apa yang kita pikirkan

1770 Kata
"Dari mana lo?" Raka. Suara itu menghentikan langkah riang dari seorang Dimas yang baru saja menginjakan kakinya di pekarangan rumahnya, bahkan helm di kepalanya belum juga terlepas yang menandakan jika memang dirinya baru saja sampai beberapa detik yang lalu. Kepalanya mendongak. Menatap seorang teman yang sepertinya sudah terlalu lama menunggunya. "Kenapa?" "Di tanyak malah balik tanya, coba?" Dengus Raka yang tengah berdiri dari duduknya, berjalan menghampiri Dimas dengan sorot yang tak lepas Menatap Dimas. Merasa diperhatikan seperti itu membuat kening Dimas berkerut. Ia jelas paham jika Raka sudah menatapnya seperti itu maka sudah dipastikan jika laki-laki itu ada hal yang mungkin di luar kendali telah terjadi. "Kenapa?" ucapnya santai, Dimas memilih duduk di lantai dekat pilar teras yang saat ini di gunakan Raka untuk bersandar dengan sorot yang sudah beralih menatap pohon mangga. Dia memilih untuk melepaskan sepatu yang dia kenakan sembari menunggu Raka menjawab pertanyaannya. "Biasalah." ada helaan napas gusar yang keluar bebas setelah jawaban Raka. Cowok dengan rambut cepak dan perawakan lebih tinggi dari Dimas memilih duduk di sebelah Dimas. "Gue nginep di sini, nggak papa kan?" Dumas mengangguk dengan santai. Setelahnya dia berdiri dan menenteng sepatunya masuk ke dalam rumah, di ikuti Raka di belakangnya. "Sesuka Lo, Ka. Kan udah gue bilang, kesini aja kapan pun lo butuh, lagian bapak mamak juga nggak ngelarang Lo nginep di sini kan? Jadi, enjoy aja lah." Dimas berlalu melewati ruang tamu sebelum akhirnya dia masuk ke dalam kamar lalu meletakkan sepatu di rak di belakang pintu kamar, Dimas memilih duduk di ranjang setelahnya. Melempar tas yang ia gunakan begitu saja lalu setelahnya ia berbaring dengan seragam sekolah yang masih melekat di tubuhnya. Kebiasaan buruk yang memang sulit di hilangkan. Terlebih anak jaman sekolah yang sering melepas baju tanpa peduli di mana mereka meletakkannya kembali, dan setelah akan berangkat sekolah. Biasanya mereka akan sibuk dengan kalimat "Mak! Baju sekolah Dimas di mana!" Padahal dia sendiri yang melepaskan dan meletakkan, dengan cara dilempar sesuka hati mereka. Itu memang sudah menjadi kebiasaan buruk bagi Dimas yang sulit dihilangkan, beruntung mamak sangat jarang mengecek kamar Dimas. Jadi Dimas masih sering aman dari Omelan emak. "Lagian lumayan, kan. Secara nanti malem bakal ada yang gue kelonin ini." kelekar Dimas yang mendapat lemparan tas milik Raka di susul dengkusan kasar, "s****n!" setelahnya Raka memilih duduk di meja belajar Dimas dan sibuk dengan ponselnya. Dari tempatnya Dimas menatap sahabatnya itu dengan senyum kecut di bibirnya. Lebih tepatnya ringisan iba melihat nasib yang menimpa sahabatnya. Ia tak tahu jelas bagaimana keronologisnya, tapi untuk garis besarnya Dimas mungkin paham dengan apa yang dialami oleh sahabatnya ini. Bahkan Arif yang terkesan selengean pun tahu masalah Raka yang memang bukan lagi rahasia umum bagi Dimas dan Arif. Mereka adalah sahabat yang tidak menyimpan sedikitpun rahasia yang disembunyikan lagi. "Jadi, apalagi sekarang?" pelan Dimas ingin Raka mengeluarkan segala kekesalannya dengan sendirinya, dia hanya ingin memancing dengan sedikit saja pertanyaan,nm karena biasanya sahabatnya ini akan mengatakan apa yang dia alami dengan sendirinya, dan itu juga dia lakukan agar sahabatnya itu tak memendam kesakitannya terlalu lama. Tak mendapat jawaban dari Raka tak membuat Dimas lantas diam begitu saja. "Ka?" ucapnya lagi pelan menuntut jawaban dari Raka. "Bokap, masih nggak puas dengan nilai gue Minggu lalu!" Ucap Raka sembari menyandarkan tubuhnya pada dinding di belakang tubuhnya, setelahnya pemuda itu mendongak menatap langit-langit dengan tatapan getir. "Padahal gue udah berusaha buat dapetin nilai itu. Lo tau, kan, gimana kapasitas otak gue, udah mentok Dim." Dimas tentu tahu apa yang dirasakan oleh sahabatnya ini, dia hanya mengangguk sebagai jawaban yang rasanya percuma karena Raka jelas tak melihatnya, Dimas sedikit miris mendengar itu. ayah Raka adalah pengusaha sukses, dan orang yang menuntut segala sesuatunya harus sempurna, terlebih perihal nilai akademis Raka. Semua haruslah sempurna atau dengan kata lain nilai Raka harus di atas 90. Dan menurut Dimas itu sangatlah gila. "Kebayang nggak si Lo, gimana rasanya ada di posisi gue. Nggak sanggup lagi rasanya, Dim. stres lama-lama gue kayak gini mulu." Dimas memilih bungkam untuk pertanyaan yang di lontarkan oleh sahabatnya itu. Bukan tak mau membahas atau memberi solusi. Dimas lebih ingin Raka tenang dengan pikirannya dan tak terlalu tertekan dengan semua masalah yang ada. Apalagi masalah keluarga, Dimas tak ingin terlalu jauh masuk ke dalam urusan sahabatnya jika Raka sendiri tak menginginkannya. Terlebih, kebanyakan orang hanya ingin cerita dan keluh keduanya didengarkan ketika mereka mendapatkan masalah, bukan malah meminta pendapat atau sebuah saran yang sepertinya tidak terlalu berguna ketika mereka masih memiliki pemikiran yang bisa dikatakan sembrono. "Walau gue nggak pernah ada di posisi Lo, tapi gue ngerti dan tau gimana rasanya." Dimas menjeda. Seperti biasa ia berusaha mengolah kalimat sebelum ia ucapkan. Takut jika salah berucap malah membuat Raka tak enak hati. "Tapi yang jelas, bokap nuntut Lo kayak gini juga buat kebaikan Lo kan? Ambil sisi positifnya aja, jangan Lo ambil hati. Kesel boleh, durhaka jangan" Dimas mencoba mencairkan suasana dengan candaanya namun sepertinya Raka tak menanggapi ucapan Dimas. Tak mendapat respon dari raka dimas mengintip dari ujung matanya menatap perubahan reaksi Raka. Menghela napas pelan Dimas mulai melanjutkan ucapannya. "Gue cuma nggak mau suatu saat nanti Lo nyesel karena udah durhaka sama bokap. Jadi balik lagi. Lo boleh kesel dengan segala ke-egoisan bokap. Tapi jangan Sampek Lo durhaka. Dan, sekesel apapun Lo, Lo masih punyak kita. Gua dan Arif yang selalu ada di sisi Lo" Hening menerpa keduanya. Meninggalkan kesunyian yang membekas, Raka sibuk dengan ponselnya sedangkan Dimas tengah sibuk dengan langit-langit kamarnya. Hanya mata lebih tepatnya yang sibuk memandangi langit-langit sedangkan pemikirannya sibuk melalang buana menyusuri setiap momen yang ia dapatkan tadi. "Btw, ka. lo kenal Kurnia Ayu listari anak kelas 2 IPA 2?" Dimas membuyarkan keheningan yang tercipta dengan sebuah pertanyaan yang berhasil membuat kening Raka berkerut. "Kecil anaknya. Suaranya ngegemesin kayak bocah, cantik putih juga" lanjut lagi tanpa perlu menoleh kearah Raka saat di rasa sahabatnya masih diam. "Kagak. Siapa emang?" "Adek kelas elah. Kan udah gue bilang tadi. Anaknya kecil ngegemesin gitu" "Nggak tau gue." Dimas mendengus di tempatnya. Dengan kedua telapak tangan yang ia jadikan sebagai bantalan kepala dan sebelah kaki ia tekuk guna menopang sebelah kaki nya lagi, Dimas masih memandang langit-langit yang ada. "Gue ketemu di perpus pas dapet hukuman tadi. asik anaknya nyambungan dan yang paling penting, ngegemesin nya itu yang bikin gua nggak tahan buat nyubit itu pipi" Kening Raka berkerut kian dalam. Fokusnya ia alihkan dari layar ponsel dan menatap Dimas dengan lamat. Ini telinganya yang salah dengar atau emang Dimas lagi ngelantur? Atau telinganya yang memang sudah eror? Pasalnya selama ini Dimas berhubungan dengan cewek manapun tak pernah salah satu dari mantannya ia puji sedemikian rupa. Memang kata orang saat PDKT itu adalah komen paling bulshit yang pernah ada, tapi Dimas bukan cowok yang pernah melebihkan sesuatu dengan ucapan jika memang itu tak nyata. "Lo sehat?" tanya Raka yang sudah kehabisan pikir saat tak kunjung menemukan jawaban. Dimas menoleh dengan senyum yang masih mengambang. "Nggak kayaknya." jeda saat ia kembali menatap langit-langit kamarnya. "Rasanya itu kayak ada separuh hati gue yang ilang, dan separuh jiwa gue yang meronta nyaman pas gue Deket sama dia." Raka berekspresi setengah mual mendengar kelekar Dimas. "Gila kali gue!" aku Dimas yang masih menahan senyum yang mengambang itu. Sedangkan Raka sudah keluar kamar tepat setelah ia keluarkan tasnya pada Dimas yang masih saja tersenyum gembira. ••°•• "Gue mau ke warung depan, Lo mau nitip kagak?" Ucap Dimas saat melihat Raka baru saja keluar dari kamar mandi dengan rambut basah dan bertelanjang d**a memperlihatkan perut kotak-kotaknya, mungkin jika Dimas seorang cewek Dimas akan menjadi salah satu dari sekian banyak kumpulan cewek di sekolahnya yang mengidolakan cowok berambut ikal itu. Sayangnya Dimas seorang cowok dan dia masih normal. Sedikit berpikir sehari berlalu, Raka mengeringkan rambutnya dengan handuk yang ia gantung kan di lehernya "rokok aja deh, abis kayaknya rokok gue" "Yaudah nanti gue beliin sekalian" ucapnya lalu berlalu meninggalkan kamar. Bukan rahasia lagi jika Dimas dan kawan-kawan adalah pecandu batang laknat perusak negri, masalah dan pemikiran buntu lah yang membawa mereka masuk kedalam dunia candu itu. Mereka sadar apa efek yang di timbulkan dari batang candu itu, hanya saja untuk berhenti dan melepas kebiasaan buruk itu amatlah susah. Apalagi tak ada keinginan dalam diri untuk mereka behenti, bukan berhenti malah semakin terperosok kedalam hal yang jelas tak berguna. "Mau kemana?" Dimas menoleh kala suara lembut yang selalu saja menjadi penyemangat harinya masuk kedalam pendengarannya, di tatapnya sang ibu yang tengah sibuk menyiapkan makan malam untuk keluarga kecilnya. berbalik, Dimas menghampiri sang ibu di meja makan, tangannya mencomot temee goreng kesukaannya dan memilih duduk di kursi yang ada di sana. "Kewarung depan, beli cemilan buat temen nonton bola nanti malem" Terdengar decakan kecil dari bibir sang ibu yang masih terlihat muda dan menawan itu. "Bola terus, begadang terus. Sekolah di pikirin lah, dim." "Yaelah Mak, sekali-kali nggak papa lah, Mak. Lagian besok Minggu, masa tugas Mulu di pikirin" keluh Dimas mengunyah tempe goreng di tangannya. "Emang emak mau rambut Dimas botak banyakan mikirin tugas?" "Sekali kali dari mana Dimas, yang ada hampir tiap malem kamu nonton bola sama bapak kamu!" "Mana ada tiap malem. Bapak tuh yang tiap malem. Aku kan cuma malem Minggu doang" "Ngebantah aja kamu!" Halah Marni melihat kelakuan anaknya, "yaudah sana kalo mau cari cemilan, udah mau magrib keburu adzan" "Iya mak, ini juga mau berangkat" Dimas beranjak dari tempat nya, membereskan kursi sebelum melangkah pergi. "Ohya titip sabun cuci, yang warna biru ya!" "Iya nanti Dimas beliin. Ada yang mau di beli lagi?" "Nggak itu aja" Mengangguk pelan Dimas beranjak, mengeluarkan motor kesayangannya yang sejak siang tadi ia parkir di garasi samping.bperlahannia menuntun motornya, membuka gerbang dan mengeluarkan motor sebelum ia menutup kembali gerbang rumahnya. "Sore-sore gini mau kemana mas?" Suara itu menghentikan Dimas, dilihatnya cewek berkerudung yang tengah lewat menyapanya dengan senyum yang sedikit manis. "Eh, Dwi. Mau ke warung depan sekalian cari angin" balas Dimas ramah apda cewek yang menjadi tetangganya sejak kecil, rumah dwi tak jauh dari rumahnya. Hanya berjarak 3 rumah dari rumahnya. "Ealah, angin kok di cari mas. Masuk angin loh nanti" "Ah, nggak lah, sumpek di dalem rumah terus wi, pengen cari angin sambil cuci mata" balas Dimas dengan senyum dan sekidit kekehan kecil. "Loh cuci mata kok harus repot di jalan toh mas? Di rumah emang nggak ada air ya?" Lagi Dimas terkekeh mendengar kelekar dari dwi yang sedikit garing namun entah kenapa bisa membuatnya tesenyum. "Maksudnya liat cewek cewek cantik yang lagi nongrong loh, wi. Kan Mayan tuh liat yang bening-bening buat ngilangin stre" "Yee itu mah bukan cuci mata mas. Ganjen yang ada." kelekar Dwi dengan tawa kecil sebelum beranjak menjauh, "yaudah kalo mau cuci mata, mumpung belom magrib, saya tak permisi dulu"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN