"Ada yang sakit, gak?" tanya Aaron pada Tulip ketika mobil mereka mulai meninggalkan lingkungan sekolah.
"Sakit kenapa?" Tulip bingung mendengar pertanyaan yang tiba-tiba Aaron lontarkan itu.
"Tadi katanya kamu jatuh didorong Melinda."
"Ah, gak apa-apa kok. Gak terlalu kuat."
"Jangan bohong!" Wajahnya mulai berekspresi, tidak datar seperti tadi. Ia benar-benar terlihat khawatir.
"Aman, Kak. Tenang aja! Gak ada luka sama sekali."
"Tapi kamu pasti sakit hati, kan? Malu juga."
Tulip tersenyum ketika melihat kekhawatiran Aaron. "Kak, aku memang kesel; malu banget udah pasti, tapi ini bukan pengalaman pertamaku," ucap Tulip sambil menatap mata Aaron. "Sekarang aku punya temen-temen yang perhatian; punya Kakak; punya Kak Diaz, aku gak sendirian lagi."
Aaron balik menatap mata Tulip dan mencari kebohongan di sana, namun ia tak menemukannya. Adik kecilnya itu jujur. Aaron tidak menyangka Tulip bisa setegar itu, dia pasti sudah mengalami pengalaman yang lebih pahit daripada ini.
"Kamu jauh lebih hebat dari yang aku kira ternyata," ujar Aaron.
"Oh jelas!" jawab Tulip menyombongkan dirinya, tentu saja ia juga bercanda.
Ia masih bisa merasakan pergelangan tangannya sedikit sakit, karena menahan tubuhnya ketika terjatuh. Namun itu bukanlah hal yang cocok untuk dikeluhkan, hatinya jauh lebih sakit meski ia berusaha untuk menerimanya.
"Kak, jangan bilang sama Mama-Papa, ya!" pinta Tulip kemudian.
"Hm? Oke. Kamu boleh sembunyiin masalah dari Mama-Papa, tapi jangan dari aku! Liat, kan? Kamu udah sekali bolos ekskul demi Melinda, hasilnya apa?"
"Iya, maaf," jawab Tulip sambil tertunduk. "Aku kasian sama Kak Meli, karena merasa pernah ada di posisi dia."
"Aku udah pernah ingetin, kan? Ada di posisi yang sama bukan berarti permasalahannya juga sama." Meski tegas, namun tetap lembut didengar. Ia tahu, adik kecilnya itu cukup sensitif dengan ucapan bernada tinggi.
"Iya, maaf."
Aaron mengusap puncak kepala Tulip dengan lembut. "Kedepannya jangan gegabah lagi, ya! Dipikir baik-baik, jangan ngandelin perasaan aja!"
"Iya, Kak."
Tak lama kemudian, mobil mereka memasuki parkiran toko kue kesukaan Tulip. Kali ini Tulip tidak turun sendiri, Aaron juga ikut. Bukan hanya untuk memilih kuenya sendiri, tapi juga antisipasi andai saja ada Felix lagi di tempat itu.
Sementara itu di tempat lain, Diaz masih belum pergi dari pelataran parkir. Ia duduk di atas motor sembari membenahi pengunci helmnya yang ternyata sedikit bermasalah. Sherina kembali datang dan berdiri tepat di depan motor Diaz.
"Shendy beneran gak mau dianter?" tanyanya tanpa basa-basi.
Diaz mendongakkan kepalanya. "Oh, kamu lagi. Iya, dia gak mau dianter," jawab Diaz seraya meletakkan helmnya di atas tangki motor.
"Baguslah! Akhirnya dia sadar," ujar Sherina yang kemudian pergi lagi dari sana.
"Sebentar!" tahan Diaz, Sherina pun berhenti dan menengok ke arahnya.
"Ada apa?"
"Apa maksudnya 'dia sadar'?"
"Rasanya gak mungkin dia pergi gitu aja tanpa kasih penjelasan apapun," jawab Sherina yang sudah sangat mengenal pribadi kembarannya itu. "Coba sesekali pake hatimu, gak semuanya bisa dipikir pake nalar."
Diaz terdiam dan tak bertanya lagi meski hatinya masih bertanya-tanya. Sherina adalah orang yang berbeda, tapi cara bicara mereka sama, kepribadiannya pun mirip. Kedua gadis kembar itu memberikan tamparan di hari yang sama–meski tamparannya hanya menggunakan kalimat teguran saja. Namun tamparan kedua ini berhasil membuat Diaz berpikir lebih dalam lagi.
Segera ia membawa motornya pulang melewati lalu lintas yang cukup panas dan ramai. Dirinya kini dipenuhi perasaan bersalah. Ia sadar bagaimana caranya dulu memperlakukan Shendy dan perempuan lainnya. Tak hanya ucapan Sherina dan Shendy yang terngiang, tapi juga Tulip.
Ditambah lagi, ia mulai menyadari kalau dalam hatinya ada keinginan untuk memiliki Tulip. Ia merasa begitu nyaman di dekat Tulip, meski ia tahu rasa nyaman itu hanyalah sebagai seorang kakak.
'Jadi, apa selama ini Shendy merasa dibohongi? Aku memang gak nolak dia, tapi aku ngebiarin dia terus ada di deketku. Kalo aku jadi dia–'
Lamunannya terhenti seiring dengan laju motornya. Lampu merah kini menyala dengan waktu 15 detik saja. Matanya mengedar ke sekeliling dan menemukan seorang gadis yang menggunakan seragam seperti dirinya–tanpa membawa tas. Rambutnya panjang dan diikat ekor kuda, namun terlihat berantakan.
'Melinda?'
Ketika lampu sudah hijau, Diaz langsung tancap gas dan mengikuti arah gadis itu pergi. Sayangnya, dia kehilangan jejak. Diaz pun menepikan motornya dan mencari keberadaan Melinda.
Di dekat persimpangan itu terdapat sebuah kedai kecil yang tak begitu kentara jika dilihat dari jalan besar. Kedai itu dikelilingi dengan pagar yang sudah diselimuti rumput rambat. Diaz memutuskan masuk ke sana, karena yang mungkin saja Melinda masuk ke tempat itu.
Ternyata benar, Melinda duduk di salah satu kursi dengan kepala yang ia sembunyikan di balik lipatan tangannya di atas meja. Perlahan Diaz mendekat dan duduk di sebelahnya.
"Mel?"
"Ngapain kamu di sini?" tanya Melinda tanpa mengangkat kepalanya, ia bisa mengenali suara Diaz.
"Kamu yang ngapain di sini? Kenapa tadi gak balik ke sekolah?"
"Apa itu penting? Untuk apa aku balik kalo cuma untuk dikeluarin dari sekolah?" cerocos Melinda.
Untuk pertama kalinya Diaz memberanikan diri untuk menyentuh perempuan–selain Tulip. Ia mengusap punggung Melinda, berharap dia bisa lebih tenang.
"Keluarin semua unek-unekmu! Aku siap dengerin kok."
Terlihat Melinda mulai terisak, ia sudah menahan diri sejak tadi. "Jangan… jangan deket sama aku, Yaz! Nanti kamu kena masalah."
"Aku gak takut. Memang kamu berani bikin masalah sama aku?" tantang Diaz dengan suara pelan.
Melinda mulai mengangkat kepalanya; wajahnya begitu kacau; matanya sembab. Diaz mengambil tisu yang ada di atas meja lalu memberikannya kepada Melinda.
"Lap dulu! Ingusmu kemana-mana," ejek Diaz.
Bugh! Satu pukulan dari Melinda mendarat di lengannya. "Kurang ajar!" umpatnya. Diaz justru tertawa melihat respon itu.
Meski begitu, Melinda tetap mengambil tisu itu beberapa lembar untuk mengelap sisa air matanya–juga air dari hidungnya.
"Kenapa kamu ikutin aku?" tanya Melinda.
"Gak apa-apa, pengen aja."
"Aku kira kamu mau kasih tau kalo aku dikeluarin dari sekolah."
"Enggak, belum ada tindakan lanjutan kok dari guru."
"Yaz–" Melinda tak melanjutkan ucapannya dan mengusap wajahnya dengan kasar.
"Kenapa?"
"Enggak, gak apa-apa."
"Rumahmu di mana? Ayo aku anter pulang!" Untuk kedua kalinya hari ini ia menawarkan diri untuk mengantarkan pulang teman perempuannya.
"Aku gak mau pulang, nanti aku dipukul lagi."
"Terus kamu mau ke mana kalo gak pulang?"
Melinda kembali diam dan menarik napas panjang. Ia sedang menimbang sesuatu. Diaz menunggu dengan sabar, ia tahu untuk menghadapi orang seperti Melinda tidak boleh menggunakan cara kasar.
Kemudian Melinda melontarkan sebuah pertanyaan yang membuat mata Diaz mendelik.
"Kalo ke rumah sakit jiwa, bayar gak?"