Kucing Tanpa Meongan

2533 Kata
"Kenapa kau tidak bisa melakukannya?" tanya Milka benar-benar kebingungan. "Sabarlah sedikit." Sahut Rimpu sembari mencobanya. Dia mulai gelisah dan gugup. Namun berapa kali pun Rimpu mencoba mengeong, tidak ada apapun yang mereka rasakan disana. "Coba lagi ... coba lagi!" gumam Rimpu berusaha amat keras akan tetapi mau bagaimana pun dia mengeong, hasilnya tetap sama saja. "Kau tidak bisa melakukannya...? Bahkan untuk sekedar mengaktifkan warpzone saja kau tidak bisa?" tanya Milka terheran-heran kenapa Rimpu tidak bisa mengeong. "AKU PASTI MEMILIKINYA!!" bentak Rimpu. Rimpu mulai tertekan dan depresi menyelimutinya. Setelah berkali-kali Rimpu mencobanya namun hasilnya tetap saja sama. Ia mulai terengah-engah, entah sudah berapa kali Rimpu mengeong dan mencobanya. Milka hanya terpaku terdiam melihat Rimpu. Bagaimana mungkin seekor kucing bisa tidak memiliki meongan? Begitu pikir Milka. Milka mulai merasa sedih melihat Rimpu berusaha begitu keras seperti itu. "Kau pasti bisa!" kata Milka menyemangati Rimpu. "Ayolah ... aku mohon—ayolah! Aku bisa melakukannya!" gumam Rimpu tanpa lelah terus mencoba mengeong untuk mengaktifkan warpzone. "Kau pasti bisa melakukannya, Rim! Teruslah berusaha!" Milka terus menyemangati Rimpu akan tetapi tidak ada artinya, seberapa kerasnya pun Rimpu berusaha, semuanya hanya sia-sia belaka. Tidak ada yang terjadi. Pada akhirnya, sekeras apapun Rimpu mencoba hasilnya tidak akan berubah. Dia seekor kucing yang tidak memiliki meongan. Seekor kucing terdengar tertawa. "Percuma saja. Kau memang tidak punya bakat dan meongan, anak muda!" ledek salah seekor kucing yang ternyata adalah Hatim bersama dua rekan kucing komplotannya yang kebetulan sedang lewat. "Jangan mengoloknya! Kalian pergi dari sini...!!! " gertak Milka sembari berpose siaga berada di depan Rimpu seakan-akan hendak melindunginya. "Terima saja, kau memang terlahir tanpa meongan," ledek Hatim sembari tertawa licik. "Dasar kucing payah tidak berguna!" "... Kucing tanpa meongan!" sahut salah seekor kucing rekan Hatim sambil tertawa. "Dasar anak kucing aneh." Mendengar itu, Rimpu hanya terdiam. Ia tidak balas melawan atau bereaksi apapun. Rimpu sudah cukup terpukul mengetahui tentang keadaan dirinya yang ia anggap useless. Sambil terengah-engah kelelahan karena terus mencoba mengeluarkan meongan, Rimpu diam membisu mendengarkan ejekan kucing-kucing berandal tersebut. "Percuma saja kau mengajarinya, Milka! Kucing muda ini tidak akan pernah bisa menggunakan meongan karena dia memang tidak memilikinya. Dia layaknya barang milik manusia yang sudah rusak dan tak berguna." Kata Hatim pedas sambil berjalan beranjak dari Rimpu dan Milka. "Sayang sekali, Rida malah mengambil kucing tidak berguna seperti ini menjadi peliharaannya." Celetuk Agut, nama salah seekor kucing komplotan Hatim tersebut. Mendengar ejekan mereka Rimpu langsung berlari naik keatas atap dan lari menuju rumahnya meninggalkan Milka dan komplotan Hatim. "Rimpu!!!!" panggil Milka melihat Rimpu tiba-tiba pergi begitu saja. Sementara itu Rimpu terus berlari dengan kencangnya, melompati atap-atap rumah warga menuju loteng rumah Rida. Raut wajahnya mengguratkan kesedihan. Rimpu menangis dalam hatinya. Kenapa! Kenapa! KENAPA...!!! Pikir Rimpu lirih dalam hati. Dia sangat berputus asa. Rimpu pun sampai di depan teras loteng rumahnya. Dia langsung naik ke teras lalu masuk ke dalam loteng rumah Rida. Disana telah Rimpu dapati Unyis X sedang duduk berdiri menunggu. "Baru saja ibu mau mengontakmu ingin memanggil, karena makanan telah siap." Rimpu hanya menatap kosong Unyis X dengan raut muka yang teramat sedih. "Kenapa?! Ada apa nak? Apa yang terjadi?" tanya Unyis X melihat ekspresi Rimpu yang berbeda dari biasanya. Telah terjadi sesuatu. "Apakah itu benar, ibu?" tanya Rimpu lirih. "Tentang apa?" Unyis X kembali bertanya namun seolah ia sudah dapat mulai menebak hal ini terkait dengan apa. Bahwa Rimpu telah mengetahui kondisi dirinya. "Kenapa Ibu tidak bilang? Bahwa aku ... kucing yang terlahir tanpa meongan." Kata Rimpu lirih. "Bahwa aku memang tidak memilikinya seperti kucing lain." Mendengar hal tersebut Unyis X hanya terdiam tak menjawab, dia menatap Rimpu dengan serius. Unyis X kemudian duduk tengkurap dan sedikit mengalihkan wajahnya. Ia seperti tidak tega melihat raut wajah anaknya yang sedang ditampar oleh kenyataan pahit. "Kenapa ibu tidak bilang? Kenapa aku berbeda ibu, kenapa...?!" tanya Rimpu. "Apa kau mengingat ucapan ibu tadi pagi? Ketika kita melihat matahari terbit?!" tanya Unyis X. "Seberapa gelapnya pun malam, pada akhirnya cahaya akan selalu terbit. Hanya ini yang perlu kau pahami nak! Kelak ... cahayamu sendiri juga akan terbit. Ibu sengaja tidak ingin memberitahumu. Bahkan, jika kau mengetahui kekuranganmu itu lebih awal, itu tidak akan mengubah keadaannya, Rim." Mendengar itu, Rimpu semakin sedih. Dia berjalan pelan, naik ke kursi kayu yang ada di pojok loteng dekat tangga kemudian berbaring di atasnya. Perasaan Rimpu benar-benar hancur saat ini. Hatinya patah dan terluka. Rimpu sangat putus asa dengan kenyataan pahit yang sekarang ia terima. "Makanlah!" pinta Unyis X. "Rida sudah berangkat! Makananmu telah siap." "Ibu saja dulu yang makan," gumam Rimpu tanpa ada semangat sama sekali. Dia benar-benar terpuruk. "Aku hanya ingin tidur saja, ibu." Rimpu memejamkan matanya dan melingkarkan tubuhnya. Tiba-tiba ada suara hentakan kaki kucing pada seng atap rumah tetangga dan suara hentakan kaki kucing itu datang menuju teras loteng Rida. Seekor kucing sedang menaiki terasnya. "Apa Rimpu baik-baik saja?" tanyanya kepada Unyis X. Kucing itu ternyata adalah Milka yang sengaja datang untuk melihat keadaan Rimpu. "Tenang saja Milka, ia tidak apa-apa." Jawab Unyis X. "Aku mengkhawatirkan keadaannya." Kata Milka juga nampak sedih sambil menceritakan kepada Unyis X apa yang tadi terjadi. Jadi begitu, komplotan Hatim yang memberitahunya? Pikir Unyis X. "Milka, Rimpu tidak apa-apa kok, dia hanya butuh tidur saja sekarang ini." Kata Unyis X sembari sedikit memandikan Milka dengan enzim lidahnya. Unyis X juga nampak menyayangi kucing-kucing muda seperti Milka, memandangnya sama seperti anak-anaknya. "Apa kau sudah makan?" tanya Unyis X pada Milka. "Aku makan bareng ibuku saja nyonya Unyis." Jawab Milka seraya kepalanya celingukan, mencoba melihat keadaan Rimpu yang samar-samar berada dalam kegelapan ruangan, berbaring di atas kursi di pojokan. "Apa itu benar nyonya Unyis? Tentang meongan dari Rimpu?" Milka bertanya. "Sepertinya begitu nak," jawab Unyis X menoleh ke arah Rimpu yang sedang meringkuk. Mendengar percakapan Unyis X dan Milka tersebut, nampak wajah sedih dari Rimpu, ia mengerutkan wajah dan mata dalam lingkaran tidurnya. Rimpu tidak bergerak sama sekali dan tetap memilih tidur walaupun sekarang dia tahu Milka sedang ada di luar teras loteng rumahnya. "Dia ada bersamaku, Ute." Kata Unyis X menerima suatu panggilan telepati. "Milka, Ibumu tadi mengontak. Ia menanyakan apakah kau ada bersama Rimpu. Pulanglah nak." Pinta Unyis X. "Rimpu tidak apa-apa kok. Besok dia juga pasti akan kembali seperti biasa." "Baiklah nyonya Unyis," jawab Milka sembari sesekali kembali menengok ke dalam ruangan loteng untuk melihat keadaan Rimpu. Milka beranjak dari sana dengan keadaan sedih. *** Seharian itu Rimpu hanya tiduran saja sampai menjelang sore, dia bahkan belum mau makan. "Kalau kau tidak makan dan terus begitu, kau akan sakit." Kata Unyis X. "Dan tuan Rida pasti akan sangat sedih jika kau sakit Rim." Namun Rimpu tetap diam, tidak menggubris ucapan Unyis X tersebut. "Tidak ada yang bisa kau ubah nak! Kau harus coba menghadapi kenyataan ini. Akan tetapi ... ibu akan menunjukanmu apa itu kekuatan yang sebenarnya. Ibu akan mengajarkanmu sesuatu yang berguna." Telinga Rimpu sedikit bergeming mendengarnya. "Mengajarkan apa?" gumam Rimpu penasaran namun tetap dalam keadaan sedih. "Pelajaran hidup dan sesuatu yang bisa kau gunakan nak." Jawab Unyis X. "Aku tidak tertarik!" gumam Rimpu semakin dalam meringkuk. "Hmmm. Ibu tidak bisa berbuat apa-apa dengan meonganmu itu tapi ibu akan mengajarimu cara mencakar." Apa yang dikatakan Unyis X tersebut berhasil menarik perhatian Rimpu. Dia seakan mendapatkan secercah harapan. "Ibu akan melatihmu Rim dan dia juga pasti bisa membantumu. Mungkin dalam beberapa hari lagi nanti dia akan pulang." Kata Unyis X sedang membicarakan seekor kucing. "Maksud ibu siapa?" tanya Rimpu penasaran dengan kucing yang dimaksud Unyis X tersebut. "Seorang balam raja, Rimpam! Kucing Ahmad Rida yang lain." "Balam raja? Rimpam?" gumam Rimpu, akan tetapi dia terus melanjutkan tidur murungnya. *** Malam itu Rimpu akhirnya tertidur namun dia sempat makan terlebih dahulu. Walaupun perasaannya campur aduk dan tidak karuan, Rimpu tetap makan ketika ia disuruh oleh Rida yang datang dari kerja dan kuliahnya sekitar jam sepuluh malam. Rida mengira Rimpu sakit. Karena tidak tega melihat raut wajah Rida yang mencemaskannya, malam itu sebelum tidur Rimpu akhirnya makan dengan lahap dihadapan Rida walau hatinya sedang hancur. Dalam kesenyapan malam, dari luar teras loteng rumah Rida, terdengar langkah kedatangan dua ekor kucing. Unyis X yang telah tidur melingkar dengan kedua ujung kaki dan tangannya berpangku dibawah kepala—kemudian terbangun dan beranjak berjalan keluar menghampiri dua kucing tersebut. Kebetulan malam itu Rida lupa menutup pintu teras loteng rumahnya. Sebenarnya Rida kadang sering melakukannya, yakni lupa menutup pintu teras loteng rumah pada malam hari. Unyis X terlihat mendatangi dua ekor kucing yang telah menunggunya di teras. "Ternyata kalian sudah datang! Maaf memanggil kalian kemari." Kata Unyis X pada mereka berdua. "Tidak masalah nyonya Unyis. Kapan pun anda butuh kami, kami siap datang." Jawab salah seekor kucing putih hitam agak abu-abu berekor panjang bernama Kital. "Terima kasih, Kital!" sahut Unyis X. "Ada yang bisa kami bantu untuk anda?" tanya seekor kucing lagi yang berwarna oren putih dominan berekor panjang bernama Senru. "Begini, Senru! Kital! Kalian pasti sudah tahu dan mendengar kabar bahwa Rida memelihara seekor kucing muda, iya kan?" "Ya, kami telah mendengarnya. Para kucing di Batu Kunawa telah sering membicarakannya. Bahkan dari yang kudengar, dia anak kucing yang tidak memiliki meongan. Apa itu benar nyonya?!" tanya Senru. "Ya, itu benar! Kalau kalian sudah mengerti berarti kalian juga paham kenapa aku memanggil kalian kemari. Aku ingin ketika kalian beraktifitas seperti biasa, juga sambil mengawasi dan melindungi anak itu." Pinta Unyis X. "Apa permintaanku berlebihan?" "Tentu saja tidak nyonya Unyis. Dengan senang hati kami akan melakukannya." Jawab Kital. "Anda adalah Unyis peliharaan Rida." "Benar!" sahut Senru mengangguk. Dua ekor kucing tersebut sangat jelas terlihat merupakan loyalis dari Unyis X. Mereka kucing yang setia dan loyal terhadap Unyis Rida. "Aku sangat mengkhawatirkan anak itu. Kalian tahu sendiri kan, dengan Rida memelihara anak itu, artinya secara De Jure dia merupakan Unyis Rida berikutnya." Kata Unyis X menatap mereka berdua. Kedua kucing itu hanya mengangguk. "Kami mengerti dan kami akan bantu mengawasinya." Jawab Senru. "Aku juga pasti akan selalu menjaga dan mengawasinya akan tetapi aku akan lebih terbantu jika kalian juga ikut menjaganya." Lanjut Unyis X. "Tenang saja nyonya Unyis, kami akan ikut menjaganya karena dia juga adalah peliharaan dari tuan Rida. Lagipula, setelah tuan Rimpam datang ... pasti tidak akan ada kucing yang berani mengganggunya." Kata Senru. "Ya, tapi sudah beberapa minggu ini dia belum ke rumah Rida lagi," Unyis X membicarakan Rimpam, salah satu dari 4 balam raja di Batu Kunawa. "Kudengar kucing itu terlalu fokus memperluas daerah teritorinya di sekitaran wilayah g**g Enam sekarang ini." "Mana anak itu sekarang?" tanya Senru. Kepalanya sedikit menoleh ingin melihat Rimpu. "Dia ada di dalam, sedang tidur!" jawab Unyis X. "Ketika aku mendengar rumor yang beredar di Batu Kunawa bahwa anak kucing yang baru dipelihara tuan Rida itu kucing tanpa meongan, aku sangat terkejut. Belum pernah kudengar ada hal semacam ini sebelumnya." Kata Kital. "Apa itu bisa terjadi nyonya Unyis?" "Aku pun begitu," sahut Senru. "Aku baru tahu kucing bisa terlahir tanpa meongan." "Seperti itulah. Aku juga tidak menyangka. Anak itu sebuah anomali langka bagi kucing." Jawab Unyis X. "Sebagaimana lubang setan milik Je t'aime, sang Silver Unyis J dahulu—yang juga adalah anomali dalam hal jurus dan teknik cakaran yang tidak pernah dilihat oleh kucing manapun sebelumnya, anakku Rimpu pun sebuah misteri." "Rupanya ... berita kondisi Rimpu itu telah tersebar ke semua kucing di Batu Kunawa, ya? Hah, ini pasti karena ulah Hatim cs." Unyis X mencurigai Hatim yang menyebarkan kabar bahwa Rimpu tidak memiliki meongan. "Hatim? Kucing yang satu itu memang menyebalkan dan pembuat masalah." Kata Kital nampak geram. "Apa anda mau aku berkonfrontasi dengan Hatim, nyonya Unyis? Dan mencaplok wilayah-wilayah kekuasaannya?" tanya Kital. "Dengan senang hati aku akan memberi pelajaran pada garong yang satu itu." "Tidak, tidak. Kau tidak perlu melakukan sampai sejauh itu hanya karena masalah kecil seperti ini." Jawab Unyis X. "Lagipula ... Hatim memiliki tidak sedikit komplotan. Jika komplotanmu dan komplotannya rusuh dan melakukan pertikaian, maka itu akan mengganggu stabilitas dan salah satu balam raja pasti akan turun tangan lalu pada akhirnya, mereka akan melucuti semua wilayah kekuasaan kalian berdua! Jangan bertindak sampai sejauh itu, Kital." "Baik! Nyonya." "Baiklah kalian boleh pergi, hanya itu saja yang ingin kupinta dari kalian." "Kami mengerti! Kalau begitu kami pamit dulu. Perintah anda akan kami laksanakan." Jawab Senru sembari naik ke pembatas teras lalu turun kebawah atap rumah warga dan beranjak pergi dari sana. Dia menunggu Kital. "Ayo, Kital!" "Kalau begitu, aku juga pamit nyonya Unyis!" Kital juga pamit permisi dari hadapan Unyis X. "Terima kasih atas bantuan kalian berdua." "Tidak masalah nyonya Unyis." Senru dan Kital pun beranjak dari sana. Tidak lama setelah itu seekor kucing kembali datang. Kucing bertubuh besar dan garang serta dipenuhi bekas-bekas luka disekujur tubuhnya, bulunya tampak amat kusam berwarna oren dominan dengan sedikit corak putih mirip corak warna Rimpu dan juga berekor pendek. "Ternyata kau ...." gumam Unyis X melihat kedatangan kucing tersebut. "Aku mendengar apa yang tadi kau bicarakan dengan Kital dan Senru. Kudengar kabarnya anak itu memang tidak berguna!" kata kucing tersebut sinis dengan suara yang berat. "Kenapa kau baru pulang sekarang, Rimpam!" tanya Unyis X beralih dari duduk tegak menjadi duduk santai (tengkurap). Kucing itu ternyata adalah Rimpam, salah satu dari balam raja yang baru saja Unyis X bicarakan. "Aneh kau butuh waktu lama untuk satu petak wilayah saja." "Hah ... di g**g Empat akan dibuka satu warung makanan baru. Beberapa kucing dari g**g Enam, g**g Tujuh dan g**g Empat sedang berebut wilayah potensial tersebut. Aku jadi lebih terobsesi untuk mengambil alih sebagian teritori disana makanya butuh waktu lama." Jawab Rimpam yang juga berduduk santai. "Sifatmu memang seperti itu. Aku sangat mengenal sikap agresormu itu." "Jadi, itu anak yang sedang dibicarakan di kampung ini? Kucing tanpa meongan!" Rimpam menatap kearah Rimpu yang sedang tidur melingkar. "Benar! Anak itu seekor kucing tanpa meongan." Jawab Unyis X juga menatap Rimpu yang tertidur nyenyak melingkar di atas kursi tempat ia tidur. "Dengan kata lain ... calon Unyis Rida berikutnya merupakan Unyis terlemah dan kucing paling tidak berguna sepanjang sejarah." Kata Rimpam sembari langsung tiduran dengan kepalanya diletakkan diatas ujung kaki dan tangannya sebagai tumpuan. Sepertinya dia agak lelah. "Tetapi tuan Rida telah memilihnya untuk menjadi peliharaannya," sahut Unyis X. "Aku ingin mengajarkan anak ini cakaran." Unyis X terus menatap Rimpu. "Sia-sia saja jika dia tidak bisa mengaktifkan warpzone-nya sendiri." Sahut Rimpam skeptis, sambil mulai memejamkan kedua matanya. "Setidaknya Rimpu bisa membela dirinya sendiri di dalam warpzone kucing lain jika dia menguasai cakaran." Sahut Unyis X. "Sebagai Unyis, kau mulai berpikiran irrasional dan tidak masuk akal hanya demi anak itu. Bagi yang kualitas meongannya kecil dan buruk saja akan kepayahan ketika di dalam warpzone yang kuat. Apalagi baginya yang tidak punya meongan sama sekali?" "Aku akan tetap mengajarinya teknik mencakar yang benar. Kuharap kau juga mau membantu mengajarinya, Rimpam." Pinta Unyis X. "Cih, aku tidak mau!" Rimpam langsung menolak. "Aku tahu kau pasti akan menjawab seperti itu." Unyis X juga berbaring tidur dengan posisi kepala bertumpu diatas ujung kedua lengannya. "Anak itu baru beberapa hari ini disini tetapi bisa kulihat dari wajah tuan Rida, dia amat menyukai dan menyayangi kucing ini." Unyis X mulai memejamkan matanya. "Bagaimanapun, anak ini sekarang adalah anakku. Aku tidak ingin dia terluka dan merasa tidak berguna." Rimpam membuka sebelah matanya dan mengarahkan pandangan kepada Rimpu yang tidur diatas kursi. "Jangan bicara lagi, aku lelah!" sahutnya kembali tidur.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN