9. Kaki-Kaki

1505 Kata
Pagi yang cerah untuk mengawali hari yang menyenangkan. Jika ada sang Mama, mereka bisa bersantai di pagi hari. Tak sibuk bangun pagi untuk ke tukang sayur, atau bahkan bergantian mencuci beras lalu memasak. Makanan akan tersaji hangat di meja makan. Lalu, mereka tinggal duduk manis dan menyantapnya hingga habis. Seperti biasa, aroma masakan telah menguar ke seluruh penjuru rumah. Bahkan sampai di kamar Priska yang ada di lantai dua. Aroma itu seperti sebuah asap yang bergerak. Mencari hidung yang siap menerimanya. Lalu rangsangan itu akan diterima oleh otak dan memerintahkan dia untuk segera membuka mata. Benar, Priska langsung membuka kedua matanya. Setelah indra penciumannya menerima sebuah aroma masakan yang sangat menggugah selera. Padahal, biasanya dia teramat susah membuka mata. Tapi, kali ini dia bahkan langsung terduduk. Mengucek matanya sebentar. Lalu mengikat rambutnya ke atas mirip ekor kuda. Ia segera masuk ke dalam kamar mandi dan membersihkan diri. Sang Mama tidak akan memberikan ia makanan. Jika ia datang dengan tubuh yang belum dibasuh. Mata Mamanya memang sangat Jeli. Ia akan tahu, jika anak-anaknya hanya mencuci wajah dan duduk di meja. Ia tak pernah bisa dibohongi. Ia akan meminta mereka segera mandi. Jika tidak menurut, tak akan ada sarapan untuk mereka. Begitu juga dengan Robi. Kamarnya yang memang dekat dengan dapur menjadi sebuah tempat yang menaungi aroma itu lebih banyak. Matanya yang sulit terbuka pun akhirnya bisa ia buka dengan perlahan. Perutnya sudah berteriak memaksanya untuk bangun. Tapi, seperti biasa. Jika bangun dari tidur memang akan sulit untuk mengangkat kaki. Begitu pula jika baru beranjak tidur. Akan terasa malas untuk menggerakkan kaki. Magnet yang ada di kasur memang sangat tinggi kekuatannya. Melebihi gaya tarik menarik antara kutub utara dan kutub Selatan bumi. Robi menggeliat, menendang guling yang ada di kakinya. Tangannya ia regangkan ke atas. Bersamaan dengan suara mengolet yang khas. “Auuughhhh!” Kretek! Tulang-tulang di badannya juga menyapa dengan suara yang khas pula. Menyempurnakan ritual paginya. Kini, ia hanya perlu berdiri dan mulai membasuh diri. Sebelum makanan yang ada di meja akan di habiskan oleh adiknya yang doyan makan itu. Apalagi, masakan sang Mama memang top markotop. Nikmat dan yang paling penting gratis. Citra yang sedang berada di dapur berdendang pelan. Sebuah lagu nostalgia saat ia dan suaminya dulu masih berpacaran. Lagu dari Mbak Melly Goeslaw memang tiada duanya. Ia menggerak-gerakkan kepalanya ke kiri dan kanan. Sambil bibir tipis dan merahnya terus berdendang. Ponselnya berdering keras. Membubarkan lirik yang baru saja akan dia nyanyikan. Mengelap tangan pada apron yang ia kenakan. Klau berjalan menuju meja, tempat di mana ia meletakkan ponselnya. Ada senyum bahagia saat ia melihat nama sang suami ada di layar ponselnya. “Halo sayang,” sapanya dengan nada manja. “Halo Istriku tercinta, bagaimana? Apa rencanamu hari ini?” pertanyaannya sederhana. Tapi, sudah bisa membuat seorang wanita merasa diperhatikan dan sangat disayangi. Mereka memang masih seperti saat pacaran. Romantis dan saling perhatian. Walau kedua anak mereka bahkan sudah hampir menginjak usia pernikahan. Mereka masih terlihat santai saja menjalani hubungan. “Hari ini Robi sudah masuk kerja, jadi ya sama Priska saja nanti jalan-jalannya. Kata Robi, dia tidak ada kuliah hari Jumat.” Citra membawa ponselnya yang masih ia tempelkan di telinga. Ia berbalik ke arah kompor yang masih menyala. Menulis sayur yang sebelumnya sudha ia masukkan. “Baiklah, sepulang kerja aku akan langsung ke sana. Sudah lama tidak mampir ke rumah mereka,” ucap sang Suami. “Ide bagus! Kita bisa weekend-an bareng Sayang! Menonton bioskop, Jalan-jalan, makan di angkringan. Kayaknya seru!” sahut Citra dengan antusias. Terdengar kekehan tawa dari seberang telepon. Dimas menggelengkan kepalanya pelan. Istrinya memang selalu menggemaskan. Ia bukan tipe perempuan yang mengatakan kata ‘terserah'. Ia selalu mempunyai ide untuk melakukan sesuatu. Bahkan, untuk makan pun ia akan memulihkannya. Dimas memang Sangat beruntung memiliki Citra. Ia tak perlu pusing memikirkan tujuan dan juga makanan yang akan mereka makan saat berkencan. Bahkan, sampai sekarang setelah mempunyai buntut dua orang. “Baiklah, aku akan menuruti semua keinginanmu, aku berangkat kerja dulu. I love you,” ucapnya dengan lembut. Bahkan ia memberikan sebuah kecupan manja di akhir telepon sebelum ia mematikannya. Itu pun dibalas dengan hal serupa oleh istrinya. Kedua pasangan itu terlihat bahagia bagaikan matahari love bird yang saling jatuh cinta. Priska turun dari kamarnya. Ia hanya mengenakan kaos oblong dan celana pendek di atas lutut. Dengan tangan yang sibuk merapikan kuncinya. Suara langkah kakinya membuat Citra menoleh. Ia pun tersenyum puas. Karena, ia telah mendapatkan jawaban pasti saat melihat pakaian yang Priska kenakan. “Kenapa Mama senyum-senyum? Ada yang aneh ya, sama aku?” Priska jadi merasa insecure. Memperhatikan caranya berpakaian. Kemudian menoleh ke arah cermin yang ada di dinding. Melihat wajahnya, apakah ada bekas sabun atau bahkan belek di sudut matanya. Tapi, tak ada. Semua sempurna. Hingga akhirnya Priska menemukan jawabannya. Sial! Pasti Mama mau mengajak jalan-jalan ini! Bodohnya kamu Priska! Pakaianmu menunjukkan kamu sedang libur kuliah. Tak akan ada alasan lagi yang bisa kau pakai kali ini. Tamatlah kakimu hari ini! Citra hanya tersenyum-senyum sendiri. Tak menjawab pertanyaan dari anaknya. Karena, dia sudah tahu. Dari melihat ekspresi Sang anak yang sedang melihat bayangannya di cermin. Ekspresi lesu itu adalah sebuah pertanda. Bahwa Priska telah mengerti apa tujuan dari senyumannya. Priska berbalik badan. Ia tersenyum kecut. Kedua ujung matanya tampak menyipit. Dengan bibir yang melengkung tak ikhlas. Ia menarik kursi dan kemudian duduk di Sana. “Mama masak apa?” tanya dia. Mencoba mencairkan suasana yang sudah terlanjur terbaca. “Tumis kangkung, tempe goreng, ikan asin, sama sambal tomat.” Citra menyebutkan menu masakan yang ia buat. Kemudian menyajikannya di meja. Tepat di hadapan Priska. “Mama terlihat semangat sekali,” ucap Priska pelan. Ia tak bertujuan untuk membahas itu. Sayangnya, indra pendengaran Sang Mama memang tajam. Maka ia pun menjawab gumaman dari Sang Anak. “Tentu dong! Nanti Papa akan ke sini. Kita bisa liburan sama-sana besok!” jawabnya santai. Lalu menyendokkan nasi ke piring dan memberikannya pada Priska. “Wah, sudah matang rupanya?” ucap Robi sambil membenarkan bentuk dasi yang ia kenakan. Ia baru saja selesai dengan ritual paginya. Ia tersenyum senang. Tapi balasan dari Sang adik alah sebuah senyum kecut yang membuatnya tak tahan untuk tertawa. Sayangnya, ia hanya bisa menahannya. Sebelum ada omelan rutin pagi hari yang harus diterima oleh kedua telinganya dari Mamanya. “Ayo sarapan, cepat nanti kamu terlambat!” ucap Citra. Ia juga mengambilkan piring dan menuang nasi ke atasnya. Lalu, ia berikan pada Robi yang duduk di samping kanannya. “Rob, besok kamu yang nyetir ya? Besok kita mau jalan-jalan!” ucap Citra dengan penuh semangat. Matanya berbinar, dengan bibir yang tersenyum ceria. Rona merah di pipinya tampak semakin sempurna. Priska hampir saja tersedak. Saat dia akan tertawa lepas karena melihat ekspresi Robi yang berubah cepat. “Kenapa? Kamu ada janji?” selidik Citra. Karena ia pun menangkap perubahan ekspresi Robi juga. Ia mengernyit, menautkan kedua alisnya. Dengan tangan yang bersedekap di depan dadanya. “Bukan begitu, Ma. Tapi, besok aku harus ketemu sama seseorang,” ucapnya berbohong. Dan tentu saja tidak akan dipercaya dengan semudah itu oleh Mamanya. “Ketemu siapa? Pacar? Sejak kapan kamu punya pacar? Kalau memang mau ketemu pacar, sekalinya besok kenalkan sama Mama!” ucap Citra tak mau kalah. Ia sudah membuat rencana. Dan itu tidak boleh gagal dengan alasan apa pun. Robi menelan ludah. Melirik ke arah Priska dengan tatapan memelas. Ia sedang merayu adiknya. Meminta bala bantuan darinya yang biasanya menemukan alasan cemerlang di detik-detik kepepet seperti itu. Tapi, saat itu Priska menggeleng pelan. Ia sengaja tak membantu Sang Kakak. Karena, ini adalah masa balas dendam yang sempurna. Hari ini tak apa kakinya akan lemas. Tapi besok, kaki Sang Kakak yang akan kaku karena menginjak pedal gas tidak berhenti-berhenti. Awas kau Priska! “Iya deh, enggak jadi ketemu. Besok aku akan melayani apa pun kemauan Mama!” pada akhirnya dia pun mengatakan itu. Walau sebenarnya ia merasa keberatan. Tapi, tak ada pilihan lain selain mengiyakan saja permintaan Sang Mama. Sebelum ada peperangan yang terjadi di sana. “Begitu dong!” jawab Citra penuh kepuasan. Ia meneguk minuman hangatnya. Lalu mulai menyendok makanan ke mulutnya. Mereka sarapan bersama-sama. Tak ada lagi suara yang mengiringi decap mulut mereka. Hening. Semua fokus dengan pikiran masing-masing. Citra dengan pemikiran tentang rencana jalan-jalannya. Toko mana saja yang akan ia datangi. Barang apa saja yang akan dia beli. Bahkan makan siang dan makan malam yang akan ia makan nanti pun sudah terbayang di pikirannya. Sementara Priska sedang larut dalam pikirannya tentang cara melarikan diri yang sempurna. Tapi, sekeras apa pun dia mencoba. Tetap saja dia tidak bisa mewujudkannya. Semua itu hanya berhenti di kepalanya saja. Tak berani ia lakukan pada Sang Mama. Walau di sisi lain ia juga berencana meminta Sang Mama membelikan beberapa keperluan miliknya. Setidaknya, itu akan setimpal sebagai hadiah karena sudah menemaninya jalan-jalan. Lain pula dengan Robi. Dia berpikir, bagaimana caranya agar mereka menyewa sopir saja. Tapi, Membuat alasan kaki terkilir sepertinya akan mudah dipercaya oleh Mamanya. Namun, jika nanti ia malah dibawa ke tukang urut dan ketahuan berbohong. Malah semakin runyam keadaannya. Lalu, bagaimana caranya ia akan terbebas dari kaki yang kaku besok?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN