“Selamat pagi, Pak,” sapa keduanya bersamaan.
Hanif menurunkan kacamatanya. Kemudian di melepaskan dan meletakkannya di samping meja. Dia sedikit meregangkan jemarinya. Kedua gadis di depannya bahkan mendengar bunyi ‘kretek’ atas gerakannya.
“Iya, selamat pagi, kalian mau konsultasi judul ya?” Tebaknya. Tentu saja itu benar. Sebab kedua mahasiswi itu merupakan salah dua dari banyak mahasiswa dalam bimbingannya.
Keduanya mengangguk mantap.
“Letakkan saja di sini, tulis nomor w******p kalian juga. Nanti, saya akan mengirimkan jawabannya via whatsapp.” Dia menunjuk ke arah tumpukan kertas yang ada di meja sebelah kanannya.
Priska dan Dini saling berpandangan. Kemudian tersenyum masam. Ternyata sudah banyak mahasiswa yang menyerahkan judul padanya. Padahal mereka mengira sudah cukup rajin dalam mengerjakan proses skripsi tersebut.
“Tunggu apa lagi?” ucap Hanif.
“Eh, tidak ada Pak,” sahut Priska. Kemudian keduanya meletakkan map mereka dab berpamitan pergi.
Baru saja mereka melangkahkan kaki ke luar ruangan. Priska menangkap sosok pria tampan tadi. Pria yang dia ceritakan pada Rara tadi.
“Ra, itu dia! Itu dia!” ucap Priska. Tangannya menunjuk-nunjuk ke arah pria tersebut.
“Apa sih? Kamu kesurupan?” Rara mengernyitkan keningnya. Memegang kepala Priska dan mengecek suhu di dahinya.
“Kau panas!” lanjutnya.
“Ih, aku serius. Loh, mana tadi pria tampannya?” Priska kembali kehilangan sosok Damar. Dia celingukan, menoleh ke sana-sini. Mencari pria tampan yang menyita perhatiannya. Tapi, dia telah kehilangannya.
“Mana ada pria tampan! Sepertinya kamu harus segera ke poli mata deh! Mulai rabun tuh! Atau katarak?” ledek Rara. Dia tertawa terbahak-bahak. Dia merasa puas bisa mengejek teman dekatnya itu.
“Yeee, awas saja kalau aku ketemu pria itu lagi. Aku akan memfotonya, dan menunjukkannya padamu! Dan kamu harus mentraktirku bakso Cak Sugi selama satu minggu!” tantangnya.
“Siapa takut! Ayo aja! Kalau dalam tiga hari kamu tidak menemukan pria tampan itu. Kau yang harus mentraktirku bakso Cak Sugi selama satu minggu! Deal?” Rara tak mau kalah. Dia pun menyanggupinya. Tentu dengan taruhan yang serupa.
“Deal!” keduanya bersalaman. Kemudian saling memencet hidung satu sama lain. Sebagai tanda cap untuk taruhan mereka telah disepakati.
***
Priska memang kurang kerjaan. Dia selalu saja mencari hal-hal baru yang bisa membuatnya senang. Siang itu, setelah Rara berpamitan pulang padanya. Karena urusan di kampus telah selesai. Priska malah berkeliling kampus. Entah apa yang sedang dia cari.
Beberapa adik tingkat menyapanya dengan ramah. Dia membalas mereka dengan lambaian tangan khas Putri Indonesia. Hal itu sontak membuat mereka tertawa. Priska, memang sekonyol itu. Ada saja tingkahnya yang bisa membuat orang lain merasa senang berada di dekatnya.
Saat dia melewati kelas. Sayup-sayup dia mulai mendengar ada materi yang paling dia benci. Mata kuliah statistika. Tapi, dia penasaran. Suara itu, bukanlah suara Pak Bambang. Lantas suara siapa? Pikirnya. Priska memundurkan langkahnya. Padahal tadi dia ingin cepat-cepat pergi dari sana. Dia melirik dari sisi jendela kaca. Menajamkan penglihatannya, mencoba menangkap sosok yang sedang berdiri di depan kelas.
“Pria tampan itu!” ucapnya seketika. Ketika netranya telah menunjukkan visual pria tampan yang sebelumnya bertabrakan dengannya.
“Bakso Cak Sugi, i’m coming!”
Dia cepat-cepat membuka ponsel, memencet aplikasi kamera, dan mulai memfokuskan titik pada kamera ponselnya. Agar hasil jepretannya bisa maksimal menangkap sosok pria tampan itu. Juga sebagai bukti bahwa ucapannya benar. Dan dia memenangkan taruhan itu.
Priska senyum-senyum sendiri sambil memandangi wajah tampan di layar ponselnya. Hingga dia tidak menyadari, si pria tampan itu tengah berdiri di sampingnya dan memerhatikan dia.
“Apa yang sedang kamu lakukan di sini?” tanyanya tiba-tiba. Tanpa berdehem atau pun menyapa.
Ponsel Priska terlepas dari genggamannya. Ponsel itu menyentuh lantai dan berbunyi cukup keras.
Mampus! Rusak sudah ponselku! Begitu pikir Priska.
Keduanya langsung berjongkok dan mencoba meraih ponsel tersebut. Jemari mereka bersentuhan. Persis seperti adegan di film-film romantis. Di mana si pria dan wanita akan saling berpandangan kemudian saling jatuh cinta. Sayangnya, itu hanya ada di film. Di sini, Priska malah mendapatkan ceramah dari si pria tersebut.
“Loh, kamu mengambil foto saya tanpa izin!” ucap Damar. Saat dia mendapati ada fotonya di ponsel milik gadis itu.
“Eng anu Kak, eh, Pak, aduh aku harus memanggil apa?” Priska malah menanyakan hal yang tidak bermanfaat sama sekali.
Damar membulatkan matanya. Membuat gadis itu sedikit beringsut mundur. Tapi tangannya terulur. Seraya dia meminta Damar mengembalikan ponselnya.
“Kembalikan ponsel saya, Pak,” ucapnya kemudian.
Damar menaikkan satu alisnya. Dia memang tampan, Priska masih saja mencuri pandang padanya.
“Baiklah, aku akan mengembalikannya. Tapi, aku akan hapus foto yang kamu ambil tanpa izin itu!” ucapnya. Jemarinya memencet tombol delete dan kemudian mengembalikan ponsel itu pada Priska.
“Yah, jangan dong, Pak,” pintanya memelas. Tapi, sudah terlanjut terhapus. Damar berbalik ke dalam kelas. Sementara Priska cemberut. Gagal sudah mendapatkan Bakso gratis selama satu minggu. Padahal dia sudah mendapatkan fotonya.
“Lain kali, aku akan langsung mengirimkan foto itu pada Rara!” ucapnya. Meyakinkan diri sendiri. Bahwa dia masih mempunyai dua hari lagi untuk memenangkan taruhan mereka.
“Kenapa pria tampan itu galak sekali,” gumamnya. Melirik sekilas ke arah kelas. Matanya berserobok dengan pandangan Damar. Tapi, pria itu segera memalingkan pandangannya saat mengetahui Priska juga melihat ke arahnya.
“Ciye, curi-curi pandang!” ledeknya pada Damar. Walau dia tahu, pria itu tidak mungkin mendengar ledekan darinya.
“Lagi apa di sini, Kak?” ada suara seorang gadis yang mengagetkannya.
“Eh copot-copot!” ucap Priska keras. Hingga membuat seluruh isi kelas yang ada di hadapannya melihat ke arahnya.
Dia mengatupkan kedua telapak tangannya pada Damar. Kemudian berbalik, dan menggandeng gadis yang baru saja menyapanya itu pergi.
“Jangan mengagetiku! Nanti Pak Dosen gantengnya marah!” ucap Priska sambil terkekeh.
“Oh, jadi Kaka di sana lagi ngelihatin Pak Damar ya?” goda Sabrina.
“Coba ulangi, siapa namanya?” tanya Priska bersemangat. Sebenarnya, dia mendengar dengan jelas perkataan dari gadis itu. Tapi, dia masih ingin memperjelas semuanya. Semua informasi tentang Pak Dosen ganteng harus dia miliki. Demi Bakso Cak Sugi selama satu minggu.
“Pak Damar, dia menggantikan Pak Bambang, Kak. Mengajar statistika!” jawab Sabrina tak kalah antusias.
“Bagus, kapan kamu ada jadwal Pak Dosen ganteng, eh maksudku Pak Damar,” ucap Priska sambil cengengesan.
“Besok, jam satu siang! Aku pergi dulu ya, Kak, itu teman-temanku sudah melambai-lambai kayak mencegat angkot!” ujarnya. Dia menunjuk ke arah beberapa temannya yang ada di seberang tempat mereka berdiri.
“Ah, oke. Terima kasih, ya! Sampai jumpa besok jam satu siang!” timpal Priska.
Sabrina sedikit menoleh, lalu menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Kenapa Kak Priska mau bertemu denganku besok jam satu siang? Besok kan aku ada kuliah, apa dia salah bicara? Ah biarlah!” gumamnya. Dia pun melangkah mendekat ke arah teman-temannya. Kemudian pergi bersama-sama.
***
“Raraaaaaa!” teriak Priska di seberang telepon.
Rara menjauhkan ponselnya. Merasa pening mendengar jeritan temannya yang sedikit kurang waras itu.
“Ada apa sih, Pris? Tumben menelepon jam segini? Enggak menonton drama Korea kamu?” ucapnya kesal.
“Rara, Rara, Rara, dengarkan aku! Diam dan cukup dengarkan aku bicara! Oke?” perintahnya pada Rara.
“Iya, ada apa? Cepat cerita! Aku lapar, mau makan!” sahut Rara malas. Dia sudah hafal, jika Priska menelepon malam-malam seperti itu. Pasti, dia sedang mempunyai rencana usil bin jahil. Atau dia akan menggosip tentang kejadian di kampus siang tadi.
“Namanya Damar!” ucapnya singkat. Rara hanya diam dan menunggu. Karena dia tahu, temannya itu masih belum selesai dengan kalimatnya. Pasti akan banyak kalimat penjelas yang akan dia sampaikan selanjutnya.
“Dia adalah Dosen pengganti Pak Bambang!” lanjutnya dengan suara bahagia. Nada bicaranya menggebu-gebu. Membuat Rara menjadi penasaran. Siapa Damar yang sedang dibicarakan olehnya sekarang.
“Siapa? Aku enggak mudeng deh. Coba kamu jelaskan dengan detail!” pinta Rara. Dia memang sedikit lemot. Tapi, cara Priska bercerita memang tidak lengkap dan cenderung melompat-lompat. Membuat siapa saja yang menjadi lawan bicaranya terlihat sedikit telat mikir.
Priska menghela napas panjang. Kedua bola matanya dia putar dengan kesal. “Hadeh, dasar lemot!” ledeknya.
“Kamu saja yang enggak jelas!” balas Priska.
“Ya sudah, sekarang kamu diam dan dengarkan. Aku akan menceritakan padamu semuanya dengan detail!”
“Oke!”
“Kau ingat dengan pria tampan yang aku ceritakan padamu tadi? Dan kita sudah taruhan bakso Cak Sugi selama satu minggu?”
“Hmmm, iya aku ingat, kenapa malah bawa-bawa bakso Cak Sugi?”
“Ssstt, diam! Malah menjawab!” ucap Priska kesal.
“Lah, kamu tadi yang nanya!” jawab Rara tidak mau kalah.
“Jadi pria tampan itu ternyata Dosen baru di kampus. Dia menggantikan si menyebalkan Pak Bambang! Dia yang jadi Dosen pembimbing kita nantinya!” ucapnya dengan penuh semangat.
“Oh, terus?”
Krik. Krik. Hening. Priska mengernyit. Dia sudah menceritakan semuanya. Tapi jawaban dari Rara hanya standar-standar saja.
“Ya, jadi aku yang menang taruhan dong! Kau harus mentraktirku bakso Cak Sugi selama satu minggu!” ucapnya dengan nada kesal.
“Eh eh, enak saja! Taruhan kita itu kalau kamu bisa mendapatkan fotonya dalam tiga hari. Jika lebih dari itu, kamu yang harus mentraktirku!” bela Rara pada dirinya sendiri. Walau dia lemot, dia tidak akan salah mengerti arah pembahasan jika berkaitan dengan taruhan.
“Sebenarnya, aku sudah mendapatkan fotonya tadi ....”
“Tapi?” sela Rara. Dia tahu, kata selanjutnya yang akan diucapkan oleh Priska adalah kata ‘tapi’.
“Tapi, sudah dihapus olehnya tadi,” jawabnya lirih.
“Eh? Jangan bilang kamu ketahuan motoin dia tanpa izin ya?” tebak Rara.
Priska mengangguk. Walau dia tahu, Rara tidak mungkin melihat anggukan kepalanya.
Suara Rara pecah, menyadari bahwa temannya telah gagal dalam misi pertamanya untuk memenangkan taruhan.
“Terus, ketawa saja terus! Keselek kecoak baru tahu rasa!” ucapnya kesal. Lalu, dia pun mematikan sambungan telepon itu secara sepihak. Dia begitu kesal mendengar suara cempreng Rara yang sedang tertawa. Terlebih, temannya itu sedang menertawakan dirinya. Menertawakan kegagalan rencananya.