"Cerita ini hanya karangan fiktif belaka. Latar belakang pada jaman tersebut sengaja dibuat sebagai pelengkap dan sama sekali tidak berhubungan langsung dengan sejarah aslinya."
====
Suara lantang Sunyang menggema di setiap ruangan. Ia menjadi mandor utama untuk acara kebersihan rumah menyambut tuan besar yang kembali dari tugas luar negaranya.
Tuan besar dengan segala kebesarannya, tentu aku sudah tahu sosoknya yang jelas terpampang di ruang keluarga Tojo.
Dilihat dari sisi manapun, wajahnya terlalu sangar.
Beliau bermata sipit dengan tubuh tambun. Tatapannya sangat tajam dan dia seperti sisi ganas yang dimiliki Hiro maupun Hide.
"Sartika!" panggil Sunyang setibanya ia dari dapur. Aku langsung meninggalkan pekerjaanku membersihkan porselen untuk menghampirinya.
Sunyang tampak sangat tidak santai.
Kalau kami semua adalah sekelompok semangka, mungkin ia akan segera menebas kami untuk disantap satu persatu.
"Apa tuan Hiro sudah lebih tenang?"
Sunyang menekan kata tenang tanpa melihatku. Aku mengangguk pasti bahwa sejam yang lalu tuan Hiro sudah bangun dan memintaku untuk melepas ikatannya.
Aku sempat ragu.
Namun melihatnya memohon seperti anak kecil yang meminta pengampunan pada ibunya, akupun melepaskannya.
Setelah terlepas, Hiro langsung bangkit dari tempat tidurnya dan membersihkan diri. Sepertinya, dia memang lupa akan apa yang sudah ia lakukan padaku sejam lalu.
Untuk kesekian kalinya, tatapan nanar dengan pikiran kosongnya kembali menjadi pemandangan berulang yang aku lihat hari ini. Hiro akan langsung menuju bath-up nya dan merendam dirinya sendiri di air dingin. Ada rasa iba dan takut yang bergulir dipikiranku. Tapi aku menepisnya agar aku bisa lebih profesional saat bekerja.
Aku meninggalkan Hiro untuk menenangkan diri lalu bergegas kebawah untuk mendengarkan berita singkat tentang pulangnya tuan besar hari ini.
"Iya, dia sudah lebih tenang. Tapi ada yang ingin kutanyakan."
Sunyang sekilas mengeryitkan dahinya menatapku seolah ingin berkata - begitu lantang sekali sikapku bertanya di saat seperti ini - tapi aku tak peduli. Aku tetap melanjutkan kalimatku ,"Apa tuan Hide dan tuan Hiro itu bersaudara kandung?"
Sunyang menggelengkan kepalanya menjawabku. Lalu ia pun bergegas menunjukkan sebuah pigura usang padaku. Gambar tuan besar Tojo dengan dua orang wanita.
"Yang sebelah kiri ibu dari tuan Hideki."
Saat Sunyang menunjuk sang wanita, aku merasakan keanehan yang terlalu mencolok. Wanita anggun berbusana victorian itu terlihat tak tersenyum di dalam foto. Melainkan wanita yang ada disebelahnya lah yang berdandan lebih sederhana dan tak mencolok , terlihat lebih santai dan tersenyum dengan semringahnya.
" Dan yang ini , ibu dari tuan Hiro. Wanita non bangsawan yang tidak tahu diri."
Giliranku yang mendelik mendengar penuturan kasarnya. Aku tidak mengerti , kenapa sikap Sunyang bisa dengan santainya memperlakukan majikannya seperti itu?
"Karena itu anda dan juga penghuni rumah ini memperlakukan tuan Hiro dengan amat tidak layaknya?"
Sambaran telapak tangan Sunyang mulus menyapa pipiku. Sangat keras terdengar hingga beberapa pelayan menoleh ke arah kami. Sunyang masih terbakar emosi dengan d**a yang naik turun menstabilkan napasnya. Sedangkan aku sendiri mencoba meredam panas di pipi dengan menunduk menahan malu.
"Maafkan ucapan saya yang sangat lancangnya -" ujarku terbata-bata. Tapi tepukan lembut di pundak cukup membuatku terhenyak dari rasa perih hingga mata ini mulai sedikit lembab karena ingin menangis. Ini tamparan kedua yang ia lakukan padaku.
Kenapa dia suka sekali menampar orang? Patutlah semua yang ada di sini membencinya seumur hidup.
"Aku menyayangi nyonya Himura seperti ibuku sendiri. Kami tidak memperlakukan Hiro tak layak seperti yang kau katakan."
Suara bariton halus ini milik tuan Hideki. Dengan senyum tipisnya , ia mencoba menjelaskan semuanya.
"Meski terlihat demikian, sebenarnya aku sangat menyayangi adikku. Perawatan kami semakin ketat pada Hiro karena dia semakin sulit untuk dikendalikan."
Kali ini tuan Hide memasang mimik sedih di wajahnya. Tapi bagiku, itu seperti bukan ekspresi tulus seperti yang ia katakan...
"Kau lihat sendiri kan bagaimana dia menyerangmu hari ini?"
Aku mengangguk berulang kali. Leherku bahkan masih kaku dan sakit akibat cengkramannya.
"Karena itu dia butuh penanganan. Jangan salah paham, mengerti?"
"Haik! Saya tidak akan mengatakan hal seperti itu lagi."
"Pergi lanjutkan saja pekerjaanmu, Sartika. Jangan terlalu banyak dipikirkan," ujarnya sekali lagi menepuk pundakku lalu membuatku mendongak agar tak terus menundukkan kepala.
Aku pamit undur diri untuk melanjutkan pekerjaanku. Merapikan porselen dengan hati gelisah tak menentu karena caranya yang menatapku.
Tuan besar tiba lebih awal. Mobil porsche hitam berhenti tepat di halaman pintu utama dan kami berbaris untuk menyambut.
Tuan besar Moshima Tojo masih gagah dengan umurnya yang sudah menginjak enam puluh tahun. Bahkan ia terlihat lebih muda dibandingkan lukisannya yang dipajang di aula tengah.
Beliau pulang mengumbar senyum ramah pada kami semua. Memeluk sang anak tertua dengan tawa khas lalu mengucapkan selamat atas pengangkatan tuan Hide menjadi profesor muda baru-baru ini.
"Mana Hiro-ku?" tanya beliau disela -sela langkahnya menuju rumah.
Dengan menggurat wajah bingung, tuan Hide menjawab, "Dia ada dikamarnya, istirahat."
"Hem -"
Beliau berhenti lalu melihat sekitar. Aku tidak yakin tapi sepertinya tuan besar tengah mengamatiku, "Pengurus baru?"
Benar.
Tuan besar menunjukku. Aku menelan ludah melihatnya tengah memindai penampilanku. Bahkan beliau dengan sengaja mengusap bibir bawahnya penuh seringaian tipis.
"Iya." Itu suara tuan Hide.
Setelahnya tuan besar beranjak meninggalkan kami dengan masih mempertahankan senyum misteriusnya padaku.
Tampak diambang pintu, mbak Dewi tersenyum sangat lebarnya menyambut kedatangan tuan besar yang langsung dipeluk dan menciumnya tanpa sungkan.
Aku terbelalak namun yang lain malah melirik jijik. Itu wajar karena bagaimana mbak Dewi mendapat banyak cibiran tentu dia juga banyak musuh. Aku memilih ikut rombongan lain yang mulai kembali ke pekerjaan mereka masing-masing. Tapi tak jarang yang lain masih mencibir dengan mengatakan mbak Dewi perempuan murahan.
#
Tanpa bicara sedikitpun, tuan Hiro menyantap kudapannya dengan tenang. Segelas teh hijau serta pudding s**u menjadi hidangan wajibnya setiap sore.
Aku berdiri sesekali mengamatinya. Ia makan dengan tenang, tapi raut wajahnya seperti tengah berpikir sangat mendalam. Berulang kali ia menghela napas lalu menurunkan pundak tanda pasrah.
Sekarang tuan besar tengah menikmati perbincangannya dengan tuan Hide. Dua laki-laki penuh wibawah itu membicarakan hal-hal yang pastinya tidak akan ku pahami. Mendengar pertanyaannya menanyakan keberadaan tuan Hiro tadi, sedikit membuatku cukup lega. Ayah dua anak itu cukup peduli dengan anaknya yang sekarat ini. Tapi itu hanya sekedarnya. Buktinya hingga sekarang tuan Hiro tak diijinkannya untuk menyambut atau mendekat.
Apa itu cuma pertanyaan basa-basi?
"Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu."
Tuan Hiro beranjak dari kursinya. Aku meletakkan nampan dan serbet lalu mengikutinya dari belakang. Aku ingin bertanya padqnya , kemana ia ingin membawaku. Tapi ku urungkan karena rasa penasaranku lebih besar daripada rasa takut kalau-kalau dia mengamuk dan mencekikku lagi.
Untuk beberapa alasan yang tak kupahami, aku merasa Hiro bukanlah orang yang berbahaya.
Sampai saat ini, aku masih mengabaikan semua peringatan itu. Entah kenapa ...
Kami menuruni tangga lalu bersisihan dengan ruang santai tempat tuan besar dan tuan Hide berbincang. Tanpa berniat untuk mengintip, tapi pintu cukup terbuka lebar untuk sesiapapun bisa melihat suasana di dalam ruangan.
Aku sedikit heran, kenapa di dalam begitu ramai bahkan ada canda tawa yang belum pernah kudengar selama aku bekerja beberapa hari disini.
Tuan Hiro terus melangkah keluar menuju halaman belakang. Sedangkan aku berhenti sejenak untuk mengamati.
Tak kusangka, pemandangan yang cukup tak mengenakkan mengganggu pengamatan diam-diamku ini.
Sekarang aku mengerti kenapa mbak Dewi begitu berbunga -bunga dengan kepulangan tuan besar. Bahkan ia sengaja memakai wewangian saat memasak di dapur.
Mbak Dewi tak sungkan sama sekali saat paha mulusnya tesingkap di depan tuannya. Pemandangan semakin tak enak untuk kulihat saat tangan pria tua itu menyentuh paha mulus itu sambil berbincang dengan tuan Hide.
Tak jadi beban pikiranku saat pengintaian tak sengajaku ini tertangkap basah oleh tuan Hide. Ketika tanpa sengaja mata kami saling bersinggungan. Aku lihat dia sangat geram dengan perbuatan ayahnya yang tak senonoh itu di hadapannya. Tapi mungkin, dia juga tak bisa melakukan apapun karena orang itu adalah ayahnya.
Aku memalingkan wajah memilih melanjutkan langkahku mengikuti adiknya yang ingin menunjukkan sesuatu padaku itu.
Sungguh...Aku menyesal. Kenapa berhenti di depan pintu dan mengintip mereka..
.
.
.
.
Bersambung