Terenggutnya Kehormatan

1365 Kata
Mahesa bangkit berdiri, diikuti oleh Athalia yang mengekori dari belakang. Mereka berjalan menaiki tangga. Athalia tidak heran mengapa apartmen milik Mahesa terlihat mewah. Lelaki itu bisa membeli apapun yang ia tunjuk. Tiba di depan pintu kamar yang Athalia tebak adalah kamar Mahesa, Mahesa membuka pintu dan mereka berdua masuk ke dalam. Athalia mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar itu. Athalia sempat terkesiap karena seumur hidupnya, ia tak pernah melihat kamar sebagus ini. Apalagi ranjang di kamar Mahesa sangat besar, mungkin seukuran kolam renang. Seolah Mahesa memang diciptakan untuk memiliki segalanya, kecuali cinta. “Apa kau sudah siap, Athalia?” Athalia terkejut saat Mahesa memeluknya dari belakang. “Jujur, aku sedikit kecewa karena kau tak menuruti permintaanku,” bisik Mahesa menumpukan dagunya di pundak kiri Athalia. Tentu Athalia ingat Mahesa memintanya mengenakan gaun yang seksi. Namun Athalia tak mungkin memakainya. Ibunya akan curiga. Terlebih ia tak memilikinya. “Aku tidak akan melakukan hal segila itu!” tegas Athalia yang akhirnya bicara juga setelah terdiam sejak tadi. Mahesa menyeringai. “Hal yang gila? Lalu apa yang akan kita lakukan di dalam kamar ini sekarang? Apa menurutmu ini bukan kegilaan?” Athalia menahan napas, sebisa mungkin ia tidak ingin mengeluarkan suara yang akan membuat Mahesa senang. “Sebelum melakukannya, aku ingin kau mengatakan sesuatu. Katakan kalau tubuhmu adalah milikku.” Mahesa memerintah. Bibir Athalia bergerak perlahan. “Tubuhku adalah milikmu.” ia menuruti setiap yang Mahesa suruh. Karena Mahesa adalah orang yang akan menyelamatkan adiknya. Setidaknya begitulah yang Athalia pikir. Senyum miring tercetak di wajah tampannya. Sebelum kemudian Mahesa menunduk dan memagut bibir ranum Athalia. Athalia pasrah. Malam ini tubuhnya benar-benar tak berdaya. Ia membiarkan Mahesa menikmati bibirnya, menyentuh bagian tubuh yang disukai oleh lelaki itu. Malam ini, kamar apartmen Mahesa menjadi saksi bisu dimana Athalia melepaskan kehormatannya sebagai wanita. Athalia menangis, seketika teringat pada Dian yang pasti akan kecewa andai mengetahui semua ini. ‘Maafkan aku, Bu.’ *** “Terimakasih banyak, Tuan. Saya benar-benar tidak tahu lagi harus berterimakasih dengan cara apa. Sepertinya Tuhan mengirim Tuan Mahesa untuk menjadi malaikat penolong bagi Yasna.” Hari ini, Narsih menangis. Tak henti-hentinya ia mengucapkan terimakasih pada Mahesa. Ya! Setelah Athalia menyerahkan keperawanannya, Mahesa tak membuang banyak waktu. Ia langsung memenuhi janjinya untuk membiayai pengobatan Yasna sesuai dengan yang telah dikatakannya pada Athalia. Begitu dilakukan pengecekan, ternyata DNA sumsum tulang belakang Narsih sangat cocok dengan Yasna. Berarti Narsih lah yang akan menjadi pendonor. “Tidak perlu berterimakasih. Apa yang kulakukan hanya sekadar rasa kemanusiaanku terhadap adiknya Athalia. Kinerja Athalia sangat baik di perusahaanku. Ketika aku mendengar adiknya sakit, pasti aku akan membantunya.” Narsih tersenyum menatap Mahesa sambil mengusap pipinya yang basah. “Athalia beruntung sekali karena memiliki boss yang sangat baik seperti Anda. Anda begitu bijaksana dan memiliki hati yang tulus.” Narsih memuji. Mahesa tersenyum kecil mendengar itu, kemudian ia melirik ke arah Athalia yang justru memilih mengalihkan pandangannya ke arah lain. Diam-diam Athalia tersenyum pahit. ‘Mati-matian Ibu memuji Mahesa. Ibu tidak tahu kalau sebenarnya sifat lelaki itu jauh dari bijaksana. Dia tidak sebaik yang kau pikirkan, Bu. Mahesa bukanlah malaikat penolong. Dia hanya lelaki yang memanfaatkan keadaan. Ibu akan kecewa jika tahu semuanya,’ Athalia membatin. “Yasna akan sembuh, Athalia. Adikmu akan sembuh. Dokter sudah menentukan proses transplantasinya akan dilakukan besok. Ibu sangat senang. Sampai-sampai Ibu tidak bisa melukiskan betapa bahagianya perasaan Ibu hari ini.” Narsih menggenggam tangan Athalia, meremasnya dengan menumpahkan kebahagiaan yang tak terbendung. Athalia tersenyum kecil. Tidak dipungkiri, ia juga senang mendengar adiknya akan segera melakukan transplantasi. “Iya, Bu. Yasna akan sembuh.” Melihat ke arah tangan Narsih dan Athalia yang saling menggenggam menguatkan, Mahesa menyunggingkan senyum kecut, kemudian mengusap wajahnya dengan sebelah tangan seraya mengalihkan pandangan ke arah lain. Ada sedikit rasa cemburu dalam hatinya. Mengingat ibu kandungnya tak pernah menggenggam tangannya sehangat dan seerat itu. “Tuan Mahesa. Bagaimana cara saya membalas kebaikan Anda? Saya tahu, orang sepenting Anda pasti memiliki kesibukan yang luar biasa. Tetapi Anda masih mau menyempatkan waktu untuk datang ke rumah sakit bersama Athalia.” Mahesa kembali menolehkan kepala pada Narsih, lantas menggeleng pelan. “Bukan masalah. Hari ini saya tidak terlalu disibukan dengan pekerjaan. Dan … aku minta jangan memanggilku dengan sebutan Tuan. Panggil saja Mahesa,” katanya pada Narsih. “Tapi Tuan, Anda ‘kan bossnya Athalia di kantor. Mana mungkin saya memanggil Anda hanya dengan nama.” Narsih menggeleng, enggan menuruti perintah Mahesa karena merasa tidak enak. “Aku lebih suka dipanggil Mahesa. Karena di luar kantor, aku bukan seorang boss. Bahkan aku pun menyuruh Athalia untuk berhenti memanggilku dengan sebutan Tuan kecuali ketika kami sedang berada di perusahaanku,” ucap Mahesa yang meski dengan suara lembut namun tetap terdengar tegas. Akhirnya Narsih pun mengangguk mengiyakan apa yang Mahesa inginkan. “Baik, Nak Mahesa.” Ujung bibir Mahesa tertarik, membentuk sedikit senyum. “Kudengar dari Athalia, katanya kalian bertiga tinggal di sebuah kontrakan kecil?” tanya Mahesa pada Narsih. Athalia spontan menoleh dengan memicingkan mata. ‘Kenapa Mahesa bilang begitu? Aku tidak merasa pernah mengatakan apapun tentang kontrakanku padanya.’ batin Athalia bingung. Athalia tidak tahu kalau sebenarnya Mahesa menyuruh orang untuk menyelidiki tempat di mana wanita itu tinggal. Narsih mengangguk. “Benar, Nak Mahesa. Kami bertiga memang tinggal di kontrakan yang sangat sederhana. Meskipun mungkin bagi orang lain sudah tidak layak, tetapi bagi kami asalkan kami memiliki tempat untuk berteduh. Apalagi biaya sewanya juga murah.” dengan sedikit menunduk malu, Narsih bercerita. Mahesa menghembuskan napasnya pelan, ditatapnya Narsih dengan raut iba. Mengingat foto kontrakan Athalia yang dikirimkan oleh orang suruhannya melalui pesan w******p, Mahesa jadi membayangkan bagaimana susahnya kehidupan Narsih beserta keluarganya. “Mulai besok, sebaiknya kalian tinggalkan saja kontrakan itu,” kata Mahesa yang kemudian membuat kening Athalia dan Narsih sama-sama berkerut bingung. “Kenapa begitu?” tanya Athalia. “Karena aku sudah menyuruh orang untuk memilihkan kontrakan yang lebih layak untuk ibu dan adikmu,” jawab Mahesa sambil menoleh pada Athalia. Athalia dan Narsih terkejut. “Untuk memulihkan kondisinya, Yasna membutuhkan tempat yang lebih nyaman. Tentunya kontrakan yang sudah kupilih itu sangat bagus dan akan nyaman untuk ditempati.” “Tapi, Nak Mahesa, kami tidak sanggup membayar biaya kontrakan jika terlalu mahal.” wajah Narsih terlihat keberatan. Memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana, Mahesa menggeleng pada Narsih. “Soal biaya sewa tidak perlu dipikirkan. Aku sudah membayar biaya sewa kontrakan itu selama satu tahun. Kalian hanya cukup tinggal saja dengan nyaman di sana,” tutur Mahesa. Narsih terperangah menutup mulutnya dengan sebelah tangan. Kebaikan Mahesa telah membuat hatinya tersentuh. “Nak Mahesa. Kau baik sekali. Terimakasih banyak.” Mahesa mengangguk. “Sama-sama. Tapi untuk Athalia, untuk satu bulan ini aku ingin dia datang ke kantor lebih pagi. Karena itu, aku meminta izin agar sebaiknya Athalia tinggal di apartmenku saja yang dekat dengan kantor. Itu pun jika Anda tidak keberatan sebagai ibunya Athalia,” ucap Mahesa berbohong. Padahal sebenarnya alasan berangkat lebih pagi ke kantor itu hanyalah akal-akalannya saja. Tersenyum, Narsih menganggukan kepalanya. “Tentu saja boleh. Mungkin dengan begitu, Athalia bisa datang ke kantor lebih pagi.” Narsih mengatakan itu, karena ia tidak tahu kalau di apartmen itu, Athalia akan tinggal dengan Mahesa. Yang Narsih pikir, putrinya hanya akan tinggal sendirian saja. Maka dari itu ia langsung menyetujui ucapan Mahesa. *** Pulang dari rumah sakit, Mahesa dan Athalia sama-sama masuk ke dalam mobil. Setelah mengenakan seatbelt dengan rapi, Athalia menoleh ke arah Mahesa yang mulai melajukan mobilnya. Matanya menatap wajah Mahesa dari samping. Jujur saja, Athalia merasa sedikit tersentuh dengan apa yang Mahesa lakukan hari ini. Athalia tak pernah melihat senyum bahagia di wajah ibunya seperti tadi. “Kenapa kau menatapku seperti itu?” “Mengapa kau melakukan semua itu?” Athalia balas bertanya. “Maksudmu melakukan apa?” tanya Mahesa tak mengerti. “Kau menyewakan kontrakan untuk tempat tinggal ibu dan adikku. Mengapa kau melakukan semua itu? Dan … mengapa kau meminta izin pada ibuku agar aku tinggal di apartmen milikmu?” “Anggap saja itu sebagai salah satu bayaranku atas tubuhmu. Selama kau menjadi teman tidurku, aku bisa memberikan kemewahan yang tak terbatas untukmu dan keluargamu. Dan soal kau yang tinggal di apartmen, tentu saja agar aku bisa memiliki waktu banyak untuk menikmati apa yang telah menjadi milikku selama satu bulan penuh.” Athalia tergugu mendengar jawaban Mahesa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN