Sepanjang jalan menuju rumah orang tuanya, Rima tak banyak bicara, sementara Alan fokus pada kemudinya.
"Kamu tahu tentang hidup Gayatri, Mas?" Rima membuka suara.
"Tak perlu membahas orang lain saat kita sedang berdua."
"Dia bukan orang lain, dia bagian paling penting, baik untuk hidupku untuk hidupmu."
Alan diam, ia tak menanggapi ucapan istrinya. Pembicaraan ini hanya akan berakhir pada hubungan yang akan membuat semakin dingin.
Sampai detik ini, Alan tak mengerti, mengapa untuk sekadar melepaskan Rima adalah sesuatu yang sulit ia lakukan. Terlebih lagi orang tuanya begitu menyayangi Rima, bukan karena ia anak orang kaya, tapi sikap manja Rima mampu meluluhkan hati orang tuanya yang tidak memiliki anak perempuan dan saat ini Rima menjadi menantu satu-satunya.
Tak berapa lama, mobil mereka tiba di sebuah rumah besar yang mewah, parkiran luas dengan pengamanan yang ketat. Pintu mobil mereka dibuka oleh salah satu pekerja, orang tua Rima memang tidak main-main, mereka salah satu pengusaha yang diperhitungkan di negeri ini.
Ibu Rima menyambut dengan hangat pada anak dan menantunya.
"Mama apa kabar?" tanya Alan.
"Kabar baik, Sayang. Kalian bagaimana?"
"Kami baik, Ma," jawab Rima sambil memeluk ibunya.
"Mama rindu, makanya nyuruh kalian ke sini. Mama udah masakin makanan kesukaan kalian.
Mereka pun mengikuti sampai ke dapur, berbagai hidangan mewah tersaji. Rima dan Alan pun menyapa ayahnya yang sudah lebih dulu menunggunya di sana. Terlihat sekali mereka begitu memanjakan Rima dan sang menantu.
"Kalian kapan mau ngasih Mama cucu? Sudah tiga tahun, loh!"
"Sabar saja! Nanti kalau sudah waktunya pun Tuhan kasih," jawab Papa.
"Doakan saja, Ma, Pa, kami sedang berusaha," jawab Alan. Rima sekilas melihat ke arah suaminya. Apa yang diusahakan, hubungan mereka kini semakin merenggang.
"Kalau masih tidak menunjukkan tanda-tanda, baiknya kalian bayi tabung saja," ucap ibunya lagi.
"Akan kami pikirkan, Ma," jawab Alan seraya menikmati makanan yang sudah dihidangkan.
"Dari dulu rencana saja, kalian itu sesekali harusnya pergi berdua yang lama. Kemarin anniversary juga gak dirayakan. Kamu gimana sih, Lan?" ucap ibu mertuanya pada Alan.
"Mas Alan sudah mengajakku, Ma. Aku saja yang menolak?"
"Kenapa? Lihat ayahmu, dia selalu romantis meski pernikahan kami sudah puluhan tahun."
Rima tersenyum kecil. Orang tuanya memang sangat bersyukur karena bisa saling mencintai, sementara dirinya, hanya mencintai seorang diri, seperti menjadi sosok yang tidak layak untuk diperjuangkan.
Rima yang manja dan ceria kini lebih banyak diam dan menikmati makanannya dengan tidak berselera, ibunya menangkap ada yang lain dari putrinya yang tak seperti biasa.
"Kamu kenapa, Rim? Kok kelihatan lesu?"
Alan segera menoleh ke arah istrinya, Rima memang jauh berbeda dari biasanya. Tapi ia masih bisa menyembunyikan semua kemelut yang ada dalam rumah tangganya.
"Beberapa waktu ini aku memang kurang enak badan, Ma," jawab Rima.
"Jangan-jangan kamu hamil," ucap ibunya lagi.
"Doakan saja, semoga Tuhan kasih yang terbaik," ucap ayahnya.
Selesai menyantap makanan, mereka sejenak mengobrol, kemudian setelahnya pamit pulang. Orang tua Rima sempat menahan, tapi mereka bersikukuh untuk pulang.
*****
.
.
"Aku mau ke rumah ibu," ucap Rima di tengah perjalanan mereka.
"Mau apa?"
"Mau ngantar tidak, kalau tidak aku pergi sendiri," jawab Rima ketus.
Alan menghela napas panjang, kemudian tanpa banyak berkata memutar balik kendaraannya menuju rumah orang tua mereka.
Setelah menempuh perjalanan hampir tiga jam, mereka pun tiba. Rumah ibu dan bapak yang sederhana dengan halaman yang penuh tanaman dan beberapa pohon buah yang rindang.
Wanita tua berusia enam puluh tahun itu menyambut kedatangan Rima dan Alan ketika sedang menyapu halaman. Senyumnya semringah melihat siapa yang datang, sudah lama mereka tak berjumpa.
"Ibu apa kabar?" Rima mendekat dan langsung memeluknya.
"Baik, ibu rindu sekali pada kalian, terutama padamu, Nak. Beberapa waktu ini kamu tak pernah mengadu apa pun, ibu rindu."
Rima tak menjawab apa pun dan hanya memeluknya erat. Tak berapa lama Alan mendekat dan memberi salam.
"Anak ini juga! Tak pernah membalas pesan ibunya!"
"Sibuk, Bu!" jawab Alan.
"Alasan saja!"
Rima menggandeng tangan ibu mertuanya.
"Ayo masuk! Ibu masakkan makanan kesukaan kalian."
"Kami ...," ucapan Alan tertahan.
"Ayok, Bu! Aku sudah rindu masakan ibu," jawab Rima.
Mereka masuk ke dalam, diikuti Alan di belakangnya yang hanya memperhatikan.
"Wih ... ada kakak ipar," sambut seorang pria dari dalam rumah.
"Galih ... kamu di sini?" tanya Rima heran.
Pria bernama Galih itu adalah adik Alan, ia seorang dokter dan seusia dengannya. Tapi hubungan Galih dan Alan dingin sejak dulu, mereka nyaris tak pernah bertegur sapa dan terlibat perang dingin.
"Ya ... aku sedang cuti dan pulang."
"Wah ... pak dokter yang sibuk ini bisa juga cuti," jawab Rima.
"Mungkin bukan cuti, tapi sedang di hukum karena sikapnya yang tidak beretika," ucap Alan begitu saja seraya mengangsurkan kursi.
Rima hanya mendelik dan menatap tajam ke arah Alan.
"Sudah biarkan saja, sudah wataknya begitu, dia tidak pernah mau kalah apalagi padaku. Iri yang abadi."
"Kalian ini sudah dewasa bukannya pada akur, malu sama umur," ucap Ibu.
Galih mendekati Rima, ia memberikan sesuatu pada Kakak iparnya itu. Alan terlihat memperhatikan dari sisi matanya.
"Apa ini?"
"Buku! n****+ yang sempat kamu tanyakan padaku."
"Wah ... serius?" Mata Rima berbinar.
"Aku mencarinya dengan susah payah!"
"Thank you, kamu memang adik ipar terbaik!" jawab Rima.
Alan masih memperhatikan, meski ia tak mencintai Rima, ia tak pernah suka melihat kedekatan adik dan istrinya itu. Meski tak bisa dipungkiri, mereka banyak kesamaan.
"Hanya buku usang!" ucap Alan seraya beranjak dan melihat apa yang Galih berikan.
"Membuat orang bahagia tak selalu tentang barang mewah, buku usang saja bisa membuat mata seseorang berbinar," jawab Galih sinis.
Rima selalu tak bisa berkutik melihat mereka berseteru. Selalu seperti ini setiap mereka bertemu. Tapi satu hal yang Galih ucapkan dan itu benar, kemewahan tak selalu membuatnya berbinar, tapi yang terpatri dalam pikiran Alan, Rima adalah kemewahan.
"Pusing aku kalau kalian sudah begini!" jawab Rima sambil berlalu dan membantu ibu memasak di dapur.
Setelah cukup lama, akhirnya makanan pun siap dihidangkan, berbeda saat di rumah ibunya, masakan ibu mertua membuatnya lahap dan tawa masih terdengar ceria, hati Alan pun lega dan senang melihat pemandangan ini.
"Kalau kamu gak jadi dokter, kamu jadi apa?" tanya Rima pada Galih disela percakapan yang sejak tadi riuh di meja makan ini.
"Pengangguran saja!"
"Lah ... gak ada yang lain gitu?"
"Gak ada! Sejak dulu dia memang pemalas, bisa masuk kedokteran karena beruntung saja," jawab Alan dengan wajah dinginnya.
Rima kembali mendelik ke arah suaminya.
"Aku ada pertanyaan untukmu!" ucap Galih.
"Silakan! Apa pun pertanyaannya, aku pasti bisa menjawab!"
"Kalau kawin lari itu pengantin sama penghulu kejar-kejaran gitu?"
Rima tertawa. "Udah paling bener kawin tuh diem, pake kawin lari segala."
"Basi!" jawab Alan menyudahi makannya kemudian meninggalkan meja makan. Sebelum dirinya dan Rima berjarak, Alan sudah sering memberi tahu istrinya bila ia tidak suka Rima terlalu dekat dan sering bercanda dengan Galih.
Ada sesuatu di masa lalu yang akhirnya membuat kedua kakak beradik itu kini sulit berdamai. Selepas Alan meninggalkan meja makan, suasana menjadi hening, ada rasa canggung seketika. Rima pun segera menyelesaikan makannya dan menghampiri Alan.
"Kamu kenapa sih, Mas?"
"Aku sudah bilang padamu berkali-kali, aku tak suka kamu dekat dengan Galih!"
"Tapi kenapa? Dia adikmu!"
"Tak perlu dibantah! Aku sudah memperingatkanmu berkali-kali. Tapi kamu itu bebal, tak pernah mendengar!"
Rima menatapnya lain, matanya berkaca-kaca mendengar Alan berkata seperti itu. Padahal dulu, perkataan seperti itu biasa saja, banyak perkataan Alan yang lebih menyakitkan dari itu. "Kamu itu selalu saja memakiku!" ucapnya pelan.
Alan gelagapan melihat sikap Rima yang seperti ini, tak seperti biasanya. Dulu Rima akan merajuk ketika mendapati dirinya marah.
Sementara Rima membuang muka dan menyeka air matanya.
"Bu ... bukan begitu maksudku!" ucap Alan berusaha mendekat. Tapi seperti tak mampu berbuat banyak ketika mendapati Rima hanya menunduk menahan air mata.
"Sudahlah, Mas! Susah juga bersama orang yang tidak mencintai kita. Apa pun yang kita lakukan terlihat salah!" Rima menyeka air matanya, kemudian merapikan rambut, pipinya memerah dan berlalu mengambil tas untuk pulang.
"Jangan begini, Rima! Kamu seperti anak kecil!" ucap Alan mencoba menahan tangannya.
"Memang, Mas! Aku ini anak kecil, di mata kamu aku tidak pernah dewasa, aku tak pernah baik, aku tak pernah sederhana! Tak ada satu kebaikan pun di mata kamu. Aku capek! Aku lelah! Aku semakin yakin, bahwa aku ingin berpisah dari seorang Alan Bagaskara!" ucap Rima tegas. Sementara Alan hanya mematung mendengar ucapan Rima panjang lebar. Bibirnya Kelu, tak mampu berkata-kata, penyesalan menyeruak. Ia merutukki diri mengapa sulit menahan rasa marah.