10. Sabar Priska

1575 Kata
Robi sudah berangkat. Tinggallah Citra dan Priska di rumah itu. Mereka masih bersiap. Merias diri untuk persiapan jalan-jalan yang masih tidak jelas tujuannya. Priska mau tidak mau harus menurutnya. Percuma mau menolak. Ia tidak akan pernah bisa menang melawan perdebatan dengan Citra yang memang lihai berbicara. Ponselnya berdering. Priska melirik ke arah ponselnya. Masih sambil menepukkan bedak ke wajahnya. Ia sedikit mengernyit, saat yang tertera di sana hanyalah nomor tanpa nama. Siapa? Akhirnya, ia pun mengangkatnya. Setelah menunggu deringnya hampir di ujung suara. “Ya, halo? Siapa?” ucapnya datar. Ia masih sibuk dengan bedak yang ia tepukkan di wajahnya. Bukannya mendapat jawaban. Tapi, telepon itu malah ditutup tanpa memberikan keterangan apa pun. “Aneh!” ucap Priska. Ia mengernyit dan kemudian cuek saja. Melanjutkan memoles bibir dengan liptint favoritnya. Kemudian mengecapnya beberapa kali hingga warna itu merata. Ia puji segera turun dan menyapa Mamanya yang sudah terlebih dahulu siap di bawah sana. “Jadi, Mama mau ke mana?” ucapnya mengawali perjalanan mereka. “Jalan-jalan, tunggu taksi online-nya bentar lagi sampai. Mama sudah pesan untuk ke Mall terdekat,” jawabnya santai. Dia merapikan poninya. Lalu menaikkan kembali kacamatanya yang sedikit melorot. Tak berselang lama suara klakson mobil terdengar. Keduanya bergegas keluar dan masuk ke dalam mobil tersebut. Citra memang selalu memerhatikan penampilannya. Ia mengenakan rok putih selutut dengan sepatu berwarna senada. Pakaiannya hanya kaos hitam polos dengan blazer kekinian bermotif kotak-kotak. Bahkan dia terlihat seumuran dengan sang anak. Sementara Priska dengan gaya santainya ia mengenakan celana jeans biru dengan sedikit sobek-sobek di bagian lututnya. Juga kaos putih longgar kesukaannya. Ia lebih suka berpakaian santai seperti itu. Mencangklong tas kecil di pundak kiri. Gayanya santai, persis sang Papa. Kalau gaya Citra plek-ketiplek dengan Robi yang suka mendetail. Mereka duduk di bangku belakang dengan tanpa bicara. Sibuk dengan gawai yang berada di tangan mereka masing-masing. Citra berselancar, mencari tempat yang asyik untuk bisa mereka kunjungi. Sementara Priska hanya menggeser-geser layar ponselnya ke bawah. i********:, f*******:, twitter, bahkan t****k pun ia buka tutup hanya untuk membunuh waktu. Hingga akhirnya taksi on-line itu pun berhenti di salah satu Mall di kota tersebut. “Sudah sampai, Bu,” ucap si Sopir. Ia bergegas turun dan membukakan pintu mobil tersebut. “Terima kasih,” jawab Citra. Dia memberikan satu lembar uang pada si sopir. Diikuti dengan Priska yang juga menginjakkan kakinya di jalan. Melihat si sopir hendak memasukkan tangan ke dalam saku celananya. Ia pun segera berkata, “Ambil saja kembaliannya!” dengan senyum ramah dan wajah yang segar. “Terima kasih, Bu.” “Sama-sama, Pak.” Tak perlu banyak basa-basi lagi. Kedua perempuan yang baru saja turun dari taksi mulai bergerak masuk. Langkah mereka sejajar, serasi dan bahkan kompak. Kaki jenjang milik Priska memang turunan dari sang Ibu. Rampung, mulus, dan jenjang. Layaknya kaki model yang siap berlenggak-lenggok di atas catwalk. “Jadi, Mama mau ke mana dulu?” ucap Priska. Ia mengantongi ponsel miliknya. Menunggu jawaban dari sang Mama yang tampak diam dan masih berkutat dengan ponselnya. “Enaknya ke mana ya? Makan dulu kali ya?” jawab Mamanya setelah ia selesai dengan ponselnya. Kemudian dia memasukkannya ke dalam tas. Meletakkan kacamata fashionnya di bagian leher pakaiannya. Priska melongo. Ia menoleh ke arah citra dengan tatapan tidak percaya. Katanya membuat. Ia mengerjap beberapa kali. Mereka baru saja sarapan dan sang Mama meminta untuk makan terlebih dahulu? Apa Mama tadi lupa kalau tadi sudah sarapan? “Apa ... Aku tidak salah dengar, Ma? Kita kan baru saja selesai sarapan di rumah,” ucap Priska masih dengan tatapannya yang tidak menyangka jawaban itu meluncur dari bibir sang Mama. “Ya, Mama tahu. Beli camilanlah paling tidak, penasaran sama jajanan yang katanya viral itu,” ucapnya antusias. Kakinya mulai melangkah menuju eskalator. Begitu juga dengan Priska. Ia segera mengikuti langkah Mamanya yang baru saja menginjak anak tangga eskalator. Berdiri tepat di belakang sang Mama. “Jajanan viral yang mana, Ma?” ucapnya pelan. “Itu loh, yang panjang-panjang warna-sarni, juga rasa-rasi,” jawabnya sambil terkekeh. Ia sudah bisa menebak anaknya akan segera memprotes tentang pengucapannya yang salah. “Rasa-rasi? Rasa terasi? Aneh-aneh saja!” timpal Priska. Ia tahu, bahwa Mamanya memang sengaja melakukannya. Citra bahkan langsung tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban dari anaknya. Priska yang mulai risi karena banyak orang yang melihat pada dirinya. Ia pun memilih memundurkan langkahnya beberapa kali. Menjaga jarak dari jangkauan sang Mama yang masih saja tertawa. Ia tidak ingin menjadi pusat perhatian seperti mamanya. Dilihat oleh orang lain sedang tertawa seperti itu. Menurut Priska bukanlah sesuatu yang bisa ia lakukan. Ia memang petakilan di kampus. Tapi, bukan berarti ia harus melakukan itu di semua tempat. Ah, jadi sifatku yang seperti itu menurun dari Mama? Ia memandang punggung sang Mama yang masih terus bergerak karena tertawa. Sepertinya, ia tidak akan berhenti tertawa dalam waktu singkat. Ia terus menunduk dan menghindar dari pandangan beberapa orang yang melihat ke arahnya. Seolah dia sedang berkata, aku tidak mengenalnya! Setelah melewati beberapa lantai. Akhirnya mereka sampai juga di food court. Tempat aneka jajanan dan juga makanan tersedia. Kali ini, Citra menggandeng lengan Priska dengan erat. Ia tak mengizinkan sang anak menjauh satu centimeter puji darinya setelah kejadian tadi. “Ayom tepung pedas kayaknya enak,” uca Citra. “Boleh, aku juga mau, Ma,” sahut Priska. Kali ini, mereka berdua tampak asyik memesan dan menunggu. Duduk berhadapan sambil meminum teh berwarna oranye yang sempat viral juga. Dengan dominan rasa s**u daripada rasa tehnya. Keduanya bercengkerama, saling bercanda dan mengobrol ringan berdua. “Kayaknya sudah lama banget aku enggak main sama Mama kayak gini,” ucap Priska setelah ia menerima pesanan ayam mereka yang baru tiba. “Iya, sudah lama. Makanya, Mama sengaja mengambil cuti hari ini. Selain bisa main sama kamu, biar bisa buat persiapan jalan-jalan besok.” Citra mulai mengunyah ayam tepung pedas yang ia pesan. Kemudian mengesis di gigitan pertamanya. Priska terkekeh pelan. “Memangnya, besok mau ke mana?” Priska mengernyit. Dari ekspresi wajah Citra. Dia bisa menduga. Mamanya, tidak akan memberi tahu rencana liburan itu pada dirinya. Alis yang naik-turun dan senyum yang misterius. Ciri-ciri paling jelas yang menunjukkan ia akan merahasiakan hal itu. “Pokoknya kamu tenang, kamu pasti suka!” jelasnya. Masih terus melanjutkan mengunyah. Sesekali menyedot minuman untuk menghilangkan rasa panas di mulutnya. “Bali? Lombok? Aku enggak mau ke Jakarta! Panas!” tebak Priska. Lalu, dia membatasi lingkup pilihan dengan mengatakan tak ingin ke Jakarta. Sekeras apa pun ia mencoba menelisik. Ia tak juga mendapatkan jawaban dari Citra. “Ngapain jauh-jauh, yang dekat sajalah! Ah, kenyangnya. Energi sudah terisi, ayo segera berburu pakaian!” ajak Citra dengan penuh semangat. Tak ada pilihan lain bagi Priska selain mengiyakannya. Walau ayam tepung pedas miliknya masih tersisa beberapa potong lagi. Ia memilih menyunduknya dalam satu tusukan. Sehingga ia bisa memakannya di sepanjang jalan. Outlet-outlet brand ternama mereka masuki satu per satu. Menyerbu bagian yang tertera sebuah tulisan besar dan berwarna merah. Diskon tujuh puluh persen! Diskon lima puluh persen! Beli dua gratis satu. Beli satu gratis satu. Segala macam promosi mereka singgahi. Louis Vuitton, Tiffany & Co, Zara, MK, Uniqlo, H & M dan masih banyak lagi lainnya. Setelah puas menggesek kartu dan mendapatkan setruk belanja yang panjang. Kantong-kantong kertas itu berisi banyak pakaian. Mereka berpindah tempat. Menuju toko-toko sepatu yang menyajikan berbagai macam sepatu keren dan kece. Termasuk harganya! Sepatu-sepatu mewah itu tampak gemerlap. Hiasan yang tertempel di sisi-sisi sepatu itu menyilaukan mereka. Seolah mempunyai daya magnet yang kuat. Menarik pandangan mereka hingga akhirnya terhenti di depannya. Dengan mata terbuka lebar dan ekspresi bahagia. Mereka terpanah dengan sepatu yang berbeda. Tapi berada di rak yang sama. “Aku mau ini!” keduanya serentak berbicara. Kemudian saling tertawa bersama-sama. Tingkah keduanya membuat pegawai yang sedari tadi melayani mereka pun ikut tertawa. Ya, tentu saja dia merasa senang. Ia akan mendapatkan dua orang pelanggan yang membeli sepatu mahal di toko tempat dia bekerja. Ini masih pagi, tapi keberuntungan telah ia dapatkan. Bisa jadi, omset mereka hari ini akan meningkat pesat. Jika permulaan membuka toko saja sudah mendapatkan berlian! “Mau yang ini, Kak?” tawarnya dengan senyum semringah. Kedua anak dan Ibu itu mengangguk mantap. Mereka berkata secara serempak. “Ya!” Tak berhenti di sana. Citra dan Priska masih melanjutkan perjalanan. Kali ini, Citra mengajaknya masuk ke dalam supermarket besar di dalam mall tersebut. Citra menarik sebuah troli dan menggesernya pada Priska. Sambil mengerling dan tersenyum licik dia berbicara. “Kau yang dorong!” ucapnya. Priska hanya bisa pasrah. Ia telah dibelikan begitu banyak barang oleh sang Mama. Menolak permintaan dari Mamanya bisa membuat barang-barang itu ditunda pemberiannya! Sabar Priska sabar! Ini demi semua kantong belanja yang sudah kau pilih dan dapatkan. Bersabarlah untuk hari ini! Sepatu indah yang kau pilih tadi akan segera berada di dalam kamarmu! Tunggu dan bersabarlah lebih banyak! Priska merapal mantra. Mencoba tetap tenang dan menjadi anak yang penurut. Mengambil napas panjang dan mengeluarkannya perlahan. Ia harus terus tersenyum dan mengiyakan saja semua ucapan mamanya. Sebelum akhirnya semua kantong belanjaan itu akan sepenuhnya menjadi milik dia seutuhnya. Ia terus mendorong troli itu. Mengarahkan ke arah sang Mama yang memilih beberapa makanan. Terkadang, mereka malah seolah sedang bermain basket. Priska memundurkan troli. Sementara Citra membidik ke arahnya. Hal itu lagi-lagi menjadi pusat perhatian. Dan bahkan mereka sempat ditegur oleh penjaga keamanan di sana. “Mohon maaf Ibu, dengan segala hormat untuk tidak melakukan itu. Terima kasih,” ucap si penjaga dengan sopan. “Siap, Pak!” jawab Citra dengan pelan. Ia menunduk dan terkekeh. Kemudian menyeret Priska menjauh dari sana. Malu cuy!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN