BAB 19

4157 Kata
"Eh?" Tuan Kevin yang baru saja terbangun dari pingsannya terkejut saat menyadari bahwa dirinya tengah berada di suatu ruangan yang gelap dan pengap. "Di mana aku?" Mengerjap-erjapkan matanya, Tuan Kevin mencoba menghirup oksigen sebanyak mungkin sebelum akhirnya membangunkan diri untuk duduk di atas ranjang yang merupakan tempat berbaringnya, demi mengamati tempat yang kini dihuninya. "E-Eh!?" Kevin semakin terkejut saat mengetahui bahwa bukan cuma dia satu-satunya yang berada di ruangan gelap dan pengap ini, ada Nico yang tidur di ranjang sebelahnya, ada pula Jeddy, Abbas, dan Victor yang sama-sama terlelap di atas ranjangnya masing-masing yang berjejer di depan kasurnya. "Ini maksudnya apa? Mengapa kami semua di sini? Apakah kami disekap oleh orang-orang jahat!? Untuk dijadikan sebagai b***k dan alat atau mungkin... KAMI BAKAL DIBUNUH DAN DIJUAL!?" Kehisterisan dan kepanikan Kevin mengagetkan teman-teman lelakinya yang tengah terlelap dalam tidurnya masing-masing, sehingga satu-persatu dari mereka membuka kelopak matanya dan menguap lebar. "Kau kenapa, Bro?" Jeddy lah yang pertama kali membangunkan badannya untuk terduduk di ranjangnya lalu bertanya pada Kevin dengan rambut hijau jabriknya yang semrawut bak rumput liar. "Apanya yang 'kenapa'!? Justru aku yang seharusnya bertanya begitu padamu! Kenapa kau dan yang lainnya bisa terlelap dengan begitu nyenyaknya di tempat asing seperti ini!?" Tanpa ba-bi-bu, Colin langsung menyerang Jeddy yang baru saja terbangun dengan semburan panas dari segala perkataannya. "Jawab! Sekarang kita ada di mana!? Bukankah kita baru saja sampai di Pulau Gladiol dan bersorak-sorai dengan bergembira!? Lalu ini di mana!? Mengapa kita jadi terjebak di tempat seperti ini!?" "Oi-oi-oi-oi, tenanglah, Bro," Jeddy jadi terheran-heran melihat Colin yang tampak super ketakutan seperti itu sampai wajahnya jadi memucat seperti mayat hidup. Mengangkat dua tangannya, Jeddy menyunggingkan senyuman lebarnya dan berkata, "Kita tidak sedang terjebak, Bro. Kita masih berada di Pulau Gladiol dan ruangan ini adalah tempat kita beristirahat di dalam Istana Sang Penguasa. Kau tidak tahu karena sebelumnya kau jatuh pingsan. Jangan panik, tenanglah, Bro." Mengatur napasnya pelan-pelan, Colin berusaha menenangkan dirinya sendiri agar tidak panik lagi seperti tadi. "Baik, lalu mengapa kita tidur di ruangan jelek seperti ini? Bukankah kau bilang ini adalah sebuah istana? Lalu mengapa kita tidur di kamar yang bagus dan mewah!? Kita ini orang-orang yang terpilih sebagai pahlawan, kan!? Mengapa Sang Penguasa begitu jahat pada kita!? Dan bagaimana bentuk dari makhluk bernama Sang Penguasa itu, aku belum pernah melihatnya! Apa kalian tadi sudah bertemu dengannya!?" Menggelengkan kepalanya, Jeddy mulai menjawab, "Tidak, kami belum bertemu dengan Sang Penguasa, katanya kita bakal bertemu dengannya besok pagi, Bro." "Lalu," Tiba-tiba terdengar suara Nico di sampingnya, membuat Colin segera menoleh dan tersentak melihat lelaki berambut putih itu telah terduduk di atas kasurnya tanpa memakai kaca matanya. "Alasan mengapa kita tidur di tempat seperti ini, itu karena tidak ada lagi ruangan layak yang bisa kita tempati, karena semuanya sudah penuh. Sebab, kita adalah kelompok terakhir yang datang ke istana ini, yang artinya, semua kamar elit sudah terisi oleh kelompok-kelompok yang datang sebelum kita. Kita sangat telat. Begitulah, Colin." "Kelompok-kelompok lain?" Mengernyitkan alisnya, Colin masih belum paham pada maksud dari sebutan itu. "Selain kita, ada kelompok-kelompok pahlawan lain dari berbagai negara yang juga datang ke pulau ini, mereka datang bersama mentornya masing-masing." tambah Victor, turut menjawab ketidakpahaman dari pikiran Colin. "Tapi ini luar biasa sekali, ya? Ternyata bukan hanya kita yang terpilih menjadi seorang pahlawan, di setiap negara lain pun ada sepuluh manusia yang terpilih menjadi pahlawan dan itu benar-benar menakjubkan. Kita bisa berteman dengan mereka dan bisa saling membantu dalam menumpas kejahatan! Bukankah itu terdengar sangat hebat!? Hehehe!" Mendengar omongan Victor, Abbas segera angkat suara, sembari menghela napasnya dengan berat. "Tidak mungkin semudah itu," kata Abbas, yang nadanya jadi terdengar tidak bertenaga. "Karena sepertinya besok pagi kita akan bersaing dengan mereka untuk mendapatkan pengakuan dari Sang Penguasa. Tapi, itu hanya dugaanku saja." Hening dalam seketika. "Ya, itu benar sekali," Setuju pada opini yang dikemukakan oleh Abbas, Nico menganggukkan kepalanya. "Pada akhirnya, kita memang akan berteman dengan kelompok-kelompok mereka, tapi untuk sekarang, sepertinya kita tidak boleh menganggapnya demikian. Sebab, persaingan ketat pasti akan terjadi di sini, dan kita tidak boleh kalah dan mempermalukan mentor kita. Kita harus tunjukkan pada Paul bahwa kita adalah kelompok pahlawan terkuat di dunia." Mendengar ucapan Nico, Jeddy tersenyum lebar, Victor mengangkat jempolnya tinggi-tinggi, Abbas mengangguk, dan Colin terdiam. "Jadi, apa yang mau kalian bicarakan? Jangan lama-lama! Aku sudah ngantuk!" Paul membentak Lizzie dan Naomi ketika mereka kini sedang berdiri bersama di balkon istana, memandangi hutan belantara, lautan biru, dan langit gelap yang membentang luas di hadapan mereka. Beberapa menit yang lalu, setelah mereka semua--kecuali Colin yang masih pingsan--menyantap makan malam di dalam istana bersama Roswel, Paul segera memerintahkan sepuluh muridnya untuk beristirahat dan tidur di kamar yang sudah ditentukan berdasarkan gender. Dan di saat itulah, Lizzie dan Naomi berbisik pada Paul, meminta waktu sebentar karena ada yang ingin dibicarakan dengan Sang Mentor. Mengabulkan permintaan mereka berdua, Paul pun mengajak Lizzie dan Naomi untuk pergi bersamanya ke atas balkon, untuk membahas sesuatu yang hendak dibicarakan oleh dua gadis itu padanya. Sebenarnya Paul tidak terlalu b*******h untuk merundingkan hal-hal yang rumit, tapi melihat antusias yang berkobar di mata Lizzie dan Naomi, ia jadi merasa dirinya harus menuruti kemauan mereka atau dia bakal ketinggalan informasi penting. "Ini mengenai Abbas." ucap Naomi, orang pertama yang membuka pembicaraan. Si gadis kerudung itu menghela napasnya dalam-dalam sebelum akhirnya menatap fokus pada mata Paul. "Abbas? Memangnya ada masalah apa kalian dengan Si Abbas Sialan itu, hah!?" ketus Paul dengan mengernyitkan alisnya, terheran-heran mengapa pembahasannya malah terpusat pada Abbas, yang sama sekali tidak ia pikirkan. "Diam dan dengarkan dulu Naomi bicara sampai tuntas, b******n!" protes Lizzie yang tak suka melihat mentornya sama sekali tidak memahami apa yang mau dibicarakan oleh Naomi. "Hah!? Kau bilang apa tadi, b******k!" Paul menggelemetukkan rahangnya dan menggeram, menoleh dan memelototi Lizzie dengan begitu bengisnya. Tak mau kalah, Lizzie juga melakukan hal yang sama seperti Paul. "Aku bilang, kau ini laki-laki bodoh yang sangat kubenci!" Ketika Paul naik darah dan hendak melawan cemoohan Lizzie, Naomi menjerit. "TOLONG DENGAR DAN PERHATIKAN SAYA!" Membuat Lizzie dan juga Paul terhenti dan memutarkan pandangannya pada si gadis berkerudung kuning itu, yang menekan dua alisnya, tampak marah pada sikap mereka berdua. "Lizzie, biarkan saya dulu yang berbicara, dan Paul, tolong dengarkan dulu apa yang mau saya bicarakan, agar Anda bisa memahami situasinya!" "B-Baik." Paul mengangguk dengan kikuk, terkejut karena Naomi memarahinya. "Cepat beritahu lelaki t***l itu, Naomi." bisik Lizzie pada si gadis berkerudung itu, yang tentu saja terdengar oleh Paul. Menarik napasnya, Naomi kembali melanjutkan pembahasannya yang sempat terpotong. "Jadi, ketika kami baru sampai di pulau ini, Abbas berkata pada kami bahwa dia sudah bukan lagi manusia normal. Abbas mengungkap bahwa matanya bisa melihat jarak yang sangat jauh dan dapat menembus segala hal. Ketika kami bertanya lebih lanjut, dia mulai menduga bahwa kekuatan saktinya itu diperoleh dari seseorang yang bernama Tommy Rigmagog." Memelototkan matanya, Paul tampak terbelalak dengan apa yang dibicarakan oleh Naomi. "Siapa Si Tommy Sialan itu!? Mengapa Abbas menganggap kekuatan saktinya berasal dari orang itu??" "Kami juga awalnya terkejut dan tidak mengerti!" Kini, Lizzie mulai ikut bersuara, menjelaskan apa yang diingatnya saat berada di tepi pantai bersama Abbas dan yang lainnya. "Dia cuma mengatakan bahwa Tommy Rigmagog adalah orang yang bisa mengendalikan robot dan mengoperasikan mesin-mesin canggih! Dan ia pun menduga kalau Tommy telah memasukan suatu mesin ke dalam tubuhnya, karena sebelumnya, Abbas pernah dirawat oleh Tommy Rigmagog setelah dia ditolong dan dilindungi oleh orang itu dari serangan Para Jubah Putih!" Terdiam sejenak, mencerna baik-baik segala yang dikatakan oleh Naomi dan Lizzie lalu ia mulai bersuara lantang, "Itu terlalu konyol!" pekik Paul dengan mendengus jengkel. "Mengapa dia bisa-bisanya menduga bahwa kekuatan saktinya berasal dari orang asing yang bernama Tommy Rigmagog! Padahal ada kemungkinan kekuatan itu berasal dari dalam dirinya!" Sontak, Naomi dan Lizzie tercengang mendengar omongan Paul. "Berasal dari dalam dirinya, apa maksudnya itu?" tanya Naomi yang ingin meminta penjelasan lebih lanjut terkait hal tersebut. "Aku tanya pada kalian, apa yang menyebabkan kalian bisa terpilih menjadi seorang pahlawan?" Mendengarnya, Naomi dan Lizzie hanya saling memandang dan segera mengungkapkan pendapatnya masing-masing. "Bakat yang terpendam?" cetus Lizzie dengan asal-asalan. "Takdir dari Tuhan?" tebak Naomi dengan muka yang berkeringat, memikirkan baik-baik topik tersebut. "Salah dan salah!" teriak Paul dengan menggelengkan kepalanya. "Penyebab kalian terpilih menjadi seorang pahlawan, itu dikarenakan roh kunang-kunang percaya dan memilih kalian untuk menjadi seorang pahlawan, hingga akhirnya, roh itu masuk ke dalam tubuh kalian! Bukankah aku pernah menjelaskannya berulang-ulang!?" Teringat, Naomi dan Lizzie tersadar pada hal itu dan cukup jengkel karena mereka nyaris melupakannya. Padahal, itu adalah fakta dan asal-usul dibalik terpilihnya mereka menjadi pahlawan. "Tapi, apa hubungannya topik ini dengan kekuatan sakti yang dimiliki Abbas?" celetuk Lizzie dengan nadanya yang terdengar malas. Menggeram, Paul segera menjawabnya dengan tegas. "Kemungkinan, kekuatan sakti milik Abbas berasal dari roh kunang-kunangnya!" "Eh!?" Naomi dan Lizzie terkejut secara bersamaan. "Maksudnya, roh kunang-kunang itu bisa memberikan kekuatan sakti pada kami?" Naomi tampak bersemangat dalam pembahasan tersebut. "Ya!" Mengangguk, Paul membenarkan apa yang dikatakan oleh Naomi. "Tapi, roh itu tidak serta-merta langsung memberikan kekuatannya pada kalian!" "Eeeeeeh?" Naomi dan Lizzie jadi sedikit kecewa mendengarnya, padahal mereka baru saja berbahagia karena memiliki potensi untuk mengeluarkan kekuatan sakti seperti Abbas. "Sudahlah! Aku tidak mau menjelaskannya lagi pada kalian berdua! Aku akan menjelaskannya lebih lanjut saat sepuluh muridku ada di depanku! Jadi, simpan pembicaraan ini untuk sementara dan pergilah tidur!" Kecewa, Naomi dan Lizzie pun membalikkan badannya dan melangkah pergi dari balkon untuk kembali ke kamar tidur perempuan, meninggalkan Paul sendirian di sana. Memandangi langit hitam yang dihiasi banyak sekali bintang, Paul termenung dalam sesaat sebelum akhirnya bergumam dalam hening. "Tommy Rigmagog, ya?" gumam Paul dengan menekan dua alisnya, pikiran tenangnya jadi terusik saat mengingat nama yang diucapkan oleh Naomi. "Sebenarnya, dia itu siapa?" Sementara itu, di ruang kamar perempuan. "Apa yang kalian bicarakan bersama Paul?" Lizzie dan Naomi terkaget saat mendengar suara Isabella saat mereka baru saja masuk ke dalam kamar, ternyata perempuan berambut merah panjang itu masih terjaga, dia sedang duduk di jendela sambil menyenderkan punggungnya di tepian dan sedikit melirik ke luar, memandangi pemandangan malam hari yang cantik dari sana. "Bukan urusanmu." balas Lizzie lalu langsung melompat ke ranjangnya dan menarik selimut tebal, menenggelamkan seluruh tubuhnya di dalam kain yang hangat. "Kami hanya membicarakan soal kekuatan sakti milik Abbas dan orang yang bernama Tommy Rigmagog." jelas Naomi dengan membuka kerudungnya pelan-pelan dan duduk di tepian ranjang tempat tidurnya yang bersebelahan dengan Isabella. Rambut kuningnya terurai begitu panjang di permukaan ranjang, tampak berkilauan dan basah karena keringat. Kecantikan Naomi jadi bertambah saat rambutnya diperlihatkan, membuat Isabella tersenyum simpul memperhatikannya. "Lalu, apa yang dikatakan Paul setelah mendengarnya?" Isabella kembali bertanya pada Naomi, di saat Lizzie, Cherry, dan Koko terlelap begitu nyenyak di kasurnya masing-masing. "Paul akan menjelaskannya pada kita semua, kalau waktunya sudah tiba, jadi untuk sekarang, saya tidak bisa menyampaikannya karena saya juga masih belum begitu memahaminya," kata Naomi sembari membaringkan badannya di permukaan ranjang. "Jadi kita tunggu saja sampai Paul benar-benar mau menjelaskannya pada kita. Aku pamit tidur. Jangan terlalu banyak begadang, Isabella." Dan akhirnya, Naomi juga menarik selimutnya dan meninggalkan Isabella yang terbangun sendirian di kamar. "Begitu, ya," Isabella hanya menyunggingkan senyuman tipisnya tanpa berkeinginan untuk memaksa Naomi memgungkapkan apa yang didengarnya dari Paul. Isabella pun turun dari tepian jendela dan berjalan pelan ke ranjangnya. "Baiklah, tidak apa-apa. Selamat tidur nyenyak, semuanya~" Setelah sampai di ranjangnya, bukannya tidur, Isabella malah mengambil ponselnya dari saku rok pendeknya dan mengaktifkannya untuk menyala. Setelah menunggu beberapa detik, ponselnya pun menyala terang, menampilkan halaman awal. "Sepertinya aku ingin bersenang-senang sebentar." Ternyata Isabella malah membuka situs p***o di ponselnya dan dia kini sedang menikmati video tak senonoh itu dengan mendesah-desah bahagia sembari memain-mainkan selangkangannya menggunakan jemarinya. Tanpa sepengetahuannya, Naomi dan Lizzie ternyata belum begitu terlelap, dengan terpaksa, mereka jadi mendengar aktivitas b***t yang Isabella lakukan di atas ranjangnya. Benar-benar gadis yang tidak tahu malu. Selepas memuncratkan semua cairan orgasmenya, Isabella pun segera mematikan ponselnya dan lekas tidur dengan nyenyak di kasurnya, tanpa mempedulikan bahwa Lizzie dan Naomi jadi tidak bisa tidur karena suara desahannya yang berisik. "Apa ini?" Di lorong, ketika Paul hendak ke kamar para pahlawan laki-lakinya untuk ikut tidur bersama mereka, ia menemukan sesuatu yang membuat dirinya menunduk, membungkuk, dan mengambilnya dari lantai. Diteliti baik-baik, ternyata benda kecil yang ditemukannya adalah sebuah cincin emas yang berkilau. "Cincin siapa ini?" Menolah-noleh ke segala arah, lorong sudah tampak sepi dan sunyi, semua orang sudah terlelap di ruangannya masing-masing, tidak ada satu pun makhluk yang beraktivitas. Karena tidak tahu harus diapakan cincin ini, akhirnya untuk sementara, Paul menyimpan cincin itu di saku celananya, agar nanti besok dia bisa bertanya pada orang-orang perihal cincin milik siapa yang ditemukannya di lorong pada tengah malam. Melanjutkan perjalanan, Paul kembali melangkah dan berusaha melupakan kegelisahannya untuk segera beristirahat dan tidur di kamar pahlawan-pahlawan laki-lakinya. "Mengapa kita dikumpulkan di sini?" Victoria mengerjap-erjapkan matanya dalam kebingungan saat ia bersama teman-teman sesama pahlawannya disuruh berkumpul di atap istana yang datar, berdiri berkerumun di bawah langit biru yang cerah. Mereka bersepuluh hanya menuruti perintah Paul untuk berkumpul di atap, tanpa mengetahui alasan dibalik perintah tersebut, tapi yang pasti mereka sudah muak karena terlalu lama diam di sini tanpa ada kepastian. Bahkan, Paul dan Roswel masih belum datang menemui mereka. "Sebenarnya kita akan melakukan apa di sini?" Koko merasa ada yang aneh, jadi dia bertanya saja pada teman-temannya. Tentu saja, mereka sama herannya seperti Koko, jadi tidak ada yang bisa menjawabnya dengan tepat, termasuk juga Nico yang hanya menekan kaca matanya dalam hening. "Tapi apa pun itu, ini tidak buruk, kan, Bro!?" ujar Jeddy dengan merangkul leher Koko dengan akrab. "Di sini kita bisa menghirup udara pagi yang segar, melihat pemandangan langit, hutan, dan laut yang mempesona! Lalu, bisa mengobrol bersama kalian! Ini menyenangkan sekali, Bro! Hahahaha!" "Tidak semua orang pemikirannya seoptimis dirimu, Jeddy." desis Nico dengan mendelik tajam ke sosok Jeddy, menampilkan tatapannya yang begitu menindas. "Ngomong-ngomong," Cherry kembali bersuara saat teman-temannya sedang sibuk mengobrol ria. "Bagaimana dengan kondisi ponsel kalian? Tahu, tidak? Ponsel Cherry semalam tidak bisa dinyalakan! Kayaknya rusak, deh! Soalnya, kan, kita semua sebelummya pernah tenggelam di laut!" Sambil bilang begitu, Cherry menunjukkan ponselnya yang tampak mati, belum dinyalakan atau memang tidak bisa dinyalakan, tapi yang jelas, layarnya cuma menampilkan warna hitam yang gelap. Melihatnya, Isabella tersenyum dan mendatangi gadis mungil itu yang mukanya sedang cemberut karena bingung harus diapakan ponsel pertamanya itu. "Tenanglah, kau tidak perlu cemberut begitu. Sini, aku pinjam sebentar," Isabella langsung mengambil ponsel milik Cherry dari genggaman pemiliknya, dia pun mengutak-atik sejenak benda itu sebelum akhirnya keluarlah cahaya terang dari layar ponsel tersebut. "Lihat? Ponselnya tidak rusak sama sekali." Tercengang, Cherry tidak percaya ponselnya bisa hidup kembali, padahal ia yakin semalam ia sudah melakukan berbagai cara untuk menghidupkannya, tapi hasilnya tetap nihil. Lalu kenapa ketika Isabella yang melakukannya, ponselnya bisa langsung menyala terang? Cherry benar-benar tidak mengerti. "E-Eh!?" Cherry takjub melihat kepiawaian Isabella dalam memperbaiki ponsel miliknya hingga bisa hidup dan menyala kembali seperti sedia kala. "B-Bagaimana Isabella melakukannya!? Cherry selalu gagal menyalakannya, apakah ada yang salah dari cara Cherry menghidupkannya!? Tolong jelaskan pada Cherry, Isabella!? Agar suatu saat Cherry bisa menyalakannya tanpa bantuan siapa pun! Cherry mohooooon!?" Menyaksikan Cherry memohon-mohon pada Isabella, Naomi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Baiklah, aku akan memberitahumu," kata Isabella dengan tersenyum jahil pada Cherry, tampak ingin sedikit mengusili gadis mungil itu yang masih polos terhadap teknologi dan peralatan eletronik yang canggih. "Pertama-tama, kau harus membuat seorang laki-laki bersedia berhubungan badan denganmu, lalu, buat dia kenikmatan dengan gesekan selangkanganmu, kemudian biarkan dia memuncratkan cairan putihnya di dalam tubuhmu, setelah itu, kau akan bisa menyalakan ponselmu dengan sangat mudah, jika tiap kali benda itu rusak. Mudah, kan?" Naomi dan teman-temannya yang lain terkaget saat mendengar saran yang diucapkan oleh Isabella pada Cherry, itu terlalu v****r dan berlebihan untuk didengar oleh gadis sekecil itu. Sementara Cherry matanya malah terlihat membesar dan berbinar-binar, menampilkan kegembiraannya karena mendapatkan pengetahuan penting dari Isabella. "Waaaaaaaah! Jadi begitu, ya!" Cherry melompat-lompat riang di permukaan ubin dari atap istana ini, membuat teman-temannya memucat mengamati reaksi si gadis mungil yang tidak paham pada maksud dari Isabella. "Baiklah! Nanti Cherry akan melakukannya! Hihihihi! Terima kasih, Isabella! Kau baik sekali!" Sedangkan Isabella, tentu saja hanya tersenyum tipis sambil bilang, "Oh, tidak masalah, selama bisa membantumu, itu sudah cukup," Isabella menyembunyikan rasa senangnya dalam menipu Cherry dengan mengeluarkan kata-kata yang begitu manis. "Semoga lancar, ya, Cherry. Oh, ya, kusarankan carilah laki-laki yang tampan dan gagah, agar kau bisa melakukannya tanpa rasa pahit." "Okaaaaay! Hihihihi!" "CHERRY!" Sontak, karena tidak tahan menyaksikan pembicaraan konyol dan penuh tipu daya, Naomi langsung melengking dan memanggil nama gadis mungil itu, sembari menunjukkan ekspresi marahnya yang sangat mengerikan, matanya membulat besar, dua alis tipisnya ditekan, bibirnya melengkung kebawah, dan napasnya menderu dengan sangat kencang. "JANGAN DENGARKAN OMONGAN ISABELLA!" "Eh?" Terkaget, Cherry menoleh ke arah Naomi dan memiringkan kepalanya, tak mengerti. "Mengapa Naomi marah begitu? Cherry tidak nakal, kok! Cherry cuma meminta saran pada Isabella, dan Isabella memberikan sarannya pada Cherry! Sudah itu saja. Lalu, apa yang membuat Naomi begitu marah pada Cherry!?" Di posisinya, Isabella terkikik-kikik pelan, menertawakan kebodohan dan kepolosan Cherry yang sangat parah, sampai-sampai percaya begitu saja pada semua yang ia katakan, tanpa mencerna baik-baik apakah itu benar-benar saran yang tepat atau cuma sekedar tipuan usil. Mengabaikan pekikan Cherry pada Isabella setelah gadis mungil itu diberitahu dan disadarkan kebodohannya oleh Naomi, Nico hanya menguap dan mendongakkan kepalanya, menatapi serpihan-serpihan awan putih yang begitu lembut dan indah. "Kau suka awan?" Colin tiba-tiba bertanya begitu setelah memperhatikan Nico yang sedang memandangi langit. "Aku juga suka awan, karena awan itu melambangkan kelembutan dan kehalusan." Pipi-pipi Nico memerah saat Colin mendatanginya dan menggandeng lengan kanannya. "Kau tahu dari mana itu?" tanya Nico dengan gugup pada Colin. Mengedikkan bahunya, Colin hanya tersenyum simpul dan bilang, "Entahlah, itu cuma karanganku saja, hahahaha!" Melihat Colin tertawa begitu cerianya, membuat Nico jadi ikut-ikutan tersenyum senang dan tertawa sedikit. Hanya Colin-lah, satu-satunya orang yang dapat melunakkan sikap Nico yang begitu dingin dan angkuh. "Membosankan sekali!" Lizzie mendengus dan melipatkan dua tangan kekarnya di depan d**a sambil kesal melihat teman-temannya yang mulai sibuk pada obrolannya masing-masing tanpa mempedulikan bahwa Paul dan Roswel masih belum datang juga. "Sebenarnya untuk apa kami dikumpulkan di sini!? Jika tidak ada maknanya, lebih baik aku berburu rusa daripada diam dan menunggu mereka tanpa kepastian seperti orang i***t!" "Mungkin... Paul sedang membiarkan kita bersantai-santai dahulu di sini, karena mungkin saja... sesuatu yang akan kita hadapi kali ini levelnya terlalu tinggi sehingga Paul... harus menyiapkan waktu yang tepat agar kita tidak terlalu kaget mendengarnya." lirih Koko dengan suaranya yang begitu halus dan feminin, ia tersenyum lembut pada Lizzie, rambut ungu panjangnya yang terurai, terombang-ambing tertiup hembusan angin. Lizzie cuma menatapi muka Koko dalam keheningan setelah mendengar ucapan dari lelaki cantik itu yang berusaha menenangkan hatinya yang resah dan gelisah. "Hmmm." Abbas hanya menghela napas sambil termenung saat menyaksikan teman-temannya sedang bercanda ria di sekelilingnya. "Hei, Abbas!" Victor menepuk pundak si lelaki bertelanjang d**a itu, yang mukanya tampak tenang dan sepi. "Kau sedang melihat apa dengan penglihatan saktimu itu? Hehe!" Abbas tidak merespon, hanya menoleh ke wajah Victor dan kembali melamun dalam diam. "Apa kau mengintip gadis-gadis yang sedang mandi?" tebak Victor dengan matanya yang berkilat-kilat, tampak bersemangat pada apa yang diucapkannya, membuat Abbas kembali menoleh dan memasang tampang heran pada si lelaki berambut emas tersebut. "Kenapa kau mengira begitu?" Akhirnya Abbas mengeluarkan suaranya yang berat, menjawab pertanyaan konyol Victor. Si Bangsawan Berambut Emas hanya terkekeh-kekeh, menertawakan omongannya sendiri. "Tidak-tidak, aku hanya bercanda," ucap Victor seusai tertawa renyah, ia pun kembali menepuk pundak Abbas dan berkata dengan senyuman lebarnya, "Jangan menanggapinya dengan serius, oke?" "Baiklah." Mengangguk, Abbas berhasil memahaminya. Mendadak, terdengarlah suara langkah kaki yang begitu lembut dari satu-satunya pintu yang ada di atap, sepuluh pahlawan tersentak dan mulai memfokuskan perhatiannya pada pintu. Mereka semua penasaran pada siapa yang datang dan apa yang akan orang itu sampaikan, apakah itu Paul atau mungkin Roswel? Ketika pintunya secara perlahan terbuka, satu-persatu dari mereka terkejut karena sesosok anak kecil laki-laki-lah yang keluar dari pintu tersebut. Lalu diikuti oleh Paul dan Roswel yang berjalan di belakang si anak laki-laki mungil tersebut. Langkah anak laki-laki itu berhenti tepat di depan sepuluh pahlawan bimbingan Paul, anak itu memiliki kulit yang putih, tidak, bahkan terlalu putih. Helaian rambut, alis, dan bulu matanya pun begitu putih seputih s**u. Dan pakaian yang ia kenakan pun semacam jubah mungil yang juga berwarna putih. Bahkan, warna putihnya lebih kuat dan bercahaya daripada Nico, membuat satu-persatu dari mereka takjub memperhatikan penampilan dari anak asing tersebut. "Siapa bocah ini?" Dengan congkaknya, Lizzie bertanya pada Paul dan Roswel tanpa menanyakannya langsung pada sosok tersebut. "Menjengkelkan." Nico kesal karena ia merasa tertekan oleh warna putih terang yang terpancar dari tubuh anak laki-laki mungil itu, yang berhasil mengalahkan keputihannya. "Selamat pagi, cucu-cucukku dari Madelta, selamat datang dan terima kasih karena telah berhasil melalui segala hambatan dan rintangan hingga bisa berdiri tegap di pulau kecil ini. Aku ucapkan, terima kasih sebanyak-banyaknya." Keterkejutan sepuluh pahlawan semakin meningkat saat anak laki-laki mungil yang sangat putih itu mengeluarkan suaranya yang begitu lembut, serta mengucapkan perkataan yang cukup mengundang kekagetan dan kebingungan dari para pahlawan. Paul dan Roswel hanya berdiri diam di samping kanan dan kiri anak laki-laki mungil itu tanpa sedikit pun mengeluarkan suaranya. "C-Cucu!?" Colin terkesiap. "T-Tadi dia bilang cucu, kan? Pada kita?" kaget Cherry dengan terheran-heran. "Tunggu," Memicingkan matanya, Nico mencoba mengamati lebih serius dan mengingat segala perkataan Paul sebelum mereka terjun ke lautan. "Jangan bilang kalau anak ini adalah sosok yang selalu disebut sebagai Sang Penguasa?" Tersenyum melihat para pahlawan kebingungan, anak itu mulai berjalan lebih dekat dan lebih dekat hingga akhirnya tepat berada di hadapan Nico. "Kamu benar, aku adalah Sang Penguasa." Mendengarnya, Nico tercekat, Naomi terbelalak, Victor tersentak, Isabella tersenyum kikuk, Cherry terkaget, Colin memucat, Abbas terdiam, Lizzie menganga, Koko tertegun sementara Jeddy terbahak-bahak. "Hahahaha!" Merasa mendapatkan suntikan komedi yang lucu, Jeddy malah tertawa-tawa renyah di hadapan Sang Penguasa. "Maaf-Maaf, Bro! Aku hanya tidak tahan saja saat--" "Aku senang jika kehadiranku bisa membuat kalian bahagia," Jeddy terkaget saat Sang Penguasa tiba-tiba ada di hadapannya dengan sangat dekat. "Tapi tidak baik menertawakan seseorang yang belum kamu kenal sampai begitu berlebihan, alangkah baiknya kita sama-sama harus saling mengenal agar ke depannya...," Sang Penguasa mulai menatap satu-satu persatu muka pahlawan Madelta yang ada di sekelilingnya sambil menyunggingkan senyuman hangatnya. "... kita tidak saling menertawakan lagi seperti ini. Kalian paham?" Akhirnya Sang Penguasa berjalan pelan, kembali ke posisinya di depan, berdiri di tengah-tengah antara Paul dan Roswel, kemudian anak mungil itu mulai memandangi wajah-wajah para pahlawan dengan senyuman lembutnya. "Mari kita lupakan kejadian tadi dan kita mulai lagi dari awal, ya," tegas Sang Penguasa dengan tersenyum tipis, membuat kelopak matanya jadi tampak sipit. "Anak kecil berpenampilan serba putih yang ada di hadapan kalian adalah Sang Penguasa," tutur Sang Penguasa dengan sengaja mengolah kalimatnya seperti dirinya sedang memperkenalkan orang lain. "Anak kecil ini sangat senang bisa bertemu dan berhadapan dengan orang-orang hebat seperti kalian. Sangat menggembirakan saat dia mendengar bahwa kalian telah berhasil mengarungi luasnya lautan dan sampai di pulau terpencil ini. Kedatangan kalian sangat ditunggu-tunggu oleh si anak kecil yang serba putih ini, karena kalian adalah orang-orang yang sangat spesial bagi dirinya. Masing-masing dari kalian, sangatlah berharga, dan bahkan lebih berharga dari segala yang ada di dunia ini. Oleh karena itu, hadirnya kalian di pulau ini, telah membuat si anak kecil senang. Sekarang, karena si anak kecil sudah memperkenalkan dirinya, maka sekarang, giliran kalian yang memperkenalkan diri pada si anak kecil tersebut. Boleh, ya?" pinta Sang Penguasa dengan tersenyum hangat pada para pahlawan. Paul hanya menyimak segala yang dikatakan oleh Sang Penguasa, sebenarnya dia kesal karena harus diam dan mematung seperti ini, tapi jika dia tidak melakukannya, Sang Penguasa bisa terganggu. Sebab, sebelumnya Roswel memerintahkan Paul untuk tidak bersuara kecuali Sang Penguasa yang memintanya, jika ia melanggarnya, maka Sang Penguasa bisa marah besar. Memajukan langkahnya, Isabella lah yang pertama memberanikan diri untuk memperkenalkan dirinya pada Sang Penguasa. "Saya Isabella Melvana, satu-satunya pahlawan paling nakal di antara pahlawan-pahlawan lainnya," Isabella tersenyum dan membungkukkan badannya sejenak. "Senang bertemu denganmu, Kakek~" Semua pahlawan terkejut saat Isabella sengaja mengejek Sang Penguasa dengan menyebutnya sebagai kakek-kakek, lantas suasana jadi hening dalam seketika, bahkan Paul jadi sangat jengkel melihat perempuan berambut merah itu mengusili sosok yang sangat penting di istana ini. "Kau sangat mempesona, Isabella Melvana, terima kasih atas pujiannya. Baru kali ini ada salah satu cucuku yang memanggilku dengan sebutan 'Kakek', aku sangat senang mendengarnya." Ternyata, Sang Penguasa malah terharu mendengar ejekan yang dilontarkan oleh Isabella, membuat si gadis bertubuh seksi itu menahan tawanya sebisa mungkin. Pahlawan-pahlawan yang lain pun jadi terheran-heran pada Sang Penguasa yang sama sekali tidak tersinggung disebut sebagai seorang kakek. Menyadari tatapan-tatapan heran dari pahlawan-pahlawan lainnya, Sang Penguasa pun tersenyum dan memandangi wajah-wajah mereka. "Tidak apa-apa, itu wajar," ucap Sang Penguasa dengan nadanya yang begitu halus dan lembut. "Meski wujudku seperti anak kecil berusia 7 tahun, tapi sebenarnya umurku sudah 5000 tahun." Sontak, mendengar penjelasan dari Sang Penguasa, mereka semua langsung terbelalak, kecuali Paul dan Roswel yang sudah mengetahuinya lebih dulu dari mereka. "Sudah-sudah, lupakan dulu soal umur, mari kita lanjut ke perkenalan selanjutnya." kata Sang Penguasa dengan terkekeh-kekeh sejenak. Dan kini, orang selanjutnya yang memberanikan diri maju ke hadapan Sang Penguasa untuk memperkenalkan diri adalah...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN