Dosen Pembimbing

1642 Kata
Priska menguap beberapa kali. Dia sedang berada dalam kebosanan yang tinggi. Mata kuliah statistika, adalah satu-satunya yang dia benci. Menurutnya, tidak penting menghitung nilai modus, dan berbagai macam nilai lainnya. Pak Bambang sudah berdiri cukup lama di depan sana. Menjelaskan beberapa materi dan cara pengerjaannya. Rambutnya yang tipis dan mulai memutih membuat Priska teringat dengan kakeknya. Juga kaca mata besar yang dikenakan olehnya. Terlihat lucu di mata Priska, seperti karakter Rudi Tabuti di kartun yang dulu pernah dia lihat saat kecil. “Hey, bengong saja!” teman di sampingnya menyikuti lengannya. Membuyarkan lamunan Priska begitu saja. “Ah enggak kok, aku memperhatikan Pak Bambang sejak tadi,” kilahnya. Tentu saja dia sedang berbohong. Tapi, Rara tidak percaya dengan penjelasannya. Terlihat jelas dari caranya mencebik pada Priska. Lalu kemudian dia kembali larut dalam catatannya sendiri. “Tapi, Ra, coba kamu lihat itu. Kacamata Pak Bambang miring,” ucapnya asal. Hal itu sama sekali tidak penting. Tapi, tetap saja dia ucapkan. Bukan Priska namanya, jika dia kehilangan bahan obrolan. Rara juga dengan menurut melihat ke arah Pak Bambang di depan kelas. Dia memerhatikan posisi kacamatanya. Sesuai dengan informasi yang dia dapatkan dari Priska. Dan benar, kacamata Pak Bambang memang dalam posisi sedikit miring. Persis seperti yang dikatakan oleh Priska padanya. “Iya, kau benar. Kenapa tidak kau betulkan saja posisinya?” bisik Rara. Dia terkekeh sendiri. Membayangkan Priska akan membetulkan posisi kacamata Pak Bambang di depan sana. “Hush, tidak boleh nakal Rara!” ucapnya. Jari telunjuknya dia letakkan di depan bibirnya. Seperti sedang memarahi keponakannya. Padahal, dia sendiri yang memulai obrolan tidak berfaedah itu. “Yeee, kamu juga yang mulai!” sahut Rara tidak terima. “Kamu mau taruhan berapa? Kalau nominalnya cocok, aku akan melakukannya!” bisiknya pada Rara. Tapi, Rara tidak menggubrisnya. Percuma membahas hal yang tidak penting. Priska memang selalu begitu. Ada saja kelakuannya yang absurd. *** “Pak, apa bisa ganti Dosen pembimbing?” rengek Priska pada kepala bidang studinya. Dia memang dekat dengan beberapa Dosen di kampusnya. Karena, dia adalah mantan anggota Himpunan Mahasiswa di jurusannya. Fadli mengernyitkan keningnya. Merasa heran dengan sikap Priska yang kekanakan itu. “Kau ini kenapa? Bukannya kau sendiri yang mengajukan nama Pak Bambang sebagai Dosen pembimbingmu?” ucapnya. Serasa seperti disambar petir. Priska menggeleng dengan keras. “Sungguh Pak, aku tidak melakukannya. Ini pasti ulah Amri si ketua kelas resek itu!” ungkapnya. Dia memelas, memohon, sambil mengatupkan kedua telapak tangannya. “Tidak bisa Pris, ini sudah disetujui. Kau tidak bisa mengganti Dosen sesukamu! Mereka mempunyai jadwalnya sendiri. Masih untung kau mendapatkan Dosen pembimbing yang mau dengan sikapmu yang seperti itu,” Fadli berkata sejujur mungkin. Tentang segala sikapnya yang jahil, membuat beberapa Dosen memang sengaja menghindarinya. “Aku? Beruntung mendapatkan Pak Bambang sebagai Dosen pembimbingku? Pak Fadli sedang bercanda apa mengejekku?” ucap Priska dalam hati. Tapi, ekspresi kekesalannya bisa ditangkap dengan jelas oleh Fadli. “Kenapa? Mau protes lagi? Tanyakan langsung pada Pak Bambang, apa dia setuju denganmu atau tidak!” jawabnya cuek. “Tapi, Pak-” “Tidak ada tapi, kau bisa keluar sekarang. Saya sibuk!” usir Fadli padanya. Setelah dia memotong perkataan Priska dengan cepat. Priska mendengus kesal. Dia mengentakkan kakinya lalu keluar dari ruangan tersebut. “Bagaimana ini? Aku harus bertemu dengan Pak Bambang lebih sering dari sebelumnya. Apa tidak ada cobaan lain yang lebih ringan?” gumamnya. Dia berjalan sambil cemberut. Hingga dia tidak melihat ada seseorang yang sedang berjalan tepat di hadapannya. Keduanya bertabrakan. Berkas yang mereka bawa berserakan. “Ah, maaf, saya tidak se-nga-ja,” ucap Priska terbata diujung kalimatnya. Saat dia mendapati ada seorang pria tampan di depannya. Ternyata dia sedang menabrak orang itu. Hidung mancung, mata bulat, dengan alis tebal dan bibir yang kemerahan. Kulitnya putih cerah, rambutnya hitam dan sedikit lebih panjang dari kebanyakan pria. Aroma tubuhnya menguar, menerobos masuk ke penciuman Priska. Saat keduanya saling mengambil berkas yang berjatuhan di lantai. “Kau tidak apa-apa?” tanya pria itu padanya. Priska yang masih menatap dan mengagumi ketampanannya, hanya bisa menganga sambil tersenyum dengan pandangan mata yang fokus terhadapnya. “Hey!” ucap Damar. Dia melambai-lambaikan tangan tepat di depan wajah gadis itu. Hingga membuatnya tersadar dan kembali pada kenyataan. “Ah iya, Pak, eh Kak, aku harus memanggilmu Kakak atau Bapak? Apa kau Mahasiswa baru di sini? Aku tidak pernah melihatmu,” ucapnya tanpa henti. Dia mencerocos saja, membuat Damar menghela napas panjang tepat di hadapannya. “Kau ini ditanya apa malah menjawab apa!” ucap Damar kesal. Pada akhirnya dia pun pergi. Melangkah menjauh dari gadis yang sudah menunjukkan sikap tidak sopan padanya di hari pertamanya bekerja. “Kau juga belum menjawab pertanyaanku!” teriak Priska. Tapi, Damar tetap berlalu pergi. Tanpa menoleh sedikit pun padanya. Dia beringsut dan cemberut. Kembali merapikan berkas miliknya. Dasar, mentang-mentang tampan. Dia bersikap sok cuek padaku. Lihat saja nanti. Aku akan membuatmu jatuh hati padaku! Janji Priska pada dirinya sendiri. Kemudian dia melanjutkan perjalanannya untuk bertemu dengan Pak Bambang. Dosen statistika yang merupakan musuh besar baginya. Karena dia memberikan nilai C padanya. Tok. Tok. Tok. Dia mengetuk pintu ruang Dosen. Di dalam sana ada beberapa Dosen yang sedang sibuk dengan berbagai macam hal. Matanya mengedar. Mencari sosok yang akan dia temui. Saat dia mendapati sosok yang akan dia temui. Dia mengatur napas sebelum akhirnya melangkahkan kaki menuju meja Bambang. “Jangan belagu Priska, kau harus bersikap sopan, agar dia mengizinkan kamu berpindah Dosen pembimbing lain!” gumamnya pelan. Seolah dia sedang merapal mantra untuk dirinya sendiri. Agar dia bisa menjadi lebih kalem dan mampu bersikap sopan pada musuhnya itu. “Permisi, Pak,” sapanya dengan sopan. Bambang menatap ke arahnya, lalu mengernyitkan keningnya. Dalam hati dia bicara, apa lagi yang anak ini inginkan dariku? “Ada perlu apa kamu datang ke sini?” tanya Bambang langsung pada inti. Dia ogah basa-basi dengan mahasiswi yang sudah terkenal perakilan seperti dia. “Anu Pak ....” “Anu apa?” “Em ... itu ... soal bimbingan skripsi ... Apa bisa ganti Dosen pembimbingnya Pak?” dia mengatakannya dengan beberapa kali terdiam. Kemudian melanjutkannya lagi. Dengan perasaan yang sedikit takut tentunya. Takut kalau Bambang akan menolaknya secara mentah-mentah. “Oh soal itu, kau jangan khawatir. Kau tidak akan melakukan bimbingan denganku. Ada Dosen pengganti yang akan menangani masalah skripsi kalian nantinya,” jawab Bambang. Seketika Priska tersenyum lebar. “Bapak tidak sedang Nge-prank saya, kan?” ucapnya tanpa direm. Kemudian dia tersadar dan menutup mulut dengan kedua tangannya. “Maaf, Pak, saya terlalu bahagia, eh,” lagi dia menutup mulutnya. Kemudian menunduk sebentar, “Saya permisi, Pak,” ucapnya dan pergi dari sana. “Dasar anak nakal!” gumam Bambang sambil menggelengkan kepalanya. Bukan hanya Priska yang merasa beruntung tidak jadi bimbingan dengan Dosen yang menurutnya menyebalkan itu. Tapi, Bambang juga merasa lega. Penggantinya telah masuk bekerja dan akan segera mengerjakan semua pekerjaannya di sana. Dia tidak perlu menghadapi mahasiswi petakilan macam Priska lagi. Priska tersenyum-senyum sendiri. Dia merasa keberuntungan menghampiri dirinya hari ini. Setelah bertemu dengan pria tampan. Sekarang, dia mendapatkan kenyataan bahwa Bambang tidak menjadi Dosen pembimbingnya. Melainkan ada orang lain yang akan menggantikan posisinya sebagai Dosen pembimbing. “Terima kasih Tuhan,” ucapnya pelan sambil menengadahkan tangan ke atas. “Kau sedang apa?” sapa Rara. Dia sebenarnya sudah sangat hafal dengan sikap absurd teman dekatnya itu. Tapi, pada akhirnya Priska selalu mempunyai jawaban yang berbeda. Walau apa yang dia lakukan sama dengan kejadian sebelumnya. “Aku sedang berdoa dan berterima kasih pada Tuhan,” jawabnya jujur. Kali ini Rara mengernyitkan keningnya. Jawaban dari Priska di luar dugaannya. “Berdoa?” ulangnya. Mencoba memastikan pendengarannya tidak salah mendengar. “Iya,” jawabnya mantap sambil menganggukkan kepala. “Sejak kapan kau jadi rajin berdoa?” sindir Rara. Sindiran itu menancap tajam di hati Priska. Hingga dia meliriknya dengan tajam. “Tuhan terlalu sibuk untuk mendengar doamu! Kau hanya penganut palsu!” lagi, Rara menambahkan sebuah tancapan panah yang tajam di hati Priska. Hingga membuatnya melirik tajam dan cemberut. Perkataan teman dekatnya itu terdengar tidak asing di telinganya. “Kalau menyindir yang kreatif dong! Jangan mengutip percakapan dari drama Korea. Dasar plagiat!” balas Priska. Kemudian keduanya tertawa. Sambil melanjutkan melangkah dan bergosip kecil bersama. “Kau tahu, ada mahasiswa baru di sini. Dia sangat tampan!” ucap Priska mengawali gosipnya. Wajahnya berbinar, di sedang menarik kembali ingatannya saat tadi bertemu dengan sosok yang sedang dia ceritakan. “Mahasiswa? Mana ada mahasiswa pindahan! Kau ngaco! Kau kira ini sekolahan apa? Bisa pindah kapan saja?” jawaban Rara membuat Priska berhenti melangkah. Kemudian dia mencernanya dan mencocokkan dengan keadaan yang ada. “Kalau bukan mahasiswa, lalu ... dia siapa?” “Mana aku tahu! Ayo cepat ke Pak Hanif. Kita harus menyelesaikan proposal agar judul kita disetujui nanti,” ucap Rara. Dia membuyarkan lamunan Priska tentang pria tampan tadi. Menyebut nama Pak Hanif merupakan salah satu cara Rara agar Priska kembali fokus. “Kenapa kau harus menyebutkan namanya! Menyebalkan!” protesnya. Dia selalu kesal dengan nama itu. Itu adalah nama yang sama dengan nama Ayahnya. Setiap kali Rara merasa kesal dengan sikapnya. Temannya itu pasti akan menyebut nama Hanif apa pun topiknya. “Agar kau kembali fokus! Jangan cowok terus yang dipikirkan!” sahut Rara. Dia terkekeh pelan. “Tapi Bu Berta hari ini tidak kelihatan ya?” timpal Priska. Rara menghentikan langkahnya. Di menoleh dengan tatapan tajam dan siap menerkam. “Ampuuuuun!” teriak Priska dan berlari secepat yang dia bisa. Berta adalah nama dari Ibu Rara. Dan itu adalah balasan yang setimpal setelah Rara menyebut nama Hanif di depannya. Rara mengejarnya, keduanya tertawa-tawa. Bahkan menjadi perhatian para mahasiswa lainnya. “Eh, Ra, aku serius! Aku tadi bertemu pria tampan!” ucapnya tepat di depan ruang laboratorium. Tempat di mana Hanif berada. “Simpan gosipmu nanti, ayo masuk! Pak Hanif sudah menunggu!” sela Rara. Dia mendorong tubuh Priska agar segera masuk dan mengakhiri obrolan tidak penting tentang pria yang katanya tampan itu. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN