Eps. 9 Saat hati terasa panas

1587 Kata
Author P.O.V Setelah seharian para mahasiswa gathering melakukan berbagai kegiatan, kini giliran mereka untuk menyantap makan malam sebelum akhirnya bisa istirahat di kamar. Waktu menunjukkan hampir jam 7 malam. Jesi dan teman lainnya sudah ada di tempat makan yang sudah disediakan oleh pihak manajemen hotel. Semua jenis makanan dan minuman sudah tersaji dengan baik. Mereka hanya tinggal memilih makanan sesuai selera mereka. “Gila sih ini hotel. Dari kemarin menu makanannya enak – enak semua. Padahal ya, gue tipe orang yang milih – milih makanan. Tapi disini gak ada yang fail loh. Kayak masakan dari koki bintang lima,” cerocos Naumi sambil tangannya sibuk mengambil setiap menu lauk pauk hingga piringnya hampir penuh. “Lah kan memang ini hotel bintang lima. Gimana sih lu,” jawab Jesi menjelaskan “Oh iya ya. Lupa. Hehe,” Jesi yang mulai mendengar celoteh ngasal dari temannya hanya bisa menggeleng pelan. Setelah mengambil makanan dan minuman, akhirnya Jesi dan Naumi pergi ke tempat duduk yang berada di luar sambil menikmati udara malam yang sejuk. “Enak banget disini ya, Jes,” tutur Naumi seraya melihat pemandangan disekitar “Ya. Enak adem,” jawab Jesi sambil memasukkan makanan ke mulutnya Mereka akhirnya makan dengan lahap. Naumi yang sejak tadi mengunyah sambil mengedarkan pandangannya, dari kejauhan seakan melihat seseorang yang dia kenal. “Jes, Jes. lihat deh. Arah jam 4 di sebelah kanan lu. Itu kayaknya narasumber yang ngajak lu pulang bareng, bukan?” tanya Naumi sambil dagunya menunjuk arah yang dituju Jesi yang mendengar langsung menoleh ke arah yang dituju “Bener lagi. Ngapain ya dia disini?” tanya Jesi tak kalah terkejut “Mana gue tahu. Tapi kelihatannya dia sedang sibuk deh. Kayak sedang meeting gitu sama orang yang di depannya. Haduh mana ganteng banget lagi. Wajahnya itu loh gak ngebosenin. Hidungnya mancung banget kayak prosotan anak TK,” ucap Naumi masih betah memandang “Sadar, sadar woii. Itu makanan jangan dianggurin aja. Cepat makan. Nanti keburu dingin,” ucap Jesi menyadarkan temannya yang mulai di luar kendali. “Jes, itu cewek siapa ya yang disampingnya? Cantik dan anggun,” Jesi melihat sekilas dan kembali mengunyah makanannya “Pacarnya kali,” jawab Jesi enteng “Masak sih? Kayaknya enggak deh. Gestur mereka saja kayak atasan sama bawahan,” ucap Naumi positif thinking “I don’t care,” Jesi memilih untuk kembali makan daripada melihat pria yang menyebalkan itu. Jesi juga tidak peduli dengan keberadaannya disini. Mau sama siapa dan mau apa terserah. “Hai, Jesi. Boleh gabung gak?” seru seseorang tiba – tiba “Yah, dia lagi. Bosen,” batin Naumi malas “Eh, Adam. Boleh kok. Duduk saja,” jawab Jesi sopan “Ngapain lu disini, Dam? Bukannya gabung saja sana, sama para senior,” tanya Naumi yang mulai kembali normal “Memangnya kenapa? kok jadi lu yang sewot. Jesi aja ngijinin. Iya kan, Jes?” sungut Adam kepada Naumi, dan langsung bersikap manis pada Jesi. Jesi hanya menggangguk pelan sambil tersenyum “Jes, ini buat kamu. Hadiah dari aku,” ucap Adam sambil memberikan satu buah kotak kecil kepada Jesi “Kepret nih anak. Sama gue aja, lu gue manggilnya. Giliran sama, Jesi, aku kamu. Sialan” batin Naumi semakin kesal “Ini apa?” tanya Jesi mengernyitkan alisnya “Buka saja,” Dengan penasaran, akhirnya Jesi menerima kotak tersebut dan membukanya secara perlahan. “Headset,” lirih Jesi pelan “Ya headset. Kamu suka?” tanya Adam tesenyum “Kenapa kamu memberikan aku ini?” “Aku dengar dari teman – teman, kalau dari kemarin kamu sibuk cari headset di tasmu. Sampai kamu bertanya pada teman yang lain siapa tahu terjatuh dan mungkin mereka melihatnya. Aku pikir itu sesuatu yang penting untukmu. Jadi aku belikan saja yang baru,” terang Adam menjelaskan Jesi dan Naumi yang mendengar langsung saling pandang seakan memberi kode “Emm, Dam. Sebenarnya bukan sesuatu yang penting juga sih. Aku hanya lebih nyaman mendengarkan musik pakai headset saat mau istirahat. karena aku punya sedikit gangguan tidur. Makanya dari kemarin aku cari – cari. Tapi sekarang sudah tidak perlu lagi kok. Toh besok sudah balik ke rumah. Aku masih memiliki beberapa stok headset di rumah. Jadi, ini tidak perlu ya. Dan kamu tidak perlu repot – repot sebegininya sama aku,” Jesi berharap penjelasannya bisa diterima dengan baik oleh Adam. “Jesi, aku sama sekali gak repot kok. Justru aku senang jika kamu mau menerima hadiah dari aku. Lagian kan malam ini kamu masih tidur disini. Jadi, headset ini bisa kamu gunakan nanti malam agar tidurmu nyenyak. Jadi tolong diterima ya,” tutur Adam sedikit memaksa. Jesi nampak berfikir, bahwa sebenarnya ada benarnya juga apa yang dikatakan Adam, karena tadi malam-pun Jesi sampai subuh tidak bisa tidur akibat gak ada headset. Kalau sampai malam ini dia kembali tidak bisa tidur, yang ada besok tubuhnya akan terlihat lemas sekali. Naumi yang sejak tadi bertukar pandang dengan Jesi hanya mengangguk setuju, mengingat betapa tersiksanya sahabatnya itu tadi malem. Bolak- balik hanya membenarkan posisi tidur. Cukup sekali ini saja diterima. “Baiklah. Aku terima hadiah darimu. Trimakasih banyak ya, Dam,” ucap Jesi sambil tersenyum tulus “Sama – sama Jes. Senang bisa membantumu,” jawab Adam juga tersenyum ke arah Jesi . Disisi lain, Juan yang sedari tadi sedang membicarakan hal penting dengan kliennya, sambil sesekali melirik ke arah Jesi. Tangannya mengepal erat tidak terima. Dia mati – matian menahan emosi tatkala Jesi tersenyum saat menerima hadiah sebuah kotak dari Adam. Namun dia tidak bisa begitu saja langsung pergi. Karena meetingnya belum selesai. Klien itu sangat penting bagi Juan. . Jesi, Naumi dan Adam telah selesai makan. Kini mereka akan bersiap untuk kembali ke kamar-nya masing – masing. “Jes, aku duluan ya. Kamu selamat istirahat,” ucap Adam pamit “Oke, Dam. Selamat istirahat juga,” jawab Jesi sedikit tersenyum Adam kembali ke kamarnya. Sedang Jesi dan Naumi masih berjalan karena beda lantai dengan Adam. “Ciye – ciye... yang nerima hadiah lagi,” cibir Naumi terbahak “Resek lu. Ini terpaksa tauk. Keadaan gawat darurat. Bisa kliyengan pala gue besok kalau sampai begadang lagi kayak tadi malem,” tutur Jesi memberitahu “Ya juga sih. Perasaan terakhir kali gue nginep di rumah lu, gangguan tidur lu gak separah tadi malem deh. Lu lagi ada masalah ya?” tanya Naumi menyelidiki “Banyakkk. Pakai ditanya lagi. Kan lu juga tauk masalah gue apaan,” sungut Jesi “Hemm. Belum kelar juga?” “Mana bisa kelar kalau nyokap dan kakek tetep kekeh pengen jodohin gue,” terang Jesi dengan nada masih kesal “Aduh. Gue lupa mau ngabarin nyokap gue lagi. Untung lu bahas nyokap, Jes. Kalau sampai besok gue gak ada kabar juga, bisa digantung gue sama nyokap,” Naumi yang baru sadar, akhirnya merogoh kantung celananya cepat – cepat. “Lah lah,” gumam Naumi panik “Cari apaan lu?” tanya Jesi menautkan alisnya “Handphone gue, Jes. Lu lihat gak?” tanya Naumi masih mencari – cari “Enggak. Lu yakin dibawa tadi? Bukannya ada di kamar?” “Yakin lah, Jes. Orang gue tadi keluar kamar bawa hape kok,” “Mungkin ketinggalan di meja makan kali,” tutur Jesi mencoba menebak “Bisa jadi, Jes. Ya sudah gue cek kesana dulu ya. Lu balik duluan gih ke atas,” ucap Naumi dan berlalu pergi “Lah, lu gimana?” “Gampang. Nanti gue nyusul,” jawab Naumi setengah berteriak, karena dirinya sudah lari menjauh menuju tempat makan. Jesi hanya menggeleng tak percaya melihat kelakuan sahabatnya yang selalu ceroboh. Sama kayak dirinya sendiri. Memang pantas mereka disatukan sebagai sahabat. Jesi akhirnya menekan tombol lift sebelum akhirnya dia kembali ke atas. Settt.... Sebuah sepatu pantofel mahal sedang menghalangi pintu lift tiba – tiba. Jesi kaget melihat sepatu itu. Dirinya perlahan naik menatap ke atas kepada sang pemilik sepatu tersebut. “Kamu,” lirih Jesi saat dirinya tahu bahwa Juan-lah yang menghalangi pintu lift itu. “Jangan biarkan siapapun memencet lift ini!” perintah Juan kepada Haris, dan dibalas anggukan hormat oleh Haris beserta para pengawalnya. “Mau apa anda?” tanya Jesi panik Juan tidak menjawab. Dirinya hanya memencet tombol tertutup dan mengganti tombol angka 5 menjadi angka 10. Jesi yang panik, segera ingin menekan tombol keluar. Namun tangannya sudah lebih dulu digenggam oleh Juan. Sangat kuat hingga otot – otot halus Juan terlihat, dan saking kuatnya Jesi ingin memberontak karena kesakitan. “Lepaskan aku! Lepaskan! Kamu mau ngapain sih? Aku teriak ya?” racau Jesi sambil dirinya berusaha melepaskan diri dari Juan. Namun apalah daya tenaganya tak cukup kuat untuk melawan pria tinggi di sampingnya ini. Persetan dengan kesopanan. Bagi Jesi, orang seperti dia sudah tidak perlu disopanin lagi. Jesi terus berusaha meronta. “Diam! Bisa diam gak?” suara bariton Juan meninggi. Semburat merah di wajahnya mampu membuat orang bergidik ngeri “Gak mau. Lepaskan aku. Kamu mau apa sih sebenarnya?” Jesi semakin tak gentar “Kamu sudah berulangkali membuatku marah. Jadi, kamu harus diberi pelajaran,” “Apa maksudmu?” tanya Jesi tak mengerti “Nanti kamu juga akan tahu kalau kita sudah sampai,” jawab Juan masih dengan genggaman tangannya “Aku gak mau. Lepaskan. LEPASKAN!” suara Jesi meninggi dan makin memberotak “Diam! Menurutlah, atau kamu akan terluka,” Tatapan Juan semakin menggelap. Sumpah disitu Jesi tidak bisa berkata apa – apa lagi. Rasanya orang yang berhadapan dengan Jesi ini benar – benar sedang marah. Meski Jesi tidak tahu apa penyebabnya. Jesi sangat takut. Dia belum penah melihat tatapan semenakutkan ini. Jika sampai dia memberontak lagi, mungkin suatu hal bisa akan terjadi padanya. TBC.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN