Aku ... udah putuskan, aku mau pulang,” gumamku, duduk tak jauh dari Ian. Setelah memikirkan berkali-kali, mungkin sebaiknya aku pulang, membicarakan semuanya secara baik-baik pada Abah dan Umi. Lebih baik segera pergi, daripada terus begini. Mas Aswin sama sekali tak ada kabar, dan perasaanku pada Ian mulai aneh. Ini tak boleh dibiarkan. “Kamu yakin?” Ian memandangku dengan wajah tak percaya. Ia yang sering membujuk pulang, tapi kenapa sekarang terlihat tak rela? Apa jangan-jangan ... ia mulai menyukaiku? Ah, mana mungkin. Ian menyukai Desti. Pasti, ini hanya perasaanku saja. Aku mengangguk pelan. Ian menarik napas. “Baiklah, aku akan mengantarmu, Can. Sini, kuperiksa.” Ia menepuk-nepuk ruang kosong di sebelahnya duduk. Aku menggeleng pelan. “Bukannya tadi kamu bilang jantungmu teras