Hari ini, Mahesa disibukkan dengan setumpuk pekerjaan yang membuatnya nyaris kewalahan.
Duduk di balik meja kerjanya, sesekali ia memijat keningnya sambil tangannya berkutat dengan berkas yang menggunung di atas meja.
Suara ketukan pintu terdengar mengusik telinga, membuat Mahesa membuang napasnya kesal.
“Masuk!” suara baritone itu berseru.
Daun pintu terbuka, dan Athalia masuk dengan kepala yang sedikit menunduk.
“Athalia! Apa kau tidak tahu kalau hari ini aku sangat sibuk? Mengapa kau menggangguku?” Mahesa baru saja akan marah, Namun Athalia langsung menyela.
“Maaf, Tuan Mahesa. Ada Tuan Leuwis yang ingin bertemu dengan Anda.”
Mendengar nama Leuwis, seketika Mahesa mendengkus masam. Namun ia menganggukan kepala pada Athalia.
“Suruh dia masuk!”
Athalia pun membentangkan pintu, mempersilakan Leuwis—ayah kandung Mahesa untuk masuk ke dalam ruang kerja putranya.
Begitu Athalia menghilang dengan pintu yang menutup rapat, Mahesa langsung melayangkan tatapan sengitnya pada Lewis yang kini telah mendudukan diri di kursi kosong yang ada di depan mejanya.
“Ada apa Papa datang ke sini?” tanya Mahesa to the point.
“Hei! Apa tidak ada kata sambutan yang lebih manis dari kalimat itu? Aku ini papamu, Mahesa. Kapan kau akan berhenti memasang wajah kecut seperti itu padaku?” tanya Leuwis.
Namun Mahesa tak terlalu menanggapinya. Ia memang terbiasa bersikap tak acuh pada Leuwis.
“Aku sibuk, Pa. Sedang banyak pekerjaan. Jika tidak ada hal penting yang ingin Papa bicarakan, sebaiknya Papa pergi saja.” Mahesa kembali memusatkan pandangan pada tumpukan berkas yang sejak tadi ia tatap mesra. Tangannya menggoreskan bolpoint di sana.
Leuwis menunduk mendekatkan wajahnya pada Mahesa, kedua tangannya bertaut di bawah dagu.
“Justru Papa ke sini karena ingin memberitahukan hal yang sangat penting padamu.”
“Kalau begitu katakan saja!” Mahesa tampak tak ingin membuang waktunya.
“Besok malam, ibu tirimu berulang tahun. Dan Papa sengaja datang ke sini khusus untuk mengundangmu.”
Mendengar itu, spontan Mahesa menghentikan gerakan tangannya. Matanya terangkat menatap pada Leuwis. Kemudian keningnya berkerut dalam.
“Wanita itu akan berulang tahun? Jadi hal penting ini yang ingin kau katakan padaku, Pa? Lucu sekali. Bahkan aku tidak menganggapnya penting sama sekali.” Mahesa menarik sebelah ujung bibirnya, tersenyum meremehkan.
Sejak pertama kali ayahnya memperkenalkan Jessica sebagai ibu tirinya, Mahesa sudah sangat tidak suka dengan wanita itu. Karena Mahesa tahu selicik apa ibu tirinya itu.
Jessica sangat gila harta. Persis seperti kedua anak kandungnya yaitu Bianca dan Ayaz.
Ya! Dari pernikahan sebelumnya, Jessica memang sudah membawa dua orang anak. Anak pertamanya bernama Ayaz dan ia seumuran dengan Mahesa. Sedangkan anak keduanya bernama Bianca, yang mana sangat tergila-gila pada ketampanan Mahesa.
“Mahesa! Berbicaralah lebih sopan! Dia itu ibu tirimu.” Leuwis memperingatkan.
“Hanya ibu tiri. Kau bahkan tidak sadar, Pa. Kalau wanita licik itu sudah memanfaatkanmu. Tidak ada yang dia inginkan darimu selain uang.”
“Diam kau!” sentak Leuwis mulai mengacungkan telunjuknya di depan wajah Mahesa. Rahangnya mulai mengetat, nampak tidak setuju dengan ucapan Mahesa.
“Jangan samakan Jessica dengan ibumu yang matre itu! Jessica tulus mencintaiku, itu sebabnya aku menikahinya meskipun dia sudah memiliki dua orang anak. Sementara ibumu? Dia telah meninggalkanmu sejak kecil. Dia tidak peduli padamu. Dia bahkan pergi untuk menikah dengan lelaki lain yang jauh lebih kaya dari Papa. Apa menurutmu ibumu juga tidak gila harta?” sentak Leuwis dengan keras.
Mahesa memejamkan mata seraya menutup telinganya dengan kedua tangan.
“Cukup!”
BRAK!
Mahesa menyentak meja dengan telapak tangannya. Hal itu membuat Leuwis sedikit terkejut.
“Jangan pernah membahas dia lagi di hadapanku!” tekan Mahesa pada Leuwis.
Entah mengapa, Mahesa selalu sakit setiap kali mengingat tentang ibu kandungnya. Ia benci dengan apa yang terjadi di masa lalu mereka.
Tanpa sadar, pribadi Mahesa yang tumbuh tanpa cinta lah yang membuatnya menjadi sosok pria yang arogan.
Bola mata Leuwis menatap lurus. Bibirnya mengulum senyum kemenangan.
“Sekarang kau tahu, kalau Jessica masih jauh lebih baik dari ibumu. Jadi besok malam datanglah ke pesta ulang tahun ibu tirimu. Papa tidak ingin mendengar alasan apapun darimu, Mahesa! Jika Papa minta kau harus datang, maka kau harus datang!” tekannya penuh paksaan.
Sebelum kemudian Leuwis mendorong kursi ke belakang, bangkit berdiri dan beranjak keluar dari ruang kerja Mahesa.
Seperginya Leuwis, Mahesa menghembuskan napas lelah. Matanya menatap nanar pada pintu yang menutup di depan sana.
Mahesa mengutuk Leuwis yang masih tega membahas tentang ibu kandungnya di hadapannya. Padahal Leuwis tahu jika kelemahan Mahesa adalah masa lalunya yang kelam.
Mengusap wajahnya gusar, Mahesa ingin melepaskan kekesalan juga kemarahannya. Tangannya mengangkat gagang interkom, lalu interkom itu tersambung pada Athalia yang sedang duduk di balik meja kerjanya.
“Iya, Tuan Mahesa. Ada yang bisa kubantu?” tanya Athalia dari ujung sana.
“Athalia! Datang ke ruanganku sekarang juga! Aku menginginkanmu!”
Ucapan Mahesa berhasil membuat tubuh Athalia menegang seketika.
Sedikit gugup, Athalia mengetuk pintu dan terdengar sahutan dari dalam.
"Masuk!" suara baritone itu menyahut.
Athalia pun mendorong pintu dan melangkah masuk ke dalam ruang kerja Mahesa.
"Tuan Mahesa memanggilku?" tanyanya dengan salah tingkah.
"Ya, aku memanggilmu." mengangguk, Mahesa mendorong kursinya ke belakang, lalu bangkit berdiri dan mengayun langkah mendekati tempat di mana Athalia berdiri dengan gelisah.
Mahesa berhenti tepat di depan Athalia, menjepit dagu wanita itu lalu menariknya hingga bola mata mereka bertemu.
"Aku memanggilmu karena aku menginginkanmu, Athalia. Puaskan aku sekarang!" Mahesa berbisik di telinga kanan Athalia, membuat Athalia berjengit sedikit kegelian, sedangkan matanya memejam menikmati sentuhan Mahesa yang mulai bergerak liar, menjalar di bagian tubuhnya yang sensitif.
Detik kemudian, Mahesa sudah memagut bibir Athalia, membuat Athalia mabuk dengan ciumannya yang begitu lihai.
Athalia pasrah saat tangan Mahesa berusaha membuka satu per satu kancing blousnya, lelaki itu benar-benar menginginkannya.
Satu jam kemudian, mereka telah berada di kamar besar yang terhubung dengan ruang kerja Mahesa.
“Aku haus.” Athalia berkata dengan sisa napasnya..
“Ini. Minumlah!” Mahesa mengambil sebotol air dari atas nakas, kemudian memberikannya pada Athalia.
“Terimakasih.” ternyata tutup botol itu sudah dibuka, dan Athalia tinggal meneguknya saja.
Dan Athalia tidak tahu, ketika ia setengah duduk dan mendongkak meneguk minumannya, saat itu juga bola mata Mahesa memperhatikan leher jenjang milik Athalia yang naik-turun.
Keringat yang membasahi leher Athalia membuatnya sedikit mengkilat, tampak seksi di mata Mahesa yang seorang laki-laki dewasa dan normal.
“Apa kau tidak ingin minum?” tanya Athalia, menoleh pada Mahesa.
Mahesa menggeleng. “Tidak.” jawabnya singkat.
Athalia menaruh botol yang airnya tinggal setengah itu ke atas nakas yang ada di sampingnya. Lalu Mahesa turun dari ranjang dan berjalan tegas menuju lemari hanya dengan menggunakan boxer. Ia mengambil bathrobe putih dan tanpa canggung mengenakannya di depan Athalia.
Athalia memperhatikan gerakan Mahesa dalam diam. Matanya memindai tubuh tegap lelaki itu. Seketika Athalia teringat dengan bekas luka yang terdapat di bagian punggung Mahesa. Tentang darimana Mahesa mendapatkannya, pertanyaan itu mengusik benak Athalia.
“Apa yang kau pikirkan? Mengapa kau menatapku seperti itu?”
Athalia terkejut, rupanya Mahesa menyadari tatapannya meskipun lelaki itu saat ini sedang berdiri membelakanginya sambil sibuk mengikat tali bathrobe di perutnya.
“Enghhh … “
“Apa ada sesuatu yang ingin kau tanyakan?” kini Mahesa membalikan tubuhnya, menghadap Athalia dengan kedua tangan yang melipat di depan d**a.
Athalia menggaruk tengkuknya yang tak gatal, lalu ia mengangguk ragu.
“Tanyakanlah sebelum aku masuk ke kamar mandi.”
“Apa tadi itu kau melakukannya hanya untuk meluapkan amarahmu? Karena sejak aku tinggal di apartmenmu, kau tidak pernah melakukannya sambil emosi seperti tadi. Memangnya apa yang membuatmu marah, Mahesa? Dan … bekas luka apa yang ada di punggungmu itu?” tanya Athalia.
Mahesa terdiam sejenak, matanya menyipit menatap pada Athalia.
“Jika aku memang melakukannya sambil marah, lantas apa kau merasa kesal?” Mahesa balik bertanya.
“Tapi aku tidak suka dijadikan pelampiasan. Kau melakukannya dengan sedikit kasar,” Athalia berkata pelan.
Mahesa mengangkat sebelah alisnya begitu mendengar ucapan dari mulut wanita itu. Mahesa melangkah lebih dekat, ia membungkuk untuk menjepit dagu Athalia dengan ibu jari dan telunjuknya, lalu menariknya agar bola mata mereka bisa saling bertemu padu.
“Lalu apa yang kau inginkan? Apa yang kau harapkan dariku, Athalia? Kau ingin aku menyentuhmu dengan cara yang terhormat? Kau ingin aku memperlakukanmu selembut mungkin?” Mahesa tersenyum meremehkan.
Melihat tatapan penuh penghinaan itu, membuat jantung Athalia serasa diremas dan diremukan dengan kuat. Hatinya hancur. Lagi-lagi Mahesa melukai perasaannya.
“Dengar, Athalia. Kau bukan seorang ratu dalam hidupku. Kau hanya wanita yang kubayar untuk menghangatkan ranjangku sementara waktu. Sadarlah di mana posisimu. Dan di mana posisiku. Lalu soal bekas luka yang ada di punggungku, kau tidak berhak mempertanyakannya. Tidak semua urusanku harus kau ketahui. Karena aku tidak suka saat orang lain ikut campur terlalu jauh dalam kehidupanku! Detik ini aku memperingatkanmu, jangan pernah tanyakan apapun yang akan membuatku marah! Camkan itu!” Mahesa melepaskan jemarinya dari dagu Athalia dengan sedikit menyentaknya.
Athalia terkejut melihat raut padam di wajah Mahesa. Lelaki itu tampak marah. Sepertinya Mahesa tidak suka mendengar pertanyaannya.