pada orang tuanya yang telah menjodohkan mereka dulu.
Meski awalnya tidak ada cinta, tetapi lambat laun mereka saling mencintai. Meski Alia sama sekali bukan tipe Bejo. Bahkan dia sangat lugu dan juga awam terhadap ilmu agama, tetapi kepolosannya itu, justru menjadi daya tarik tersendiri di mata Bejo.
"Iya, Sayang." Bejo melihat punggung Alia yang semakin menjauh. Senyum yang tadi tercetak di bibirnya, lambat laun menjadi mendung. Dia merasa menjadi tidak berguna karena fisiknya yang tiba-tiba menjadi lemah.
Bukannya aku malas atau tidak mau kerja, tetapi karena kehamilan ini. Ah, maaf! Yang kumaksud kehamilan istriku, aku yang harus menanggung akibatnya.
Entah karena apa, yang pasti Bejo yang mengalami morning sickness dan mengalami gejala ibu hamil lainnya. Aneh memang, tetapi kata dokter, itu hal yang wajar.
Perut Bejo kembali mual dan cairan seolah ingin keluar saja. Pertanda jika morning sickness-nya kembali lagi. Bejo mendesah berat. Dia ikhlas dengan apa yang dia alami, tetapi dia menjadi kurang berguna karena tidak bisa mencari nafkah. Bejo merasa kasihan dengan Alia yang terpaksa harus bekerja padahal dia yang sedang hamil.
Bejo merasa begitu terpuruk. Dia yang selalu bisa mandiri, kini harus bergantung pada sang istri. Dia yang seharusnya menafkahi justru kini menjadi beban. Dia sungguh tidak tega membiarkan istrinya yang sedang hamil, bekerja. Namun, sayangnya dia tidak memiliki daya sekarang ini.
"Kenapa masih mual terus? Malah rasanya semakin parah saja." Napas Bejo tersengal-sengal. Dia mengelap mulutnya yang basah oleh cairan yang telah dikeluarkan. Rasanya pahit, seperti obat.
"Assalamu'alaikum. Bejo ...! Bejo ...!" Bejo langsung berdiri saat itu juga. Suara itu adalah suara yang sangat dia kenal.
"Wa'alaikumsalam, Ma," jawabnya lemah. Tenaganya seolah habis tak bersisa. Bagaimana tidak, dia memuntahkan hampir semua isi perutnya. Padahal seingatnya, dia makan banyak saat sarapan. Sang istri tercinta menggoreng telur untuknya. Ya, hanya itu yang bisa dia masak. Akan tetapi, meski begitu Bejo tetap bersyukur memiliki Alia sebagai istri.
Dengan langkah gontai, Bejo berjalan menuju pintu depan. Kedua orang tuanya itu tidak pernah langsung masuk ke dalam rumah. Meski itu rumah anaknya sendiri.
Bejo menarik napas panjang, dia tak mau orang tuanya mengetahui kondisi yang sebenarnya Mereka pasti akan sangat khawatir. Bejo menegakkan punggung dan membusungkan d**a. Dia ingin orang tuanya melihat jika dia baik-baik saja.
"Bejo ...!" Baru saja Bejo membuka pintu itu, langsung saja sang ibu memeluknya erat. Bejo hanya bisa menelan ludah, bingung kenapa ibunya bisa seheboh ini?
Bejo melihat ayahnya berdiri di belakang sang ibu. Lelaki paruh baya itu selalu saja berwajah tenang, seperti saat ini. Bejo sama sekali tak bisa mengira apa yang ada di pikirannya. Berbeda dengan sang ibu, dia hampir seperti Alia. Mungkin hal itu yang membuat Alia dan ibunya sangat cocok.
"Mama kenapa? Kenapa pagi-pagi sudah heboh seperti ini?" tanya Bejo heran.
Apa wanita memang selalu seperti itu? Selalu bersikap berlebihan, kalau seperti kata orang jaman sekarang itu lebay.
Bejo mengurai pelukan ibunya. Dia melihat wajah sang ibu telah basah oleh air mata yang mungkin telah menetes sedari tadi. Tampak sekali di mata ibunya yang sedikit sembab. Wanita paruh baya itu mengusap pipi dan sudut matanya.
"Kamu nggak papa 'kan, Bejo?" tanya Zainab, ibu Bejo. Dia tampak sangat khawatir, seolah Bejo baru saja mengalami musibah yang sangat besar.
"Bejo tidak papa, Ma. Mama kenapa nangis? Sembab gitu matanya." Bejo ikut mengusap sudut mata Zainab yang seolah terus basah karena produksi air mata yang berlebih itu.
"Mama denger dari Alia katanya kamu sakit. Mama khawatir banget." Bejo terkesiap. Mereka memang belum memberi tahu keluarga besar tentang kehamilan Alia. Rencananya mereka akan memberitahukan pas pesta ulang tahun emas pernikahan nenek dan kakek Alia.
Bejo hanya bisa garuk-garuk kepala saat ini. Apa yang dikatakan oleh Alia hingga mama bisa seheboh ini? Apa Alia terlalu melebihkan saat mengatakan tentang sakitku ini?
"Bejo nggak papa, Ma. Mungkin saja karena kecapekan. Jadinya masuk angin," jawab Bejo agar orang tuanya tidak khawatir. Dia ingin mengatakan kalau Alia hamil, tapi Alia ingin memberikan kejutan saat pesta itu.
"Kamu udah kerokan belum? Atau udah minum obat?" tanya Zainab penuh kekhawatiran. Bagaimanapun Bejo adalah anak satu-satunya, tidak mungkin dia akan mengabaikannya begitu saja.
"Belom kerokan, sih. Soalnya--"
"Ya udah. Mama kerokin, ya, Bejo." Bejo melipat bibirku ke dalam, mengurungkan niatnya untuk berbicara. Sepertinya tawaran ibunya tidak buruk juga, secara Alia tidak bisa melakukan pengobatan tradisional itu. Maklum saja, namanya juga gadis manja.
"Masuk, Ma, Pa." Bejo mempersilakan kedua orang tuanya untuk masuk ke dalam rumah. Jika tidak seperti itu maka sudah dipastikan jika mereka tak akan pernah masuk meski ini adalah rumah anaknya sendiri.
Keduanya pun akhirnya masuk. Bejo segera mengambil balsem dan uang koin sebagai alat tempur untuk ibunya. Sudah menjadi kebiasaan keluarga mereka jika masuk angin maka akan sembuh hanya dengan kerokan.
"Kamu kenapa, kok bisa masuk angin kayak gini, Sayang?" Bejo sepertinya harus mempersiapkan telinganya untuk mendengar omelan dari Zainab. Dari A sampai Z, semua pasti dibahasnya.
"Biasa 'kan, Ma. Namanya juga manusia, wajar dong kalau masuk angin. Motor saja yang benda mati juga bisa rewel dan masuk bengkel, kok." Bejo berusaha untuk tidak membuka surprise yang akan mereka berikan nanti.
"Kamu sekarang pinter banget kalau disuruh jawab, ya." Zainab begitu gemas dengan tingkah Bejo. Anaknya kini bisa lebih ceria dan tidak kaku lagi. Mungkin ini ada pengaruhnya dengan Alia, gadis ceria yang kini jadi menantunya.
Bejo menjerit karena sang ibu menekan dengan keras uang koin pada punggungnya. Semenjak jadi suami Alia, Bejo memang sangat pintar membantah. Seolah, sebagian jiwanya yang terkurung telah lepas kini.
Argh ...! Kenapa aku jadi puitis kini?
Bejo melirik ayahnya yang hanya tersenyum saat melihat interaksi antara dirinya dan sang ibu. Dia memang sosok yang pelit dalam berbicara. Tidak bakal bicara kalau tidak penting. Akan tetapi, sekalinya berbicara, wibawanya akan terpancar dengan sangat kuat.
"Istri kamu kerja, Bejo?" tanya Zainab.
"Iya, Ma. Alia suruh pegang perusahaan kakeknya, soalnya mami tidak mau lanjutin perusahaan itu." Bejo kembali mengenakan kaosnya. Zainab telah selesai menato punggung Bejo dengan tato tradisional yang hanya bertahan beberapa hari saja itu.
Aneh sekali, sejak kedatangan Mama dan Papa, aku tidak merasakan mual sama sekali. Setidaknya aku tidak akan bolak-balik kamar mandi saat ini, batin Bejo. Perutnya baik-baik saja. Tidak ada rasa mual yang sedari tadi datang menghantam.
"Aku buatin teh dulu, Ma." Bejo berdiri hendak menuju ke dapur. Namun, tangan Zainab menahannya.
"Nggak usah! Kamu istirahat saja. Biar Mama yang buatin buat kamu sama Papa." Zainab menarik tangan Bejo, membuatnya duduk kembali di tempatnya.
"Mama izin pake dapur kamu, ya, Bejo?" Bejo mengangguk. Seperti itulah Zainab. Dia selalu mengutamakan adab, yang mungkin Bejo sendiri belum bisa menerapkannya.
"Iya, Ma. Pakai saja! Tidak perlu izin juga tidak papa. Aku 'kan anak Mama. Mama biasa saja di rumah ini, jangan seperti rumah orang lain," protesnya.
Zainab pun segera menuju ke dapur untuk membuatkan kedua lelaki tercintanya secangkir teh. Bejo dan ayahnya tidak pernah minum kopi, karena lambung mereka tidak tahan.
"Papa tidak ke sekolah?" tanya Bejo. Ini bukan hari libur, kenapa ayahnya bisa jalan-jalan?
"Pengajuan pensiun Papa disetujui, Nak. Jadi, Papa tinggal nurutin Mama kamu ini untuk jalan-jalan." Harun--ayah Bejo--tertawa. Entah kenapa Bejo sangat menyukai saat ayahnya tertawa seperti itu. Seolah dia benar-benar tak memiliki beban. Pantas saja ayahnya masih kelihatan muda di usia hampir kepala enam.
"Wah! Papa dan Mama jadi pengantin baru lagi, dong," goda Bejo yang membuat Harun tersenyum simpul.
"Ck! Apa, toh? Udah tua juga. Udah nggak jaman pacaran lagi. Jamannya sekarang momong cucu. Kapan kamu dan Alia bakal kasih kami cucu?"
Hampir saja Bejo menyemburkan teh manis yang telah berada dalam rongga mulutnya. Dia bingung harus menjawab apa? Kalau jujur sekarang, maka surprise Alia akan gagal.
"Kamu kenapa lagi, sih, Bejo?" Zainab kembali menepuk punggung Bejo. Dia memang paling tidak bisa jika melihat anaknya kesakitan.
Bejo sangat ingin jujur, tapi bayangan sang istri yang telah memberi kepercayaan melintas begitu saja.
"Cuma masuk angin, Ma."