Mendapatkan Nama Rimpu

2871 Kata
Petang sudah hampir berakhir! Malam pun hampir menjelang. Seharian sudah Oren menjelajahi kampung namun ia hanya menjelajahi setengah dari wilayah g**g Delapan saja di Batu Kunawa. Masih ada beberapa g**g lain di kampung itu seperti g**g Tujuh, g**g Enam dan g**g Sembilan. Di Batu Kunawa ... g**g Tujuh serta g**g Sembilan memiliki lebih banyak populasi kucing dibandingkan dengan populasi di g**g Delapan. Oren kembali ke titik semula dimana dia biasa tidur dua hari belakangan yaitu dekat dengan rumah pria yang dulu membawa dan memungutnya. Pria baik itu kadang juga suka memanggil Oren ketika ia hendak memberi makan kucing-kucingnya di depan rumahnya. Namun sepertinya pria itu tetap tidak berniat untuk mengadopsi Oren secara penuh. Di malam yang dingin itu Oren mulai bersantai, menjilati seluruh badannya dengan air liur antiseptik (enzim) yang memang dimiliki seekor kucing. Dia membersihkan diri dan mandi untuk membuang bakteri yang seharian ia kumpulkan menumpuk disekujur tubuh. Oren sebagai kucing punya common sense yakni jika tidak dijililat atau mandi dengan air liur ... tubuhnya bisa terserang penyakit dan masalah kesehatan lainnya. Setelah puas mandi dengan m******t dirinya sendiri dan dengan perut yang sudah agak lumayan kenyang, Oren hanya tinggal bersantai menikmati panjangnya malam sambil menunggu matanya terlelap dan tertidur pulas. Padahal tadi siang dia juga sudah puas tidur namun begitulah para kucing, tidak pernah puas akan tidur. Tidur adalah sebagian besar dari kehidupan mereka. "Aku suka di kampung ini. Aku harap aku bisa bertemu dengan induk yang hebat itu lagi ...." Oren bergumam, dia masih teringat akan sosok kucing betina luar biasa yang tadi siang ia temui. Oren kecil merasa perlu belajar darinya untuk menjadi kucing yang tangguh dan tahan banting. Dari kegelapan malam yang menghanyutkan suasana senyap di tempat itu, tiba-tiba ada suara yang memanggil dan menyapa Oren. "Hei ... kau!" sapa salah seekor kucing. Ternyata dia adalah kucing yang Oren temui tadi pagi, seorang kucing pemburu ramah yang menyarankan Oren untuk mendatangi rumah seorang manusia. "Halo paman, apa kabar?" sapa Oren. "Bagaimana hari ini? Apa sudah kerasan disini nak?" tanyanya. "Tempat ini menyenangkan dan jauh lebih baik dari tempatku sebelumnya dimana hanya ada para manusia, jarang sekali ada kucing lain disana." Sahut si Oren. "Apa kau sudah kenyang, nak?" "Sudah paman, mataku sudah sangat lelah, sebentar lagi juga akan tertidur." "Bagus kalau begitu! Hey, apa kau sudah mengunjungi rumah yang kumaksud?" "... emmm belum paman." "Sayang sekali. Dia pasti senang jika kucing baru sepertimu kesana." "Memangnya siapa dia?" tanya Oren penasaran. "Dia benar-benar menyukai kucing dan semua kucing di kampung ini sangat mengenalnya. Dia sangat sayang dengan semua kucing disini. Aku selalu betah jika kebetulan kesana dan bermain dengannya." Kata kucing tersebut, matanya berbinar-binar saat mencerita sosok manusia itu. "Sepertinya dia istimewa. Oh ya paman, apa kau kenal Unyis?" tanya Oren tiba-tiba. Kucing itu lantas tertawa. "Siapa yang tidak kenal dengan Unyis di kampung ini nak." Jawabnya sambil mulutnya menguap kemudian ia m******t ujung lengannya. "Makanya nak, kau kunjungilah rumah itu. Nanti kau juga akan tahu. Oh ya, kudengar komplotan Hatim tadi menyerangmu, ya? Itu biasa bagi kucing baru, tapi menyerang kucing kecil sepertimu—Bagiku itu sudah sangat keterlaluan!" kucing itu terlihat marah, "dan apa benar kau juga tidak punya meongan? Aku mendengarnya tadi saat berjalan-jalan. Mungkin dari salah satu kucing yang menyergapmu." "Sepertinya begitu paman. Meonganku belum muncul." Jawab Oren menghela nafas lalu juga menguap dan berbaring melingkarkan tubuhnya namun kedua matanya masih terjaga, belum terpejam. "Apa itu buruk paman? Belum punya meongan?" tanya Oren sembari menunggu terlelap. "Bisa dikatakan seperti itu. Meongan itu penting ketika kau bertarung nak. Itu cara kucing mengintimidasi lawannya." Jawabnya sembari kembali berdiri dan menggigit bagian tubuhnya yang gatal di dekat ekor. "Lambat laun kau akan menyadarinya, bahwa semakin kuat meonganmu ... maka itu akan semakin mengintimidasi lawan, memperlemah mental dan juga fisiknya dalam pertarungan. Akhirnya ... kau akan mendominasi dalam pertempuran dan mudah menyerangnya ketika ia menurunkan kewaspadaan." "Begitu ya. Oh ya, paman, aku penasaran dengan sosok Unyis itu. Dia kucing yang seperti apa?" tanya Oren sembari berbaring, matanya mengarah ke langit malam yang dipenuhi gemerlap bintang. "Nanti kau juga pasti akan mengenalnya. Unyis milik Rida itu sosok kucing yang amat kuat! Aku ingat dahulu waktu kecil sempat melihat ketika Unyis keempat Rida, Pendulum Unyis masih hidup dan berjaya. Itu sudah sangat lama." Rida? Siapa dia? Pikir Oren baru mendengar nama itu untuk pertama kalinya. "Unyis merupakan simbol yang amat disegani dan dihormati disini. Itu karena mereka dipelihara oleh tuan Rida." Oren melihat kekaguman di mata kucing itu ketika ia berbicara mengenai Unyis. Kekaguman yang sama seperti yang Oren rasakan tadi siang pada kucing betina belang tiga yang ia temui. "Sehebat itukah Unyis?" Oren makin penasaran dengan sosok Unyis yang diceritakan. "Iya. Aku pernah bertemu dengan tuan Karmak, sang Pendulum Unyis dan tentu saja Unyis Rida kelima yang sekarang, Unyis X." "Unyis X...?" gumam Oren. "Dan untuk para Unyis sebelumnya—aku tidak pernah sempat sezaman dengan mereka. Tapi ... dahulu ibuku pernah menceritakan bahwa ibu dari ayahnya dahulu sempat sezaman dengan tuan Kilir, Successor Unyis yang legendaris itu, bahkan konon dia adalah salah satu dari kontestan nenek buyutku saat musim kawin." Kata kucing itu penuh kebanggaan. Kucing tersebut menceritakan tentang betapa hebatnya Unyis Rida kepada Oren semalaman. Oren pun dengan antusias mendengarkannya. Oren tiba-tiba beranggapan bahwa para Unyis Rida ini memanglah keren. Bahwa legenda para Unyis di kampung ini terlalu membekas dalam benak para kucing disini dari generasi ke generasi. Bagaimana legendarisnya Judarik, Unyis pertama Rida yang dikenal sebagai Legendary Unyis. Kemudian pencapaian Kilir, Unyis kedua Rida yang dikenal sebagai Successor Unyis terhadap daerah kekuasaannya yang luas. Lalu Je t' aime, Unyis ketiga Rida yang dikenal sebagai Silver Unyis J karena bulunya berwarna putih abu-abu dan merupakan Unyis yang termuda. Silver Unyis J juga memiliki gelar si hantu abu-abu (silver ghost) karena konon ia tak terkalahkan dalam pertarungan. Kemudian Karmak, Unyis keempat Rida, si Pendulum Unyis yang konon terkenal brutal saat bertarung. Lalu yang terakhir adalah Luri, Unyis Rida sekarang yang dikenal sebagai Unyis X. Total ada lima Unyis yang pernah dipelihara oleh Rida hingga saat ini. "Apa kau lihat benda bulat besar yang menerangi di atas langit sana?" tanya kucing itu memandang bulan yang bersinar terang di langit malam. "Konon itu adalah batu raksasa yang dilempar oleh tuan Judarik sang Legendary Unyis untuk menerangi malam di kampung ini." Kata kucing itu benar-benar mengimani sebuah mitos tak masuk akal tentang Judarik, sang Legendary Unyis. "Mustahil! Apa itu mungkin paman? Bisa melempar benda sampai setinggi itu?" kata Oren terperangah, takjub dengan cerita itu. Malangnya, dia juga mempercayai kebodohan itu. "Aku sebenarnya juga sulit percaya, namun sepert itulah kenyataannya!" jawab kucing tersebut sangat mempercayai mitos dan legenda terkait sosok Unyis pertama yang terlalu dibuat hiperbolik, entah sejak kapan dan oleh siapa. "Luar biasa!" gumam Oren semakin kagum dengan legenda para Unyis Rida yang didengarnya. Lalu kemudian ada seekor kucing yang lewat dan menghampiri mereka. Kucing berwarna full kuning dengan ekor sedang namun agak patah. "Kau mau kemana Arnot?" tanya kucing tersebut kepada sang kucing kuning. "Biasa ... aku mau berburu diatas atap siapa tahu ada gerombolan tikus yang lewat. Mau ikut?" Ajaknya. Rupanya dia seekor kucing pemburu. "Baiklah aku ikut." Sahutnya. "Oh iya, kucing tanpa nama, namaku Igus ... setidaknya itu namaku sekarang. Nama itu berharga karena diberikan oleh tuan Rida. Sampai jumpa lagi nak." Kata si Igus, nama dari kucing itu yang izin pamit untuk beranjak meninggalkan Oren. "Baiklah paman Igus." "Mau ikut kami nak?" ajak Arnot pada Oren. "Siapa namamu?" "Tidak! Aku mau tidur saja. Aku ngantuk. Emm ... nama? Sepertinya sejak lahir aku belum punya nama." Kata Oren menguap lebar. "Benarkah?" tanya Arnot. "Ayolah...! Nanti para mickey mouse itu keburu kabur." Desak Igus. Mereka berdua lalu pamit, berlari bergegas memburu tikus. Malam itu Oren kecil memikirkan banyak hal termasuk tentang bagaimana legenda para Unyis Rida telah sangat menginspirasi dirinya. Memberi harapan dan impian baginya untuk menjadi kucing yang kuat, mandiri dan keren. Oren malah sangat ingin bertemu dengan sosok Unyis itu. Tanpa terasa matanya mulai menutup! Kantuknya sudah tak tertahankan lagi. Hari itu berakhir ditutup oleh senyapnya malam di kampung Batu Kunawa. *** Pagi kemudian menyingsing diiringi bunyi kokokan ayam. Oren masih terlelap nyenyak! Tak lama setelah itu ia terbangun. Dia mendengar suara bising yang ternyata adalah suara manusia sedang menyalakan kuda besinya yakni sepeda motor. Oren masih tetap mencoba memejamkan mata namun suara bising membuatnya sulit tidur kembali. Kedua telinganya sesekali bergerak dan bergeming. Maklum saja, kucing memang memiliki kepekaan yang luar biasa terhadap rambatan suara. Oren mulai membuka matanya, langsung berdiri dan sesekali menggigit bulu di sekitaran tubuhnya yang terasa gatal. "Apa yang akan kulakukan hari ini?" gumamnya. Dia teringat kembali tentang saran Igus untuk mendatangi rumah seorang manusia. Oren telah bertekad bahwa hari ini ia akan ke rumah itu dan mencari tahu ada apa dibalik rumah itu. Oren teramat penasaran tentang rumor betapa baiknya sosok manusia yang tinggal disana. Oren hanya tidak tahu bahwa rumah itu terkait erat dengan semua cerita Igus tadi malam. Dengan mantap Oren mulai mengumpulkan kembali kesadarannya dari rasa kantuk dan bersegera beranjak dari sana. Oren kemudian berjalan menuju rumah yang dimaksud. Beberapa meter jauhnya dari tempat Oren tidur biasanya. Perlahan namun pasti ia mulai menuju ke rumah itu. Bukankah ini rumah yang ditunjuk oleh Milka dan kucing betina itu? Katanya dalam hati. "Rumah berwarna hijau itu!" Semenjak ia datang ke kampung ini, Oren merasakan betul bahwa rumah ini seperti membawa daya tarik tersendiri. Suatu perasaan yang sulit ia jelaskan namun perasaan itu terus ia abaikan sampai akhirnya Oren memberanikan diri untuk benar-benar mengunjunginya. Oren telah sampai tepat di teras dari rumah tersebut. Sebuah rumah berwarna putih dengan strip hijau dan pintu berwarna hijau! Oren merasakan glorifikasi yang sulit ia gambarkan dari tempat itu. Suatu hawa yang amat kuat, powerful dan terasa amat istimewa. "Perasaan apa ini?!" gumamnya sambil perlahan berjalan mendekati pintu. Oren mengendus-endus teras dan sekitaran rumah tersebut. Lalu suara gesekan dari pintu yang terbuka memecah perhatian dan fokus Oren. Ia memfokuskan kedua mata dan pandangannya ke arah pintu hijau yang mulai terbuka perlahan. Dari situ Oren mendapati seorang laki-laki keluar dari rumah tersebut. Seorang pemuda berusia sekitar 22 tahun namun dengan tinggi badan hanya sekitar 157 cm, tidak terlalu tinggi. Oren menatap nanar kepada sang pemuda itu. "Apakah dia orangnya?" Ada perasaan aneh semacam chemistry instan yang tiba-tiba dirasakan oleh Oren kepada sang pemuda. Pemuda itu lalu menoleh ke bawah dan untuk pertama kalinya ia melihat si kecil Oren. "Kau ...." ucapnya ketika melihat Oren. Wajahnya sumringah, "kau ini siapa kucing lucu?! Dari mana kau datang? Apa kau tersesat?" Pemuda itu langsung saja mengelus Oren. Terlihat dari sorot matanya dia amat senang melihat kehadiran Oren. Oren memiringkan kepalanya, membiarkan tangan si pemuda itu mengelus-elusnya. Oren merasa sangat nyaman dan langsung menaruh kepercayaan penuh pada pemuda tersebut. Ini sangat berbeda, aku bisa merasakan kehangatan dan ketulusan dari tangannya. Pikir Oren yang terlihat sangat senang dan menikmati elusan dari tangan sang pemuda. "Kau ini kucing siapa? Apa kau kucing liar? Semoga saja iya! Karena aku sangat ingin memeliharamu." Tegas sang pemuda dengan raut wajah super senang dan senyum lebar sumringah di wajahnya yang melukiskan kebahagiaan. Pemuda itu tak henti-hentinya mengelus kepala dan tubuh Oren. Oren kemudian rebahan dan menggesek-gesekan kepalanya. "Jadi seperti ini rasanya punya owner." Gumam Oren bersikap manja padanya. "Sekarang, aku benar-benar ingin punya owner! Tidak, tidak! Aku ingin orang inilah yang menjadi ownerku. Harus orang ini!" kata Oren yang memiliki tekad baru. Ini bukan pertama kalinya Oren dielus oleh manusia dan bermanja-manja ketika dielus manusia. Dia sering melakukannya ketika ia masih terlantar di kompleks pelajar waktu itu. Bahkan oleh pria baik yang telah memungut dan membawanya serta memberinya makan, Oren juga sering dielus. Tapi bagi Oren—perasaan dengan pemuda ini sangatlah amat jauh berbeda! Oren dapat merasakan perasaan yang membuncah bahwa dia ingin menjadi peliharaan dari manusia ini. Tekadnya amat kuat dan bulat. Dia ingin tinggal dirumah ini, bercengkrama dan bersahabat dengan pemuda ini. Oren ingin mengukir kisah hidupnya bersama pemuda itu. Kucing memang terlihat seperti hewan yang cuek dan apatis akan tetapi kucing memiliki perasaan sayang dan peduli yang amat besar kepada manusia yang baik kepada mereka terutama bagi owner mereka. Pemuda itu lalu memberi isyarat dengan membuat suara "cekcekcek" sembari mengumpan Oren dengan isyarat tangan agar Oren mau masuk ke dalam rumahnya. Tanpa pikir panjang Oren pun langsung masuk ke rumah itu dan pemuda itu pun kemudian menyiapkan makanan. Dia mencampurkan nasi serta lauk di sebuah wadah mangkok plastik kecil dan memberikannya kepada Oren. Oren langsung melahapnya, Kebetulan dia juga belum makan apa-apa sejak bangun pagi ini dan perutnya memang sedang lapar. Sang pemuda itu duduk di dekat Oren dengan wajah tersenyum lebar sembari menatap Oren makan dengan lahap. Wajah dari seseorang yang teramat senang dan bahagia! Ia mengelus-elus Oren selagi Oren menyantap makanannya. "Kau mirip dengannya." Kata pemuda itu teringat akan sesuatu. Oren melahap makanan itu sembari sesekali ia menatap sang pemuda. Ia akhirnya mengetahui dan mengerti kenapa kucing seperti Igus dan para kucing di kampung ini menyenangi dan menyayangi pemuda ini. "Makan yang banyak." Seru sang pemuda sambil mengelus kepala Oren. Makanan itu pun habis dilahap oleh Oren. Pemuda itu lantas mengambil wadah mangkok yang telah kosong tersebut yang hanya menyisakan sedikit nasi lalu memberi wadah lain berisi air untuk minum si Oren. Oren tertegun sebentar, menggoyang-goyangkan rahang dan mulutnya coba menghabiskan sisa makanan yang terselip diantara gigi dan taringnya. "Minumlah...!" pinta pemuda itu. Oren hanya menatap wadah berisi air tersebut, ia tahu itu adalah wadahnya untuk minum lalu Oren segera mendekatkan kepalanya ke mangkok itu dan menenggak airnya secara perlahan. Perasaan puas dan senang terlihat dari wajah sang pemuda. "Aku harap anak kucing ini tidak punya pemilik. Gumamnya dalam hati. Dia benar-benar menyukai Oren. Nampaknya pemuda itu sangat menginginkan Oren untuk bisa menjadi kucing peliharaannya. Setelah puas makan dan minum Oren beranjak keluar dan duduk di teras depan rumah sang pemuda. "Semoga kau betah disini dan tidak kemana-mana." Kata pemuda itu lalu kemudian masuk kedalam kamarnya. Sepertinya dia ingin kembali beristirahat atau mengerjakan sesuatu di dalam sana. Oren merasa sangat kenyang. Ia lalu menyibukan diri dengan m******t lengan kiri dan kanannya, melumurinya dengan liur antiseptik serta membersihkan hidung dan wajahnya dengan itu. Oren kembali celingak-celinguk sembari mengendus rumah tersebut. Ada hal aneh yang diendus oleh Oren, sangat menyengat dan itu cukup mengganggu penciumannya. Oren akhirnya menyadari bahwa banyak spot atau titik urine dari para kucing pejantan penanda teritori yang berada di sekitaran rumah tersebut. Jumlahnya lumayan banyak! Setelah berselang lama sang pemuda itu akhirnya kembali keluar kamarnya. "Ternyata kau masih disini?" pemuda itu tampak senang melihat Oren masih berada di pelataran rumahnya rebahan santai. Melihat sang pemuda kembali keluar Oren pun mengeong, langsung menghampirinya lalu menyeruduk kaki pemuda itu dengan kepala dan menggesek-gesekan tubuhnya ke kakinya. Ini merupakan ekspresi atau cara bagi seekor kucing untuk menyatakan diri bahwa orang itu adalah kepunyaannya, miliknya. "Kalau sudah bisa ku pastikan kau memang kucing liar maka kau akan jadi kucingku," gumamnya sembari mengelus kepala Oren. Oren terlihat sangat senang mendengar ucapan dari pemuda tersebut. "Tentu saja dengan senang hati." Jawab Oren dengan mengeong kepada sang pemuda. "Aku adalah Ahmad Rida!" ucap sang pemuda memberi tahu namanya, mengajak bicara Oren. "Oh, jadi namanya Rida...! Tuan Rida!" Oren menatap Rida. Oren melupakan sesuatu terkait nama itu. Anak kucing ini benar-benar pelupa. Pemuda itu tiba-tiba juga rebahan dan berbaring di dekat Oren. "Aahhh ... hari ini cukup melelahkan juga! Tapi cuaca hari ini terlihat cerah. Benar, kan?" ucap Rida sambil rebahan dan menatap Oren dengan tersenyum. "Aku akan langsung memberimu nama. Entah kenapa, aku merasa kau memang kucing liar dan tidak punya pemilik." Kata Rida. Saat ini Oren tentu amat senang mendengarnya terlebih saat dia tahu Rida akan memberinya sebuah nama. Oren belum pernah diberi nama sebelumnya bahkan oleh induknya dan Oren sudah bulat bertekad semenjak hari ini, bahwa ia akan terus kembali ke rumah Rida. Sebagai seekor kucing, Oren akhirnya menemukan tempat baginya untuk pulang. "Nama apa ya yang cocok untukmu?" gumam Rida. "Ahh baiklah ... aku tahu! Namamu adalah ..." belum selesai Rida menyebutkan nama untuk Oren, pria yang memungut Oren melihat Oren bersama Ahmad Rida. "Oh, disini dia rupanya!" "Apa dia kucing anda Pak Salman?" tanya Rida. Raut wajahnya sedikit resah. "Iya. Sebenarnya dia kupungut beberapa hari yang lalu di dekat sekolah Madrasah Tsanawiyah dekat Batu Tiban itu dan beberapa hari ini aku yang memberinya makan." Jawab Pak Salman tersenyum. Rida nampak kecewa setelah mengetahui bahwa Oren ternyata milik Pak Salman. "Peliharalah dia Rida. Kasihan, dia luntang lantung." Kata Pak Salman yang kemudian menceritakan bahwa ia dilarang istrinya lagi untuk menambah peliharaan kucing di rumah sehingga Oren tidak bisa ia pelihara dan tinggal di rumahnya. Mendengar itu, Rida tentu sangat senang. "Baiklah, terima kasih Pak Salman!" jawabnya. "Aku akan memelihara kucing kecil ini. Kebetulan aku juga bermaksud ingin memeliharanya. Aku menyukai kucing ini." "Nah, bagus kalau begitu nak Rida. Bapak senang mendengar kau mau memeliharanya." Kata Pak Salman tersenyum kemudian beranjak dari sana. "Baiklah ... Rimpu...! Sekarang namamu adalah Rimpu!" tegas Rida tersenyum lebar sambil mengangkat Rimpu dengan kedua tanganya. Oren sangat senang mendapatkan nama itu. Sekarang telah resmi, dia memiliki owner dan akhirnya juga memiliki sebuah nama. Mereka berdua saling menatap. Tatapan dalam hubungan antara dua makhluk Tuhan yang berbeda namun menyimpan perasaan yang sama. Kini Oren memiliki sebuah nama. Kini namanya adalah RIMPU...!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN