Ketakutan datang karena kurangnya kepercayaan diri.
Tapi aku tidak yakin, bahwa keberanianku tadi itu muncul karena aku percaya diri bahwa aku lebih "kuat" daripada tuan muda Hiro.
Buktinya sekarang ini, aku gemetaran setelah keluar dari kamarnya !
Segera aku turun ke lantai bawah untuk menghilangkan kepanikan. Ucapannya tadi terus berulang di telinga dan otakku. Aku masih bisa merasakan ancamannya tadi. Dan sekarang, aku benar-benar tidak tau harus berbuat apa.
Benarkah dia meminta tolong?
Benarkah dia tengah memperingatkanku tentang tempat ini?
Sebenarnya dia sungguh gila atau tidak? Semua tidak ada yang tau.
Jika aku tanya pada pelayan lain, jawaban mereka akan selalu sama. Tuan Hiro gila dan menjauhlah!
Pikiranku masih carut marut dengan segala kemungkinan dan misteri tuan Hiro, hingga tanpa sadar aku sudah melangkah menjauh dari ruangan yang ingin aku tuju.
Bibi Sunyang belum mengantarku ke ruangan ini. Karena sudah terlanjur, aku menggeser pintu kayu yang ditengahnya terdapat lonceng bambu. Suara lentingannya membuat langkahku terhenti. Ruangan besar ini berisi banyak rak buku. Tapi yang menarik perhatianku adalah bagian tengah ruangan ini. Tampak seperti panggung dengan berderet kursi di depannya.
Kuasumsikan bahwa tempat ini benar-benar tempat pentas. Hanya saja tidak ada alat musik ataupun ornamen seperti perlengkapan wayang dan ludruk jika benar tempat ini diperuntukkan seperti itu.
Atau ini semacam tempat nonton layar tancap?
Mungkin saja!
Karena diatas panggung pun aku bisa melihat ada tirai hijau besar di sana. Saat aku penasaran dengan tirai itu dan ingin membukanya, tanganku ditarik seseorang dari belakang hingga membuatku terjatuh sampai ke bawah panggung.
"Siapa yang menyuruhmu untuk masuk ke sini??"
Bibi Sunyang melayangkan tamparan keras padaku.
Ini pengalaman yang sama saat aku tinggal dengan bibi Samiyah tujuh tahun yang lalu.
Tamparan beliau, yang akan selalu kuingat seumur hidupku.
Plakk!!
"Masak nasi aja kok bisa gosong sih?" omelnya.
Bibi Samiyah melempar piring kalengnya tepat ke atas kepalaku. Suara tawa anak sulungnya, benar-benar menambah penderitaanku. Bukannya kasihan padaku, dia malah menertawaiku dengan begitu puasnya.
"Ibumu ngajarin apa aja sampai masak nasi pun nggak bisa??"
"Sibuk jualan buk jadi nggak sempet masak nasi !" tambah Sari yang semakin gigih untuk mempermalukan ibuku.
Tanpa sadar aku menangis lagi. Baru beberapa hari tinggal di rumah mereka, aku sudah dibuat sakit hati karena mereka sama sekali tidak iba mendengar ibuku tewas ditembak kompeni.
Mereka malah terus menghinaku dengan sebutan anak haram yang hingga kepergianku ke tempat Sohien, mereka tak pernah mengatakan maaf padaku.
Penyesalan seumur hidupku adalah saat aku salah memilih untuk tidak langsung ke tempat Sohien sesuai perintah ibuku. Aku malah memilih untuk pergi ke rumah bibi dan mengharapkan tempat terbaik untuk bisa hidup.
Namun pilihan itu malah membuatku seperti tinggal dalam neraka. Aku pikir tinggal di rumah bordil akan membuatku sama seperti wanita-wanita itu. Namun ternyata, tinggal dua tahun saja dengan bibi Samiyah, malah lebih buruk daripada menjadi p*****r.
Apa hal itu akan terjadi lagi kali ini?
"Ma — af. Saya tidak bermaksud —" jawabku lirih.
Bibi Sunyang tak melanjutkan amarahnya. Beliau langsung meninggakanku kemudian melirik lewat ekor matanya.
"Ikut aku!" perintahnya.
Tanpa berpikir dua kali, aku langsung berlari kecil untuk mengikutinya.
#
Sekarang aku berada di ruang kerja tuan Hide. Dengan kemeja putih berdasikan kupu-kupu, Tuan Hide semakin menunjukkan sisi artistiknya untuk selalu ingin dipuja. Semakin lama kulihat, beliau seperti sosok malaikat yang turun dari langit ..
Apa aku terlalu berlebihan?
"Sudah puas memandangku ?" Tuan Hide sengaja menyipitkan matanya seraya tersenyum menggoda. Aku langsung menunduk begitu ia menangkap basah perbuatanku.
"Tadi kamu pergi kemana?"
Tiba-tiba sekujur tubuhku merinding. Apa tuan Hide juga akan menamparku karena telah lancang masuk ke ruangan itu??
"I..itu —"
"Jangan kesana tanpa ijinku atau Sunyang yah —"
Aku melirik tuan Hide dengan perasaab sedikit takut. Dan benar saja, saat beliau mengatakan itu padaku, senyumnya menghilang entah kemana.
"Saya tidak akan berkeliaran lagi."
Tuan Hide kembali ke mejanya setelah memeriksa semua kesehatanku. Karena beberapa bulan terakhir kabar tentang wabah cacar kembali menyerang, tuan Hide meminta para staf dan penghuni rumah untuk melakukan pemeriksaan dan vaksinasi. Agar nantinya, rumah ini tetap aman dari ancaman wabah.
Dan aku baru tahu, kalau tuan Hide adalah salah satu dokter terbaik di Bogor.
"Empat belas hari - " Tuan Hide dengan memonya.
Ia melirikku sejenak sebelum atensinya jatuh pada Sunyang yang berdiri tak jauh dariku. Aku memiringkan kepala penuh tanya, " - ehmm maksudku, selama empat belas hari kedepan kau akan ku berikan vitamin untuk mencegah penularan."
Aku mendengarkan dengan seksama sambil terus mengamati ruang kerjanya. Ruang praktek kedokteran sekaligus perpustakaan pribadinya ini begitu rapi dan tertata. Aku terkagum-kagum dengan beberapa buku yang terjajar rapi serta dekorasi ruangan yang juga bernilai seni.
"Jangan salah paham. Tidak apa-apa karena ini adalah kesalahanmu yang pertama. Tapi untuk selanjutnya, kamu mungkin akan mendapatkan hukuman jika melanggar aturan di rumah ini. Mengertikan Sartika?"
Aku mengangguk untuk menanggapi ucapannya. Ia kembali membalasnya dengan senyum manisnya. Aku terus mencuri pandang pada tuan Hide saat ia mulai menulis catatan penting pada jurnalnya. Beliau terlalu fokus sampai tak menyadari seekor kumbang pohon bersandar pada bahunya.
"Ah..maaf tuan , itu ada — " tuturku sambil menunjuk sang kumbang. Begitu tuan Hide menoleh, senyumnya kembali menghilang.
Setelah melibas sang kumbang , ia lalu menginjaknya dengan kesal. Sangat kesal hingga umpatan dari berbagai bahasa yang tak kupahami terus meluncur dari bibirnya. Aku meneguk ludah tertegun ...
"Apa. . Apa ada lagi yang harus ku lakukan?" tanyaku basa-basi. Tuan Hide yang tampak lelah melawan kumbang tak berdaya itu lalu menoleh padaku dengan sisi dirinya yang berbeda. Ia tampak marah ..
"Ehmm - " Belum sempat tuan Hide berucap, pintu kayu terbuka perlahan. Kami bertiga sama-sama mengalihkan perhatian pada seseorang yang dengan gegabah masuk tanpa mengetuk pintu lebih dulu.
Begitu yang tampak adalah tuan Hiro, Sunyang dan tuan Hide serta merta menilik Hiro dengan pandangan tak suka. Aku lantas berdiri dari kursiku untuk segera bersiap. Mungkin tuan Hiro datang kemari untuk menanyakan sarapan paginya ...
"Aku ingin di periksa — " ujar tuan Hiro terbata-bata. Dia mendekat dengan enggan sambil terus menggigit ujung kuku jari tangannya, "- obat penenang itu seperti tak bekerja untukku " sambungnya lagi tanpa sedikitpun menatap lawan bicaranya.
Tuan Hide dari mejanya tersenyum tipis lalu memanggil Hiro untuk segera mendekat.
Aku yang merasa tak memiliki tugas apa-apa lagi disini, menunduk untuk berpamitan. Saat itulah aku menyadari jika dilihat dari dekat , keduanya tampak mirip.