Saat mereka akhirnya tiba di peternakan, Nixie merasa kagum melihat rumah tua yang megah dengan latar belakang padang rumput yang luas.
Bangunan itu berdiri dengan anggun, meskipun sudah mulai menunjukkan tanda-tanda usia.
Ada beberapa bangunan tambahan seperti lumbung dan kandang, yang menambah kesan bahwa tempat ini pernah menjadi peternakan yang aktif dan produktif.
Nixie turun dari mobil dan menghirup udara segar pedesaan. Ia merasa sedikit gugup, tetapi juga bersemangat.
Paman George membantunya membawa barang-barangnya masuk ke dalam rumah. Interior rumah itu penuh dengan kenangan masa lalu, dengan perabotan antik dan foto-foto keluarga yang terpajang di dinding.
Di tengah ruang tamu, Nixie menemukan surat lain dari neneknya. Dengan hati-hati, ia membuka surat itu dan mulai membacanya.
*
"Dear Nixie,
Selamat datang di rumah peternakan. Aku tahu bahwa ini adalah langkah besar bagimu, tetapi aku percaya bahwa kamu bisa melakukannya. Rumah ini adalah tempat di mana aku menemukan kedamaian dan kebahagiaan, dan aku berharap kau juga akan menemukannya di sini.
Selama setahun ke depan, pelajarilah cara mengurus peternakan ini. Ada banyak hal yang harus kau pelajari, tetapi jangan khawatir. Kau tidak sendirian. Ada orang-orang baik di sekitar sini yang akan membantumu. Percayalah pada dirimu sendiri, dan jangan pernah menyerah.
With love, Nenek Brunella."
*
Air mata mengalir di pipi Nixie saat ia membaca surat itu. Ia merasa terhubung dengan neneknya, seolah-olah nenek Brunella ada di sampingnya, memberinya kekuatan dan dukungan.
Dengan tekad yang baru, Nixie berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan melakukan yang terbaik untuk memenuhi harapan neneknya.
*
*
Hari-hari pertama di peternakan penuh dengan tantangan. Nixie merasa kewalahan dengan semua tugas yang harus dilakukan.
Ia tidak tahu cara memberi makan hewan, menggembalakan domba, atau merawat kuda.
Namun, ia tidak menyerah. Ia mulai belajar sedikit demi sedikit, mencoba memahami setiap detail dari kehidupan di peternakan.
Paman Elyas, mantan pegawai Brunella masih mau membantu Nixie di peternakan itu dan mengajarinya dasar-dasar mengelola peternakan.
Mereka bekerja dari pagi hingga sore, merawat hewan-hewan. Hingga suatu hari, Elyas jatuh sakit karena sudah terlalu tua dan tak kuat bekerja keras di peternakan.
Hal itu membuat pekerjaan Nixie menjadi keteteran hingga akhirnya domba-dombanya lepas ketika diberi makan.
Nixie mengejar domba itu hingga ke oeternakan sebelah yang jaraknya sekitar lima puluh meter.
"HEIII!! JANGAN LARI!!! HEII!! KALIAN ADALAH HARTAKU!!" teriak Nixie sembari berlari hingga napasnya ngos-ngosan.
Nixie dengan cepat berlari dan akhirnya terjatuh karena kakinya terjerat akar pohon yang melintang.
Nixie merintih kesakitan karena kakinya terkilir. Hingga akhirnya ada suara kuda yang berlari mendekatinya.
Nixie mendongak ke atas dan melihat seorang pria tampan di atas kuda itu. "Hei, kau tak apa-apa, Nona?"
Suara beratnya yang seksi membuat Nixie menganga dan tak sadar bahwa kakinya kesakitan. Pria itu tak memakai baju dan hanya mengenakan celana hitam panjang, sepatu boot warna coklat dan topi.
Tubuhnya penuh dengan tato, tapi itu tak menakutkan bagi Nixie yang lebih fokus pada mata tajamnya yang indah namun bersahabat.
"Nona? Are you oke?" tanya pria itu lagi.
Nixie menggeleng. "Kakiku terkilir karena tersandung akar pohon."
Pria itu tersenyum dan turun dari kudanya yang berwarna hitam legam. Lalu membantu Nixie berdiri. "Akan kuantar kau pulang."
Nixie mengangguk seakan terhipnotis dengan wajah tampan pria itu. ‘Begitu mudahnya aku berpaling dari Sebastian karena pria ini.’
Lalu pria itu membopongnya ke atas kuda dan mendudukkannya di depannya. Jantung Nixie berdebar kencang karena sentuhan pria itu di belakangnya.
“Kau baru di sini?” tanya pria itu.
“Ya, aku baru tinggal di rumah nenekku. Di sana.” Nixie menunjuk ke arah rumahnya.
“Owh, pantas saja, aku tak pernah melihatmu sebelumnya. Aku ikut berduka atas kematian Nenek Brunella.”
“Kau kenal nenekku?” tanya Nixie.
“Ya, dia wanita yang baik dan kematiannya cukup mendadak karena serangan jantung. Aku cukup kaget. Oh ya, aku Xaquille, panggil saja Xaq, kau?”
“Aku Nixie.”
“Senang bisa mengenalmu,” ucap Xaquille.
“Terima kasih sudah menolongku. Tapi domba-dombaku lari ke area peternakanmu.”
“Nanti aku yang akan mengurusnya.”
Xaquille yang berbicara di belakang telinga Nixie, membuat tengkuk leher Nixie meremang.