NISIR 04 || Makan Bersama

2075 Kata
                Sejak malam itu, Tiara rutin bermimpi hal yang sama dan lagi-lagi harus terbangun di saat yang tidak tepat. Itulah mengapa setiap bangun tidur Tiara merasa kesal. “Kenapa sih harus kebangun pas lagi mau keluar! Kan lagi enak-enaknya tuh.” gerutu Tiara pagi itu.                 Tiara menyelipkan pulpen di bibir dan mengigitinya. Ia merasa real dan bukan mimpi saat berhubungan intim dengan Bima. Rasa Bima di tubuhnya masih terasa hingga saat ini. Kelembutan sekaligus garangnya Bima saat memompa inti tubuhnya masih terbayang dalam benaknya, "Apa itu pertanda kami akan melakukannya suatu hari nanti?" gumam Tiara melamun membayangkan hari indah itu akan datang.                 "Melakukan apa?" Tanya Maya mengagetkan Tiara saat tak sengaja mendengar gumaman si dosen cantik. Tiara terjingkat kaget, "Eh... Kenapa bu?"                 "Itu kamu mau melakukan apa?" Waduh busyet dah, si kepo denger.                 "Hah?! Melakukan apa maksud Bu Maya." Tiara balik bertanya. Yang di tanya tampak kesal, "Itu Bu Tiara bilang mau melakukan sesuatu. Melakukan apa sih?” Maya penasaran.                 “Bu Maya aneh deh, orang aku ngga ngomong apa-apa kok.” Kilah Tiara.                 “Duh jangan belagak bego deh, Bu. Orang saya yakin dengar kok kalau Ibu mau melakukan sesuatu. Melakukan sesuatu apa? Kepo nih.” Maya mulai gemas karena Tiara terus berkelit. Tiara tertawa, “Idih Bu Maya mah halu. Orang saya diem-diem bae dari tadi ngga percaya. Makanya jangan kebanyakan halu Bu, jadi gini kan.” Cibir Tiara.                 Kena loe. Makan tuh penasaran. Emang enak gue bikin penasaran. Seru Tiara dalam hati.                 “Ck Udah ah males. Orang jelas-jelas kok ngomong sesuatu, ngga ngaku lagi. Dah ah balik aja.” Gerutu Maya sambil memasukkan barang-barangnya ke dalam tas, ia pun melengos pergi meninggalkan ruangan dosen. Tiara yang sedari tadi tak kuat menahan tawanya akhirnya ketawa ngakak. "Duh untung aja bisa ngeles. Gawat nih kalo si biang gosip tahu."                 Setelah puas mentertawai Maya, Tiara kembali fokus pada pekerjaannya yang menumuk. Ia harus segera membereskan nilai-nilai mahasiswa agar bisa cepat pulang. Seharian ini Tiara agak kurang fokus dalam pekerjaannya. Ia lebih banyak melamun mengingat malam-malam panas bersama Bima.                 “Fokus Tiara, fokus. Harus beres sekarang juga biar bisa pulang terus ketemu Mas Bima lagi di mimpi.” Ucap Fiona memacu diri sendiri. Tepat pukul empat sore Tiara pun pulang. Tubuhnya sangat lelah. Seharian duduk di meja kerjanya memeriksa semua berkas ujian hari ini. Masih ada lima hari berikutnya yg menunggu untuk di selesaikan.                 Harusnya sistem ujian sudah berbasis komputer, tapi di kampusnya baru ada beberapa fakultas yang ujian menggunakan sistem komputerisasi itu. Fakultas tempat Tiara mengajar yang belum terjamah oleh modernisasi, sehingga masih menggunakan manual dengan menulis di lembar kertas ujian.                 Tiara jalan dengan gontay menuju parkiran. Sore itu suasana kampus sudah mulai terlihat sepi. Hanya terlihat beberapa mahasiswa saja yang berlalu lalang di sana. Ia menggantungkan tasnya di kaitan yang ada di motornya, memakai helm dan juga sarung tangan barulah menyalakan motor. Motor matic berwarna hitam dengan polet kuning itu meluncur keluar dari gerbang kampus. ***                 Sementara itu, Bima baru saja keluar dari ruang rapat. Ia memijat tengkuknya yang terasa pegal. Seharian ini entah berapa kali ia keluar masuk ruang rapat. Tak hanya otaknya yang lelah, tubuhnya pun terasa lelah. Bima kembali ke ruang kerjanya di ikuti oleh Andre.                 "Apa jadwal selanjutnya?" tanya Bima kepada Andre sekretaris sekaligus asisten pribadinya. Ia menyandarkan tubuhya di sofa. Andre membuka agenda harian Bima dari tablet di tangannya.                 "Pukul tiga sore nanti anda harus menghadiri rapat lagi dengan..."                 "Lagi? Apa tidak bisa diwakilkan? Kau tahu seharian ini aku keluar masuk ruang rapat." Keluh Bima. Andre melihat atasannya itu benar-benar kelelahan, "Baik Pak. Nanti saya sampaikan kalau Bapak tidak bisa menghadiri rapat ini."                 Bima mengangguk. Ia memejamkan matanya sejenak. "Kalau begitu saya permisi dulu pak." Andre keluar dari ruangan meninggalkan Bima untuk beristirahat sejenak.                 Setelah dirasa cukup beristirahat, Bima pun memilih untuk pulang. Tubuhnya benar-benar lelah. Jika biasanya Bima sering di antar jemput oleh supir, entah mengapa hari ini ia ingin pulang membawa mobilnya.                 Bima menyalakan musik untuk mengurangi rasa kantuk yang masih tertinggal. Baru setengah perjalanan, tiba-tiba mobilnya mendadak berhenti. "Ya elah kenapa lagi ini mobil. Mulai deh kumatnya." ucap Bima kesal.                 Ia pun keluar dari mobil, memperhatikan semua roda yang tampak baik-baik saja. Saat mengecek kap depan mobil, kepulan asap keluar dari sana membuat ia terbatuk. Untunglah mobil Bima mogok tak jauh dari sebuah bengkel kecil di tepi jalan raya. Ia pun meminta pertolongan pertama untuk mobilnya agar bisa kembali menyala. ***                 "Duh kenapa tadi lupa sih beli bawang-bawangan. Kan harus bolak balik ke warung. Jam segini masih buka ngga ya. Semoga masih ada yang buka." ucap Tiara sambil mengambil kunci motornya. Setelah mengunci pintu rumah, ia pun segera menuju ke warung terdekat. Tapi sayangnya tak ada warung terdekat yg masih buka. Akhirnya Tiara menuju ke sebuah pasar yang untungnya masih buka.                 Ia pun segera membeli beberapa macam bumbu-bumbu yg ia butuhkan, tak lupa ia juga membeli sayuran untuk dimasak besok. Setelah membeli yang dibutuhkan, Tiara pun kembali pulang ke rumah.                 Di tengah perjalanan, ia mengenali mobil mewah warna hitam yang terparkir di sebuah bengkel di pinggir jalan tak jauh dari gang rumahnya. "Loh Pak Bima?! Ngapain Pak Bima disana?" Tiara bertanya-tanya.                 Ia pun menghentikan motornya dan menghampiri Bima yang terlihat lelah. "Pak Bima kenapa mobilnya?" sapa Tiara. "Eh Bu Tiara kan." Bima mencoba mengingat nama gadis di depannya itu. Tiara mengangguk. "Ini Bu mobil saya mogok, padahal tiga hari lalu baru keluar dari bengkel."                 "Oh begitu. Kenapa ngga telpon bengkel langganan Bapak aja biar mereka yang angkut mobilnya."                 "Justru itu ponsel saya low, mau pinjam charger bapaknya tapi beda." Keluh Bima mengutak atik ponselnya yang berlogo apel tergigit.                 "Saya punya chargernya Pak, tapi di rumah. Rumah saya masuk depan gang itu. Kalau mau Bapak charger dirumah saya saja."                 "Wah boleh tuh Bu. Aduh makasih ya untung ketemu Bu Tiara. Saya bingung mau telpon siapa karena ponsel saya mati."                 "Ya sudah di charger di rumah saya saja. Mari Pak biar tunggu dulu di sini mobilnya sambil tunggu bantuan datang. Tapi gpp kan pake motor saya?" Ucap Tiara meragu.                 "Gpp saya dulu anak motor dan suka turing juga. Udah lama juga saya ngga pake motor." Bima mengambil alih motor yang ditumpangi Tiara. Setelah menitipkan pesan, keduanya segera melaju ke rumah Tiara. ***                 "Mari masuk Pak." ucap Tiara mempersilahkan masuk saat keduanya tiba. Bima mengangguk. Ia menatap rumah mungil sederhana di depannya, jauh dari kata mewah. Berbanding terbalik dengan kediaman miliknya yang luas dan megah. Halaman rumahnya pun sangat luas, mungkin luas rumah dan halaman Tiara hanya sepertiga luas keseluruhan rumahnya.                 Bima membuka sepatunya menghargai yg punya rumah karena Tiara melepas sandalnya. "Eh gpp Pak pakai saja sepatunya. Saya belum sempat sapu-sapu dan pel rumah. "Gpp saya buka saja. Lagian udah seharian ini saya pakai sepatu, ngga nyaman juga."                 "Sebentar ya Pak saya ambilkan chargernya dulu. Silahkan duduk."                 Bima duduk di sofa yang ada di ruang tengah. Rumah sederhana milik Tiara sepertinya di gabung antara ruang keluarga dan ruang tamu karena tak ada sekat apa pun disana. Sebuah TV layar lebar terpasang di dinding. Di sana ada dua kamar yang salah satunya pasti kamar Tiara. Tak lama gadis itu pun keluar dari kamar dengan membawa chargeran dan sudah berganti baju dengan pakaian rumah.                 "Maaf menunggu, silahkan dipakai chargernya Pak." ucap Tiara kaku. Bima meraih charger itu lalu segera menancapkannya ke ponsel miliknya. "Akhirnya nyala juga." ucap Bima. Ia sengaja membiarkan ponselnya terisi batre dengan cukup agar bisa menghubungi montir yang biasa menangani mobilnya.                 "Oh iya mau minum apa Pak Bima?"                 "Jangan panggil saya Pak, panggil Bima saja atau Mas Bima juga boleh."                 "Eh... Mana boleh kayak gitu."                 "Boleh kalau buat Bu Tiara." Tiara salah tingkah, pipinya merona karena malu. "Tiara saja Mas Bima." Cicit Tiara malu.                 "Baiklah Tiara." Keduanya terdiam. Suasana tampak canggung. "Mau minum apa, Mas Bima?"                 Bima menatap Tiara dengan seksama, "teh manis hangat boleh. Saya ngga terlalu suka kopi."                 "Baiklah tunggu sebentar ya."                 Tiara menyetel TV agar suasana tidak semakin canggung, lalu ia beranjak ke dapur membuatkan Bima teh manis. Tangannya bergetar saat menyiapkan teh manis untuk orang yang ia sukai. Berkali-kali Tiara mencicipi rasanya biar tidak terlalu manis atau kurang manis. Ia pun segera menyajikannya untuk Bima. "Di minum Mas tehnya."                 "Makasih."                 Bima mengambil gelas yg berisi teh buatan Tiara, ia meniup asap yang keluar dari dalam teh yg tercium harum itu lalu menyeruputnya sedikit demi sedikit. Rasa haus yg sedari tadi menderanya mulai berkurang. "Manis. Seperti yg buatnya." Puji Bima membuat Tiara makin salah tingkah.                 "Ngga usah gombal Mas."                 "Kenapa mesti gombal kalau kenyataannya seperti itu." Bima tersenyum melihat wajah Tiara yang semakin memerah. Tiara memilih pergi ke dapur menyiapkan makan malam daripada terus disana dan terkena serangan jantung. ***                 Tiara melongok dari dapur Bima tengah menghubungi seseorang. Sepertinya bengkel langganannya. Ia tampak sedang marah karena mobil kesayangannya kembali ngadat.                 "Maaf. Aku berteriak di rumah mu." ucap Bima tak enak saat melihat Tiara menghampirinya.                 "Ngga apa Mas. Ada masalah?"                 "Itu soal mobil ku, tapi sudahlah toh mobil sudah tua jadi sering sakit-sakitan." Tiara hanya beroh ria.                 "Oiya Mas pamit ya. Ponsel Mas juga sudah lumayan batrenya, paling di rumah di isi lagi. Makasih atas pinjaman charger dan teh manisnya."                 "Eh... Makan dulu Mas. Aku udah masak untuk makan malam." Jujur Tiara tak ingin Bima pergi dari rumahnya. Ia masih ingin bersama pria yang sudah mencuri hatinya itu.                 "Aduh ngga usah. Jangan repot-repot segala. Saya..."                 "Apa karena makanan yang Tia buat sederhana gitu? Ngga seenak masakan yang di buat istri Mas dirumah makanya Mas menolak ajakan Tia untuk makan." ucap Tiara dengan nada sedih.                 "Bukan gitu Tiara... (Bima terdiam sejenak) Baiklah Mas makan dulu sebelum pulang." Raut wajah Tiara kembali bersinar. "Yang benar Mas?" Bima mengangguk.                 "Asik... makasih ya. Maaf kalau menu makan malamnya sederhana. Tia ngga tahu kalau kita bakalan ketemu."                 "Gpp." Saat tudung nasi di buka, harum aroma masakan Tiara menggugah seleranya. Sayur asem, ayam goreng serundeng, tahu goreng, sambel dan juga potongan timun sebagai lalapannya tersaji di depan mata.                 "Maaf ya Mas cuma ada ini, Tia lupa belanja pulang kerja tadi."                 "Ini masakan istimewa buat Mas. Makasih ya karena udah membuat Mas mengingat masakan rumah. Ini kamu yang masak?"                 Tiara mengangguk, "Iya Mas. Silahkan di cicipi."                 Bima mengulurkan piring ke arah Tiara, dengan canggung Tiara mengalasi makanan untuk Bima. Tiara sangat senang karena Bima makan dengan lahap. Tak hanya itu ia pun sampai nambah lagi karena sangat menikmati masakan buatannya.                 Sedari tadi Bima terus memperhatikan gerak gerik Tiara yang begitu luwes dalam melayani dirinya. Jauh berbeda dengan Astrid istrinya. Bisa di hitung Astrid masak masakan rumah untuknya. Ia memilih menyewa jasa katering untuk makan sehari-hari keluarganya.                 Tapi Tiara memilih memasak sendiri menu yang akan ia santap dan rasanya sangat enak. Benar-benar khas masakan rumah. Tak hanya itu Tiara juga tak pernah lupa mengisi gelasnya dengan air putih. Jujur jika Bima tengah lahap seperi itu, ia sering sekali tersedak. Untuk itulah Tiara selalu mengisi gelasnya jika sudah kosong.                 "Pokoknya terima kasih banyak untuk bantuan kamu hari ini. Mas benar-benar senang bisa mengenal kamu, Tiara. Kamu wanita yang baik dan mandiri. Pasti banyak laki-laki di luar sana yang berebut ingin memperistri kamu. Mereka lelaki yang beruntung jika bisa menikahi wanita seperti kamu." ucap Bima sebelum ia pamit pulang.                 "Apa aku juga salah satu wanita yang beruntung jika bisa memiliki Mas?" ucap Tiara ceplos, membuat Bima mengerenyitkan dahinya.                 "Apa maksud kamu Tiara?"                 "Jangan pura-pura ngga tahu Mas. Aku tahu Mas mengetahui kalau aku menyukai Mas sejak pertama kali kita bertemu, apa aku bisa menjadi milik Mas? Aku ngga mau pria lain selain Mas." Bima tak percaya dengan apa yang di dengarnya. Bagaimana bisa Tiara mencintainya sementara ia sendiri tahu kalau dirinya sudah menikah.                 "Tiara hentikan! Cukup sampai disini. Aku harap kita tidak bertemu lagi." ucap Bima sambil melangkah pergi.                 Saat pintu akan di buka, Tiara memeluknya dengan erat. "Aku mohon jangan tinggalin aku Mas. Aku sayang dan cinta sama Mas. Aku ngga peduli dengan status Mas yang sudah menikah, selama aku bisa jadi milik Mas aku ngga pernah mempermasalahkannya." Tiara tak mau membohongi dirinya lagi.                 "Kamu sudah gila. Aku berharap kita tidak akan bertemu lagi. Selamat tinggal!"                 Bima berlari keluar rumah mengabaikan teriakan Tiara yang terus memintanya untuk tetap tinggal. Tiara tak berani melangkah lebih jauh lagi karena tetangganya bisa mendengar. Tubuhnya merosot ke lantai. Tangisnya pecah sejadi-jadinya. Hatinya sangat sakit mendapat penolakan, tapi lebih baik dari pada tidak mendapat jawaban sama sekali. *** TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN