Author P.O.V
Kedua sahabat sejoli itu, Jesi dan Naumi masih betah menatap sosok Juan yang berada di dalam mobil.
“Pangeran,” lirih Adam mengernyit. Adam nampak familiar dengan wajah tersebut. Seolah – olah sering melihatnya.
Jesi yang tiba – tiba tersadar akhirnya mendehem pelan
“Ehem. Lu kenal dengan dia?” tanya Jesi pada Naumi dengan suara sepelan mungkin agar orang yang berada disekitarnya tidak mendengar
“Lah dia kan yang mengisi seminar sesi pertama tadi. Gimana sih lu,” terang Naumi pelan dengan tatapan yang masih pada Juan tanpa berkedip
“Apa? Yang benar lu? Kok gue gak tahu?” tanya Jesi tidak percaya
“Gimana mau tahu kalau mata lu merem selama dia menjelaskan,”
Jesi mencoba mengingat kembali dirinya yang sakit tadi pagi.
“Oh iya ya,” ucap Jesi sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal
“Terus lu kenapa bisa kenal dia?” tanya balik Naumi
Belum sempat Jesi menjawab, Haris sudah lebih dulu menimpali.
“Nona, bagaimana? Atasan saya sudah menunggu dari tadi. Saya harap, Nona Jesi bersedia menerima tawaran ini sekali saja,” tanya Haris berusaha membujuk lagi.
Jesi beralih pandang menatap Juan lagi, yang ternyata sejak tadi juga sedang menatap dirinya.
Jesi juga mendengar suara riuh para wanita yang sedari tadi belum juga berhenti. Dia yang mulai risih karena mendapat banyak tontonan itu akhirnya memilih untuk mengiyakan.
“Baiklah saya mau,” singkat Jesi dan langsung mendapatkan tatapan serentak dari Naumi dan Adam.
Entah apa yang dipikirkan Jesi dan juga Juan. Namun yang pasti hanya mereka dan Tuhan-lah yang tahu.
“Loh, Jes. Katanya mau pulang dengan....“
“Kita sambung besok lagi, Mi. Gue pulang dulu ya,” sergah Jesi cepat
Jesi langsung melambaikan tangannya dan mengedipkan matanya sebagai kode.
Naumi yang paham langsung ikut juga melambaikan tangan dengan tersenyum.
“Daahh, take care ya, Jes”
“Oke,” singkat Jesi
“Tidak ada pilihan lain. Tadi dia bersikeras bertanya aku mengenalnya atau tidak. Sekarang dia juga bersikeras ingin mengantarku pulang. Oke. Apapun alasanmu, mari kita selesaikan semua urusan ini tuan iblis,” batin Jesi sambil dirinya masuk ke dalam mobil, dan duduk di belakang samping Juan.
Selama diperjalanan suasana nampak canggung. Tidak ada satupun yang bersuara. Baik Juan, Jesi, Haris apalagi si sopir.
Bahkan Juan terlihat sibuk menatap layar tabletnya sambil terus mengusap – usap ke atas.
“Ehem,”
Jesi mencoba berdehem pelan
Tetap tak ada respon dari orang disampingnya.
“Nona Jesi tenang saja. Kita pasti akan mengantar Nona pulang sampai rumah dengan selamat,” tutur Haris membuka percakapan
“Trimakasih, Pak. Memangnya, Pak Haris tahu darimana rumah saya? kok tadi langsung bilang kalau kita se-arah,” tanya Jesi dengan sopan
Belum sempat Haris menjawab, dia sudah lebih dulu mendapat tatapan tajam dari Juan.
“Eng, anu. Sebenarnya barusan saya hanya sekedar bilang saja, agar Nona Jesi mau kita antar pulang. Hehe,” jawab Haris kikuk sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal
“Oh kirain”
“Kirain apa?” potong Juan membuka suara
“Emm, gak apa – apa. Kirain saya, Tuan mengenal saya,” ucap Jesi beralih pandang menatap Juan
“Kalau kenal kenapa?” tanya Juan melekat
“Memangnya, Tuan kenal saya?” tanya Jesi mengernyitkan alisnya
“Jesi kan namamu,”
“Bukan itu maksud saya. Kenal yang saya maksud itu....“
“Ya saya tahu,” potong Juan cepat
“Tahu apa?”
“Yang kamu maksud”
“Jadi?” tanya Jesi makin menyelidik
Juan memberi jeda dengan jawabannya. Dia masih ingin tahu raut wajah Jesi dari dekat
“Enggak,” singkat Juan datar
Sungguh jawaban yang tidak sesuai harapan.
“Kalau Tuan tidak kenal saya, jadi ngapain tadi di ruang VIP, Tuan bersikeras bertanya apakah saya kenal Tuan atau tidak? Saya kira, Tuan adalah salah satu keluarga jauh dari Mama atau Papa saya,” terang Jesi panjang lebar
“Nanti juga bakal jadi keluarga,” batin Juan seorang
“Ya terserah saya mau bertanya seperti apa. Lagian saya ini terkenal, tidak mungkin kamu tidak mengenal saya,” aku Juan dengan bangga
Jesi yang mendengar kalimat itu langsung menggeleng tidak percaya
“PD amat ini orang. Memangnya di dunia ini hanya ada dia seorang apa,”
Haris yang juga mendengar ikut menggeleng tidak percaya. Pasalnya, bos besarnya ini tidak pernah bersikap berlebihan seperti itu. Barukali ini.
“Ya memang faktanya saya tidak kenal Tuan kok. Memangnya, Tuan artis?” tanya Jesi setengah mengangkat alisnya
“Bukan,” jawab Juan datar
“Apa mungkin boyband?” tanya Jesi lagi
“Bukan. Memangnya kenapa?”
Juan mulai mengernyitkan alisnya
“Ya kalau bukan ngapain saya harus kenal Tuan. Artis bukan, boyband juga bukan. Mending, Lee Min Ho dikenal banyak orang,” ucap Jesi bersungut – sungut.
“Ya meskipun wajahnya sebelas duabelas sama oppaku. Tapi menang dia banyak sih karna wajahnya blasteran. Mana hidungnya mancung banget lagi. Kulitnya putih, matanya hitam pekat, tubuhnya wangi banget lagi,” batin Jesi membayangkan sesuatu.
“Eh eh, ngapain aku? Kok aku jadi mikirin dia sih. Tidak, tidak, tidak. Stop, Jesi. Stop,” batin Jesi lagi sambil mengenyahkan pikirannya.
Haris dan si sopir yang sejak tadi mendengar, hanya menahan tawa agar tidak sampai terdengar oleh bosnya.
Namun Juan yang mendengar pernyataan Jesi tadi langsung geram dan mengepalkan tangannya.
“Berhenti!” titah Juan kepada supirnya
“Ada apa, Pak?” tanya Haris menoleh ke belakang
Juan yang masih menatap Jesi dengan tajam, akhirnya membuka suara sedingin mungkin
“Keluar dan turun darisini!” titah Juan marah
Tidak ada respon. Jesi masih diam membeku seakan tak percaya.
“Perlu saya ulangi lagi?” ucap Juan kembali
“Ini serius aku disuruh turun?” batin Jesi masih tidak percaya
Karna tak ada tanggapan, Juan kembali meninggi
“TURUN!”
“Tapi kan....“
“Saya bilang turun!” potong Juan masih dengan wajah tajamnya
Jesi yang tak percaya bahwa dirinya disuruh turun itu, seketika marah dan menggertakan giginya.
Dia bahkan langsung membuka pintu mobil dan keluar tanpa sepatah kata-pun.
Mobil langsung melaju tanpa memperdulikan Jesi di belakang
“Sumpah dia benar – benar iblis. Bisa – bisanya aku diturunkan di jalanan seperti ini. Awas saja kalau aku sampai bertemu dengannya lagi. Akan ku buat dia menyesal. Dan sampai kapanpun aku tidak akan pernah tertarik padanya,” gumam Jesi seorang diri
Dilain sisi,
“Pak, Bapak yakin meninggalkan Nona Jesi sendirian di jalanan?” tanya Haris setengah tak percaya.
Haris bukan tidak percaya dengan tindakan atasannya. Karena dia sudah hapal betul watak atasannya itu sejak dulu. Dia tipe orang yang tidak bisa direndahkan. Apalagi sampai dipermalukan seperti tadi. Dan belum pernah ada orang yang berani mengatai Juan seperti Jesi barusan. Masalahnya, ini konteksnya karena Juan bilang bahwa Jesi adalah calon tunangannya. Jadi masak iya setega itu.
Belum sempat Haris bertanya lagi, Juan langsung mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang.
“Carikan dia taksi secepatnya, dan kawal dia sampai rumah. Pastikan dia baik – baik saja!” perintah Juan pada orang yang ditelpon
“Jangan sampai kamu ketahuan mengikutinya,” titah Juan lagi.
Haris yang mendengar seketika langsung paham bahwa Juan tidak benar – benar meninggalkannya. Dia bahkan menyuruh pengawalnya untuk menjaga Jesi. Bagi sebagian orang yang belum tahu Juan, pasti akan menganggap dia pergi kemana – mana sendiri dan hanya ditemani asisten. Tapi bagi orang yang sudah paham, Juan tidak hanya berangkat sendiri. Di belakang banyak mobil sedan berwarna hitam mengikuti Juan dengan sigap. Mereka adalah para pengawal Juan yang selalu menjaga keamanan Juan kemanapun dia pergi.
Namun, jika keberangkatan Juan hanya untuk perjalanan bisnis biasa seperti kunjungan kampus tadi, dia biasanya menyuruh para pengawal hanya untuk berjaga di luar saja. Juan tidak ingin kedatangannya mengganggu aktifitas mahasiswa yang sedang belajar.
“Haris, cari tahu siapa, Lee Min Ho itu?” titah Juan kepada Haris
“Baik, Pak,” jawab Haris singkat
Haris memang tidak pernah membantah perkataan Juan. Perintah apapun dia harus siap menjalaninya. Ya meskipun itu sesuatu yang tidak begitu penting. Seperti hari ini saja. Sudah ada dua orang pria yang harus dia cari tahu. Orang yang mengobrol dengan Jesi tadi, dan sekarang Lee Min Ho.
“Dan gajimu bulan depan saya potong,” imbuh Juan lagi dengan datar
“Hah. Kenapa dipotong, Pak? Salah saya apa?” tanya Haris kaget tidak percaya
“Karena tadi kamu sudah berani bersalaman dengan Jesi. Bukankah sudah ku bilang untuk jangan sentuh dia,”
“Astaga, apakah ini yang dinamakan cinta buta,” batin Haris tidak percaya.
Haris hanya menggeleng pasrah menerima hukuman dari atasannya itu.
TBC.