34. Isi Hati Shendy

868 Kata
Shendy meninggalkan Diaz di parkiran tanpa menengoknya lagi. Tidak seperti perempuan kebanyakan, Shendy terlahir sebagai gadis yang tegas. Meski ia tahu hatinya begitu menginginkan Diaz, namun ia juga tak rela bila harga diri harus menjadi taruhannya. Awalnya ia mengira kalau Diaz juga memiliki perasaan yang sama, namun ternyata tidak. Dia salah dalam mengartikan semua kebaikan Diaz. Ternyata selama ini Diaz baik dan perhatian pada semua orang, bukan hanya pada dirinya. Kini ia duduk di kursi halte sembari menunggu bus yang lewat. Sebenarnya Diaz tidak salah kalau mengira dirinya sedang kesusahan, karena tadi ia sedang berpikir bagaimana caranya mengendarai motor yang bukan matic. Sebab motor yang selama ini ia gunakan sedang diservis. 'Sebenernya gak masalah kalo aku pulang bareng Diaz, cuma… gak tau kenapa aku ngerasa berat.' Shendy bergumam dalam batinnya sembari melihat kendaraan yang berlalu lalang di hadapannya. "Loh, Shen? Mau naik bus?" tanya Rexa yang baru saja datang. Shendy menengok ke arahnya dan menjawab, "Hm? Iya nih." Rexa duduk di sebelah Shendy untuk menunggu bus juga. "Tumben banget, motormu ke mana?" "Masih diservis." "Ah, gitu. Eh, si Melinda kena masalah apalagi?" tanya Rexa lagi. Sebenarnya mereka satu kelas, namun belum sempat menanyakan kejadian yang sebenarnya. "Biasa," jawab Shendy dengan lesu. Ia masih kesal karena kasus ini juga ada hubungannya dengan Diaz. "Terus katanya korbannya anak kelas sepuluh, ya? Memang dia salah apa?" Shendy menatap wajah Rexa sesaat, lalu ia menghembuskan napasnya dengan kasar. "Dia cemburu." "Hm?" Rexa masih tak mengerti dengan jawaban yang Shendy berikan. "Cemburu? Memang Melinda punya pacar? Bukannya dia ngejer Diaz juga kaya kamu?" Dengan tatapan penuh amarah, Shendy menatap wajah Rexa. "Harus banget, ya, bawa-bawa aku?" "Hehe, sorry! Memang kamu udah gak mau ngejer Diaz lagi?" Shendy hanya diam, dia benar-benar malas membahas tentang Diaz lagi. Beruntung bus yang ditunggu sudah datang, ia langsung masuk tanpa menjawab pertanyaan Rexa. Sayangnya, bus yang mereka tunggu adalah bus yang sama. Rexa ikut masuk bahkan duduk di sebelah Shendy. "Kamu beneran udah gak mau ngejar Diaz?" tanya Rexa lagi, namun dengan suara yang lebih pelan. "Bisa gak, gak usah bahas Diaz lagi? Aku gak mau denger!" ujar Shendy seraya memasang earphone ke ponselnya dan memakainya di telinga. "Hm… oke." Rexa berusaha untuk mengerti dan tidak bertanya lagi. Shendy memejamkan matanya sembari menikmati alunan lagu yang terputar. Sayangnya, bayangan Diaz justru semakin jelas. Ia pun mendengus kesal dan menolak ingatan itu sekuat mungkin. Ia kembali membuka matanya dan melihat ke luar jendela. Langit mulai mendung, awan-awan mulai bergerombol membentuk kelompok. "Aku lagi suka satu lagu, mau dengerin gak?" ujar Rexa pelan, namun masih bisa didengar oleh Shendy. Shendy pun menengok dan bertanya, "Lagu apa?" "Coba dengerin deh!" Rexa memberikan earphone-nya yang sebelah kiri agar mereka bisa berbagi. Shendy menghentikan musik dan melepaskan sebelah earphone-nya, lalu digantikan dengan earphone milik Rexa. Sebuah lagu beraliran pop yang cukup santai mulai terdengar di telinga. 'Kamu adalah bukti.' 'Dari cantiknya paras dan hati.' 'Kau jadi harmoni saat kubernyanyi.' 'Tentang terang dan gelapnya hidup ini.' "Ini lagu udah lama banget, kan?" tanya Shendy seraya melepaskan earphone-nya dan mengembalikan pada Rexa. "Iya, tapi gak tau kenapa sekarang lagi suka." "Kamu lagi jatuh cinta?" tebak Shendy dengan kesimpulan yang dia ambil. "Enggaklah!" bantah Rexa cepat. "Hih! Gak usah malu-malu kali!" "Kadang aku penasaran loh," ujar Rexa tanpa mengindahkan ucapan Shendy sebelumnya. "Penasaran sama apa?" "Kamu kok bisa sih ungkapin perasaan duluan? Padahal kamu cewek." Mendengar itu, Shendy kembali kesal dan membuang pandangannya ke luar jendela. Antara marah dan malu bercampur menjadi satu. Malu karena sudah menjatuhkan harga dirinya demi laki-laki yang tak pernah melihat ke arahnya. "Aku gak ngejek loh, justru aku salut! Aku pengen bisa begitu juga." Shendy masih diam, namun Rexa tetap bicara di sebelahnya. "Kamu gak perlu malu. Perasaan kalo gak diungkapin, gak bakal ada yang tau. Mungkin sekarang kamu malu, tapi banyak orang yang pengen bisa jadi kaya kamu. Termasuk aku." Rexa diam sejenak untuk melepaskan earphone-nya dan memasukkannya ke dalam tas, lalu ia bicara lagi, "Aku memang lagi suka sama cewek, tapi aku terlalu takut ditolak. Padahal aku tau, kalo aku diem aja mungkin aku bisa nyesel." "Kenapa nyesel?" tanya Shendy tanpa mengalihkan pandangannya. "Karena aku gak tau gimana isi hatinya. Kalo ternyata sama-sama suka, tapi gak saling ungkapin dan berakhir dengan dia yang diambil orang. Pasti nyesel banget, kan?" "Tapi… mengungkapkan dan mendapat penolakan, rasanya juga malu banget. Berasa harga diri kaya diinjek-injek," balas Shendy lagi. Secara tidak langsung kini ia sedang mencurahkan isi hatinya pada Rexa. "Setidaknya semua jelas. Kamu bisa cari pengganti yang jauh lebih baik dan juga bisa nerima kamu. Daripada cuma cinta dalam diam? Terbalas enggak; berharap iya; kejelasan gak ada, iya, kan?" Shendy mengangguk pelan. "Iya kamu bener. Harusnya aku sadar dari awal. Yang namanya jatuh itu pasti gak enak, meskipun ada embel-embel cinta di belakangnya. Namanya jatuh tetep aja jatuh." Rexa hanya tersenyum mendengar itu. Keduanya saling diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Benar apa yang orang sering bilang, 'Jangan pernah jatuh cinta kalau belum siap tersakiti! Karena ketika kamu sudah memutuskan untuk mencintai seseorang, maka saat itulah kamu sudah menyerahkan dirimu untuk menerima apapun konsekuensinya. Entah baik ataupun tidak, kita hanya bisa menunggu waktu.' *** *** Cr. Lagu : Bukti - Virgoun
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN