Setelah layar ponselku jadi merah total, sekarang aku resah harus berbuat apa. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk mengatasi hal semacam ini, bahkan Angela Ribella saja, yang merupakan seorang hacker, bisa diserang dengan mudah dan sampai pergi meminta bantuan orang lain.
Tidak bisa lagi menggunakan ponselku, aku terpaksa harus mencari solusi, lalu mataku menemukan Olivia yang sedang mengobrol ria bersama teman-temannya di depan kelas. Dengan cepat, aku segera melangkahkan kakiku keluar ruangan.
"Eh? Ada apa dengan mukamu, Crowder?" tanya Olivia saat dia melihatku mendatanginya dengan membawa wajah yang dipenuhi ketegangan.
"Aku ingin bicara denganmu." ucapku dengan d**a yang kembang-kembis saking paniknya. "hanya berdua." Mengerti pada maksudku, orang-orang yang mengerubungi Olivia satu-persatu mulai berpamitan pada ketua kelasku dan pergi dari hadapannya.
Setelahnya, aku langsung mengajak Olivia ke taman sekolah, duduk di kursi besi panjang untuk menceritakan hal yang saat ini terjadi padaku, dan memperlihatkan layar ponselku yang merah total padanya.
"Astaga, kau benar, layarmu jadi merah total," kata Olivia dengan mata yang membelalak memandangi ponselku. "Apakah ini bisa diperbaiki?"
"Sepertinya mustahil, karena terserang virus."
"Tapi kenapa ini bisa terjadi?" tanya Olivia dengan terheran-heran.
Aku menahan diri untuk tidak menjelaskan penyebabnya pada Olivia, yang kukatakan hanyalah soal layarnya yang tiba-tiba memerah dan bahwa itu tertimpa virus, karena jika kubongkar akar masalah yang sebenarnya, aku bisa membocorkan soal keberadaan organisasi rahasiaku pada ketua kelasku dan itu tidak boleh sampai terjadi. Walaupun dia sudah menjadi salah satu orang yang dekat denganku atau bahkan telah menjadi orang yang sangat kupercaya, aku tetap tidak boleh membongkar soal eksistensi organisasi rahasiaku.
Akhirnya, aku hanya menjawab pertanyaan ketua kelasku dengan mengedikkan bahu. "Entahlah."
"Kau boleh meminjam ponselku kalau kau punya urusan penting dengan orang lain, Crowder."
Mendengar tawaran itu, dengan semangat aku menimpalinya. "Kalau kau tidak keberatan, aku ingin meminjamnya sekarang."
"Eh?" Olivia tercekat lalu merespon. "Baik, tunggu sebentar... ah, ini dia, silakan."
Aku langsung mengambil ponsel ketua kelasku dari tangannya dan segera menyelesaikan urusanku yakni mengirim email pada seluruh anggota organisasiku untuk memberikan pengumuman penting bahwa sepulang sekolah kami harus berkumpul untuk membahas hal yang baru saja terjadi. Setelah terkirim, aku langsung menghapus email-email itu sampai ke bagian sampahnya, agar Olivia tidak bisa memeriksanya.
Alasan kenapa aku memilih untuk mengirim email, karena aku yakin tidak ada gunanya menghubungi mereka lewat SMS atau telepon karena ponsel mereka pasti juga sedang diserang virus. Sedangkan jika aku menghubungi mereka lewat email, mereka pasti bisa mengaksesnya dari alat lain selama masih terkait dengan akun yang sama.
"Terima kasih." Aku menyerahkan kembali ponsel itu pada Olivia dan gadis berambut hitam panjang itu hanya tersenyum tipis saat menerimanya.
Ketika aku hendak berdiri dari kursi untuk kembali ke kelas, Olivia tiba-tiba memekik. "Crowder!"
Aku menoleh padanya dan terheran. "Apa?"
"Sudah normal!" ucap Olivia dengan telunjuk kanannya menunjuk ke arah ponselku yang sedang kupegang di tangan. "Layar ponselmu sudah normal!"
Mendengar itu, aku langsung mengangkat ponselku untuk memeriksanya dan ternyata benar, layarnya sudah pulih, tidak lagi merah seperti sebelumnya. Aku tidak tahu harus senang atau heran melihat itu, tapi setidaknya sekarang aku bisa menghubungi organisasiku dengan mudah, karena aku berniat sekali lagi memberi pengumuman jika mereka tidak sempat membuka email dariku.
Namun, saat aku baru saja kembali merebahkan pantatku ke kursi taman, aku dan Olivia terkejut saat sebuah video tiba-tiba terputar secara otomatis di ponselku.
"Video apa itu, Crowder?" tanya Olivia penasaran.
Aku menggelengkan kepala. "Rasanya aku belum pernah menyimpan video semacam ini di ponselku."
Karena tidak paham pada apa yang terjadi pada ponselku sekarang, aku dan Olivia langsung menonton dengan serius saat videonya mulai menunjukkan sesuatu di ponselku. Pemandangannya tidak jelas, orang yang memegang video sedang banyak bergerak, tapi suara tawa dari beberapa remaja laki-laki terdengar di sana.
"Hey Crowder, jika kau sedang merekam video, tanganmu jangan terlalu banyak bergerak." sindir Olivia dengan terkikik-kikik.
"Sudah kubilang, aku belum pernah menyimpannya apalagi merekam video aneh ini." Aku benar-benar jengkel mendengar sindiran ketua kelasku.
Kemudian kami kembali fokus pada video tersebut. Sekarang sudah mulai terlihat dengan jelas, aku melihat seorang bocah remaja laki-laki yang mengenakan seragam SMP sedang duduk di sebuah kursi, kepalanya tertunduk, dengan tangannya terikat ke bagian belakang kursi. Dia berada di ruangan yang kosong, dan sekitar 4 remaja laki-laki lain ada di sekitarnya, termasuk yang sedang memegang kamera.
Mereka semua berdiri, sedang tertawa bahagia melihat kondisi dari si bocah yang sedang terikat di kursi. Kemudian, salah satu dari mereka mendekati bocah itu dan mengangkat kepalanya yang tertunduk untuk tegak, menampakkan wajahnya ke kamera. Olivia terkesiap saat mengetahui bahwa wajah dari bocah yang duduk di kursi, ternyata babak belur penuh bekas hajaran yang membiru dan membengkak, juga darah segar mengalir di hidung dan bibir bocah tersebut.
"Apa-apaan ini!?" Olivia berseru di sampingku dengan napasnya yang menderu, dia sepertinya kaget saat menyadari bahwa video yang sedang ditontonnya menampilkan pemandangan yang mengerikan.
Sedangkan aku hanya duduk membeku dalam keheningan, aku mulai ingat bahwa video yang kami tonton sekarang adalah video yang pernah kurekam saat masih SMP. Orang yang memegang kamera adalah diriku sendiri, dan aku ingat sekali setiap kejadian yang ada di video itu. Tapi seingatku aku sudah menghapus video itu dan belum pernah membagikannya pada siapapun, tapi kenapa sekarang bisa muncul kembali dan bahkan terputar otomatis di ponselku?
"B-Bagaimana kalau kita sudahi saja, ini mulai aneh." Keningku jadi berkeringat saking gelisahnya.
"Tidak-tidak! Aku ingin menontonnya sampai habis!" Sialnya, ketua kelasku menolak saranku mentah-mentah.
Aku menggigit bibir bawahku saat adegan dari video itu mulai ke bagian di mana orang yang memegang kamera menunjukkan wajahnya ke layar dan ikut tertawa terbahak-bahak seperti kawan-kawannya.
Itu sangat menjijikan. Aku bahkan ingin muntah melihat wajahku ada di sana.
Aku melirik sedikit ke arah Olivia dan kaget saat matanya sedang membelalak lebar ketika videonya menampilkan wajahku dengan begitu jelas.
"Crowder... apa maksudnya ini?"
Aku berusaha untuk tetap tenang. "Seperti yang kau lihat, itu aku."
Olivia menoleh padaku dan memandangi mukaku dengan sorotan mata yang benar-benar tidak percaya terhadap apa yang baru saja aku katakan.
"Tapi kenapa kau bisa ada di sana, tertawa dan membiarkan anak itu menderita sendirian!?"
Aku hanya terdiam, tidak berniat untuk membalas atau menjelaskan apapun karena itu tidak perlu. Mungkin ini sudah waktunya karma datang ke dalam hidupku. Orang bodoh sepertiku pantas menerima balasan dari apa yang telah kuperbuat pada orang lain.
"Hey! Jawab pertanyaanku, Crowder!" Olivia mencengkram dua pundakku dan menggoyang-goyangkan badanku, matanya melotot, ia memaksaku untuk berbicara.
Namun, aku tetap menutup mulutku rapat-rapat. Sampai akhirnya, air mata Olivia berlinang dari kedua pipinya dan dengan lembut dia kembali bersuara. "K-Kenapa... Kenapa kau diam saja, Crowder."
Aku langsung mematikan video itu dan memasukan ponselku ke kantung celana. Lalu aku beranjak bangun dari kursi taman, dan sebelum aku benar-benar melangkahkan kakiku untuk pergi meninggalkan Olivia, aku berkata dengan suara yang pelan.
"Tidak ada yang perlu kubicarakan karena semua sudah jelas. b******n itu memang aku. Itu adalah wujud diriku saat SMP. Sekarang kau sudah mengetahui masa laluku. Keputusan selanjutnya ada di tangannmu, tetap berteman denganku atau tidak, itu terserah padamu. Apapun pilihanmu, tidak akan berpengaruh pada apapun. Aku akan tetap membantu masalahmu dan kau boleh menjauhiku setelah itu, Olivia."
Setelah mengatakan itu, aku langsung pergi meninggalkannya.
Sepulang sekolah, aku langsung bergegas ke ruang kelas kosong di belakang sekolah, tempat rutin organisasiku berkumpul, dan aku senang saat menemukan mereka semua sudah hadir di sana, itu artinya pesan yang kukirim telah diterima dengan baik.
"Oke, sekarang kita langsung saja ke intinya." ucapku tanpa basa-basi saat aku baru saja masuk ke ruangan.
After my phone screen turned completely red, now I'm worried about what to do. I don't know what to do to deal with this kind of thing, even Angela Ribella, who is a hacker, can be attacked so easily and go to ask someone else for help.
can no longer use my cellphone, I was forced to find a solution, then my eyes found Olivia who was chatting happily with her friends in front of the class. I quickly stepped out of the room.
"Eh? What's with your face, Crowder?" Olivia asked as she saw me coming towards her with a face filled with tension.
"I want to talk to you." I said with a chest that expands from panic. "only two of." understand what I mean, the people who surrounded Olivia one by one began to say goodbye to my class president and left in front of him.
after that, I immediately took Olivia to the school garden, sat on a long iron chair to tell her what was currently happening to me, and showed her my completely red cell phone screen.
"Gosh, you're right, your screen went completely red," Olivia said wide-eyed at my phone. "Can this be fixed?"
"It seems impossible, because of the virus."
"But why did this happen?" asked Olivia in amazement.
I refrained from explaining the cause to Olivia, all I said was about her screen suddenly turning red and that it had a virus, because if I uncovered the real root of the problem, I could leak the existence of my secret organization to my class president and it didn'tmay happen.even though he has become one of the people who are close to me or even has become a person I really trust, I still can't reveal the existence of my secret organization.
In the end, I simply answered my class president's question with a shrug. "Who knows."
"You can borrow my cell phone if you have important business with someone else, Crowder."
Hearing the offer, I enthusiastically replied. "If you don't mind, I'd like to borrow it now."
"Eh?" Olivia choked and then responded. "Okay, wait a minute... ah, here it is, please."
I immediately took my class president's cellphone from his hand and immediately finished my business, namely sending emails to all members of my organization to give an important announcement that after school we had to gather to discuss what had just happened. After they were sent, I immediately deleted the emails all the way to the trash, so Olivia couldn't check them.
the reason why I chose to send the email, is because I'm sure there's no point in contacting them via text or phone because their cell phones must be under virus too. whereas if I contacted them via email, they would be able to access it from another device as long as it was linked to the same account.
"Thank you." I handed the phone back to Olivia and the girl with long black hair just smiled faintly as she took it.
when I was about to get up from the chair to return to class, Olivia suddenly shrieked. "Crowders!"
I turned to him and was amazed. "What?"
"It's normal!" Olivia said with her right index finger pointing at my cell phone which I was holding in my hand. "Your phone screen is back to normal!"
hearing that, I immediately picked up my phone to check it and it turned out to be true, the screen has recovered, it's no longer red like before. I don't know whether to be happy or surprised to see that, but at least now I can contact my organization easily, because I intend to make an announcement once again if they don't have time to open an email from me.
however, when I was just laying my ass back on the park bench, Olivia and I were surprised when a video suddenly played automatically on my phone.
"What video is that, Crowder?" Olivia asked curiously.
I shook my head. "I don't think I've ever saved a video like this on my phone."
Not understanding what's happening on my phone right now, Olivia and I immediately watched seriously as the video started showing something on my phone. the scene was not clear, the person holding the video was moving a lot, but the laughter of several teenage boys was heard there.
"Hey Crowder, if you're shooting video, don't move your hands too much." Olivia giggled.
"I told you, I've never saved it let alone recorded this weird video." I'm really annoyed to hear my class president's insinuation.
Then we returned to focus on the video. Now that it's clearly visible, I see a teenage boy wearing a junior high school uniform sitting on a chair, his head bowed, his hands tied to the back of the chair. he was in an empty room, and about 4 other teenage boys were around him, including the one holding the camera.
They all stood up, laughing happily at the condition of the boy who was tied to the chair. then, one of them approached the boy and raised his bowed head to straighten, revealing his face to the camera. Olivia gasped when she found out that the face of the boy sitting on the chair, turned out to be battered and covered in blue and swollen marks, and fresh blood was running down the boy's nose and lips.
"What is this!?" Olivia shouted beside me with her breath roaring, she seemed shocked when she realized that the video she was watching was showing a horrific scene.
while I just sat frozen in silence, I began to remember that the video we were watching now was a video I had recorded when I was in middle school. The person holding the camera is myself, and I remember very well every single incident in the video. but as i remember i deleted the video and never shared it with anyone, but why now it can reappear and even autoplay on my phone?
"H-Shall we just get over it, this is starting to get weird." My forehead became sweaty from anxiety.
"No, no! I want to watch it to the end!" Unfortunately, my class president rejected my suggestion flatly.
I bit my lower lip as the scene from the video starts to the part where the person holding the camera shows his face to the screen and bursts out laughing like his friends.
that is very disgusting. I even want to throw up seeing my face there.
I glanced slightly at Olivia and was surprised as her eyes were wide open when the video showed my face so clearly.
"Crowder... what does this mean?"
I tried to stay calm. "As you can see, it's me."
Olivia turned to me and looked at my face with eyes that couldn't believe what I just said.
"But how come you were there, laughing and letting the kid suffer alone!?"
I was just speechless, not intending to reply or explain anything because it wasn't necessary. Maybe it's time for karma to come into my life. A fool like me deserves retribution for what I have done to others.
"Hey! Answer my question, Crowder!" Olivia grabbed my shoulders and rocked me, her eyes bulging, she forced me to speak.
However, I kept my mouth shut tight. Until finally, Olivia's tears rolled down her cheeks and she softly spoke again. "W-Why..why are you silent, Crowder."
I immediately turned off the video and put my phone in my pants pocket. Then I got up from the park bench, and before I actually stepped my feet to leave Olivia, I said in a low voice.
"There's nothing I need to talk about because it's all clear. That bastard was me. That was who I was in middle school. Now you know my past. The next decision is yours, stay friends with me or not, it's up to youwhatever you choose, it won't affect anything. I'll still help with your problem and you can stay away from me after that, Olivia."
After saying that, I immediately left him.
after school, I immediately rushed to the empty classroom behind the school, where my organization routinely gathered, and I was happy to find that they were all there, that means the message I sent was well received.
"Okay, now let's get to the point." I said matter-of-factly as I just entered the room.
"Seperti yang kalian tahu," ucapku membuka pidato di depan para anggotaku yang sedang berdiri kompak memandangiku. "Kita sudah menemukan identitas dari pelaku yang meneror Olivia, dan aku sangat berterima kasih pada upaya Angela Ribella yang telah menerobos sistem dan mendapatkan data-data penting tersebut untuk kita. Tanpa jasanya, kita tidak akan sampai sejauh ini."
Secara serentak, seluruh anggotaku bertepuk tangan, Angela Ribella yang juga hadir di antara mereka, juga ikut bertepuk tangan dan tersenyum simpul, dia terlihat bangga terhadap kontribusinya yang sangat besar pada kasus pertama kami. Ketika gemuruh tepuk tangan mulai reda, aku kembali melanjutkan pidatoku.
"Namun, setiap langkah kita akan selalu mendatangkan resiko, dan setiap resiko bisa mengorbankan banyak hal. Itu akan menjadi makanan kita setiap hari, selama kita masih punya keberanian untuk menyelami berbagai kasus yang akan datang di organisasi ini," Aku ambil napas sejenak. "Contohnya seperti siang tadi, kita dihadapkan dengan sebuah resiko yang cukup mengerikan setelah kita mendapatkan informasi terkait pelaku teror dari kasus Olivia, di mana layar laptop Ribella, dan layar ponsel kita semua berubah menjadi merah, semerah darah."
Keheningan menyertai ruangan tempat kami berkumpul, entah kenapa semua anggotaku jadi tampak begitu serius dari biasanya, wajah-wajah mereka jelas menunjukkan bahwa mereka ingin segera membereskan kasus Olivia agar segala mimpi buruk yang sedang terjadi bisa cepat usai. Aku sebenarnya ingin sekali membahas video yang terputar otomatis di ponselku pada mereka, mungkin saja setiap anggotaku juga mengalami hal serupa dan bisa saja setiap videonya memutar tayangan yang berbeda-beda menyesuaikan siapa pengguna ponsel tersebut.
Namun jika aku membahasnya, secara tidak langsung aku akan mengekspos masa lalu kelamku dan tindakan seperti itu bagiku sama saja seperti bunuh diri. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi mereka saat mengetahui bahwa pendiri organisasi ini, yang memiliki tujuan mulia untuk melenyapkan segala perundungan, penindasan, dan kekerasan di sekolah, ternyata dulunya juga sering menyakiti, menyiksa, dan menyengsarakan orang lain.
Jadi aku putuskan untuk tidak membahasnya dan fokus pada topik-topik yang lain.
"Alasanku mengumpulkan kalian semua hari ini," lanjutku dengan menatap setiap muka anggotaku dengan tajam. "untuk mendiskusikan apa arti dari layar merah yang kita terima tadi siang dan langkah apa yang akan kita lakukan selanjutnya untuk menangkap Bobby si pelaku teror. Aku minta tanggapan kalian sekarang."
Baru saja aku mengatakan hal itu, Cherry Rosemary, si gadis mungil berambut merah muda yang dikucir dua, langsung memekik. "Ini mungkin bukan tanggapan atau pendapat, tapi aku ingin bertanya sesuatu, bolehkah?" tanyanya dengan memandang mukaku dengan tegang. Aku menganggukkan kepala sebagai respon, lalu Cherry melanjutkan perkataannya. "Selain layar ponsel yang jadi memerah, apakah kalian juga menerima sebuah pesan video?"
"Pesan video?" Nicholas Smith mengulangi ucapan Cherry, sedikit terheran dengan itu.
"Ya! Pesan video!" Cherry berseru, meyakinkan Nicholas Smith. "Mungkin cuma aku saja yang mendapatkannya, tapi pesan video yang diterimaku cukup membuatku marah. Aku tidak tahu siapa pelaku yang mengirimkannya, karena video itu tiba-tiba terputar di ponselku dan langsung menghilang begitu saja setelah kutonton sampai selesai, tapi itu cukup membuatku ketakutan, karena siapapun orangnya, dia berhasil menemukan rahasiaku yang paling tidak ingin diketahui oleh orang lain! Itu seperti pesan isyarat agar aku tidak terlibat ke dalam sesuatu yang bukan urusanku dan jika aku tidak mematuhinya, rahasiaku bisa terungkap ke publik!"
"Sebenarnya, aku juga mendapatkannya," Kini yang menimpali omongan Cherry adalah Sebastian Emanuel, si lelaki berambut pirang yang selalu mengenakan jas hitam. Kali ini wajahnya tampak begitu pucat, bibirnya juga bergetar saat dia sedang berbicara. "Aku yakin itu berasal dari Bobby, mantan pacarnya Olivia, dia sepertinya lebih ahli dari Angela dalam meretas data-data orang lain. Aku juga sempat berpikir, mungkin itu sama seperti sebuah pesan bahwa jika aku tetap melanjutkan ini, rahasiaku akan terbongkar sampai ke akar-akarnya."
Angela Ribella langsung menyahut. "Tapi kalian tidak langsung menyerah begitu saja, kan?"
Mendengar itu, Sebastian menoleh ke muka Angela dengan tatapan yang sangat dalam. "Tentu saja tidak, aku masih ingin menyelesaikan kasus ini bersama kalian, hanya saja...," Sebastian menghela napasnya dengan memandang lemas ke lantai. "Aku resah pada apa yang akan terjadi jika semua orang mengetahui sesuatu yang seharusnya mereka tidak ketahui tentangku."
"Aku mengerti perasaanmu, Sebastian," Tidak kusangka, Violetta Beganville, untuk pertama kalinya berbicara di pertemuan ini, tidak lagi hanya sebatas menjadi pendengar. Gadis berambut ungu itu terlihat berusaha keras menyaringkan suaranya agar bisa terdengar oleh semua orang. "Aku juga menerima pesan video itu dan cukup membuatku kepikiran sampai sekarang, aku takut semua orang menjauhiku kalau mereka tahu aku ini ternyata..." Violetta tidak meneruskan ucapannya dan hanya menundukkan kepalanya dengan murung.
"Hey! Hey! Hey!" Kami semua kaget saat Joe Johanes, si lelaki berambut hijau jabrik, tiba-tiba saja berteriak keras di ruangan. "Ayolah, Bro! Jangan seperti ini! Aku tidak suka suasana tegang dan sendu begini! Aku juga sama seperti kalian, menerima sebuah video berisi rahasiaku yang cukup membuatku cemas, tapi kalaupun aku mematuhi peringatannya, itu tidak menjamin rahasiaku akan tetap aman, karena dia bisa gunakan hal itu untuk terus mengancamku selamanya! Apa kalian mau diperbudak oleh orang itu seumur hidup, tentu tidak, kan, bro!?"
Aku tersenyum miring. Apa yang diucapkan oleh Joe Johanes cukup masuk akal, karena sekali rahasia kita terbongkar, maka tinggal menunggu waktu saja sampai semuanya terungkap ke publik. Tidak ada gunanya menuruti segala ancaman yang dibuat oleh si pelaku, karena itu hanya buang-buang waktu. Aku tidak menyangka siswa yang berasal dari kelas E bisa punya pendapat yang begitu cemerlang, dan berkat Joe Johanes, suasanapun jadi cair dan segala keresahan di antara anggotaku, perlahan-lahan mulai lenyap.
"Aku setuju pada omonganmu, Joe," Vino Evonic, si lelaki berambut biru yang kikuk mulai memberanikan diri untuk menyuarakan pendapatnya. "Percuma saja mematuhi segala kemauan dari pelaku yang mengirimkan video-video itu, karena cepat atau lambat, dia pasti akan membongkar rahasia-rahasia kita. Daripada takut pada ancaman-ancaman semacam itu, kupikir lebih baik kita fokus pada bagaimana cara kita menangkap Bobby si teroris itu, aku yakin dia-lah dalang dibalik semua ini."
Perkembangan yang menarik. Aku suka pada cara setiap anggotaku berpendapat, mereka semua bisa menyalurkan segala keresahan mereka menjadi sebuah solusi, dan Vino Evonic punya peran yang cukup bagus karena dia telah membuat rekan-rekannya ikut memikirkan bagaimana cara memecahkan masalah ini, alih-alih takut pada ancaman-ancaman yang tidak berdasar. Kupikir dia cuma seorang pecundang yang kikuk, tapi ternyata penilaianku salah.
"Ya, aku juga sependapat denganmu, Vino," Eleanor Romanes, si gadis berambut merah, juga ikut berbicara setelah dari tadi hanya diam menyimak. "Hanya saja, kita berada di titik buntu. Kita belum punya solusi yang matang."
"Persetan dengan solusi yang matang!" Semua tersentak saat Barbara Salvador memukul tembok ruangan sampai retak, kelihatannya hari ini si gadis tomboy sedang sangat murka. "Kenapa kita tidak pergi saja ke tempat tinggal Si Bobby b******k itu dan menghajarnya sampai mati!? Aku muak pada semua omong kosong kalian!"
"Tapi itu terlalu beresiko," timpal Alexander Coldish, si lelaki berambut abu-abu berkulit gelap dan berbadan tinggi, menegur Barbara Salvador dengan suara yang pelan tapi tegas. "Lawan kita adalah pria dewasa, kita harus berhati-hati."
"Memang kenapa jika dia pria dewasa, hah!?"
Sial. Amarah Barbara Salvador jadi semakin meledak saat Alexander Coldish mengkritiknya, si gadis tomboy langsung mendatangi lelaki tinggi itu dengan mata yang melotot lebar. Tingkahnya saat ini mirip seperti hewan buas, aku benci situasi panas seperti ini.
"Salvador, kau tidak perlu melampiaskan emosimu padanya, dia hanya berpendapat, bukan mengajakmu bertarung." tegasku pada Barbara Salvador membuat kepala gadis tomboy itu langsung mengarah padaku.
"Ah ya! Ini dia! Bos dari organisasi sialan ini! Yang tidak becus mencari solusi!" Sekarang Barbara mengalihkan amarahnya padaku, ia mulai mendekatiku dengan menyeringai, tampak seperti serigala yang bersiap-siap untuk menerjang buruannya. "Dengar, Paul Crowder b******k! Kau mungkin tidak menyadarinya, tapi kau di mataku cuma cecunguk yang—"
"Ada ribut-ribut apa ini?" Tiba-tiba omongan Barbara Salvador terpotong saat suara perempuan asing terdengar di depan pintu ruangan tempat kami berkumpul, alhasil setiap mata langsung terpusat ke sumber suara, dan di sanalah aku dan para anggotaku menemukan sesosok gadis ramping berambut cokelat sebahu yang sedang berdiri sambil melipatkan lengannya di d**a, senyuman kecil terpahat di wajahnya.
"As you know," I said opening my speech in front of my members who were standing together looking at me. "We have found the identity of the perpetrator who terrorized Olivia, and I am very grateful to Angela Ribella's efforts for breaking through the system and obtaining such important data for us. Without her services, we would not have come this far."
simultaneously, all my members applauded, Angela Ribella who was also present among them, also clapped and smiled, she seemed proud of her very large contribution to our first case. when the thunderous applause subsided, I resumed my speech.
"However, every step we take will always bring risks, and every risk can cost us many thingsit will be our food every day, as long as we still have the courage to dive into the various cases that will come in this organization," I took a breath for a moment"For example, like this afternoon, we are faced with a pretty terrible risk after we get information regarding the terrorists from the Olivia case, where the screens of Ribella's laptop, and the screens of our cellphones all turned red, red as blood."
silence filled the room where we gathered, for some reason all my members looked so serious than usual, their faces clearly showed that they wanted to immediately clear up Olivia's case so that all the nightmares that were happening could end quickly. I actually really want to discuss videos that play automatically on my cellphone with them, maybe each of my members also experiences the same thing and every video can play different shows according to who the cellphone user is.
but if I were to talk about it, I'd be indirectly exposing my dark past and such actions to me would be like suicide. I can't imagine how they will react when they find out that the founder of this organization, who has a noble goal of eliminating all bullying, bullying, and violence in schools, turns out to have often hurt, tortured, and suffered other people.
so I decided not to talk about it and focused on other topics."The reason I gathered all of you today," I continued, staring intently at each of my members' faces. "To discuss the meaning of the red screen we received this afternoon and what steps we will take next to catch Bobby the terroristI need your feedback now."
Just as I said that, Cherry Rosemary, the little girl with pink hair in two pigtails, immediately squealed. "This may not be a response or an opinion, but I want to ask you something, may I?" he asked, looking at my face with tension. I nodded my head in response, then Cherry continued her words. "Besides the phone screen turning red, did you also receive a video message?"
"Video message?" Nicholas Smith repeated Cherry's words, slightly taken aback by that.
"Yes! Order a video!" cherry exclaimed, reassuring Nicholas Smith. "Maybe I'm the only one who got it, but the video message I received was enough to make me angryI don't know who the perpetrator sent it, because the video suddenly played on my cellphone and immediately disappeared after I watched it until it was finished, but it was enough to scare me, because whoever it was, he managed to find my secret that most people don't want to knowothers!
it's like a signal message that I don't get involved in something that's none of my business and if I don't comply, my secret will be exposed to the public!"
"Actually, I got it too." Now the one who chimed in Cherry was Sebastian Emanuel, the blonde man who always wore a black coat. This time his face looked so pale, his lips also trembled as he spoke. "I'm sure it came from Bobby, Olivia's ex-boyfriend, he seems to be more skilled than Angela at hacking other people's data. I also thought, maybe it's the same as a message that if I continue this, my secret will be exposed to the root -roots."
Angela Ribella immediately answered. "But you didn't just give up right away, did you?"
Hearing that, Sebastian turned to Angela's face with a very deep gaze. "Of course not, I still want to work this case out with you guys, it's just . . ." Sebastian sighed as he looked limply at the floor. "I'm nervous about what will happen if everyone finds out something they shouldn't know about me."
"I understand how you feel, Sebastian," To my surprise, Violetta Beganville, speaking for the first time at this meeting, was no longer merely a listener. The purple-haired girl seemed to be trying hard to filter her voice so that everyone could hear it. "I also received that video message and it's enough to make me think until now, I'm afraid that everyone will stay away from me if they find out that I am actually..." Violetta didn't continue her words and just lowered her head glumly.
"Hey! Hey! Hey!" we were all shocked when Joe Johanes, the man with spiky green hair, suddenly shouted loudly in the room. "Come on, Bro! Don't be like this! I don't like this tense and sad atmosphere! I too, just like you guys, received a video containing my secret which made me quite anxious, but even if I obeyed his warning, that doesn't guarantee my secret will stay safe, because he could use it to keep threatening me forever! do you want to be enslaved by that person for life, of course not, right, bro!?"
I smiled lopsidedly. What Joe Johanes said is quite reasonable, because once our secret is revealed, it is only a matter of time until everything is revealed to the public. there is no point in complying with any threats made by the perpetrator, because it is a waste of time. I didn't expect a student from class E to have such a brilliant opinion, and thanks to Joe Johanes, the atmosphere became light and all the restlessness among my members, slowly began to dissipate.