37. Double Kill

1114 Kata
Tak banyak yang berubah semenjak kejadian di lapangan pagi itu, meskipun ada beberapa pasang mata yang memandang Tulip dengan berbagai makna. Awalnya terasa tidak nyaman, namun Tulip mencoba untuk cuek. Toh pandangan itu akan hilang dengan sendirinya. Entah sudah berapa lama, Tulip juga tak pernah menghitung, mungkin seminggu atau sebulan hari-hari berlalu begitu damai. Dari Diaz juga ia tahu kalau Melinda sudah mendapatkan penanganan dari pihak rumah sakit, meskipun ia belum tahu apa diagnosis yang diberikan dokter. "Lip, ke perpustakaan, yuk! Aku mau pinjem buku buat tugas bahasa," ajak Naya ketika bel istirahat pertama baru saja berdering. "Loh, bukannya kemarin udah pinjem?" tanya Tulip sembari menyusun bukunya di dalam laci. "Gak lengkap, jadi aku mau pinjem lagi." "Oh, ya udah. Ayo!" Mereka pun pergi ke perpustakaan bersama. Awalnya ia berniat untuk ikut masuk, namun ternyata mereka berpapasan dengan Shendy. "Nay, kamu duluan deh! Nanti aku nyusul," pinta Tulip. "Oke, jangan buru-buru!" ujar Naya yang begitu pengertian. "Oke!" Setelah Naya pergi ke perpustakaan, Tulip berbalik arah dan menghampiri Shendy. Kebetulan dia juga sedang sendirian. "Pagi, Kak Shendy!" sapa Tulip. Ia berjalan mengikuti langkah Shendy. "Pa… gi," jawab Shendy seraya membalikkan badannya. "Tulip, ya?" tanyanya. "Iya, Kak. Saya Tulip." Sudah lama ia ingin mengucapkan rasa terima kasihnya, namun kesempatannya baru datang hari ini. "Kamu gimana kabarnya? Maaf untuk kejadian waktu itu, ya! Melinda memang… yah, begitulah dia." Shendy justru lebih dulu membahas masalah itu. "Eh, kok jadi Kakak yang minta maaf? Justru aku manggil Kakak karena pengen ucapin makasih." Shendy tampak sedikit terkejut dan menatap wajah Tulip dengan bingung. "Kenapa kamu ngucapin makasih?" "Emm… kata Kak Diaz, kalo bukan karena Kakak, mungkin masalah waktu itu gak akan beres secepet ini," ujar Tulip jujur. "Jadi… Diaz yang nyaranin?" Tulip mengangguk cepat. "Tapi aku bilang terima kasih bukan karena disuruh aja kok, Kak. Tanpa Kak Diaz suruh pun, kalo aku tau semua ini berkat Kakak, aku pasti bakal ngelakuin hal yang sama." Shendy tersenyum dan mengusap bahu Tulip. "Gak perlu sampe segitunya kok! Aku cuma lakuin apa yang seharusnya aku lakuin." "Apapun alasan Kakak, aku tetep berterima kasih." Senyum Tulip ikut mengembang ketika melihat wajah Shendy yang juga semakin cerah. "Iya, sama-sama. Kamu jaga diri baik-baik, ya! Jangan gampang percaya sama orang yang keliatannya baik!" "Iya, Kak. Makasih banyak!" Shendy tersenyum lagi. "Aku duluan, ya!" "Iya, Kak." Shendy pun kembali melanjutkan langkahnya dan pergi dari sana. Tulip juga menyusul Naya ke perpustakaan. Perasaannya semakin membaik. Melihat respon Shendy yang begitu ramah dan bersahabat, Tulip merasa semakin banyak juga orang yang peduli padanya. Maka ia tidak perlu takut lagi untuk kedepannya. 'Kayanya aku ngobrol udah agak lama sama Kak Shendy, kok Naya belum keluar juga,' batin Tulip ketika ia baru melewati pintu perpustakaan. Karena Naya tak juga keluar, Tulip berinisiatif untuk masuk dan mencari rak sesuai dengan bahan tugas yang mereka butuhkan. Tak membutuhkan waktu lama, Naya pun bisa ia temukan dengan mudah. "Gimana, dapet?" tanya Tulip. "Ada sih, tapi aku bingung." "Kenapa?" "Dua buku ini saling melengkapi, tapi slot peminjamanku tinggal satu lagi. Soalnya buku yang kemarin belum aku balikin." "Oh, pake namaku aja!" ujar Tulip menawarkan. "Gak apa-apa?" "Kaya apa aja sih! Udah ayo pinjem dua-duanya!" ujar Tulip seraya mengambil kedua buku dari tangan Naya. "Dua ini, kan?" tanya Tulip lagi. "Iya." "Ya udah, pinjem atas namaku semua aja, biar gak ribet balikinnya." Naya pun setuju. Kemudian mereka pergi ke meja peminjaman, kebetulan orang yang kini sedang mengantri merupakan orang yang juga mereka kenal. Orang tersebut adalah Felix. Naya dan Tulip saling lirik. Jantung Tulip kembali berdebar. Ingin menyapa, namun ia tahan. Ia tak ingin seperti kejadian beberapa hari yang lalu. 'Tahan, Lip! Jangan sapa!' ujar Tulip dalam batinnya. Dengan sengaja ia membuang pandangannya ke arah lain agar tak bertemu pandang dengan Felix. Usai mengurus peminjaman bukunya, Felix berlalu begitu saja tanpa menengok ke belakang. Hal itu tentu saja menguntungkan bagi keduanya. "Udah pergi," bisik Naya. Tulip langsung kembali melihat ke depan. "Aman, kan?" "Aman kok aman!" jawab Naya pelan. Belum sempat Tulip memberikan bukunya pada petugas, Felix kembali datang. "Sorry, sebentar!" ujarnya pada Tulip tanpa mengetahui kalau orang yang ia tegur adalah Tulip. "Ini kartu pelajar saya, Bu," ujar Felix pada petugas perpustakaan. Sementara itu, Tulip membeku di sebelahnya. Ia tak berani mengucapkan sepatah katapun. Bahkan ketika menyadari orang itu adalah Felix, Tulip langsung balik badan dan berusaha meredam debaran jantungnya. 'Hadeh! Bisa-bisanya dia dateng tiba-tiba gitu! Bikin anak orang jantungan aja!' gumam Tulip dalam batinnya. Sama seperti sebelumnya, usai berurusan dengan petugas, Felix langsung pergi tanpa menyadari adanya kehadiran Tulip. Tanpa menunggu diingatkan oleh Naya, Tulip kembali balik badan karena ia sudah pasang telinga. Sehingga ia bisa tahu kalau lelaki itu sudah menjauh dari dirinya. "Wah gila sih! Double kill tau!" ujar Tulip ketika mereka sudah keluar dari perpustakaan. "Aku yang gak punya masalah sama dia aja ikut deg-degan, apalagi kamu, Lip. Jantungmu masih di tempatnya, kan?" "Nay, gawat!" ujar Tulip tiba-tiba. "Hah? Kenapa?" tanya Naya yang tak kalah panik. "Jantungku, Nay! Jantungku!" ucap Tulip dengan wajah yang kebingungan. "Kenapa ih? Kenapa jantungmu?" Naya tak berbohong, ia benar-benar panik dibuatnya. "Jantungku masih di tempatnya, Nay," jawab Tulip dengan ekspresi yang masih sama dan langsung mendapatkan sebuah pukulan di lengannya. Tulip pun tertawa puas. "Si*lan, ya! Bisa-bisanya bercanda pake ekspresi kaya gitu!" "Haha, sorry! Abisnya kamu tanya jantungku masih di tempatnya apa enggak. Ya kali jantungku punya kaki," ujar Tulip dengan tawanya yang masih tersisa. "Ya namanya juga hiperbola. Kali aja kamu saking deg-degannya sampe berasa jantungnya pindah." "Kayanya gak sealay itu sih. Jantungku masih betah di tempatnya yang lama." Tulip dan Naya terus bercanda di depan perpustakaan. Tak lama kemudian, kebetulan Valent dan Juan lewat, mereka baru kembali dari kantin. "Asik amat ngobrol di sini, pindah ke taman kek, apa ke mana!" ujar Juan seraya bersandar di tiang yang ada tak jauh dari mereka. "Kalo pindah tempat, nanti udah gak asik lagi bahasannya," balas Naya. "Btw, kalian dari kantin?" tanyanya lagi. "Iya, laper," balas Valent dengan tangan kiri yang ia sembunyikan di saku celana. "Kok cepet? Biasanya, kan, balik ke kelas nunggu bel dulu," tanya Tulip. "Kalo cuma berdua, kami makannya pasti cepet. Kan, ngobrol sama kalian yang bikin lama," balas Juan. "Heuuu!!" ledek Naya. "Udah ayo balik ke kelas, bercanda di sini entar lama-lama kita diusir gimana?" saran Tulip kemudian. Mereka pun kembali ke kelas berempat seperti biasa. Ada gosip-gosip yang sudah lama tersebar, yakni mereka berdua dianggap sebagai pasangan yang sudah bersama sejak bangku sekolah sebelumnya–SMP. Tulip dengan Valent; Naya dengan Juan. Berusaha untuk tidak peduli dengan gosip yang beredar, mereka justru dengan sengaja untuk tidak membuat jarak, agar si penggosip lelah akibat mulut mereka sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN