BAB 18

4216 Kata
Masih berada di ruangan penuh bunga, Yuna dan Raiga histeris saat Zapar seenaknya berprasangka bahwa mereka berdua pernah melakukan hubungan badan hanya karena gadis keriting itu mengatakan bahwa rahimnya diobrak-abrik. Zapar hanya menyimpulkan sesuatu yang ada di pikirannya dan segera melontarkannya pada mereka berdua, tapi dia terkejut karena sepertinya itu adalah sebuah kesalahpahaman. Namun, Zapar tersenyum untuk berpura-pura pada mereka bahwa dirinya masih salah paham. “Ada apa? Aku tidak salah, kan?” cibir Zapar, menggaruk lehernya dengan santai. “Dari perkataanmu saja,” Zapar menyudutkan pandangannya pada Yuna. “Kau jelas-jelas bilang bahwa rahimmu diobrak-abrik oleh Raiga, lantas jika bukan b*********a, kalian melakukan apa?” “TUTUP MULUTMU! k*****t!” raung Raiga dengan mengatur napas dan menghapus darah yang bercucuran di hidung dan mulutnya menggunakan tangan. “Mana mungkin aku b*********a dengan gadis menyebalkan seperti dia!” “Jaga mulut kalian!” Tak terima dirinya direndahkan oleh dua lelaki itu, Yuna pun ikut bersuara. “Menjatuhkan harga diriku sebegitu kejamnya, kalian pikir aku ini apa!?” Bosan dengan pertikaian-pertikaian tak berujung, akhirnya Leo memutuskan untuk menguap dan berkata dengan mata yang sayu, “Daripada kita bertengkar terus, bagaimana kalau kita bekerja sama? Menurutku itu akan sangat berguna untuk menambah relasi, maksudku, kita di sini punya peran yang sama, kan? Sebagai sesama mentor, kurasa kita harus saling membantu dalam melindungi dunia ini dari kejahatan.” “Kejahatan?” Gissel kaget saat Leo dengan muka tak berdosanya, membahas soal melindungi dunia dari kejahatan, tidak mengingat bahwa lelaki itu selama ini sudah melakukan banyak sekali kejahatan yang kurang ajar pada gadis sepertinya. “Kau bilang begitu setelah melukai banyak orang di sini? Bukankah kau di sini yang sangat jahat! Seharusnya orang sepertimu tidak pantas menyandang gelar sebagai ment—EEKKK!” Tiba-tiba Leo melesat ke posisi Gissel dan mencekik leher gadis itu sembari mengangkat tubuh perempuan itu tinggi-tinggi dengan tangan kanannya. Tampaknya Leo tidak terima pada segala ucapan yang Gissel lontarkan. “Apa kau tahu?” ujar Leo dengan menggeram gemas, amarahnya benar-benar membludak saat Gissel mencela perannya sebagai mentor. “Yang berhak berpendapat begitu hanyalah Sang Penguasa seorang, pantas atau tidak pantasnya diriku sebagai mentor bukanlah urusanmu. Sekali lagi bilang begitu, tergantung situasinya, lehermu bisa saja kuhancurkan hingga—“ Puk! Seketika perkataannya terpangkas ketika ada sebuah tangan besar yang menyentuh pundak Leo, membuat lelaki berambut cokelat gelap itu terkaget dan sedikit menolehkan kepalanya ke belakang, dan saat itulah dia benar-benar terkejut karena menyadari bahwa ada raksasa gemuk yang berdiri tepat di belakangnya. “Bukankah dia itu…,” Paul kaget dari tempat berdirinya saat menemukan sosok raksasa yang pernah ditemuinya di lorong, ia pun mulai mengingat-ingat nama dari sosok tersebut dan ia pun terbelalak. “… Gadon!?" “Hey,” ucap Gadon dengan suaranya yang begitu pelan namun menyeramkan. “Bisakah kau lepas gadis itu dari tanganmu? Kau menyakitinya." “G-Gadon!?” Gissel memekik saat melihat raksasa itu yang ternyata adalah orang yang dikenalinya. “J-Jangan Gadon! J-Jangan!” “Hm?” Tidak takut pada raksasa itu, Leo hanya menaikan sebelah alisnya dengan menampilkan wajahnya yang tampak angkuh. “Untuk apa aku menurutimu permintaanmu?” kata Leo dengan mendenguskan napasnya dengan sebal. “Kalau kau mau gadis ini kulepaskan, maka bunuhlah lelaki itu!” Yang dimaksud oleh Leo adalah Paul, membuat yang bersangkutan kaget sekaligus jengkel mendengarnya. “Kalau begitu, aku minta maaf kalau aku harus…,” Mengangkat dan mengayunkan tangan gemuk dan besarnya, dengan kejamnya, BRAK! Gadon menghantamkan ayunan tangan kanannya ke kepala Leo sampai lelaki berambut cokelat terang itu terpukul sangat keras bahkan tubuhnya terlempar sangat jauh ke area samping dari ruangan berbunga ini, berguling-guling dan akhirnya terbaring dengan darah yang mengucur dari telinganya. “…. menghukummu.” Sambung Gadon setelah melakukan aksinya pada Leo, dan Gissel pun terjatuh dari cekikan tangan lelaki itu dan kembali bebas. Terengah-engah, kelopak mata Gissel membulat dengan sangat tegang saat melihat Leo yang tergeletak lemas jauh di tepi ruangan, sepertinya lelaki itu tak sadarkan diri akibat hantaman keras dari tangan Gadon yang lumayan besar dan keras. “Bukankah aku sudah bilang padamu,” Gissel memusatkan fokusnya ke sosok Gadon yang berdiri di hadapannya dengan mata yang berkaca-kaca hampir menangis. “Jangan sembarangan menghukum orang lain! Kau tidak boleh melakukan itu! Bagaimana kalau dia mati oleh ulahmu! Kau dan aku bisa tertimpa masalah besar!” teriak Gissel dengan air mata yang berlinang deras di masing-masing matanya yang telah basah. “Tapi jika aku tidak melakukannya, Gissel bisa mati.” kata Gadon dengan polosnya, membuat Gissel tidak mampu membalasnya lagi dan hanya terduduk di lantai sambil menjambak rambut putih keritingnya dengan tersengguk-sengguk. Paul hanya mematung memandangi sosok besar yang sedang berbicara dengan Gissel, dia juga tidak menyangka kalau sosok itu berani menyerang Leo demi melindungi gadis keriting itu, itu membuat sebuah pertanyaan muncul di benak Paul. Apakah Gadon punya hubungan khusus dengan Gissel, lantas apa jenis hubungannya? Mungkinkah Gadon adalah pelayan pendampingnya Gissel? Tapi seingat Paul, Lolitalah yang berperan sebagai pelayan pendampingnya Gissel, atau jangan-jangan Gadon adalah— Tidak mau terlibat lebih jauh dengan sesuatu yang bukan urusannya, Paul segera menggeleng-gelengkan kepalanya untuk melupakan pemikirannya itu dan cepat-cepat mengambil langkahnya untuk mendatangi mereka, meski tubuhnya masih sedang terluka parah—mukanya yang lecet dan hidung dan bibirnya yang memerah karena darah yang telah mengering, serta baju dan celana yang kotor terkena gesekan lantai, debu, dan juga retakan tembok, karena sebelumnya sempat terhajar oleh Leo. “Kau yang tadi di lorong, kan?” tanya Paul setelah dirinya sampai di dekat Gissel dan juga Gadon, gadis keriting itu masih terduduk di permukaan lantai sambil menundukkan kepalanya, menyembunyikan wajah tangisnya dari orang lain, sementara si raksasa hanya memutar kepalanya untuk melihat datangnya Paul dengan hening. “Ya,” jawab Gadon dengan suara halusnya. “Kenapa?” Karena sebelumnya dia bertemu dengan Gadon dalam lorong yang minim pencahayaan, jadi ia tidak bisa melihat wujud si raksasa dengan jelas. Tapi karena sekarang ada cahaya lampu yang berpendar terang di ruangan, membuat Paul bisa melihat bagaimana penampilan asli dari si raksasa bernama Gadon ini. Paul meneguk ludahnya, tidak menyangka ternyata sosok besar ini punya bentuk wajah yang menyerupai katak dan cukup unik, kepalanya botak, tidak ada sehelai rambut yang tumbuh di kepalanya dan dia hanya mengenakan celana panjang berwarna merah, yang membuat dua p****g gemuknya tertampak jelas karena tak menggunakan baju sama sekali. “Aku Paul,” Memperkenalkannya dirinya terlebih dulu, Paul mencoba memberikan kesan baik pada Gadon agar si raksasa bermuka katak itu tidak menyerangnya. “Aku hanya seorang mentor dari Madelta, dan lelaki yang barusan kau hantam, dia juga seorang mentor, tapi dari Megasta. Bolehkah aku menanyakan sesuatu padamu?” Mengangkat dua alisnya, Gadon tampak penasaran pada motif Paul mendekatinya, mungkinkah dia juga orang yang akan mencelakai Gissel? Sepertinya Gadon harus menyiapkan diri agar bisa melindungi Gissel dari orang-orang jahat. “Silahkan, tanya saja sesukamu,” jawab Gadon dengan membalikkan badan besarnya untuk menghadapi Paul dengan antar muka. “Tapi jika kau sedikit saja membuat Gissel ketakutan, aku akan menghukummu.” Mengangkat dua tangannya di depan d**a dan menggoyang-goyangkannya secara santai, Paul menggeleng-gelengkan kepalanya. “Tidak, aku hanya ingin bertanya saja, apa hubunganmu dengan Gissel? Apakah dia orang yang berharga bagimu?” Jujur saja, Paul sedikit tegang saat berhadapan dengan Gadon, ia khawatir raksasa itu menyerangnya sebab saat ini kondisi tubuhnya sedang lemah dan terluka cukup parah, jadi dia tidak bisa berlagak ganas seperti biasanya. Selain itu, entah kenapa, dia jadi punya rasa kagum pada si Gadon itu, membuat Paul—untuk sementara—segan berkata-k********r pada lelaki raksasa bermuka katak tersebut. “Tentu saja dia orang yang sangat berharga untukku, karena Gissel adalah idola yang paling kusukai,” balas Gadon tanpa berkedip sama sekali, suaranya agak berderik seperti seekor katak sungguhan. “Tambahannya, aku juga adalah salah satu pahlawan bimbingannya Gissel,” Paul terbelalak mendengarnya, dugaannya ternyata benar. “Itulah mengapa aku akan selalu melindungi Gissel, karena dia adalah idola dan juga mentorku yang sangat berharga.” “Jadi begitu, ya? Lalu di mana teman-temanmu yang lain? Bukankah pahlawan di tiap negara harusnya berjumlah sepuluh?” “Mereka tersesat di istana ini, sama sepertiku sebelumnya yang tersesat di lorong gelap.” “Lalu—“ “CUKUP!” Tiba-tiba Gissel mengangkat kepalanya, memandangi Paul dan berteriak kencang, membuat Gadon dan juga si lelaki berambut hitam itu terkejut dan menatap gadis keriting tersebut. “SUDAH CUKUP! KAU TIDAK BOLEH MENANYAKAN HAL LAIN LAGI PADA GADON! PERGILAH DARI SINI SEBELUM AKU MENYURUH GADON UNTUK MENYERANGMU!” “Hah!?” Namun, amarah besar kembali mendesir dan bergejolak di seluruh tubuh Paul saat Gissel merendahkannya seolah-olah menganggapnya sebagai orang yang lemah. “Kau pikir kau sedang bicara dengan siapa, b******k!” Mendengar teriakan Gissel dan u*****n yang dikeluarkan oleh Paul, membuat Gadon menilai bahwa mereka berdua bukanlah teman, melainkan musuh bebuyutan, yang akhirnya mendorong si raksasa untuk melakukan serangan tiba-tiba pada Paul dengan berlari kencang mendatangi lelaki itu dan mengangkat kakinya untuk mengayunkan sebuah tendangan. “S-Sial!” Dengan gesit, Paul berusaha berlari sekencang mungkin meski tubuhnya masih terasa nyeri, itu dilakukannya untuk menghindari serangan-serangan mematikan dari Gadon. “Sekarang aku harus bagaimana!?” Pahlawan-pahlawan bimbingannya Leo yang masih tergeletak di lantai, terinjak-injak oleh kaki-kaki besar Gadon saat raksasa bermuka katak itu mengejar Paul, membuat mereka semua jadi kesakitan sesudah diinjak oleh si raksasa tersebut. Sementara dari tepi ruangan, Leo masih tidak sadarkan diri, bahkan darah yang keluar dari telinganya jadi berceceran deras menenggelamkan sedikit wajahnya oleh cairan kental yang keluar dari tubuhnya itu, tampaknya si lelaki pengganggu sudah benar-benar tumbang. Menyaksikan salah satu pahlawan bimbingannya mengejar-ngejar Paul demi melakukan serangan untuk melindungi mentornya dari seorang pengganggu, Gissel hanya termenung dalam diam, memikirkan bagaimana jika Gadon membunuh seseorang di ruangan ini? Melirik ke tempat Leo dan pahlawan-pahlawan bimbingannya yang sama-sama terbaring di lantai membuat Gissel khawatir jika mereka semua telah tewas oleh ulah Gadon. “Cepat datanglah, Lolita, kenapa urusanmu lama sekali,” gumam Gissel saat melihat Gadon berhasil menangkap Paul digenggamannya. “Lolita, cepatlah! Apa yang membuatmu lama sekali! Urusanmu sudah selesai, kan!? Cepatlah kemari! Aku tidak bisa menghentikan Gadon dengan tubuh lemahku, hanya kau yang bisa menghentikannya, Lolita!” “ARGH!” Kini, tubuh Paul sudah berada di genggaman tangan kanannya Gadon, sedang diangkat sangat tinggi sambil diremas-remas sedikit, membuat dia merasa tulang-tulang lengannya nyaris patah. Namun, meski situasi dirinya sedang dirugikan, Paul memberanikan diri untuk bersuara. “Hey, Gadon! Mentormu itu sangat menyebalkan! Kau seharusnya tidak mengidolakannya, dia itu sebelumnya ingin berhenti jadi mentor! Dia juga bilang bahwa dia tidak punya bakat untuk membimbing para pahlawannya! Awalnya aku merasa ragu, tapi setelah bertemu denganmu, aku mengerti bagaimana sulitnya membimbing pahlawan ‘besar dan kejam’ sepertimu!” “Jangan menghina Gissel dan tubuhku!” Remasan di tangan Gadon jadi semakin kuat, membuat Paul mengerang kesakitan. “’Kau tidak boleh bilang begitu! Kau tidak akan kumaafkan!” Ketika tangan Gadon yang lain hendak menghantam kepala Paul dari atas, tiba-tiba pergerakannya terhenti saat sebuah suara menginterupsinya. “Gadon! Jangan berulah!” “Hentikan itu!” “Kau bisa kena masalah lagi!” “Jangan membunuh orang hanya karena kau marah padanya!” “Kau bisa membuat Gissel merasa bersalah!” “Lepaskan orang itu dari tanganmu dan berkumpullah bersama kami di dekat Gissel!” “Ayolah, Gadon!” “Lepaskan, cepat!” “Jangan buat keributan di istana ini, Gadon.” Mendengar suara-suara itu, perlahan-lahan Gadon menurunkan lengan kanannya dan mengendurkan remasan di tubuh Paul sampai akhirnya lelaki berandal itu bisa terbebas dengan sempurna dari remasan tangan raksasa tersebut. Paul terengah-engah karena napasnya masih terasa sesak, tapi dia mencoba memperhatikan siapa orang-orang yang barusan berseru-seru pada Gadon. Ketika Gadon membalikkan badannya dan mulai berjalan untuk mendatangi orang-orang itu, disitulah akhirnya Paul dapat melihat perwujudan dari mereka, ternyata mereka adalah gadis-gadis belia yang mengenakan rompi merah seragam dan berwajah biasa-biasa saja, tidak terlalu cantik atau pun jelek. Kini, mereka semua sedang mengerubungi Gissel, mengangkat mentornya untuk bangkit dari posisi duduknya dan menghapus air mata yang berlinangan di pipi-pipi Sang Mentor. “Sepertinya mereka itu pahlawan-pahlawan bimbingannya Gissel, ya?” Paul menghela napasnya sebelum akhirnya memilih pergi meninggalkan ruangan itu. “Kukira wujudnya raksasa semua, ternyata cuma sekelompok gadis manja saja, sama seperti mentornya. Payah sekali.” Namun, langkah Paul terhenti saat pikirannya teringat pada sesuatu. "Apa mereka baik-baik saja, ya?" Yang Paul cemaskan adalah nasib dari pahlawan-pahlawan bimbingannya. "Sial! Menunggu dan mengkhawatirkan orang lain membuatku muak! Apa mereka masih belum sampai juga? Mau sampai kapan mereka terus-terusan di tengah laut, k*****t!" “Sudah ramai sekali rupanya.” ucap Willy ketika dirinya berjalan pelan memasuki aula tempat berkumpulnya para pelayan pendamping dari seluruh negeri yang terpanggil oleh dengungan kecil pada pendengaran mereka masing-masing dari Sang Penguasa. Di sana, di aula yang sangat luas itu, Willy terlihat melipir ke area sepi untuk berdiri diam demi ikut menunggu hal yang akan diumumkan oleh Sang Penguasa, banyak sekali pelayan pendamping yang telah hadir dan berkumpul, mereka saling mengobrol dan tertawa renyah, tampak bahagia dan menyenangkan. Sedangkan Willy lebih memilih menyendiri dibanding harus bergabung dan berinteraksi dengan rekan-rekan seangkatannya. Mungkin meskipun ia selalu ramah dan pandai bicara terhadap Joe dan para pahlawannya, ternyata Roswel tidak begitu suka berbaur dengan kaumnya sendiri. Di bagian depan aula, terdapat panggung kecil tempat Sang Penguasa biasa menyampaikan pidatonya pada mereka, lalu ada lampu besar yang berbentuk bunga gladiol putih yang menggantung di bagian tengah langit-langit aula, cahayanya begitu terang, menyinari dan menghangatkan tempat luas itu sehingga kebanyakan orang lebih nyaman berdiri di dekat lampu tersebut. Terdapat bendera-bendera kecil berwarna putih yang dipasang di tiap sisi panggung, dan juga menggantung di tiap tepi langit-langit ruangan, dan di dalam benderanya tergambar lambang tiga tangkai bunga gladiol putih, merah, dan hitam yang saling mengait membentuk sebuah lingkaran. Bendera-bendera yang terpasang di aula mengartikan dari jati diri dari Sang Penguasa dan makna dari eksistensi pulau ini, dan itu sifatnya sangat sakral dan bernilai. Gema obrolan jadi semakin riuh, beberapa kelompok pelayan pendamping banyak yang baru berdatangan memasuki aula dengan bergerombol, semuanya mengenakan jubah hitam bermotif sama seperti yang dipakai Roswel, tapi banyak dari mereka memiliki ciri khas masing-masing pada penampilannya yang dapat membedakan antara satu dengan yang lainnya. Sedari tadi Roswel hanya berdiri tegak dengan memandangi panggung yang kosong, menunggu kemunculan Sang Penguasa yang sepertinya akan mengutarakan sebuah pengumuman penting pada mereka semua, tapi beberapa menit menunggu, sosok yang mereka tunggu masih belum tampak sedikit pun. Mungkin Sang Penguasa sedang sibuk bersiap-siap di ruangan lain, entah menyiapkan narasi pidatonya atau mungkin mengurus penampilannya yang mesti tampak rapi dan elegan. Ketika Roswel masih melamun sendirian di pojok aula yang sepi dan lengang, tiba-tiba ia dikejutkan dengan kemunculan seorang wanita yang ikut berdiri tegak di sampingnya, setelah dilihat baik-baik ternyata itu adalah Lolita. Wanita itu menghela napasnya sambil memandang lurus ke arah panggung yang masih kosong. “Tidak biasanya Sang Penguasa memanggil kita di tengah malam begini, ya?” cetus Lolita, memulai pembicaraan pada Roswel tanpa sedikit pun memandangi wajah lawan bicaranya. Wanita itu memegang boneka jeraminya yang kusut dan kotor di tangan kanannya, mukanya pun terlihat lesu dan tidak berenergi, tidak seperti Lolita yang seharusnya. “Sebenarnya ada kepentingan apa, ya? Aku benar-benar tidak mengerti, tapi di sisi lain aku jadi sangat penasaran. Bagaimana denganmu, Roswel? Apakah kau tahu sesuatu soal ini?” “Sayangnya, tidak,” jawab Roswel dengan tersenyum ramah pada Lolita, meski wanita berambut biru itu sama sekali tidak menatap matanya. “Tapi kemungkinan sesuatu yang akan dibahas oleh beliau sangat penting, jika dilihat dari sikap beliau yang jarang sekali memanggil kita di waktu-waktu seperti ini. Semoga saja bukan kabar yang buruk.” Kemunculan Lolita tidak membuat Roswel merasa terganggu, karena sejatinya dia juga haus akan sebuah obrolan ringan, tapi mengingat wanita itu baru saja berurusan dengannya di ruang penuh bunga, membuat ia jadi sedikit bimbang untuk berinteraksi lebih lanjut sebab ia tidak ingin menyinggung pertikaian sebelumnya yang terjadi antara Gissel dan Paul. “Ya, kau benar,” timpal Lolita yang kini mulai menoleh dan memandangi wajah Roswel di sampingnya dengan tersenyum miring, tampak mengejek. “Semoga saja bukan sesuatu yang berhubungan dengan kita, ya.” Tergelitik dengan perkataan Lolita yang jelas sekali menyinggung konflik antara dirinya dengan Roswel di ruangan berbunga, membuat lelaki pucat itu hanya tersenyum tipis dalam keheningan, berusaha untuk tidak menyiram api yang bergejolak dengan minyak tanah karena itu hanya akan memperburuk suasana antara mereka berdua. Sadar omongannya tidak digubris, Lolita menyeringai dan kembali bersuara, “Ngomong-ngomong, apakah kau sudah dengar kabar terbaru tentang Si Gladiol Merah?” Paham pada yang dibahas oleh Lolita, Roswel segera menggelengkan kepalanya. “Memangnya ada kabar apa tentang dia?” “Dia sudah dibebaskan,” Roswel sedikit terkejut saat mendengar itu. “Dan kini dia resmi menjadi pelayan pendamping di Megasta, dan tahu tidak? Aku tadi sempat bertemu dengannya di ruang penyambutan, tepat setelah kau dan mentormu lenyap dari situ.” “Menarik,” kata Roswel dengan terkekeh sejenak. “Lalu, apa yang dia bicarakan saat bertemu denganmu?” “Tidak banyak, hanya saja aku merasa auranya yang sekarang lebih gelap dan mengerikan dari terakhir kali aku melihatnya, bahkan mentor dan pahlawan-pahlawan bimbingannya menaruh rasa hormat yang sangat besar pada dirinya, sampai-sampai mereka menyebut orang itu dengan sebutan ‘Tuan’" Lolita terkikik-kikik sendiri, menertawakan betapa ironisnya situasi yang sedang dibicarakannya, membuat Roswel jadi ikut termenung mendengarnya. “Bukankah itu aneh sekali?” celoteh Lolita dengan menggeleng-gelengkan kepalanya sambil terkikik-kikik ria. “Di saat kita diharuskan untuk bersikap sopan dan hangat pada mentor dan pahlawan-pahlawan yang kita bimbing, dia malah bersikap dingin pada mentor dan pahlawan-pahlawannya, bahkan semena-mena pada anak-anak yang dibimbingnya, membuat mereka jadi menghormatinya dalam ketakutan.” “Apakah aku seburuk itu di matamu, Lolita?” Seketika Vardigos muncul di belakang Lolita dan Roswel, berdiri kokoh dengan wajahnya yang tampak tersenyum lebar, ia pun ikut bergabung dalam pembicaraan dengan berdiri di dekat si lelaki pucat. “Jadi, apa yang harus kulakukan agar aku tidak terlihat buruk di mata kalian?” Lolita nyaris tersedak air ludahnya sendiri saat mendengar suara Vardigos yang ada di belakangnya, tapi setelah berangsur-angsur kemudian, dia mencoba mengambil napas panjang dan mulai memaksakan diri untuk menyapa ramah pria berkulit merah dan berambut hitam panjang itu yang hadir di dekatnya. “Senang berjumpa denganmu lagi, Vardigos,” sapa Lolita dengan menyunggingkan senyuman yang terpaksa. “Kukira kau tidak akan ikut ke dalam pertemuan ini, mengingat dirimu satu-satunya pemberontak nekat di antara kita.” “Seperti biasanya, perkataanmu sangat manis dan penuh kiasan, Lolita.” Jawab Vardigos sebelum akhirnya dia terbahak-bahak sejenak. “Tidak mungkin aku melewatkan acara ini, apalagi ini adalah pertama kalinya aku kembali berkumpul bersama kalian setelah bebas dari masa penahanan. Ini sangat luar biasa, aku senang bisa berbincang lagi dengan kalian berdua, Lolita, Roswel.” Roswel hanya mengangguk sambil tersenyum, sedangkan Lolita hanya mengedikkan bahunya, tampak tidak begitu peduli pada omongan Vardigos. Keheningan mulai tercipta saat tidak ada yang mau menimpali perkataan dari Vardigos, dan akhirnya Si Gladiol Merah memutuskan untuk memulai percakapan baru di antara mereka agar suasana tetap menyenangkan. “Bagaimana dengan kalian berdua sejauh ini? Apakah menyenangkan bisa terpilih menjadi pelayan elit yang punya kewenangan membimbing mentor dan para pahlawan di negara-negara maju?” Itu hanya basa-basi. Sebenarnya Vardigos tidak begitu peduli soal bagaimana perasaan mereka berdua, tapi rasanya itu bukanlah sesuatu yang buruk untuk dijadikan sebagai sebuah pembahasan ringan. Setidaknya perbincangan mereka tidak terhenti dan tetap mengalir. Namun, sayangnya Lolita malah menggunakan kesempatan itu untuk menyerang Vardigos dengan kemampuan lidahnya yang pandai mencemooh orang lain. “Bagaimana dengan dirimu sendiri? Apakah kau senang bisa terpilih menjadi pelayan elit setelah kau baru saja dibebaskan dari hukuman beratmu? Bahkan luar biasanya, kau diberi hak untuk mengurus mentor dan para pahlawan dari Megasta, yang merupakan negara nomor satu di dunia. Tentu saja pasti membahagiakan sekali, ya? Bisa dipercaya sebegitu mudahnya oleh beliau.” Tercolek oleh ucapan Lolita yang penuh dengan sindiran dan ejekan, Vardigos hanya terkekeh-kekeh sebelum akhirnya mulai menjawabnya dengan sedikit hati-hati. “Ada beberapa hal yang membuat Sang Penguasa memutuskanku untuk dijadikan sebagai Pelayan Pendamping di Megasta, tapi aku tidak diberi tahu hal-hal apa saja itu, mungkin di pertemuan ini beliau akan menjelaskannya pada kita. Lalu mengenai ‘pelayan elit’, aku tidak yakin aku dianggap sebagai seorang pelayan elit, mengingat rekam jejakku sangat buruk dan bermasalah. Mungkin aku masih dinilai sebagai pemberontak dan membimbing mentor dan para pahlawan di Megasta adalah salah satu syarat agar mereka bisa memaafkan kesalahanku, tapi itu baru kemungkinan, aku tidak tahu secara pasti.” “Tapi kau senang, kan?” Tidak mau melewatkan kesempatan ini, Lolita terus melancarkan serangan lidahnya agar dia dapat menguasai dan mengendalikan emosi Vardigos. “Lagipula, kau tidak mungkin ‘biasa-biasa saja’ saat mendengar nama ‘Megasta’, itu adalah negara nomor satu di dunia dan setiap pelayan pendamping seperti kita, selalu ingin membimbing mentor dan para pahlawan di sana, sebab siapa pun yang diperintah untuk membimbing anak-anak di sana, adalah satu-satunya pelayan yang sangat berkualitas dan dapat dipercaya oleh Sang Penguasa.” Vardigos terdiam sejenak, Lolita terkikik-kikik melihat ucapannya berhasil mencekik jiwa lelaki berkulit merah itu, sementara Roswel hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. “Ah, sepertinya aku ingin minum beberapa anggur, apa kau mau juga?” bisik Roswel dengan menyenggol lengan kanan Vardigos yang berdiri di samping kirinya. Menyadari pertolongan dari Roswel, Vardigos tersenyum senang dan segera mengangguk. “Lolita, kami mau mengambil beberapa anggur, apa kau keberatan jika ditinggal sebentar oleh kami?” Mendengar itu, Lolita hanya menghela napas dan memasang wajah sebal. “Silahkan.” Kemudian, Roswel dan Vardigos secara santai berjalan ke area tengah aula untuk mendatangi meja panjang yang menyediakan ratusan minuman anggur yang berkilauan di dalam gelas yang langsing dan cantik. Sesampainya di meja itu, Roswel tidak langsung mengambil minuman, ia berhenti dan bertanya pada Vardigos dengan mengernyitkan alisnya. “Kau baik-baik saja?” Roswel mengkhawatirkan kondisi Vardigos setelah sebelumnya diprovokasi oleh Lolita dengan sebegitu kejamnya, seolah-olah kehadiran Si Gladiol Merah adalah sesuatu yang menjijikan. Namun, bukannya merasa marah atau jengkel, Vardigos hanya tertawa setelah mendengar pertanyaan dari Roswel, seakan-akan itu adalah sesuatu yang sangat lucu, membuat Si Lelaki Pucat jadi terheran-heran. “Seperti biasanya, kau memang selalu baik padaku, Roswel,” ungkap Vardigos dengan masih terbahak-bahak di samping Roswel. “Tidak perlu mengkhawatirkanku, aku baik-baik saja.” “Syukurlah,” Roswel tersenyum lega. “Kukira kau akan marah dan mengamuk seperti dulu, aku bahkan sangat tegang ketika Lolita terus-terusan memancingmu.” “Itu memang sedikit membuatku terusik, tapi aku sudah tidak begitu menganggapnya serius, aku telah melewati berbagai hal mengerikan di ruang tahanan dan ucapan-ucapan dari Lolita sama sekali tidak sebanding dengan kengerian yang pernah kurasakan di sana,” kata Vardigos dengan tersenyum lebar dan mengambil satu gelas minuman anggur di permukaan meja panjang lalu meminumnya dengan sekali tegukan dan meletakkan gelasnya kembali setelah isinya kosong. “Jadi begitulah. Kau tidak perlu mengkhawatirkanku.” “Mereka sedang membicarakanku, ya?” Lolita menaikan sebelah alisnya sambil mengamati gerak-gerik Roswel dan Vardigos yang sedang mengobrol di dekat meja minuman. “Yah, tidak masalah, aku senang jika seranganku berhasil mengguncangkan jiwa mereka.” “Kalau begitu, ayo kita kembali?” ajak Vardigos pada Roswel agar mereka kembali ke dekat Lolita, mendengarnya Roswel hanya mengangguk dan mengambil dua gelas minuman di dua tangannya. “Ini untukmu.” kata Roswel sambil menyerahkan satu gelas minuman anggur pada Lolita sesampainya dia di tempat sebelumnya. “Terima kasih,” Lolita tersenyum dan meraih gelas minuman itu dari tangan kiri Roswel dan segera menggenggamnya secara anggun dalam tangan kanannya. “Kau tidak suka anggur?” tanya Lolita pada Vardigos setelah menyadari lelaki berkulit merah itu tidak membawa segelas minuman di tangannya. “Aku sudah meneguknya di sana,” balas Vardigos dengan terkekeh. “Dan rasanya benar-benar menjijikan.” Tersenyum miring, Lolita mengerlingkan bola matanya dalam-dalam ke muka Vardigos. “Ya, kau benar,” Sambil berbicara, Lolita meneguk sedikit anggur itu dengan terkikik-kikik. “Rasanya sangat menjijikan.” Mendengar pembicaraan dua rekannya, Roswel hanya memandang ke depan aula sembari menikmati minumannya, tidak menghiraukan omongan dari mereka dan kembali fokus menunggu kemunculan Sang Penguasa di atas panggung kecil tersebut. Keriuhan jadi semakin bising, para pelayan pendamping di sana turut meramaikan suasana, jumlah mereka ratusan dan nyaris memenuhi sebagian aula, suara bisikan, obrolan, seruan, teriakan, tawa, dan bahkan tangisan terus-terusan terdengar dari banyak perbincangan dari berbagai pelayan pendamping di sana. Roswel, Vardigos, dan Lolita juga termasuk ke dalam orang-orang yang meriuhkan suasana, mereka bertiga tampaknya jadi begitu akrab. Dan mendadak, kebisingan itu terhenti dalam sekejap, setelah sesosok yang mereka tunggu-tunggu, telah berdiri di atas panggung. Keriuhan yang sebelumnya terjadi tiba-tiba hening dan sunyi hanya dalam hitungan detik, seolah-olah hadirnya sosok tersebut mampu mengendalikan suasana tanpa mengatakan apa pun. Segala tawa, segala obrolan, dan segala perselisihan, langsung terbungkam dan lenyap begitu saja. Semua pelayan pendamping yang hadir di aula segera memandang ke depan aula, untuk memperhatikan sosok yang memanggil mereka, untuk mendengar apa yang akan disampaikannya di tengah malam yang dingin seperti ini. Dengan tersenyum tipis, memancarkan aura yang begitu lembut dan menggetarkan hati, sosok itu mulai berbicara dengan suara halusnya yang dinyaringkan. “Selamat malam, anak-anakku,” ucap sosok yang diduga sebagai Sang Penguasa, menyapa para pelayan pendamping ciptaannya dengan melambai-lambaikan tangan kanannya. “Terima kasih atas kepatuhan dan kesetiaan kalian mau berkumpul di istana kita yang kecil ini,” Terdiam sejenak, sosok itu kembali melanjutkan perkataannya. “Aku akan memberikan beberapa informasi pada kalian, semoga ini tidak terlalu menghabiskan banyak waktu, mengingat kalian juga membutuhkan waktu istirahat di tengah malam seperti ini. Mari kita berharap agar aku bisa menyampaikannya sesingkat mungkin. Kalau begitu, mari kita mulai.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN