dia...

1631 Kata
Jika maaf saja tak cukup untuk meluruhkan semua rasa bersalahku. tolong katakan, apa yang harus aku lakukan agar terbebas dari rasa sakit yang sungguh menyayat ini... -Dimas pradipta 18 maret 2018. 16.20 "Hay. Udah lama nunggu?" Dimas menarik kursi tepat di sebrang meja yang saat ini di duduki oleh Nia. Wanita yang selama ini terus saja berkelana di dalam kepalanya. Nia tersenyum gemas membalas ucapan Dimas yang terkesan gerogi dari cara berucap. "Nggak lama kok-" melihat jam yang melingkar di tangannya sekilas sebelum kembali menatap Dimas. "Baru 15 menit yang lalu sebelum kamu dateng." Namun sayang, senyum yang selalu terbit di kedua sudut bibir Nia nyatanya sama sekali tak mampu menenangkan dirinya seperti dulu, saat dimana Dimas begitu membutuhkan senyum indah milik wanita di hadapannya kini, senyum yang dulu hanya di peruntukan untuk dirinya entah kenapa hingga saat ini belum juga berubah, masih sama manis dan anggung, bedanya kali ini tak menggetarkan hatinya seperti dulu, hanya remasan kecil yang entah kenapa begitu menyayat. "Oh ya, Kakak mau pesen apa?" Tersenyum cengo yang bisa Dimas tebak, senyum model ini masih belum berubah dari dulu hingga sekarang, senyum yang terkesan di paksakan hingga menciptakan raut aneh yang jelas cukup untuk di bilang cengo. Memilih membuka menu di hadapannya, membaca beberapa sebelum Dimas memanggil pelayan dan memesan segelas milkshake dan seporsi kue coklat kesukaan wanita di hadapannya ini. "Em, btw. Giama kuliah, Lancar?" "alhamdulillah lancar, lo sendiri gimana kerjanya?" Dimas memasang senyum terbaiknya, namun tatapannya sibuk mengamati daftar menu di tangannya, tak berani menatap wajah dan senyum manis Nia, terlebih tatapan bersahabat itu yang begitu menyesakan dadanya. "Syukur deh kalo lancar." balasan Riang yang Dimas dapat malah semakin membuatnya larut dalam rasa bersalah. "Jadi boleh kan kalo di pertemuan perdana kita ini gue minta traktir lo, kak?" ucapan jumawa itu mampu membuat Dimas mengangkat wajahnya, menatap lekat wajah Nia, kembali lekuk indah dan sorot nyaman dari sepasang matanya membawa Dimas larut kedalam angan yang begitu indah saat di bayangkan. lekuk indah, alis tebal, bulu mata lentik, bibir tipis berwarna merah begitu menguatkan betapa cantiknya sosok ciptaan tuhan yang satu ini. tanpa sadar senyum Dimas terpahat indah di tempatnya. melupakan sejenak rasa bersalah yang bersarang di dalam dirinya. "boleh, bahkan sampek tokonya sekalipun bakal gue beliin buat lo, kalo mau." tawa Nia pecah, Dimas yang melihat itu ikut tertawa kecil. terlebih kebiasaan Nia yang masih sama, malah membuat senyum Dimas kian melebar. andai dulu ia tak pernah melakukan kesalahan itu mungkin hingga saat ini, tawa itu masih ia miliki. sayangnya andai itu sama sekali tak mampu ia raih kembali. dan Rasa bersalah itu kembali hadir dalam diri, membuat senyum lebarnya berganti dengan senyum tipis serat akan rasa bersalah. "ada-ada aja lo, kak. nggak sampek tokonya juga kali." "ya kira aja kan lo mau setokonya sekalian kan?" "gue nggak semaruk itu kak. lo kan tau gue" "iya gue tau banget kok lo kayak mana. bahkan sangat tau. bahkan gue tau gimana sakitnya lo dulu saat gue sakitin" namun kembali kalimat itu tak mampu ia utarakan. yang bisa Dimas lakukan hanya tersenyum alakadarnya guna menanggapi perkataan Nia. lara dalam angan... 18 maret 2014 13.15 dering bel panjang baru saja berbunyi. bel yang menandakan berakhirnya pelajaran hari ini membuat seluruh murid berhampuran keluar kelas untuk pulang. begitupun Dimas yang sudah berada di koridor sekolah menuju tempat parkir bersama kedua sahabatnya. "gila, paleng pala gue gara-gara umi Wanda s****n itu." dengus Raka yang berada di tengah-tengah ketiga siswa itu. berjalan sembari memainkan ponsel, membuka beberapa situs pelajaran bahasa lampung, mencari bahan untuk tugas yang ia dapatkan dari guru yang terkenal paling galak di sekolahnya. "nikmatin aja lah, mumpung masih bisa ngerasain sekolah ini. bentar lagi lo bakal kangen sama gimana Umi Wanda ngomel kan." balas Arif acuh dan sibuk dengan ponsel di tangannya, bukan mencari bahan pelajaran, melainkan sibuk dengan Gamenya. "cih... nggak akan nggak gue kangen sama guru galak kayak dia. amit-amit deh. mending juga gue kangen sama Miss Susi. guru kesayangan gue, tuh..." "halah, sekarang aja lo bisa ngomong gitu. liat aja nanti kalo udah nggak disini, gue yakin lo bakal nanyain Umi Wanda sama adek kelas." "jangan harap!" balas Raka yang kemudian memasukan ponselnya dalam saku saat mereka sudah sampai di parkiran. Raka memilih langsung mengenakan helmnya. "gue duluan, di tungguin nyokap di rumah." ucapnya sembari memacu motor bebek kesayangannya. di susul Arif yang tanpa pamit langsung menancap gas motor matic yang Dimas tau hari ini Arif ada latihan basket di clubnya. Dimas yang sedari tak banyak bicarapun melakukan hal yang sama. mengenakan helm dan mendorong motor Rx King miliknya. tak berani membunyikan motor di lingkungan sekolah. terlebih kenalpot motornya yang berisik mampu membuat pihak sekolah marah dan malah melarang ia untuk membawa motornya kesekolah, dari pada harus jalan kaki, Dimas memilih Cari aman saja. "Widih, ngopi, pak?" tanya Dimas pada pak Pram selaku satpam sekolah yang memiliki kumis tebal dan tubuh gemuk yang terkenal galak melibihi guru Bp. "Siang gini emang enaknya ngopi ya pak?" lanjutnya lagi saat merasa tak mendapat balasan dari Pak Pram. Lalu delikam tajam dari Pak Pram malah membuat Dimas meringis kecil dan meneruskan dorongan motornya hingga sampai di luar gerbang. Memakai helm yang sedari tadi tersampir di setang motornya, dan menghidupkam motor dua tak miliknya, suara bising langsung saja menyambut. Mengagetkan Pak Pram yang baru saja menyeruput kopinya hingga tersedak dan langsung berdiri menatap nyalang Dimas tanpa di sadaro oleh siswa itu. Perlahan Dimas melajukan motornya. Memasuki jalanan yang cukup sepi karena memang bukan jalanan umum, jarak sekolahmya dengan jaran Raya yang memang berjarak lima ratus meter. Di persimpangan jalan, Dimas menoleh kanan kiri sebelum menyebrangi jalan. Namun bukan menyebrang, Dimas malah mengarahkan motornya ke arah halte yang tak jaih dari simpang jalan, tepat saat sepasang matanya menatap seklebet sosok yang sepertinya tak asing. "Hay. Belom balik?" sapa Dimas menyetandarkan motornya disusul helm yang terlepas dari kepalanya. Di tatapanya sosok Cewek berkuncir kuda yang tengah duduk di salah satu kursi Halte dengan tas laptop di pangkuannya. Sedikit terkejut, namun langsung memasang senyum manis yang entah sejak kapan menjadi bayangan yang teris berputar di kepala Dimas saat tau jika Dimas menyapanya. "Oh, masih nunggu angkot, sepi. dari tadi nggak ada yang nongol, nih." Menoleh ke kanan kiri yang mana hari itu memang tak ada akngkot yang biasanya sudah berjejer rapih menarik penumpang dengan suara bising sebelum bergerak dan duduk tepat di sebelah kiri Nia, gadis yang memiliki senyum manis di mata Dimas. "Demo kali." celetuk dimas setelahnya. "Mau gue temenin sampek angkot dateng?" lanjutnya lagi menoleh kearah Nia. Yang di balas kerutan di kening Cewek itu. Tak ingin jika Nia salah paham, Dimas menggaruk kepalanya yang yak gatal. "Siapa tau lo butuh temen ngobrol kan?" ucapnya lagi dengan cengir salah tingkahnya. Senyum dari Nia malah membuat Dimas makin salah tingkah. "Boleh deh, kak. Dari pada jenuh dan mentok di hape terus kan, mending ada temen ngobrol di sini" Memdengar itu Dimas memasang cengir lebarnya. "Yaiyalah, jangan seringan maen hape nggak baik buat mata sama otak. Susah iteraksi sosial nanti. Mending ngobrol sama temen dunia nyata kan." "Iya, aku juga nggak suka terlalu maen hape kalo nggak penting-penting amat. Nggak guna juga." melarikan ke arah sekitarnya, Nia menyilakan poni yang menggangu pandangannya. Matanya sibuk melihat lalu lintas yang cukup padat namun tak ada satupun angkutan umum yang lewat di depan matanya. "Sama berarti" ucap Dimas singkat. Nia menoleh cepat menautkan kedua alisnya tak mengerti apa maksud yang di ucapkan oleh Dimas dimana malah membuat Dimas salah tingkah. "Betewe, rumah lo dimana?" tanya Dimas mencoba mengalihkan pembicaraan yang bukannya beralih malah membuat Nia menatapnya aneh. "Nggak, maksud gue siapa tau kita searah kan. Sekalian bareng gue aja. Kayaknya angkot lagi demo ini." lanjut Dimas makin salah tingkah. Melihat kelakuan Dimas entah kenapa malah membuat Nia terkikik pelan dengan tangan menutup mulutnya. Dimas makin salah tingkah. "Oh, nyamperin cuma alesan buat ajak pulang bareng toh?" ucap Nia setelahnya. Dimas menggaruk hidung kikuk. Apa niatnya memang sebegitu jelas di baca oleh Nia, atau memang cara mengajaknya terlalu belak-belakan dan terkesan terburu-buru? Ah... Salahkan saja hatinya yang sama sekali tak mau di ajak bersabar hingga memberikan virus pada otak yang membuat tak bisa merancang dengan apik tiap adegan, dan malah menggerakan mulut tanpa pikir panjang. "Ah ... Itu dari pada lo kelamaan nunggu kan?" "Tapi Boleh kok, aku malah bersyukur banget kalo kakak mau nganterin aku." ucap Nia menghentikan lamunan panjang Dimas. Menilik pada jam tangannya lalu menoleh pada Dimas. "Soalnya jam 3 nanti aku ada jadwal les." lanjutnya lagi dengan senyum manis. Senyum yang membuat Dimas terpana seperkian detik dan hampir saja lupa bernapas. "Oh. Oke!" Dimas beranjak dari tempatnya. Meraih helm hitam polos yang memang selalu ia persiapkan di samping jok motornya persiapan kala ada yang ia ajak berangkat atau pulang bareng, mengulurkam pada Nia yang sudah berdiri di hadapannya. "Sory, helmnya cuma ada ini. Bau belum di cuci dan belum di pasang seriker." "Setiker?" ulang Nia. "Iya, setiker di belakang helm, tulisannya pacar Dimas" ucap Dimas kaku Nia terbahak. Tak menyangka kata yang harusnya terkesan manis itu malah terdengar aneh dengan intonasi gugup yang di ucapkan oleh Dimas. "Bisa aja sih." Nia meraih helm itu. "Tapi kalo boleh kasih saran. Sebelum pasang setiker, mending ganti helmnya deh. Yang warna biru mungkin?" lanjutnya dengan kekehan pelan. Sekejap Dimas hampir salah mengartikan perkataan itu. Kode kah? Atau memang sindiran halus. Ah... Sudahlah angkap saja kode untuknya, dan yang harus di lakukan selanjutnya. Ganti helm warna biru dengan setiker pacar Dimas. Asyiaap... Dimas tersenyum kecil, lalu saat melihat Nia sudah memakai helmnya, tangannya terasa gatal dan terulur dengan sendirinya, memasang kancingan helm dengan kaku. "Thanks, kak?" ucap Nia tulus dengan senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya. Dan saat itu dunia Dimas seolah berhenti hanya sebuah kata terimakasih dan senyum manis. Manis seperti brownis kesukaanya. Bahkan mungkin lebih manis.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN